Senin, 26 November 2018

[RESENSI] The Last Star by Rick Yancey (The 5th Wave #3)



Judul: The Last Star
Penulis: Rick Yancey
Alih bahasa: Angelic Zaizai
Editor: Mery Riansyah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2017)
Jumlah halaman: 400 hlm.
ISBN: 9786020361208

Blurb:

Makhluk Lain itu musuh kita. Kitalah musuh kita.
Mereka ada di bawah ini, di atas sana, di mana-mana. Mereka menginginkan Bumi, mereka meginginkan kita menempatinya. Mereka datang untuk memusnahkan kita, mereka datang untuk menyelamatkan kita.

Namun di balik teka-teki ini ada satu kebenaran: Cassie dikhianati. Begitu juga Ringer. Zombie. Nugget. Dan 7.5 miliar manusia yang tadinya hidup di planet kita. Mula-mula dikhianati oleh Makhluk Lain, sekarang oleh sesamanya. Pada hari-hari terakhir, para penghuni Bumi yang tersisa harus memutuskan apa yang lebih penting: menyelamatkan diri sendiri...atau menyelamatkan apa yang menjadikan kita manusia.

----

Buku terakhir dan aku sama sekali nggak kehilangan semangat meski agak kecewa di buku kedua. Dan ya, aku menemukan kembali ‘nyawa’ seri ini di buku ketiga, hampir sama sesemangat aku ketika membaca buku pertama.

Bicara soal gaya bahasa, di buku ketiga ini masih sama, berat, tapi tidak terlalu banyak, soalnya bagian yang kusuka ada banyak di buku ini. Pov Cassie dan Pov Ben yang menyenangkan. Akhirnya aku bisa membedakan lagi mana Cassie dan mana Ringer.

Konflik dimulai ketika Razor, orang yang ditugaskan menjaga Ringer selama ‘perawatan’ di pangkalan baru menyuruh gadis itu kabur. Namun, Ringer melakukan yang sebaliknya. Dia bertahan. Karena dia berpikir akan bisa menyelesaikan Vosch jika dia menurut. Satu-satunya yang diinginkan Vosch, harus dibunuhnya, yaitu: Evan Walker.

Evan sendiri masih bersama Cassie, menyusun rencana. Lalu Ben, pergi menyusul Ringer yang dia kira sudah berada di utara bersama Teacup. Sayangnya, menuju utara bukan hal yang mudah. Ada dua peredam yang menanti Ben dan Dumbo dalam perjalanan.

Full action! Inilah yang buat aku makin semangat. Aku merasa setiap membuka halamannya, aku selalu merasa tertantang. Meskipun bagian Cassie terasa sedikit di bab-bab awal, aku sudah terhibur dengan petualangan Ben, yang bertemu lagi dengan Ringer yang sudah berbeda di utara.
Mereka semua, tanpa sadar, saling mengkhianati. Dan ketika mereka semua kembali berkumpul, aku sangat menikmati alur yang dibuat Rick Yancey. Seru, menegangkan dan keren!

Mungkin akan sulit menjelaskan secara panjang lebar, yang jelas, novel ini sangat memenuhi ekspektasiku. Tidak ada karakter yang sia-sia, semua tokoh ditempatkan dalam porsi yang pas dengan posisi yang baik.

Akhirnya setelah berbosan-bosan di Infinite Sea, Last Star menyajikan penutup yang mendebarkan. Aku suka cara penulis mendeskripsikan setiap aksi dan rencana-rencana di novel ini. Namun memang narasi masih mendominasi novel ini, dialognya sedikit :’)
Aku juga masih merasakan capek ketika membaca pov Ringer dan pov Ben (tapi Ben kebantu sama petualangannya yang seru XD )

Selain itu, ada hal-hal yang agak mengganjalku di novel ini. Yaitu penokohannya, aku merasa, mungkin karena terlalu banyak berganti pov dan porsi yang sama besar untuk tiap karakter, aku kurang menyatu dengan kemistri para tokoh. Aku merasa novel ini hanya fokus kepada konfliknya: menghancurkan Vosch. Sementara tokoh-tokohnya hanya seolah wayang yang tidak berpengaruh apa-apa buatku.

Overall, novel ini baguss. Serunya setara sama buku pertamanya. Aku suka semuanya, kecuali enedingnya HAHA. Yang jujur sampai saat ini aku masih nggak paham! Siapa pun yang udah baca novel ini dan mau sukarela berdiskusi, tolong komentar:’)

Satu hal yang aku kerasa banget dapetin sesuatu dari novel ini adalah bahwa aku sekaran trauma sama judul buku yang ada kata ‘star’nya HAHA. Kenapa? Silakan baca series The Young Elites-nya Marie Lu dan seri ini. Kalian akan paham :’)
“Bagi sebagian orang, kematian adalah bidan pembantu lahirnya keimanan. Bagi yang lain, kematian adalah algojo keimanan.” – hlm 17
“Aku tidak mau membuang-buang lebih banyak waktu untuk mencemaskan semua hal yang tak kuketahui.” – Ben (hlm 53)
“Mereka takkan berhenti sampai semua orang tewas. Tuhan membiarkan itu terjadi karena Tuhan ingin itu terjadi. Dan tak ada yang bisa melawan Tuhan. Dia kan Tuhan.” – hlm 78
“Hidup berarti mengambil risiko atas nyawamu, hatimu, segala-galanya. Kalau tidak, kau cuma mayat berjalan. Kau zombie.” – hlm 386


[RESENSI] The Infinite Sea by Rick Yancey (The 5th Wave #2)




Judul: The Infinite Sea
Penulis: Rick Yancey
Alih bahasa: Angelic Zaizai
Desain sampul: Marcel A.W
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2015)
Jumlah halaman: 400 hlm.
ISBN: 978-602-03-1799-1

Blurb:

Bagaimana cara melenyapkan miliaran manusia penghuni Bumi?
Lenyapkan sisi kemanusiaan mereka.

Nyaris mustahil rasanya selamat dari empat gelombang pertama. Tetapi Cassie Sullivan berhasil, dan sekarang ia hidup di dunia baru, dunia tanpa rasa percaya pada sesama. Saat Gelombang 5 menyapu segalanya, Cassie, Ben, dan Ringer dipaksa berhadapan dengan tujuan utama para Makhluk Lain: pemusnahan umat manusia.

Maka mereka pun terlibat dalam pertempuran terdahsyat: antara hidup dan mati, cinta dan benci, harapan dan kenyataan.

----

Jauh di luar ekspektasi, inilah yang aku rasakan ketika membaca buku kedua trilogi ini. Aku emang suka banget sama buku pertamanya dan itulah kenapa aku pengen namatin seri ini, tapi ternyata buku kedua nggak sebagus buku pertama.

Cerita dimulai dengan POV Ringer, heroin yang berhasil mencuri perhatianku di buku pertama. Gaya bahasanya masih sama seperti buku pertama, memang agak berat dan butuh berpikir dua kali untuk mencerna, meski nggak di semua bagian. Menurutku, POV Ringer atau yang berhubungan dengan pangkalan dan Vosch sangat rumit.

Beda dengan POV Cassie atau Ben yang agak santai, walaupun di buku kedua ini, aku nggak bisa merasakan perbedaan antara pov Cassie dan Ringer, mereka kelihatan sama buatku.
Setelah Evan meledakkan pangkalan dan Cassie kabur, mereka bersembunyi di sebuah bangkai hotel, namun mereka tidak bisa tetap di situ, karena Vosch masih memburu mereka. Ditambah lagi sekarang ada Grace, manusia sejenis Evan yang ikut mencari mereka.

Ringer terpaksa pergi untuk menemukan tempat penampungan di utara, sementara Teacup menyusulnya. Sialnya, sesuatu terjadi kepada Cup, lalu Ringer. Mereka berdua diculik oleh Vosch dan sesuatu yang mengejutkan terjadi pada Ringer.
Sementara itu, Evan menepati janjinya dan kembali kepada Cassie. Sayangnya, kembalinya Evan pun membawa musuh-musuh untuk mendekat.

Secara garis besar, hanya segitulah kisah pada buku kedua ini. Momen-momen besar jarang terjadi, digantikan alur yang lumayan lambat. Konflik utamanya pun bisa dibilang terletak pada Ringer, menguak sesuatu yang sebenarnya terjadi di dunia mereka. Kebenaran tentang Makhluk Lain. sejujurnya, plot twist ini cukup membuatku melongo. Bagian terbaik dari novel ini hanya plot twistnya, menurutku.

Aku juga merasa alurnya begitu lambat pada bagian Ringer, dan jujur ini bikin aku ngantuk karena harus berpikir dua kali untuk mencerna dan bosan, padahal konflik utama terletak di sini. Aku merasa penulis mengulur-ngulur ceritanya.

Para tokoh pun cenderung datar-datar saja. Tidak ada perkembangan, menurutku. Bagian Cassie dan Ben yang menurutku menarik justru tertutup oleh Ringer. Di sini juga ada pov Poundcake, prajurit yang tidak pernah berbicara, namun karena hanya satu bab porsinya, aku nggak terlalu merasa dekat dengan cowok itu. Dan bagian Ringer yang paling banyak ini, meskipun dia tokoh kesukaanku, ternyata aku kurang puas dengan kehidupan dan aksinya HAHA XD

Overall, aku kurang merasakan chemistry atau ‘nyawa’ dalam novel ini, tapi meski begitu banyak juga bagian-bagian yang menyenangkan untuk diikuti :D satu hal yang aku sayangkan adalah kenapa kovernyaaaa harus ada gambar wajahhhh perempuaaaan. Sekian.
Quote:
“Janji adalah satu-satunya mata uang yang tersisa. Harus dibelanjakan dengan bijak.” – hlm 21
“Kadang-kadang kau berada di tempat yang salah pada waktu yang keliru dan apa yang terjadi bukan kesalahan siapa-siapa. Kau cuma ingin merasa bersalah agar kau meras lebih baik.” – Ringer (hlm 40)
“Kenapa seseorang harus hidup meskipun dunia itu sendiri akan musnah?” – hlm 144
“Aku tidak mau menyelamatkan dunia. Aku hanya berharap siapa tahu aku dapat kesempatan untuk membunuhmu.” – Ringer kepada Vosch. (hlm 317)
"Kenapa kau tak berdoa?" - “Aku tak suka merepotkan Tuhan.” – Ringer (hlm 334)



Minggu, 18 November 2018

[RESENSI] Little Fires Everywhere by Celeste Ng




Judul: Little Fires Everywhere
Penulis: Celeste Ng
Penerjemah: Angelic Zaizai
Penyunting: Mery Riansyah
Penyelaras Aksara: Yuli Yono
Ilustrasi dan Sampul: sukutangan
Penata Sampul: @teguhra
Penerbit: Spring (Juli 2018)
Jumlah halaman: 368 hlm.
ISBN: 978-602-6682-26-0

Blurb:

Semua orang di Shaker Heights membicarakannya musim panas itu: bagaimana Isabelle, anak bungsu keluarga Richardson, akhirnya menjadi gila dan membakar habis rumah mereka.
Elena Richardson
Seorang istri dan ibu empat orang anak, dan sangat bersemangat dalam menerapkan norma-norma Shaker Heights yang penuh keteraturan dalam hidupnya.
Mia Warren
Seorang pendatang, seniman, dan orangtua tunggal, yang menyewa rumah milik keluarga Richardson.
Hubungan keduanya baik-baik saja. Namun, ketika sahabat keluarga Richardson berusaha mengadopsi seorang bayi Tionghoa-Amerika, pertempuran hak asuh yang dramatis memecah-belah kota, menempatkan Elena dan Mia dalam kubu berlawanan.
Bahkan rahasia-rahasia gelap masa lalu yang tidak seharusnya diungkit pun mulai muncul ke permukaan....

----

I have no idea about this book, aku nggak tau akan kemana mengalirnya konflik dalam buku ini. Ketika banyak yang bilang kalau buku ini berbeda dari kebanyakan novel, I totally agree.
Novel dibuka dengan bab satu yang lebih mirip prolog, bagaimana seluruh keluarga Richardson menatap rumah mereka yang terbakar, kecuali Isabelle /Izzy/ tentunya, karena dialah yang sudah membakar rumah itu.

Bab kedua dan sampai bab sembilan ke depan, novel ini menceritakan tentang setiap tokoh, detail, penuh narasi, penulis seolah ingin mengenalkan kita dan membawa kita menyelami setiap karakter dengan baik. Bergantian antara Pearl (anak Mia), Mia, Elena, Izzy, Lexie, Trip, dan Moody. Kadang aku juga merasa pergantian sudut pandang tokoh berubah secara tiba-tiba, anyway meskipun novel ini memakai sudut pandang orang ketiga.

Konflik utama dimulai setelah bab 9 yang sekitar 100an halaman, dan sebelum itu, jujur saja aku sempat dibuat bosan karena alurnya cukup lambat. Kedepannya pun masih sama, alurnya lambat dan maju-mundur, dan aku merasa ada beberapa flashback yang tidak perlu/terlalu panjang/apalah yang menjadikan ceritanya terkesan diulur-ulur, entah :(

Konflik utama cerita ini yaitu ketika teman baik Elena, Mrs. McCullough berencana mengadopsi seorang bayi yang ditelantarkan, bayi itu keturunan Tionghoa-Amerika. Elena yang tahu sahabatnya sulit punya anak, tentu saja mendukung hal itu. Namun masalah muncul ketika Lexie (anak pertama Elena) menceritakan itu kepada Mia yang sedang bekerja paruh-waktu di rumah keluarga Richardson.

Ternyata, Mia memiliki seorang teman Tionghoa di tempatnya bekerja paruh waktu lain, dan bahwa temannya itulah ibu dari bayi May Ling. Sebenarnya, Bebe tidak berniat meninggalkan May Ling, dan ia ingin mengambil kembali bayi itu. Tentu saja sebagai sahabat dan orang yang memiliki masa lalu ‘kelam’, Mia mendukung penuh keputusan Bebe.

Elena dan Mia yang tadinya akur, berubah jadi bermusuhan. Pekerjaan Elena sebagai seorang jurnalis membuatnya nekat mencari tahu hal-hal yang disembunyikan Mia, ketidakjelasan masa lalunya terutama karena foto di museum yang menampilkan dirinya sedang menggendong Pearl saat bayi.
Penelusurannya membawanya ke dalam kisah masa lalu Mia yang pahit. Selagi Elena memfokuskan diri pada masalah sahabatnya dan Mia, anak-anaknya melalui berbagai konflik lain. Menurutku, novel ini memiliki konflik yang cukup kompleks meski tidak rumit. Lebih ke konflik remaja, orangtua, sosial dan hubungan antara orangtua dan anak.

Di sisi lain, Izzy yang lahir prematur, yang selalu dikekang Elena karena ia terlalu paranoid dengan perkembangan Izzy, mulai memberontak dan akhirnya menemukan kenyamanan bersama Mia. Karena Mia tipe ibu yang bersahabat dan mengerti Izzy. Izzy selalu menghabiskan waktu dengan Mia membantunya membuat karya seni fotografi.

“Izzy mendorong, ibunya menahan, dan setelah beberapa lama tak ada yang ingat bagaimana dinamika tersebut berawal, hanya bahwa itu sudah ada sedari dulu.” – hlm 126
Pearl bersahabat dengan Moody, cowok itulah yang pertama kali menawarkannya pertemanan dan membawanya ke rumah keluarga Richardson hingga merasa kerasan. Moody menyukai Pearl, tapi Pearl menyukai kakak Moody yang tampan, Trip. Sementara itu Pearl juga jadi dekat dengan Lexie karena Pearl bersedia membantu Lexie mengerjakan tugas.

Pada akhirnya, penelusuran Elena berakhir pada satu fakta yang membuatnya murka. Berkaitan tentang keluarganya sendiri. Cukup ruwet untuk diceritakan dan takutnya spoiler juga XD tapi sangat realistis! Kesalahpahaman terjadi di mana-mana, dan cerita tidak harus selalu berakhir dengan benang kusut yang terurai.

Overall, aku sangat suka dengan konflik novel ini yang dekat dengan permasalahan sehari-hari. Bahwa menjadi orangtua tidaklah mudah, menjadi seorang anak pun sulit. Beberapa hal yang kurasakan ketika membaca novel ini adalah bahwa aku merasa fontnya terlalu kecil. Lebih banyak telling daripada showing kisah-kisahnya. Tapi, aku tetap suka bagaimana novel ini memberikan pengetahuan baru tentang banyak hal dan bagaimana penulis menyindir kehidupan masa kini.

Novel ini terlalu bermakna untuk dilewatkan ;) 4.3 stars

Quotes

 “Bagi orangtua, anak bukan sekadar seseorang: anak adalah tempat, semacam Narnia, alam abadi luas tempatmu menetap masa sekarang, masa lalu yang kau kenang, dan masa depan yang kau inginkan ada sekaligus.” – hlm 136
“Semuanya kembali, lagi dan lagi, ke titik ini: apa yang menjadikan seseorang seorang ibu? Apa itu berdasarkan biologi, ataukah kasih sayang?” hlm - 282
“Kau akan baik-baik saja, sayang. Kau akan akan baik-baik saja. Tuhan bekerja dengan cara misterius. Tetaplah ceria.” – hlm 320
“Ingat, kau terkadang perlu membakar habis segalanya dan memulai kembali? Setelah terbakar, tanah menjadi lebih subur, dan tanaman baru bisa tumbuh. Manusia juga seperti itu. Mereka memulai kembali. Mereka menemukan jalan.” – hlm 352.
“Tidak apa-apa menjadi rapuh. Tidak apa-apa membutuhkan watu dan melihat apa yang tumbuh.” – hlm 356
“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363




Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)