Tampilkan postingan dengan label Novel Terjemahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novel Terjemahan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 April 2022

Teenlit Campur Scifi di Dreamology by Lucy Keating (resensi)

Judul: Dreamology

Penulis: Lucy Keating

Alih Bahasa: Aline Tobing

Penerbit: Elex Media Komputindo (2018)

Jumlah halaman: 252 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Pertama kali liat Dreamology versi originalnya, aku langsung jatuh cinta sama cover-nya. Dari situ aku mutusin kalau aku harus bacaaa novel ini. Harusss. Mana judulnya juga unik banget. Pasti ceritanya kece. Iya, dulu bener-bener cuma tertarik sama judul dan cover tanpa tau itu ceritanya tentang apa haha.

Cover yang bikin aku jatuh cinta itu kayak gini:


source: goodreads


Bertahun-tahun kemudian, waktu lagi main ke Gramedia, aku nggak sengaja nemu si kuning kecil ini.


source: goodreads


Wait, what? Dreamology? Dreamology yang cover orinya cakep itu? Dan ternyata bener, Dreamology udah diterjemahin ke bahasa Indonesia. Tapi kok nggak terlalu hype ya. Diem-diem bae.

Dan setelah 4 tahun terbit versi Indonesianya, aku baru punya kesempatan untuk baca Dreamology sekarang. Ekspektasiku tuh, judul unik, cover cewek banget, sinopsis oke, wow pasti ceritanya ringan dan cute gitu kan. Ditambah lagi jumlah halaman yang nggak sampe 300! Semanget banget buat baca.

Ketika buka novelnya di hp, jederrr, ternyata font-nya juga ikutan cute T_T [mnelan ludah] bisa nggak ya baca? Bisa sih kayaknya, cuma teenlit..kan?

So, Dreamology bercerita tentang Alice yang setiap hari memimpikan anak cowok bernama Max. Di mimpinya, yang udah berjalan tahunan, Alice dan Max sekarang pacaran. Mereka udah akrab dan deket banget di dunia mimpi.

Lalu tiba-tiba Alice harus pindah ke rumah peninggalan neneknya dan tentu aja harus masuk ke sekolah baru. Yang mengejutkan Alice, di sekolah barunya dia malah ketemu sama Max. Max asli. Nyata. Versi dunia. Versi real-nya.

Kalau di dunia mimpi Max itu hangat dan baik hati, Max asli ini lebih dingin dan cenderung jauhin Alice. Seakan belum puas bikin Alice kaget, ternyata Max juga selama ini mimpiin Alice. Mereka berbagi mimpi yang sama dan saling mengingat satu sama lain.

Kok bisa..?

Well, kesan pertamaku pas lagi baca ini, awalnya aku bener-bener semangat karena masih mikir ini premis yang lucu dan unik. Kebayang kisah klise ala wattpad gitu cuma dikemas dengan lebih rapi. Dont get me wrong, aku suka baca cerita klise yang imut asalkan rapi aja sih dan gaya penulisannya juga enak.

Tapi justru yang aku alami adalah aku malah bosan. Mataku capek baca font kecil ini. Ditambah lagi narasinya yang menurutku terlalu ‘maksa’ supaya jadi asik tapi jatohnya malah aku hilang fokus tiap baca narasinya.

Menurut aku terjemahannya udah rapi sih, jadi kemungkinan yang bikin aku turn-off emang gaya bahasa si penulisnya sendiri. Aku nyelesain buku ini cukup lama, karena ngantuk terus tiap baca, malah aku yang anti selingkuh sama buku lain, jadi tergoda untuk selingkuh haha.

Salah satu ekspektasi aku yang lain adalah, aku kira novel ini cuma novel remaja biasa dengan bumbu sedikit fantasi karena kedua tokoh utamanya saling mimpiin satu sama lain. Ternyata aku salah, Dreamology bercerita tentang sains modern. Bisa dibilang ini ngebahas fiksi sains.

Untuk sci-finya, aku mungkin nggak akan bahas terlalu banyak, karena aku sendiri nggak ngerti HAHA apaan sih ga jelas banget, mau nangis tiap ngebahas sainsnya. Nggak masuk di logikaku, entah karena faktor font kecil yang bikin males atau gaya bahasa yang bikin pusing.

Intinya, fenomena Alice dan Max bisa dapet mimpi itu adalah karena mereka pernah diterapi waktu kecil, bersamaan, di tempat yang sama. Alice mimpi buruk terus karena satu hal, makanya dia mulai ngejalanin terapi. Dari situlah mimpi mengenai Max muncul, bisa dibilang, mimpiin Max adalah choping mechanism-nya Alice dari traumanya. Begitupun sebaliknya.

Konflik di novel ini adalah saat Alice dan Max ternyata sadar kalau mereka nggak bisa terus mertahanin mimpi ini, juga karena ternyata fenomena ini bisa membahayakan mereka. Dari situlah keduanya, dibantu Sophie dan Oliver, berencana untuk menghapus mimpi-mimpi itu selamanya.

Selain gaya bahasa yang nggak enak dibaca, aku sendiri nggak gitu srek sama kedua tokoh utama di novel ini. Mereka cuma remaja sih, remaja biasa. Wajar masih suka bingung, naif, plin-plan, ngedepanin emosi daripada logika. Sayangnya karena terlalu biasa inilah, aku nggak nemuin bagusnya apa.

Karakter keduanya nggak ngena di perasaanku. Jadi aku bener-bener baca ini murni karena pengen tau aja endingnya. Musnah sudah impianku buat baca cerita yang imut-imut. Karena menurutku, cerita remaja mereka (di luar bahas sains) nggak imut sama sekali. Nggak bikin senyam-senyum. Nggak ikutan baper. Cuma dua kata sih: flat abiz. Aku cuma beberapa kali nyengir, nggak sampe lima kali, itupun cuma dua detik aja, yang bahkan aku udah lupa di scene apa haha. Parah banget gue.

Overall, mungkin ini murni karena berekspektasi ketinggian, nggak baca review orang lain dulu (soalnya takut jadi males baca), Dreamology wasnt my cup of tea. Capek, bosen, ngantuk, nggak ada yang spesial, bab mimpi bikin puyeng karena mimpi mereka kebanyakan sureal/abstrak, eksekusi yang biasa aja, font kecil punnn. Bah.

Akhirnya aku cuma bisa kasih 2 buat Dreamology karena ide/premisnya yang unik dan menjanjikan serta cover-nya yang lucu. Segitu aja kesan-kesanku buat novel ini. Aku bersyukur banget nggak beli fisiknya hahaha.

Dont forget to click follow button/submit your email below! See you on another review!

 

 

Senin, 14 Maret 2022

The Perfect World of Miwako Sumida (resensi)

 

source: goodreads



Judul: The Perfect World of Miwako Sumida

Penulis: Clarissa Goenawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 368 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Pertama kali baca novelnya Clarissa Goenawan. Akhirnya kesampean juga. Waktu pertama Rainbirds terbit, aku juga tertarik liat kover dan judulnya tapi tiap ada kesempatan baca di ipusnas rasanya males buat memulai. Mungkin karena blurbnya yang terkesan gloomy dan berat.

Tapi beda waktu pertama kali baca blurb TPWoMS ini, aku langsung tertarik dan langsung masukin ke daftar to-read di Goodreads haha.

TPWoMS bercerita tentang Miwako Sumida, well, not really actually, novel ini bercerita tentang tiga orang anak manusia yang kebetulan sama-sama kenal dan berhubungan dengan Miwako. Karena konflik dimulai dan cerita didasari karena Miwako yang bunuh diri, jadi ketiga orang tersebut nyeritain tentang Miwako deh.

Suicide case? Mystery? Lil bit thriller? At least those were what I thought I would find in this book. Reality? Not really haha.

Novel ini mengajak aku buat lebih mengenal sosok Miwako lewat tiga narator, sekaligus menikmati kisah tiga naratornya juga. Yang pertama ada Ryusei, cowok ganteng yang ketemu dan jatuh cinta sama sosok Miwako. Yang kedua ada Chie, sahabat Miwako. Dan yang ketiga ada Fumi-nee, kakak Ryusei sekaligus orang yang mempekerjakan Miwako di studionya.

Dari halaman pertama baca novel ini, aku udah mulai betah bacanya. Gaya penulisannya enak dibaca, thank the translator ya soalnya aku jadi nggak bosen meskipun ceritanya ngalir-ngalir adem gitu cocok buat bobo siang.

Alur cerita yang ditata dengan rapi pun bikin aku menikmati ceritanya. Dari mulai Ryusei yang jatuh cinta, selain bisa ngeliat gimana karakter dan kehidupan Ryusei, tentu sang tokoh utama Miwako juga digambarin dengan jelas di bagian satu ini. Sebenarnya aku sedikit kesulitan ngebayangin gaya penulisan yang mendayu-dayu ini dituturkan oleh pov kesatu laki-laki. Entah kenapa nuansanya lebih cocok pov perempuan, imo.

Di bagian kedua ada bagiannya Chie. Ada yang sedikit berbeda di bagian ini karena pov berganti jadi pov orang ketiga meskipun dari sudut pandang Chie. Alurnya juga jadi maju mundur, nyeritain gimana awal hubungan Chie dan Miwako.

Di bagian ini juga, daripada lebih mengenal sosok Miwako, aku justru lebih disuguhi karakter dan konflik batin Chie sendiri. Bisa dibilang, Miwako di sini hanya tempelan, karakter pendukung hidup Chie. Bagian ini nunjukin kalau Chie bener-bener kehilangan Miwako tapi dia berusaha untuk menerima kenyataan. Persahabatan Chie dan Miwako juga cukup seru dan hearwarming pas dibaca.

Di bagian ketiga ini adalah bagian yang paling seru. Awalnya aku mikir, Fumi nggak terlalu deket sama Miwako seperti Ryusei dan Chie, tapi kenapa dia dimasukin jadi salah satu narator? Dan yap, dari ketiga bagian, bagian Fumi adalah favoritku!!

Masih dengan pov ketiga sudut pandang Fumi, awalnya aku diajak untuk sedikit-sedikit flashback ke masal lalu Fumi sampe mikir, ini novel kok makin lama makin ngilang aja si Miwako? Kok jadi bahas Fumi? Tapi ternyata ya spekulasi hanyalah spekulasi, karena di akhir, benang merah pasti muncul haha.

Nggak bisa terlalu ceritain bagian Fumi karena akan major spoiler, darimulai identitas Fumi, plot-twist yang membagongkan, a lil bit thriller dan horor yang bikin aku –yang tadinya santai aja baca pas mau tidur lampu udah pada mati jadi merinding sendiri nengok kanan kiri haha.

Di bagian ini pula, rasa penasaranku soal sesempurna apa sih hidup Miwako sampai dijadiin judul akhirnya terbongkar. Dan kesimpulanku, sepertinya nggak ada satupun yang menganggap hidup Miwako itu sempurna kecuali dirinya sendiri AHAHAH.

“Mestinya aku tidak membohongi diri sendiri, atau orang lain.” Suawa Miwako memecah keheningan. “Mestinya aku tidak berpura-pura segalanya sempurna.” – hlm 352

Sepanjang cerita, aku nggak pernah mikir hidup Miwako sempurna, dan aku pun nggak menemukan Ryu, Chie, ataupun Fumi menganggap hidup Miwako sempurna. Cmiiw. Siapa tau kelewat.

Bagian milik Fumi bercerita tentang masa lalu Miwako. Yang menurutku udah banyak(?) ada di kehidupan nyata, mengerikan, sekaligus biasa, gitu deh, campur aduk, kayaknya diceritain secara biasa dan reaksi Fumi juga biasa makanya terasa agak flat tapi ngeri juga haha.

Yang bikin aku kurang puas dengan eksekusi cerita ini adalah, nggak begitu jelas alasan kenapa Miwako akhirnya bunuh diri. Oke, sebenernya cukup dijelasin, hanya saja bagi aku kurang ngena.

Selama ini kedua narator sebelumnya memang menceritakan Miwako di dalam hidup mereka, tapi bukan hidup, isi hati, dan isi pikiran Miwako sepenuhnya. Jadi buatku agak kurang ngena, karena cuma satu-dua paragraf aja nggak cukup, meskipun aku tau pasti berat juga jadi Miwako.

Overall, aku cukup menikmati cerita ini. Tulisannya bagus dan ceritanya menarik untuk dibaca. Sayangnya, aku jadi merasa buku ini kehilangan tujuan. Aku pikir akan lebih menemukan diri Miwako yang sesungguhnya dari novel ini. Makna yang sesungguhnya dipegang dari suicide case-nya Miwako. Tapi ternyata nggak.

Kesimpulannya? Aku juga nggak tau haha. Lebih ke cerita tentang cowok yang ditinggal pujaan hatinya, sahabat yang kehilangan sahabat terbaiknya, dan seseorang yang punya banyak rahasia akhirnya kebongkar rahasianya apa. Udah. Gitu aja.

Jadi, cuma bisa ngasih 3.5 buat The Perfect World of Miwako Sumida.

And anyway, tadinya mau baca Rainbirds juga, tapi ternyata pas baca ulang blurbnya, mirip-mirip sama TPWoMS ini, bedanya di Rainbirds tokoh yang jadi topiknya dibunuh, bukan bunuh diri. Jadi kayaknya aku nggak akan baca Rainbirds deh hehe, nuansanya sama (death case/mystery) jadi takut bosen.

Sekian.

Dont forget to tap follow button/submit your email below! See you in the next review and have a nice day!

 

 

 

Senin, 07 Maret 2022

“Tetap Hidup,” kata The Midnight Library karya Matt Haig (a review)

source: goodreads


 


Judul: The Midnight Library (Perpustakaan Tengah Malam)

Penulis: Matt Haig

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 368 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Gue clueless banget waktu mutusin untuk unduh novel ini di GD. Cuma karena gue nggak asing sama judulnya yang sering seliweran di base twitter. Fortunately, I ended up loving this book so much. So much.

Novel ini bercerita tentang Nora Seed, wanita berusia 35 tahun yang berpikir kalau dia udah gagal menjalani hidup. Semua pilihan dan keputusannya di masa lalu malah ngebawa dia ke malapetaka lainnya. Hingga ke titik terendahnya, Nora berencana untuk bunuh diri.

Yup, buku ini mungkin agak depressing bagi kalian yang punya sejuta positive vibes di dalam diri kalian. Tapi gue yakin sedikit banyak, kehidupan Nora ini bakal kerasa relate ke kehidupan kita sendiri. Jujur, baru beberapa bab awal aja gue udah dibuat nangis sama narasi Matt Haig yang ngena dan nusuk banget ke jantung.

Penulis dan penerjemahnya (ofc) bisa banget bikin hati gue yang lemah ini makin menderita aja pas baca narasinya haha. Gue jadi gabisa berenti untuk baca novel ini.

Lalu, setelah keputusan bunuh diri itulah, Nora tiba-tiba aja ada di sebuah perpustakaan bernama The Midnight Library. Di sana, ada jutaan buku yang merupakan hidupan Nora di dunia paralel, dunia di mana apa yang mungkin Nora jalani kalau dia nggak milih keputusan-keputusannya di dunia yang ini.

Katanya, perpustakaan itu adalah batas ambang kehidupan akar dan kematian. Sebelum benar-benar mati, Nora boleh milih kehidupan yang ingin dia jalani dan kalau dia mau, dia bisa hidup selamanya di kehidupan itu.

Sepanjang kisah gue dibawa bolak-balik ke kehidupan Nora dan perpustakaan. Semua hal yang dia sesali di kehidupan akarnya, satu persatu dia coba menjalani kehidupan yang berbeda. Beberapa kehidupan pertama yang Nora jalani, ternyata nggak sebagus yang dia kira, akhirnya dia tetep kecewa dan balik perpustakaan tengah malam.

Nyaris semua hal gue suka di novel ini, mulai dari ide cerita, gaya bahasa yang enak dibaca, kalimat-kalimat menohok, dan pelajaran yang bisa diambil.

Untuk tokohnya sendiri, Nora, bisa dibilang dia adalah orang yang pesimis banget saking putus asanya. Hidup dia nggak berjalan dengan lancar, semua orang ninggalin dia, sampai ke tahap pengen bunuh diri, tentu aja bagi yang nggak bisa relate dengan karakter Nora, pasti bakal ngelus dada sambil bilang ‘aduh kok segininya Nora’.

Kenapa gue mikir gitu? Soalnya latar belakang Nora nyaris sempurna. Dia berbakat, pintar, menarik, dan punya banyak peluang untuk bisa bangkit. Tapi nyatanya dia tetep depresi.

Kesampingkan karakter Nora yang mungkin bisa pengaruhin banget ke penilaian keseluruhan ceritanya deh. Mana kadang gue baca kehidupan yang didatangi Nora udah cukup bagus, eh dia malah tetep mutusin untuk kecewa dan akhirnya pulang ke perpus.

Di sini gue cuma mau nekenin soal apa yang bisa gue ambil dari novel ini. Untuk elemen-elemen yang lain, no comment, gue ngerasa semuanya udah sempurna. Secinta itu sama novel ini. Filsafat dan fantasi yang nyatu jadi elemen terindah yang pernah gue baca.

Satu hal yang bisa gue ambil dari novel ini adalah, no life can satisfy us. Nggak ada yang bisa muasin keinginan kita, nggak ada hidup sempurna yang kita inginkan, hidup pasti selalu punya celah untuk bikin sesuatunya terasa salah. Itu yang bikin Nora terus-terusan bolak-balik ke perpus, milih lagi buku, dan kecewa lagi pada akhirnya.

Di sini gue bisa ngerasain betapa dia sedih dan putus asa, itu yang bikin gue ikut terhanyut sama ceritanya. Dan ketika akhirnya Nora memilih buku yang tepat, kehidupan yang terasa tepat buat dirinya, gue ikutan ketar-ketir dan bahkan berdoa supaya Nora bisa tinggal di buku yang itu aja. Saking gue pengen banget Nora bahagia haha.

Oh ya tentu saja ending dari buku itu bikin gue jerat-jerit kayak orang gila. Berasa gue yang dikhianati. DAN SAYANGNYA gue gabisa ngulas bagian ini terlalu banyak karena nanti spoiler. Tapi sumpah deh, sumpah gue berasa nyatu banget sama ceritanya T_T

Overall, untuk kalian yang sekarang mungkin lagi butuh motivasi untuk ‘tetap hidup’ gue bener-bener nyaranin untuk baca The Midnight Library. Gue nggak tau gimana buku ini bisa ngubah hidup kalian yang merasa putus asa, karena toh kalian dan gue nggak akan pernah punya kesempatan untuk ngerasain ngejalanin hidup yang berbeda dari kehidupan kita yang sekarang.

Tapi gue yakin pasti ada sesuatu yang bisa diambil, bisa dipahami, bahkan tanpa perlu ada perpustakaan tengah malam versi kita. Gue juga nggak bisa bilang kalau kita bakal mulai ngehapus semua penyesalan di masa lalu karena belum tentu kalau penyesalan itu nggak ada, hidup kita bakal beda saat ini.

Apa yang bisa diambil dari buku ini jelas tergantung kepribadian dan sudut pandang diri kita sendiri. Buat gue pribadi, gue cuma berpikir untuk jalanin aja apa yang ada dan nggak perlu nyangkal segala penyesalan, gue juga jadi sadar kalau gue masih punya hal-hal yang ternyata pengen banget gue lakuin meskipun gue udah muak sama dunia ini. Just go, do it, i dont care if the world will drown me while i’m doing something i want. That’s it.

Despite all the mess the world gave to me or I created it myself, I realized that I still wanna do something. No matter how messed up my life is. Gue nggak mencoba untuk berpikir bahwa ‘dunia itu ternyata cukup baik, tinggal guenya aja yang bla bla’. Nggak. Tapi gue sadar ada hal yang berubah dari sudut pandang gue meskipun gue nggak terlalu yakin apa gue bisa nulisin itu di sini sejelas yang otak dan hati gue pahamin.

Gue kasih full stars alias 5 bintang buat The Midnight Library yang sukses bikin gue terombang-ambing di hidup orang lain. Highly recommended banget buat semua orang di dunia deh haha dan gue harap siapapun yang lagi struggling saat ini, bisa ambil sesuatu dari novel ini.

Soalnya, kita harus tetep hidup guys. Satu-satunya cara untuk belajar adalah tetap hidup. Kita nggak perlu ngerti soal kehidupan, kita cuma perlu hidup.

 

Cheers! See you on another review. Stay healthy and stay alive.

 

Quotes:

“Setiap langkah merupakan kesalahan, setiap keputusan menjadi bencana, setiap hari adalah satu langkah mundur dari sosok yang ia bayangkan bisa dicapainya.”

“Ia masuk ke Instagram dan melihat semua orang sudah berhasil menemukan cara untuk hidup, kecuali dirinya.”

“Dengan kesembronoan dan nasib sialku sendiri, dunia telah mundur dariku, jadi sekarang masuk akal kalau aku harus mundur dari dunia.”

“Ia sadar bahwa ia tidak berusaha mengakhiri hidupnya karena ia menderita, melainkan karena ia berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada jalan keluar dari penderitaannya.”

“Hidup dimulai dari sisi lain keputusasaan.” (Sartre).

 

Senin, 31 Agustus 2020

[RESENSI] Shadow and Bone Trilogy by Leigh Bardugo: August Fav-read!!

 

source: personal document @arthms12


Mungkin lebih daripada resensi, postingan ini aku khususkan buat bahas hal-hal mengenai series fantasy karya penulis favoritku ini aja ya. Pertama-tama mari kita kenalan dulu sama series pertama di Grishaverse, cikal bakal series-series luar biasa lainnya dari Leigh Bardugo.

Shadow and Bone adalah buku pertama dari series pertama Grishaverse dalam trilogi “Shadow and Bone”. Buku ini sempat diterbitkan di bawah naungan mizan group dulu, cuma mungkin karena nggak laku, lalu lisensinya kedaluwarsa(?) akhirnya bertahun-tahun kemudian series ini kembali dihadirkan lewat penerbit yang berbeda, yaitu POP & Ice Cube (bukan merek minuman, katanya).

Awalnya sebelum series ini diterbitkan, penerbit POP malah lebih dulu menerbitkan series Grishaverse kedua setelah S&B yaitu Six of Crows Duology yang memang lebih ‘populer’ saat itu dibandingkan kakaknya si S&B.

Anyway!! Aku bakal bikin resensi-semi-curcol tentang Six of Crows duology juga kok nanti setelah aku reread bukunya! Tungguin ya!

Back to topic:

Shadow and Bone terbit di Indonesia tahun 2019 dengan judul bahasa Indonesia-nya “Bayang dan Belulang”. Diterjemahkan oleh penerjemah favoritku, Reni Indardini (yang juga nerjemahin Percy Jackson Series, Heroes of Olympus Series, Six of Crows duology yang semuanya adalah buku favoritku haha), dieditori oleh Anida Nurrahmi, dan dengan jumlah halaman 380 hlm.

Shadow and Bone series adalah series pembuka untuk Grishaverse aka Grisha Universe (Dunia Grisha). Latar tempatnya adalah dunia fantasi, di negara bernama Ravka yang terinspirasi dari negara Rusia. Selain manusia biasa yang ada di sini, ada juga jenis manusia yang mempunyai kekuatan sakti. Mereka lah yang disebut dengan Grisha.

Grisha mempunyai 3 ordo utama yaitu Corporalki, Etherialki, dan Materialki.

1.      Corporalki (ordo denyut dan maut) dibagi lagi menjadi dua kemampuan yaitu: Pengoyak jantung dan Penyembuh.

2.      Etherialki (ordo pemanggil) dibagi menjadi tiga yaitu: pemanggil air, api, dan angin.

3.      Materialki (ordo fabrikator) dibagi menjadi dua yaitu: durast (besi kaca dkk) dan alkemi (ramuan).

Di dunia ini, anak-anak yang terlahir sebagai Grisha dikucilkan, dianggap penyihir, dijauhi, segala macem lah. Hanya Ravka yang mau menerima para Grisha. Di Ravka, para Grisha bisa hidup nyaman meskipun yah, kadang rasis juga. Bukan cuma itu, bahkan Ravka menciptakan serdadu tentara yang dianggotai oleh para Grisha yang disebut Tentara Kedua. Tentara Pertamanya manusia biasa ya guys.

Shadow and Bone sendiri bercerita tentang Alina Starkov yang merupakan salah satu Grisha yang langka pada masanya. Dia adalah seorang Pemanggil Matahari. Pemimpin Tentara Kedua, The Darkling –terjemahannya sang Kelam, tapi aku lebih suka The Darkling, yang mengetahui Alina merupakan seorang pemanggil Matahari lalu merekrutnya ke dalam Tentara Kedua.

Di Ravka saat itu ada semacam selubung bayangan yang memecah antara Ravka barat dan timur, dan tempat itu berisikan makhluk kejam seram pemakan manusia yang disebut volcra. Hanya Alina dan kemampuannya yang bisa membuat siapa pun selamat menyebrangi selubung. Sejak saat itu, The Darkling sangat terobsesi kepada Alina.

Untuk menghindari spoiler besar-besaran, mari kita lanjut ke buku kedua trilogi “Shadow and Bone” ini yang berjudul Siege and Storm (Takhta dan Prahara). Buku ini lebih tebal dari buku sebelumnya yaitu 450an halaman.

Di buku ini, kita bakal dipisahkan dari si villain kharismatik, The Darkling. Tapi jangan khawatir, soalnya di buku ini Alina dan Mal (dua heroes kita di series ini) bakal ketemu sama pangeran Ravka bernama Nikolai Lantsov. Berani taruhan kalian bakal langsung suka sama karakter Nikolai. Kalau nggak jadi pengen peluk gemes ya pasti pengen mukul HAHA.

Siege and Storm nggak sama kayak buku pertama yang lumayan bikin tegang sama plot dan konfliknya, menurutku di sini..cukup hambar. Nggak ada kejadian menarik (kalau Nikolai dianggap menarik ya berarti ada satu). Padahal aku suka banget sama kovernya yang cantik, paling cantik di antara ketiga buku, tapi isinya ada di urutan terakhir buatku.

Siege and Storm lebih menunjukan sisi characters development dari Alina dan Mal, hubungan mereka, strategi perang, dan segala macem persiapan menuju pertempuran di buku tiga. Bisa di bilang, buku kedua ini jembatan doang. Anyway, Mal adalah sahabat Alina sejak kecil, dia merupakan (mantan) anggota Tentara Pertama yang bekerja sebagai Pelacak.

Di buku ini, aku menemukan banyak review tentang betapa Mal nyebelin banget, yang menurutku nggak juga kok, emang sih Alina kesusahan sama situasi ini dan Mal terkesan egois kekanak-kanakan, tapi aku ngerti gimana perasaannya dan pada akhirnya, Mal juga berkembang. Salah satu character development yang aku sukai adalah karakternya Mal, kedua baru Alina.

Lanjut ke buku terakhir dari series ini yaitu Ruin and Rising (Runtuh dan Tumbuh). Di sini, segala yang seru-seru muncul. Setelah agak kecewa sama plot Siege Storm yang biasa aja, aku menemukan obat penawarnya di buku ketiga ini. Bukan cuma eksekusi akhir yang tegang, dari awal sampe akhir buku ini punya banyak hal yang menarik.

Dari mulai karakter-karakter yang tadinya cuma kenalan di buku dua, sekarang mereka jadi tim yang solid meskipun saling waspada satu sama lain, pertarungan, PLOT TWIST, dan tentu saja masih ada Nikolai dan bacotannya: kalian harus baca bagian Baghra (ibu The Darkling) yang galak kalau lagi ketemu Nikolai, ini bagian favorit banget, berharap ada banyak scene kayak gini huhu.

Eksekusi yang memuaskan jelas ada di Ruin and Rising. Aku suka gimana plotnya diatur sedemikian rupa, dialog-dialognya yang bikin betah, plot twist kurang ajar tapi aku suka. Pokoknya buku terakhir ini memenuhi ekspektasiku. Meskipun kadang aku merasa narasinya kurang nendang, kejadian-kejadian seru justru berasa dipotong pendek: meskipun berkesan tapi tetap kayak nggak penuh, kopong. Tapi tetap aku suka banget sama endingnya yang bahkan nggak aku sangka, padahal aku udah baca Six of Crows duluan yang latar waktunya setelah S&B berakhir, aku tetep aja nggak nyangka haha.

Kalau kalian menyelami lebih dalam ke setiap detail ceritanya, konflik di Shadow and Bone ini cukup kompleks dari mulai karakter-karakter yang luar biasa dan tentunya politik, apalagi dibalut dengan fantasi yang mungkin bakal bikin kalian butuh tenaga ekstra buat bayanginnya haha. Tapi tenang, ada banyak fanart di luar sana, hati-hati aja jangan sampe kena spoiler.

Karakter favoritku tentu saja Nikolai Lantsov, lalu Mal-Alina satu paket, yang ketiga sekaligus nomor satu (dari sisi villain) adalah: The Darkling, disusul oleh Genya Safin, dan sampai saat ini aku belum terlalu suka sama Zoya meskipun karakternya badass tapi menurutku lebih ke nyebelin haha.

Sebelum tulisan ini makin panjang, lebih baik kita akhiri saja, dan sebelumnya aku mau bilang kalau memang masih terasa ada kekurangan personal, menurutku sendiri, dari keseluruhan trilogi Shadow and Bone. Dibandingkan Six of Crows yang aku cinta setengah mati, series pendahulu ini agak kurang buatku, nggak seseru dan nggak sekuat kesan yang ditinggalkan Six of Crows. Tapi, series ini tetap worth to read kok! Jangan ragu buat mulai terjun ke Grishaverse! ;)

---

Buat kalian yang mau kenalan sama karya penulis favorit keduaku, Leigh Bardugo, dan mau ikutan jadi penduduk di Grishaverse kalian bisa baca sesuai urutannya, kayak gini ya:

1.      Shadow and Bone Trilogy: Shadow and Bone, Siege and Storm, Ruin and Rising

2.      Six of Crows Duology: Six of Crows, Crooked Kingdom.

3.      Nikolai’s Duology: King of Scars, Rule of Wolves.

Catatan: kalian bisa baca Six of Crows tanpa baca Shadow and Bone trilogy (kata Leigh sendiri), tapi kayaknya lebih asik baca Nikolai di Shadow and Bone dulu kalau kalian mau lanjut ke Nikolai’s Duology. Series pertama dan ketiga latarnya di Ravka, dan kayaknya masih sama-sama tentang kekuasaan soalnya aku belom baca KoS. Sedangkan Six of Crows berlatar di negara yang terpisah sendiri bernama Kerch, karakter yang berbeda, dan konflik yang juga berbeda meski masih sama-sama bertema Grisha.

Catatan lagi: Nikolai’s Duology belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sampai konten ini terbitkan di blogku.

 

 

 

 

Sabtu, 11 Juli 2020

[RESENSI] My Heart and Other Black Holes by Jasmine Warga


sumber: google
                                                   

Judul: My Heart and Other Black Holes (Hati yang Hampa)

Penulis: Jasmine Warga

Alih bahasa: Rosemary Kesauly

Editor: Mery Riansyah

Desain sampul: Rovliene Kalunsinge

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)

ISBN: 978-602-03-8271-5

Jumlah halaman: 326 hlm

Baca via: iPusnas


Blurb ala-ala: Aysel, remaja berusia 16 tahun yang menyukai fisika dan terobsesi untuk bunuh diri. Tapi dia tidak berani untuk bunuh diri sendirian, melalui situs Suicide Partners, dia menemukan kawan bunuh diri, seorang pebasket bernama Roman. Ketika kesepakatan bunuh diri mereka makin konkret, Aysel mulai mempertanyakan apakah ia benar-benar ingin melakukannya. Ia harus memilih antara ingin mati atau berusaha meyakinkan Roman untuk tetap bertahan hidup. Hanya saja, Roman tidak akan mudah diyakinkan.

----

Sebenernya, blurb aslinya agaknya udah menggambarkan keseluruhan alur, tapi agak mislead sedikit dari cerita aslinya. Tapi kita bahas itu nanti.

Alasan aku pengen baca ini? Aku suka tema suicide dan depresi haha. Apalagi kalimat awal blurb tuh beuhh, menantang sekali buat dibaca. Dari kombinasi judul dan kover pun novel ini udah menarik banget.

Awal-awal aku baca ini sempet aku dnf dulu sebentar, alasannya, aku langsung disuguhi banyak deskripsi dan detail, jadi aku agak males bacanya. Tapi ternyata aku masih tetap tertarik nyelesain novel ini sampe akhir. Yang tadinya aku pikir gaya bahasa di sini cukup berat, tapi ternyata nggak alias ringan banget.

Aku makin semangat baca dan enjoy banget buku ini waktu Aysel udah ketemu Roman, dari situ, kerasa banget kalau novel ini adalah novel remaja biasa. Ringan, asik (bagiku asik ya, mungkin bagi sebagian dari kalian ini cukup gloomy HAHA), yang jelas ini kayak kisah cinta remaja biasa kok, yang bikin beda mereka mau bunuh diri tanggal 7 April haha.

Pembahasan tentang depresi di sini juga menurutku nggak terlalu mendalam. Novel ini menggunakan pov 1 Aysel, di mana dia selalu ‘pasrah’ sama hal-hal yang terjadi di hidupnya, toh dia bakal mati juga bentar lagi. Butuh sampai nyaris bab-bab terakhir untuk tahu kenapa Aysel ingin bunuh diri. (dan yang akhirnya tidak berhasil memuaskanku, karena alasannya kurang kuat, tapi dia bener-bener menunjukan pikiran-pikiran dan sikap orang depresi asli, i liked it tho).

Yang sedikit mislead antara isi dan blurbnya adalah, dikatakan kalau ibunya malu atas sang anak, bab awal yang isinya ngenalin tokoh-tokoh keluarga Aysel pun begitu, kesannya ibu dan Georgia, adik tirinya tidak mengharapkan Aysel, padahal di bab-bab selanjutnya mereka berdua berusaha untuk dekat dengan Aysel. Aku gak tau ini mislead atau karena ini pov Aysel dan dia memang menganggap semua orang membencinya.

Lalu tentang Roman, alasan dia depresi dan ingin bunuh diri lebih masuk akal daripada Aysel. Ibu Roman yang mengkhawatirkan anaknya pun kerasa emosinya dibanding kisah Aysel sendiri.

Konflik keseluruhan novel ini pun ringan, hanya membahas hal-hal yang mereka berdua lakukan bersama sebelum 7 April, dan jujur aku suka banget, terutama karena aku membayangkan mereka akan mati bersama di akhir cerita, kan? Bener-bener bikin aku semangat, haha.

Overall, cerita ini memang membuatku agak ke-triggered. Aku bisa merasakan apa yang Aysel rasakan. Setelah aku selesai baca ini, aku suka banget, sepuluh menit kemudian, aku nangis haha. Kenapa? Soalnya aku kepikiran juga, nggak semua orang ‘seberuntung’ Aysel bisa ketemu kawan bunuh diri kayak ‘Roman’, sebagian orang sendirian sampe akhir kan? Kepo nggak? Baca sendiri aja yaa haha.

Recommended buat kalian yang suka isu mental illness, kisah cinta remaja, atau sekalipun kalian yang lagi nyari alasan untuk tetap hidup.. dan untuk menemukan harapan? Aku kasih 3.7ó

“Aku tidak sabar menantikan saat aku tidak ada lagi dalam hidup mereka.” – hlm 27

“Saat aku menyenandungkan requiem Mozart, aku bertanya-tanya seperti apa rasanya saat semua cahaya padam dan segala sesuatu hening selamanya. Aku tidak tahu apakah mati akan terasa menyakitkan dan apakah aku akan takut pada saat-saat terakhir. Aku hanya bisa berharap semua akan berlalu dengan cepat. Dan damai. Dan tetap begitu selamanya.” – hlm 34

“Aku tidak bisa menjamin hal itu tidak akan terjadi, apalagi karena aku yakin ada yang salah denganku. Ada yang rusak. Orang-orang tidak pernah paham bahwa depresi tidak berhubungan dengan hal-hal di luar diri seseorang; tapi dengan hal-hal yang ada di dalam. Ada yang salah dalam diriku.” – hlm 50.

“Kalaupun aku punya pacar, namanya Maut.” – hlm 115

“Mungkin setiap orang hanya butuh dilihat dan diperhatikan orang lain.” – hlm 253

“...aku jadi teringat saat aku masih kecil, saat perasaan berat dan hampa dalam diriku belum menguasai seluruh hidupku dan terasa tidak tertahankan. Mungkin seperti itulah cara kegelapan menguasai kita, dengan meyakinkan kita untuk menyimpannya di dalam dan bukan mengeluarkannya. Aku tidak ingin kegelapan itu menang.” – hlm  285







Series Horror-Fantasy yang Wajib Dibaca: “Lockwood & Co.”- June Fav-read.



source: google
                                    

Siapa pecinta horor? Apalagi yang latarnya fantasi?? Kombinasi hebat memang cuma ada di series Lockwood & Co.!!

Ok guys, ini bukan resensi, soalnya pasti capek kalau aku harus nulis lima resensi sekaligus, jadi aku jadiin satu aja di sini; intinya, series Lockwood & Co., adalah series favorit aku di bulan Juni kemarin. Percaya nggak, saking ketagihan keseruan berburu hantu, aku sampe marathon series ini, tiga buku terakhir aku selesain 6 hari aja dan rata-rata tebelnya hampir 500.

Nah sekarang kenalan dulu ya, Lockwood & Co., ditulis oleh Jonathan Stroud. Buku pertamanya diterbitkan tahun 2013, setahun kemudian, Gramedia Pustaka Utama membeli hak cipta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Lockwood & Co., buku 1: Undakan Menjerit versi Indonesia terbit pada tahun 2014. Diterjemahkan oleh Poppy D. Chusfani, dieditori oleh Barokah Ruziati dan sampulnya didesain oleh Martin Dima. Buku selanjutnya? Aku nggak catat, tapi sepertinya masih pake penerjemah yang sama^^

Lockwood & Co., terdiri atas 5 buku dan satu cerpen. Buat kalian yang kepo, perhatikan dan catat kalau perlu urutannya ya haha

1.      Lockwood & Co. – The Screaming Staircase (Undakan Menjerit)

1.5.Lockwood & Co. – The Dagger in The Desk (Short-story, tidak diterjemahkan, bisa baca gratis di kindle)

2.      Lockwood & Co. – The Whispering Skull (Tengkorak Berbisik)

3.      Lockwood & Co. – The Hollow Boy (Pemuda Berongga)

4.      Lockwood & Co. – The Creeping Shadow (Bayangan Mengendap)

5.      Lockwood & Co. – The Empty Grave (Makam Tanpa Penghuni)

Next, lanjut ke ceritanya. Suatu hari, Inggris kedatangan Masalah, terjadi wabah hantu berkeliaran di seluruh Inggris. Waktu itu, hanya ada dua orang yang mampu mengatasi Masalah, mereka adalah Marissa Fittes dan Tom Rotwell. Dan di masa kini, terbentuklah agensi-agensi yang biasa menangangi kasus supranatural. Tentunya diprakarsai dua agensi besar; agensi Fittes dan Rotwell.

Bagian uniknya, agensi-agensi yang menangani hantu ini adalah anak kecil, mulai dari usia 8 (cmiiw) sampe akhir usia 19. Inilah yang membuat aku terkesan dengan ceritanya, bisa dibilang novel ini bisa juga termasuk middle-grade karena memakai tokoh anak/remaja yang ikut andil dalam melakukan suatu kejadian yang butuh tanggungjawab.

Di buku ini diceritakan kalau hanya anak-anak dan remajalah yang mempunyai kemampuan khusus untuk mendeteksi keberadaan hantu. Ada beberapa kemampuan khusus yang dimiliki mereka, yaitu: daya dengar, daya sentuh, dan daya lihat. Ketika mereka dewasa, kemampuan tersebut melemah bahkan hilang sama sekali. Dan, tidak semua anak punya bakat khusus ini.

Semua buku ini memiliki pov atau sudut pandang orang pertama yaitu, Lucy Carlyle. Sejak kecil, Lucy mempunyai daya dengar yang bagus. Hingga suatu saat dia merantau dari desa kecilnya ke London dan melamar pekerjaan ke Lockwood & Co., yang saat itu baru memiliki dua anggota, Anthony Lockwood dan George Cubbins. Segera saja Lucy menjadi anggota ketiga mereka,


source: google


Daya dengar Lucy, daya lihat Lockwood, dan daya riset yang nggak termasuk ke dalam bakat George membuat tim mereka menjadi tim yang hebat. Satu persatu kasus diselesaikan dengan baik, mereka menjadi terkenal, tapi kasus-kasus besar yang mengerikan pun tak luput ambil bagian dari petualangan mereka.

Jangan matikan lampu saat membacanya... Stroud memang genius,” kata Uncle Rick Riordan yang merupakan penulis favoritku di buku pertama Lockwood & Co.

DAN memang bener, kalian jangan pernaaaah baca series ini malam-malam, saranku. Karena meskipun hanya tulisan, novel ini jelas bisa bikin aku parno dan kebayang yang aneh-aneh seharian. Tapi kalau kalian suka tantangan, kalian bisa ngikutin jejakku baca buku ini malem-malem, merindingnya lebih kerasa.

Petualangan mereka dalam menyelesaikan kasus sebenarnya cukup menarik, aku suka meski nggak terlalu menggilai. Petualangannya jelas seru, tegang, dan bikin merinding. Yang membuatku nggak terlalu dive-into ke series ini seperti aku menggilai karya RR dan LB, karena aku kurang suka detail deskripsinya, menurutku gak cukup baca sekali, tapi aku terlalu malas buat baca ulang haha. Kadang aku ngantuk kalau Lucy lagi bermonolog ahahahsksksk.

Yang paling penting dan tidak boleh terlewat adalah karakter-karakternya. Lucy Carlyle adalah cewek berani, baik hati, tangguh dan kadang slengekan. Anthony Lockwood jenis cowok cool, berani sekaligus gegabah, dan pemimpin yang super karismatik. George Cubbins, sebagaimana roda ketiga lainnya di seluruh cerita adalah tipe yang kocak dan kikuk, tapi dia kutubuku jenius.

Dan yang paling penting nomor wahid adalah kehadiran Skull si hantu dalam toples, bener-bener jadi satu-satunya alasan kuat kenapa aku rela marathon series ini. Skull adalah tokoh favoritku, kalau dia bisa dibilang tokoh. Karakternya yang sinis dan nyablak bikin aku betaaaah banget baca cerita ini dan bodo amat sama deskripsinya yang entah kenapa selalu bikin aku ter-distract.

Setiap baca novel ini, aku selalu nunggu bagian Skull bicara. Aku selalu seger tiap baca bagian dia. Sekejap ngantuk ilang pokoknya XD setiap Skull bicara, yang keluar cuma sarkas dan ngatain orang HAHA.

Nah, daripada jadi curhat Skull-lovers, mending aku udahan sampai di sini aja, takutnya juga malah jadi kepanjangan dan spoiler. Yang jelas, series ini highly recommended!! Aku gak suka-suka banget novel horor, tapi aku suka fantasi. Dan series ini bener-bener memenuhi ekspektasiku. Tapi jujur aku....ada satu hal yang membuatku kecewa berat dan berakhir hangover seminggu, tapi aku gak bisa jelasin haha pokoknya kalian baca aja dan dijamin nggak akan nyesel deh ;))))

Tambahan, series ini bisa kalian baca gratis di iPusnas loh, tapi...buku kedua yang Whispering Skull nggak ada. Bahkan di Gramedia Digital yang berbayar pun nggak ada. Jadi, usahakan kalian nyari dulu buku keduanya ya, minjem perpus atau pinjem temen asal jangan nyolong aja. Habis itu kalian bisa nikmatin Lockwood & Co., gratis di iPusnas^^ lebih bagus lagi kalau kalian mulai koleksi aja fisiknya, rencananya aku pun mau koleksi fisiknya karena kadang-kadang aku kangen Skull :(

Well, bagi kalian yang tertarik dan berencana mau marathon Lockwood & Co., kayak aku....HAPPY READING and byeeee!!



Senin, 06 Juli 2020

[RESENSI] Not If I Save You First by Ally Carter

source: google



Judul: Not If I Save You First (Menyelamatkanmu Lebih Dulu)

Penulis: Ally Carter

Penerjemah: Alexandra Karina

Editor: Bayu Anangga

Ilustrasi sampul: Zuchal Rosyidin

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

ISBN: 9786020631417 (digital)

Jumlah halaman: 336 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb ala-ala: Maddie (anak agen rahasia) dan Logan (anak Presiden AS) bersahabat sejak kecil, sampai suatu insiden terjadi di gedung putih dan setelah itu Maddie dan ayahnya pindah ke hutan terpencil di Alaska. Maddie selalu mengirim surat kepada Logan sebagai cara untuk keep contact, tapi Logan tidak sekalipun membalas suratnya sampai ia pun berhenti menulisnya.

Enam tahun kemudian, Logan datang ke tempatnya berada di Alaska. Maddie sangat ingin membunuhnya, tapi ada hal yang lain terjadi. Seorang pengusik datang menculik mereka. Di tengah cuaca yang berubah dan keadaan bisa lebih berbahaya serta hewan liar yang bisa membunuh, Maddie sadar ia harus menyelamatkan Logan lebih dulu.

----

This is my first time reading Ally Carter’s book! Pernah waktu itu kepo berat sama Gallagher series tapi entah kenapa ada sesuatu yang membuatku malas bacanya, padahal temanya tentang akademi mata-mata. Konflik menantang dari dulu selalu jadi poin utama buatku. Tapi ternyata jodohnya sama Not If I Save You First duluan ahaha.

Jujur, bahkan baca ini pun karena tergoda sama kovernya yang girly tapi ada kesan elegan dan ‘berontak’ juga, bener-bener menggambarkan sosok Maddie. And i loooove this cover so much. I gave one stars for this gorgeous cover!!

Dari bab awal, aku langsung disuguhkan adegan baku tembak di gedung putih wkwk aku kira bakal intro panjang, tapi ternyata langsung masuk konflik! Ini juga termasuk poin lebih yang aku sukai dari novel ini.

Terus, terjemahannya enak banget sumpah, dinikmatin banget baca novel ini. Narasi dan dialog seimbang. Poin plus lagi. kecuali bagian akhirnya, aku ngerasa kayak....dipanjangin gitu, kok kayak makin lama aja beresnya wkw.

Banyak banget hal yang aku suka dari novel ini selain kovernya, terutama karakter kedua tokoh utamanya. Maddie yang tomboy dan Logan yang bandel dan juga prince charming gitu auranya. Perpaduan dua karakter utama yang cocok menurutku.

Konfliknya, petualangan bersama penculik, jujur ini juga sebenernya bagus. Banyak hal menarik selama penggambaran isi novel ini. Dengan latar hutan Alaska, beruang liar di mana-mana, seni bertahan hidup di sini adalah daya tarik terutama di dalam characters development-nya.

Tapi, ada alasan-alasan lain juga yang membuat aku kurang srek dengan ceritanya meskipun secara garis besar, novel ini tipeku banget harusnya!! Yaitu aku kurang srek sama title anak presiden ini, mon maap...halu. Aku lebih suka kalau memang harus anak presiden, mending bikin dunia sendiri, gitu.

Karena dari awal aja aku sudah merasa ini bener-bener karangan, alhasil sampe akhir pun aku gabisa ngefeel banget sama ceritanya karena ini terlalu jelas, kayak..fiksinya kerasa banget haha. Cuma itu dong, cuma itu doangggg yang bikin aku didn’t dive into the story HAHA so sad.

Overall, kesan pertama itu penting banget buatku. Jadi yah, ceritanya memang menarik. Recommended buat yang suka kisah teenlit tentang agen rahasia, penculikan, senjata-senjata, seni bertahan hidup ala Maddie di hutan Alaska, yaa siapa tau aja suatu saat berguna haha. Tapi aku cuma bisa kasih 3.5 bintang aja. But this story was really really good, indeed!

“Tapi aku tahu dari pengalaman pribadi bahwa saat satu-satunya temanmu pergi, kadang hal terbaik yang bisa kaulakukan adalah mencoba meyakinkan dirimu bahwa dia tidak pernah ada.” – hlm 225

 


[RESENSI] Thunderhead by Neal Shusterman

source: google



Judul: Thunderhead (Arc of Scythe #2)

Penulis: Neal Shusterman

Alih Bahasa: Primadona Angela

Editor: Reita Ariyanti

Desain sampul: Robby Garsia

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

ISBN: 9786020637426 (Digital)

Jumlah Halaman: 544 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Scythe mengendalikan kematian, Thunderhead mengendalikan semua hal lain. Sistem yang sempurna. Sampai kesempurnaannya musnah. Satu tahun berlalu sejak Rowan keluar dari sistem. Diburu Scythedom, dia menjadi legenda urban, pemburu Scythe korup.

Sebagai Scythe Anastasia, Citra memungut dengan belas kasih dan terang-terangan menantang “orde baru”. Namun, ketika nyawanya terancam dan metodenya dipertanyakan, jelaslah kelihatan bahwa tidak semua orang mau menerima perubahan.

Thunderhead mengamati segalanya, dan dia tidak menyukai apa yang dilihatnya. Akankah Thunderhead ikut campur? Atau akankah dia hanya mengamati sementara dunia sempurna mulai buyar?

----

Well, aku nggak akan panjang-panjang kali ini karena selain tidak terlalu banyak yang menarik, aku takut banget ngga sengaja kasih spoiler. Bahkan aku nggak jadi nulis blurb sendiri, jadi ngikutin blurb yang ada di bukunya langsung. Dan yap, agak spoiler dikit sih: Rowan jadi Scythe ilegal di sini, sesuai apa kata blurb haha.

Seperti yang sudah kita tau semua kalau novel ini bercerita tentang dunia utopia di mana segalanya sempurna. Tidak ada kematian karena manusia bisa dibangkitkan, tapi demi menjaga jumlah manusia, terbentuklah Scythe, para manusia berjubah dan cincin yang mempunyai kewajiban untuk membunuh orang. Orang yang dibunuh Scythe nggak bisa hidup lagi.

Nah, di buku ini, sesuai judulnya yaitu Thunderhead, menurut yang aku tangkap, ia adalah semacam AI atau Artificial Intelligence aka Kecerdasan Buatan. Thunderhead ada di mana? Di atas awan? Atau di mana? Aku juga gatau haha otakku gak nyampe. Yang jelas, Thunderhead mengatur segala yang ada di dunia ini.

Konflik baru setelah Rowan dan Citra terpisah, dibagi lagi menjadi beberapa bagian di novel ini. Bukan cuma dua pov seperti novel pertama, di Thunderhead ini cukup banyak pov baru dengan tokoh baru juga. Di sini, kalian bakal nemuin Rowan, Citra, Greyson, dan (sedikit) Munira.

Seperti yang ditulis di blurb asli novel ini, Rowan sekarang menjadi Scythe Ilegal yang membunuhi Scythe korup. Dia menjadi buronan Scythedom. Konflik Rowan inilah yang akan menjadi konflik utama dari puncak klimaks novel Thunderhead ini.

Sementara itu, Citra punya metode tersendiri untuk memungut. Dia dan Scythe Curie masih bersama-sama sebagai partner. Tapi, entah ada angin dari mana, ternyata ada yang menginginkan mereka berdua mati.

Karena konflik Citra tersebut, muncul Greyson. Greyson adalah pemuda yang seharusnya bekerja menjadi bawahan Thunderhead. Hampir sebagian besar awal sampe tengah cerita dibawa oleh Greyson. World building series ini menjadi luas lagi, banyak penjelasan dan terutama tentang kelompok pembangkang bernama Unsavory.

Di sisi lain, ada Munira dan Scythe Faraday yang mengobrak-abrik perpustakaan untuk menemukan titik buta Thunderhead, sebuah daerah yang tidak tersentuh Thunderhead sama sekali. Tujuannya? Bahkan sampai akhir pun aku masih belum ngeuh. Haha.

Jujur, novel ini jauh lebih membosankan daripada Scythe. Tapi banyak yang bilang novel ini lebih gila daripada Scythe. DAN BENER DONG WKWKSKKSKSKS. Sepanjang nyaris 300an halaman, aku lelet banget bacanya, bosen, ngantuk, dan ... bingung. Ketika ada penjelasan yang aku gak paham, saking bosennya, aku gak ada niat sama sekali untuk baca ulang. Yang penting poinnya dapet ehe.

Apalagi novel ini didominasi oleh Greyson dan Citra, yang mana, konflik mereka menurutku didn’t make sense...kalau pun diskip masih bisa, tapi sepertinya bakal dilanjutin di buku selanjutnya, tapi bisa ajaaaa kan kalau diperpendek gitu? Paling gemes sih sama cerita yang gak penting tapi dipenting-pentingin. Malah konflik Rowan yang beneran gereget bahkan sampai ada plot-twist, kayak kebagian porsi yang sedikit gitu.

Gaya bahasanya masih enak, sumpah aku bingung bukan gegara gaya bahasa kok, tapi murni gegara kebosanan. Terjemahannya sih mantap. Narasinya panjang, tentu saja ya, darimana lagi alasan aku bosan kalau bukan narasi panjang?

Ketika sampe di plot-twist yang anjay banget pokoknya lah!! aku mulai agak melek semenit, tapi semenit kemudian aku kembali ngantuk. Dan baru di akhir-akhir cerita, antiklimaks novel ini beneran sumpah ga boong LEBIH GILA daripada Scythe dan aku......syok T_T

Overall, aku nggak nyesel kok baca series ini meskipun terkantuk-kantuk gitu, endingnya sangat worth it haha. Yang tadinya aku mikir mungkin aku gak kayak orang lain yang nganggep novel ini seru, aku bakal kasih bintang tiga aja dan aku kemungkinan besar nggak bakal lanjut The Toll ..... lalu semua ludah itu aku jilat kembali karena aku kasih 4 bintang buat Thunderhead dan PASTI bakal lanjut baca The Toll!1!1!

p.s sebenernya aku agak gimana gitu..kok bisa konflik yang membosankan di awal dan terkesan nggak penting banget tapi dieksekusi sebejat ini? Kayak kaget, bertanya-tanya, tapi terimain ajalah soalnya seru HAHA.

p.s.s setiap awal bab dari novel ini kalian bakal nemuin catatan dari Thunderhead langsung^^

“Sederhananya, manusia punya kebutuhan bersikap buruk. Tidak semua, tentunya –tapi aku memperhitungkan tiga persen dari populasi hanya bisa menemukan makna dalam hidup melalui pembangkangan. Bahkan ketika ketidakadilan tidak tersisa untuk ditentang, mereka punya kebutuhan dari dalam untuk menentang sesuatu. Apa pun.” – hlm 112

“Kehidupan yang dia pikir akan dia jalani sudah sirna, jadi apa gunanya garansi untuk memperpanjangnya?” – hlm 127

“Tidak menginginkan jabatan tertentu adalah langkah pertama menuju kelayakan untuk mendapatkannya.” – hlm 456

“Kalau mereka harus mati sekarang agar bisa hidup lagi nanti, rasanya entah bagaimana akan salah kalau mereka tidak melakukannya bersama-sama.” – hlm 536


Kamis, 25 Juni 2020

[RESENSI] Paper Princess (Putri yang Hilang) by Erin Watt

source: goodreads



Judul: Paper Princess – Putri yang Hilang (The Royals #1)

Penulis: Erin Watt

Alih bahasa: Dewi Savitri

Editor: Nadya Andwiani

Desain Sampul: Marcel A. W.

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

ISBN: 978-6020-3810-91

Jumlah halaman: 384 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Ella Harper mungkin tak seperti remaja kebanyakan. Setelah sendirian berpindah-pindah tempat tinggal dan sekolah sampai menjadi penari telanjang demi mencari nafkah, ia mendapati dirinya dalam perwalian Callum Royal. Dan bukan sekadar wali, melainkan miliarder yang mengaku sahabat mendiang ayah yang tak pernah dikenalnya. Mulai dari rumah hingga sekolah, dimulailah hidup baru Ella di tengah kemewahan. Sayangnya, hidup baru Ella tak semulus dugaannya. Anak-anak elite yang dikomandoi Royal bersaudara tidak sudi menerimanya begitu saja. Peduli setan. Yang jelas, Ella akan bertahan.

---

Another fairytale – welcome! Jujur, sebelum baca ini, aku memang pengen kisah klasik kayak gini dan novel ini sungguh masuk sesuai ekspektasiku. Cewek miskin yang tiba-tiba jadi ‘anak’ orang kaya trus dikelilingin anak-anak cowok dari si tuan rumah? Hmm..klise tapi tetap menarik dan menantang.

Setelah baca bab-bab awal, novel ini langsung masuk ke inti ceritanya dan gak bertele-tele, di bagian ini aku cukup suka. Ella akhirnya masuk ke rumah Royal, itupun karena diiming-imingi sejumlah uang yang besar setiap bulannya. Di sana, dia bertemu 5 Royal bersaudara; Gideon, Reed, Easton, dan si kembar Sawyer-Sebastian.

Dimulailah petualangan(?) Ella dikelilingi para cowok-cowok hawt. Pertama, gaya bahasanya enak, ngalir tapi nggak bikin enjoy. Kenapa? Mungkin karena konfliknya cukup biasa, kehidupan sehari-hari remaja Amerika kali ya hm hm..

Konfliknya, cukup sederhana, hanya tentang bagaimana proses Ella Harper diterima oleh semua Royal dan akhirnya terjebak romansa ke salah satu Royal..yah, bisa ditebak kan? Puncak konfliknya ada di bagian agak ke belakang, lumayan seru tapi tidak terlalu excited sih pas baca. Plot novel ini secara keseluruhan menyenangkan dan annoying sekaligus karena banyak bahasa yang vulgar gitu. Dan setelah aku cari tau, kalau nggak salah series ini ada 7 atau 8 gitu, jadi kurasa wajar aja novel pertamanya cuma kayak...pemanasan. haha.

Dari banyak karakter yang ada, aku sebenernya gak punya favorit, tapi aku suka Ella Harper yang badass dan mandiri, dia tipe cewek seterong yang bisa ngehandle segalanya. Kadang aku sirik, kok bisa dia nggak stres hahaha. Lalu ada Royals bersaudara, favoritku Easton si anak ketiga. Gideon jarang muncul soalnya dah kuliah, Reed resek pake banget, Sebastian-Sawyer sama brengseknya kayak kakak-kakaknya tapi mereka lebih ‘mind-your-own-business’ type of people, gemes sih haha.

Overall, seperti kataku tadi, novel ini kayaknya baru pemanasan doang, soalnya memang endingnya kurang ajar banget hahahaaskskskks. Bakal lanjut baca kalau dilanjut gramedia? Oh tentu saja. Ceritanya simpel tapi cukup menarik kok. Gak bikin mikir apa gimana. Recommended buat kalian yang berumur 18+ yang suka kisah romance-intrik-sekolahan-bla-bla. Ratingku 3.8ó

“Hidupku adalah milikku. Aku yang menjalaninya. Aku yang mengendalikannya.” – hlm 16

“Apa ada yang mengajarimu cara menjadi orang brengsek atau itu muncul secara alami?” – hlm 111

“Rasa malu dan prinsip itu untuk orang-orang yang tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal kecil, seperti berapa banyak makanan yang bisa kubeli dengan uang sedolar atau haruskan aku membayar tagihan rumah sakit ibuku, atau membeli ganja agar Mom bisa terbebas dari rasa sakit selama satu jam. Rasa malu itu suatu kemewahan.” – Ella (hlm 132)

“Apakah kaupikir ada lelaki di luar sana yang tidak akan menyakitimu? Itulah yang dilakukan para lelaki, Ella. Mereka menyakitimu.” – Brooke (hlm 235)

Oh poor Ella, you shouldve listened to her :’)


[RESENSI] Scythe by Neal Shusterman

source: google



Judul: Scythe

Penulis: Neal Shusterman

Alih bahasa: Mery Riansyah

Editor: Primadonna Angela

Desain sampul: Robby Garsia

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2019)

ISBN: 9786020622286 (digital)

Jumlah halaman: 464 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Bagaimana kalau yang bisa kita kendalikan hanya tinggal kematian?

Tak ada lagi kelaparan, penyakit, perang, penderitaan di dunia ini: manusia berhasil mengendalikan semua itu, bahkan menaklukan kematian. Sekarang, hanya Scythe yang bisa menghabisi nyawa seseorang –dan itu memang tugas mereka, untuk mengontrol jumlah manusia.

Citra dan Rowan terpilih menjadi murid Scythe –meski mereka tidak menginginkannya. Kedua remaja ini harus menguasai “seni” mencabut nyawa. Kegagalan melaksanakan tugas bisa mengakibatkan hilangnya nyawa mereka sendiri.

Lalu, mereka diberitahu bahwa salah satu dari mereka harus mencabut nyawa yang lain...

----

Tertarik sama blurb Scythe sejak lamaaaa, tapi mikir dua kali setelah liat kover versi Indonesia. Jujur aja nih, aku gak suka kovernya, menurutku juga gak cocok sama isi ceritanya. Kover kayak gini cocoknya buat novel horor lokal deh hueheuheu

Akhirnya kesampaian juga baca tanpa perlu beli fisiknya :p

Bab awal dibuka dengan satu scythe yang sama di dua tempat, tempat yang ada Citra nya dan tempat yang ada Rowan nya. Scythe itu, bernama Michael Faraday, nama para Scythe memang diambil dari tokoh-tokoh popular di Era Mortalitas alias zaman sekarang ini.

Sebelum lanjut, aku mau bahas dikit tentang setting novel utopia ini. Buminya kayaknya masih bumi yang sekarang, tapi semua hal-hal buruk sudah hilang, seperti kata blurb. Manusia bahkan nggak bisa mati, ada tempat khusus yang disebut pusat pembangkitan kalau-kalau kita nggak sengaja bunuh orang, dan orang itu bisa hidup lagi seperti semula dalam beberapa hari tergantung kerusakan.

Lalu, di dalam tubuh manusia pun dipasang sebuah benda(?) aku sendiri bingung ini wujudnya apaan tapi namanya adalah nanite. Nanite berfungsi untuk menyembuhkan luka dan rasa sakit, dan kalau gak salah bisa juga ngatur mood agar selalu happy, biar nggak ada manusia yang depresi kali ya, mantap.

Hanya satu yang ditakuti para manusia di sini, yaitu adalah Scythe. Scythe bisa membunuh mereka, atau istilahnya di sini adalah “memungut”. Orang terpilih, tidak akan dikirim ke pusat kebangkitan dan akan dimakamkan selamanya. Scythe memakai jubah warna pilihan dan memiliki sebuah cincin. Jika seorang Scythe memungut seseorang, maka seluruh keluarga orang tersebut boleh memiliki imunitas alias aman dari pungutan Scythe selama setahun kedepan dengan cara mencium cincinnya.

Yah, segitu aja deh, sebenarnya masih banyak aturan Scythe yang lain tapi yha baca saja wkw

Singkatnya, Scythe Faraday tertarik dengan keduanya, Citra dan Rowan, sehingga ia pun memutuskan untuk mengangkat keduanya menjadi murid magang. Meskipun nanti akhirnya, Faraday hanya akan memilih satu yang lulus dan yang lain harus pulang.

Setelah beberapa bulan pelatihan, pada pertemuan Scythe, Scythe Goddard yang terkenal kejam, tidak menerima keputusan Faraday dalam mengambil murid magang, seharusnya hanya satu murid. Ia pun mengajukan tuntutan agar salah satu harus memungut yang lain jika nanti terpilih menjadi Scythe. Meski Faraday sudah berkorban, nyatanya hidup Citra dan Rowan tidak berjalan mulus.

Mulai dari gaya bahasanya, aku sempet mikir ini agak berat, tapi ternyata setelah beberapa bab, aku mulai menikmatinya, nggak berat-berat amat ternyata. Mungkin cuma efek font kecil di hp ku yang kecil juga, beneran sumpah dah berharap GD ngeluarin versi mobile read!1!1

Di setiap bab, dibuka dengan potongan jurnal dari Scythe Curie dan kadang ada Scythe Goddard, Faraday, Citra dan Rowan. Lebih banyak narasi ketimbang dialog, tapi menurutku it’s okay aja soalnya narasinya pun seru dan enak diikutin. Terlebih, aku suka world buildingnya yang cakep, rapi, nyata. Suka konsep nanite dan pusat pembangkitan.

Novel ini sama sekali nggak ngebosenin, tapi kadang bikin ngantuk, entah kenapa. Tapi mungkin karena nggak banyak aksi atau apa, cerita sehari-harinya murid magang yang belajar jadi Scythe dan kadang diseling dengan ikut Faraday untuk memungut. Bisa dibilang, banyak juga kisah-kisah dan makna yang terselip di setiap pemungutan.

Ketika Faraday berkorban, di sinilah titik mengejutkannya. Aku gak bisa cerita banyak tapi beneran makin menarik ceritanya. Aku suka pengembangan karakter Rowan. Kalau Citra, buatku dia biasa aja heuheu.

Untuk konfliknya sendiri aku memang dibuat kaget sih, banyak twist gitu dan memang mencekam. Sayangnya, Scythe belum mampu mengalihkan perasaanku 100%. Novel ini seru pas lagi dibaca tapi kalau nggak lagi dibaca yauda gitu nggak kepikiran haha.

Dan satu lagiiii, kupikir ini penting untuk kalian yang juga pencinta romance kayak aku *minor spoiler starts*, dua tokoh utama cewek dan cowok disatuin jadi murid magang? Wow sudah pasti aku mengharapkan bumbu cinta di sini. Memang ada sih, tapi gak banyak, dikit, beneran minor, gak berasaaaa, jadi jangan berharap banyak, dan siap-siap kaget sama endingnya hehehe *spoiler ends*

Overall, penyuka kisah utopia dan banyak kematian, aku rekomen novel Scythe untuk dibaca. Aku pasti lanjut Thunderhead, tapi belum tau kapan karena meskipun endingnya WOW banget aku nggak dapet perasaan untuk langsung lanjut baca novel keduanya hehehe. Dari novel ini, kita bisa belajar tentang arti kematian dan kehidupan sekaligus. 4/5ó

“Selamat tinggal, Citra. Kuharap kita bisa berbicara lagi.”
“Tapi aku harus mati dulu untuk itu terjadi.”
“Aku yakin kau bisa mengaturnya.” – hlm 366

Kutipan dari salah satu jurnal H.S Curie yang aku suka:


“Aku bukannya tidak bahagia,” katanya kepadaku. “Aku hanya.. sudah selesai.” – hlm 367

“Menurutku, semua perempuan muda dikutuk dengan rangkaian kekonyolan tak bertepi, dan pemuda dikutuk degan serangkaian kebodohan mutlak.” – hlm 375

 


Rabu, 13 Mei 2020

[RESENSI] Vengeful by V.E Schwab

source: google


Judul: Vengeful (Villain #2)

Penulis: V.E Schwab

Alih Bahasa: Angelic Zaizai

Editor: Nadya Andwiani

Desain sampul: Kemasacil

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2019)

ISBN: 9786020635224 (digital)

Jumlah halaman: 600 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Lima tahun telah berlalu, Eli Ever ditangkap dan Victor Vale dikuburkan. Eli mengira berhasil membunuh Victor, tapi Sydney Clarke ternyata menghidupkan kembali pria itu.

Lalu muncullah Marcella Riggins. Marcella akhirnya memperoleh kekuaran yang diidam-idamkannya dan bertekad memanfaatkan kekuatan tersebut untuk membuat seantero Merit bertekuk lutut. Dia bersedia melakukan apa saja, termasuk mengadu domba dua LB paling terkenal, Victor Vale dan Eli Ever.

Dan sekali lagi, Merit City mejadi panggung untuk aksi pembalasan akhir benak-benak luar biasa yang penuh dendam.

----

Pertama-tama, mari kita appreciate dulu kover cakep ini! Meskipun aku masih gak tau, gambar cewek di kover ini Marcella atau June. Haha. Cuma satu yang mau kukeluhkan, kenapa punggung bukunya beda sama Vicious? Jadi nggak cakep buat disejajarin kan... :( padahal gue ngga punya bukunya dua-duanya cuma baca di GD, tapi siapa tau tar mau koleksi lagi sih.

Aku nggak bakal panjang-panjang di sini, karena nyaris 400 halaman yang kubaca itu bosen luar biasa. Aku bahkan sampe ngeluh kenapa Vicious harus ada lanjutannya sih, padahal ending Vicious itu udah perfect banget buatku.

Hal yang pertama, dari segi bahasa, aku gak tau apakah memang begini aslinya atau efek terjemahan, yang jelas aku pusing. Kesan-kesanku hampir sama kayak Vicious, ngantuk di awal, seger di akhir. Narasi di kedua buku ini menurutku membosankan, ditambah emang belom masuk konflik, awal-awal buku ini bertele-tele banget.

Bedanya, di Vengeful ini kebanyakan nyeritain orang lain, Marcella, June dan Eli. Dan, alurnya lambaaaat banget. Yang makin bikin aku bosen dan ngantuk banget karena aku lebih suka baca pov Sydney atau Victor huhu. Pokoknya tiap ada karakter baru muncul, selalu aja dijelasin latar belakangnya. Jujur aku banyak skip-skip pas baca cerita tentang mereka, yang penting aku nggak lost track sama plotnya haha. Menurutku, cerita mereka tuh nggak penting-penting amat. maafkan :( yang kuinginkan cuma Victor.

Menurutku, tokoh-tokoh baru dan konflik baru ini lumayan seru, asal nggak dijadikan bertele-tele gini. Padahal harusnya mungkin Vengeful bisa lebih ringkas dari ini, nggak perlu sampe 600 halaman. Toh, inti yang sebenarnya ada di 200 halaman terakhir. 400 halaman awal semacam intro doang buatku haha.

Balik lagi ke selera sih, kalau yang suka karakter cewek villain, kalian pasti bakal demen sama Marcella dan kemampuan LB-nya.

Setelah berdarah-darah sepanjang 400 halaman, akhirnya konflik sesungguhnya dimulai. Di sini mendadak aku gak bosen lagi, nggak ngantuk lagi, narasi tiba-tiba jadi jelas dan bercahaya pokoknya mah.

Vicious, Vengeful, dua-duanya nggak bisa nggak bikin tegang. Aku suka gimana konflik dan plotnya bener-bener bisa bikin aku masuk ke ceritanya dan gereget sendiri. Jadi kuputuskan bukan gaya bahasanya yang bikin bosen di awal, tapi memang intro di awal nggak menarik.

Dan untuk karakter tambahan, pertama Marcella, aku cukup kasian sama perannya di novel ini, setelah bikin Victor dan Eli reuni dan novel Vengeful tercipta, bisa-bisanya penulis bikin Marcella kayak gini:)

Kedua, June. Aku masih curiga sama dia sampai sekarang, nggak tau dia baik apa nggak sebenernya, tapi karena dia sayang Sydney, aku bisa agak tenang :)

Dan buat Eli, di sini diceritain tentang masa lalunya dan jujur kalau bagian ini aku suka :’) sedih banget Eli...tapi aku tetap #TeamVictorForever.

Karakter favoritku masih tetap, kuartet Victor, Sydney, Mitch, dan Dom, plus si anjing, Dol. Dari dulu, aku selalu jatuh cinta sama novel yang punya kelompok tersendiri kayak gini. Mereka semua orang asing, saling cuek, padahal sebenernya sayang dan perhatian. Tiap nyeritain kisah mereka, aku selalu seneng bacanya. Makanya aku gak suka banget saat harus baca 400 halaman yang dikit merekanya.

Overall, apakah buku ini recommended? OF COURSE! Meskipun cuma 200 halaman terakhir, tapi itu sangat membekas buatku dan aku pun melupakan kebosananku pada buku ini, aku bahkan kasih 5 bintang saking geregetnya novel ini:’) jujur, novel ini menurutku punya open ending yang terbaik sekaligus ternyesek buatku. Gak tau kalau kalian.

Dan legaaa banget kalau tau buku ini nggak akan jadi duology, tapi trilogi. Entah kapan buku ketiga bakal keluar, but, I WOULD WAIT A THOUSAND YEARS FOR VICTOR VALE.

Sesuka itu aku sama karakter-karakter di Villain series.

“Eli tidak tahu bagaimana dia sampai rusak, tapi dia ingin disembuhkan. Dia ingin diselamatkan.” – hlm 187

“Tuhan tidak pernah memberikan ujian lebih daripada yang mampu kita tanggung. Tugas kitalah untuk menemukan tujuan dalam penderitaan itu.” – hlm 218

“Kita tidak bisa membentuk masa lalu, hanya masa depan.” – Eli (hlm 231)

“Pengetahuan boleh saja kekuasaan, tapi uang membeli dua-duanya.” – Marcella (hlm 351)

“Nasib buruk itu seperti karet. Mitch hanya bisa menjauh sedikit sebelum tangan tak kasat mata menyelinap dan dia kembali bertabrakan dengan masalah.” – hlm 417

“Keterikatan itu sesuatu yang menjengkelkan, sama merusaknya seperti rumput liar.” – hlm 426

“... selalu ada yang lebih kuat daripada kau. Begitulah cara kerjanya dunia. ... kau melakukan aoa yang kau bisa. Kau melawan, dan kau menang, sampai kau tidak lagi menang.” – hlm 434-435


Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)