Judul: Dreamology
Penulis: Lucy
Keating
Alih Bahasa:
Aline Tobing
Penerbit: Elex
Media Komputindo (2018)
Jumlah halaman:
252 hlm
Baca via:
Gramedia Digital
Pertama kali liat
Dreamology versi originalnya, aku langsung jatuh cinta sama cover-nya. Dari
situ aku mutusin kalau aku harus bacaaa novel ini. Harusss. Mana judulnya juga
unik banget. Pasti ceritanya kece. Iya, dulu bener-bener cuma tertarik sama
judul dan cover tanpa tau itu ceritanya tentang apa haha.
Cover yang bikin aku jatuh cinta itu kayak gini:
source: goodreads |
Bertahun-tahun
kemudian, waktu lagi main ke Gramedia, aku nggak sengaja nemu si kuning kecil
ini.
source: goodreads |
Wait, what? Dreamology? Dreamology yang cover orinya cakep itu? Dan
ternyata bener, Dreamology udah diterjemahin ke bahasa Indonesia. Tapi kok
nggak terlalu hype ya. Diem-diem bae.
Dan setelah 4
tahun terbit versi Indonesianya, aku baru punya kesempatan untuk baca
Dreamology sekarang. Ekspektasiku tuh, judul unik, cover cewek banget, sinopsis
oke, wow pasti ceritanya ringan dan cute
gitu kan. Ditambah lagi jumlah halaman yang nggak sampe 300! Semanget banget
buat baca.
Ketika buka
novelnya di hp, jederrr, ternyata font-nya
juga ikutan cute T_T [mnelan ludah]
bisa nggak ya baca? Bisa sih kayaknya, cuma teenlit..kan?
So, Dreamology
bercerita tentang Alice yang setiap hari memimpikan anak cowok bernama Max. Di
mimpinya, yang udah berjalan tahunan, Alice dan Max sekarang pacaran. Mereka
udah akrab dan deket banget di dunia mimpi.
Lalu tiba-tiba
Alice harus pindah ke rumah peninggalan neneknya dan tentu aja harus masuk ke
sekolah baru. Yang mengejutkan Alice, di sekolah barunya dia malah ketemu sama
Max. Max asli. Nyata. Versi dunia. Versi real-nya.
Kalau di dunia
mimpi Max itu hangat dan baik hati, Max asli ini lebih dingin dan cenderung
jauhin Alice. Seakan belum puas bikin Alice kaget, ternyata Max juga selama ini
mimpiin Alice. Mereka berbagi mimpi yang sama dan saling mengingat satu sama
lain.
Kok bisa..?
Well, kesan
pertamaku pas lagi baca ini, awalnya aku bener-bener semangat karena masih
mikir ini premis yang lucu dan unik. Kebayang kisah klise ala wattpad gitu cuma
dikemas dengan lebih rapi. Dont get me
wrong, aku suka baca cerita klise yang imut asalkan rapi aja sih dan gaya
penulisannya juga enak.
Tapi justru yang
aku alami adalah aku malah bosan. Mataku capek baca font kecil ini. Ditambah
lagi narasinya yang menurutku terlalu ‘maksa’ supaya jadi asik tapi jatohnya
malah aku hilang fokus tiap baca narasinya.
Menurut aku
terjemahannya udah rapi sih, jadi kemungkinan yang bikin aku turn-off emang
gaya bahasa si penulisnya sendiri. Aku nyelesain buku ini cukup lama, karena
ngantuk terus tiap baca, malah aku yang anti selingkuh sama buku lain, jadi
tergoda untuk selingkuh haha.
Salah satu
ekspektasi aku yang lain adalah, aku kira novel ini cuma novel remaja biasa
dengan bumbu sedikit fantasi karena kedua tokoh utamanya saling mimpiin satu
sama lain. Ternyata aku salah, Dreamology bercerita tentang sains modern. Bisa
dibilang ini ngebahas fiksi sains.
Untuk sci-finya,
aku mungkin nggak akan bahas terlalu banyak, karena aku sendiri nggak ngerti
HAHA apaan sih ga jelas banget, mau nangis tiap ngebahas sainsnya. Nggak masuk
di logikaku, entah karena faktor font kecil yang bikin males atau gaya bahasa
yang bikin pusing.
Intinya, fenomena
Alice dan Max bisa dapet mimpi itu adalah karena mereka pernah diterapi waktu
kecil, bersamaan, di tempat yang sama. Alice mimpi buruk terus karena satu hal,
makanya dia mulai ngejalanin terapi. Dari situlah mimpi mengenai Max muncul,
bisa dibilang, mimpiin Max adalah choping
mechanism-nya Alice dari traumanya. Begitupun sebaliknya.
Konflik di novel
ini adalah saat Alice dan Max ternyata sadar kalau mereka nggak bisa terus
mertahanin mimpi ini, juga karena ternyata fenomena ini bisa membahayakan
mereka. Dari situlah keduanya, dibantu Sophie dan Oliver, berencana untuk
menghapus mimpi-mimpi itu selamanya.
Selain gaya
bahasa yang nggak enak dibaca, aku sendiri nggak gitu srek sama kedua tokoh
utama di novel ini. Mereka cuma remaja sih, remaja biasa. Wajar masih suka
bingung, naif, plin-plan, ngedepanin emosi daripada logika. Sayangnya karena
terlalu biasa inilah, aku nggak nemuin bagusnya apa.
Karakter keduanya
nggak ngena di perasaanku. Jadi aku bener-bener baca ini murni karena pengen
tau aja endingnya. Musnah sudah impianku buat baca cerita yang imut-imut.
Karena menurutku, cerita remaja mereka (di luar bahas sains) nggak imut sama
sekali. Nggak bikin senyam-senyum. Nggak ikutan baper. Cuma dua kata sih: flat
abiz. Aku cuma beberapa kali nyengir, nggak sampe lima kali, itupun cuma dua
detik aja, yang bahkan aku udah lupa di scene
apa haha. Parah banget gue.
Overall, mungkin ini murni karena berekspektasi ketinggian, nggak baca review
orang lain dulu (soalnya takut jadi males baca), Dreamology wasnt my cup of tea. Capek, bosen, ngantuk, nggak ada
yang spesial, bab mimpi bikin puyeng karena mimpi mereka kebanyakan
sureal/abstrak, eksekusi yang biasa aja, font kecil punnn. Bah.
Akhirnya aku cuma
bisa kasih 2¶ buat Dreamology karena ide/premisnya yang
unik dan menjanjikan serta cover-nya
yang lucu. Segitu aja kesan-kesanku buat novel ini. Aku bersyukur banget
nggak beli fisiknya hahaha.
Dont forget to click follow button/submit your
email below! See you on another review!