Tampilkan postingan dengan label Curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Curhat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Mei 2018

Bookstagram yang Dulu, Bukanlah yang Sekarang~


*First of all, I don’t blame anyone, this post is just my opinion^^ ((udah lama banget pengin nulis ini >.<))

© 2018 by @arthms12


Kamu kenal komunitas Bookstagram di instagram? Atau malah nggak tau sama sekali apa itu Bookstagram?

So, Bookstagram adalah suatu istilah untuk mereka para pencinta buku yang sekaligus hobi fotografi. Di instagram, mereka fotoin buku sedemikian rupa dan di caption biasanya mengandung review dari buku tersebut. Tapi banyak juga kok yang cuma ngobrol basa-basi nyapa followers-nya atau nyantumin qoute doang.

Aku sendiri, udah kenal dunia bookstagram kira-kira akhir tahun 2016, mulai jadi bookstagrammer awal tahun 2017. Dan menurut pengamatanku, di Indonesia sendiri belum banyak bookstagrammer (jangan dipercaya). Awal mula aku kenalnya, karena dulu sering banget ikutan giveaway blogtour, tapi anehnya lama-lama syarat giveaway ada yang harus follow IG segala (biasanya twitter) trus lama-lama share banner-nya (info GA) harus repost di IG dan akhirnyaaaa review-nya pun pindah dari blog ke instagram.

Dulu, aku cuma suka ikutan giveaway-nya aja, tapi lama-lama liat postingan buku para host, aku jadi kepikiran buat bikin foto buku-bukuku juga. Setelah itu, aku jadi ketagihan ngambil foto yang bagus (meskipun gak pernah bagus, abis susahhhhh).

Fenomena giveaway inilah yang membuat para pencinta buku bermunculan dengan label bookstagram. Dan juga, karena biasanya syarat giveaway adalah mengharuskan pemenangnya untuk meresensi bukunya. Gak tanggung-tanggung, lima hari!

Setelah itu, aku mulai banyak mengenal para bookstagrammer dari yang dulunya foto abal sampai fotonya cakep, bahkan ternyata ada yang udah sejak lama jadi bookstagrammer cuma karena baru booming jadi ya aku baru tau heu.

Bookstagram yang dulu, bukanlah yang sekarang?

Yap, ini yang aku sering aku pikirin akhir-akhir ini. Akun-akun yang dulu sama-sama newbie denganku, sekarang udah jadi pemain lama; followers-nya banyak, dikenal editor, penerbit dan penulis, dikenal banyak orang, dan sering dapet nge-host suatu buku yang baru terbit.

Dulu, penerbit suka buka lowongan peresensi buat buku yang baru terbit, biasanya diminta ngadain giveaway juga selain posting daily review selama lima hari. Dan aku pun pernah ngerasain gimana jadi host yang cukup mengemban tanggung jawab yang berat.

Dulu aku berpikir, nggak ada yang salah dengan meresensi buku yang sama selama lima hari, sekarang pun gak ada yang salah sebenarnya, tapi aku sekarang jadi mikir.. apa followers-ku nggak bosen cuma liatin foto buku yang sama selama lima hari? Karena aku juga tau, jarang banget ada orang yang rajin bacain caption. Yegak? :D

Aku pun mulai malas kalau harus meresensi buku selama lima hari, takutnya followers-ku bosan WKWK. (malas bukan berarti aku menolak loh, kalau ada yang ngajak kerja sama sih, aku dengan senang hati©)

Tapi tidak buat share banner!

Aku bener-bener nggak mau share banner (bukannya songong XD), alasannya cukup sederhana, aku nggak mau merusak tujuan awalku gabung di komunitas ini. Aku nggak mau kehilangan kenyamanan diriku di dunia bookstagram. Aku ada di sini, buat mem-posting buku-buku, bukan banner. Feed-ku–yang aku coba susun dengan rapi (meskipun gak bisa rapi)–hanya aku khususkan untuk buku saja. Aku lebih suka membantu penerbit mempromosikan bukunya dengan mem-posting foto buku tersebut, bukan banner.

Nah, inilah yang baru-baru ini sedang terjadi di komunitas bookstagram Indonesia. Penerbit/editor bukan hanya sekadar meminta mereka merensensi bukunya, melainkan meminta mereka mem-posting banner promosi sebelum bukunya terbit. Aku sih, masih anggap wajar kalau banner-nya cuma lima atau sepuluh, tapi rasanya.. kalau ada 30...?

Kebanyakan following-ku adalah bookstagram lama yang sudah berbakat meresensi buku di instagram, mereka juga sering kali diajak bekerja sama untuk share banner. Jadi, sekarang coba bayangkan rasanya jadi aku: pada jam yang sama, lima bookstagrammer mengunggah satu banner yang sama, dan mereka melakukannya kurang lebih sebulan (atau sesuai kebutuhan) belum lagi lima bookstagrammer lainnya yang share banner novel yang beda lagi.

Timeline-ku isinya banner semuaL

Dan karena adanya algoritma instagram, aku juga jadi kesulitan melihat postingan bookstagrammer lain yang bukan promosi. Jadi agaknya.. aku mulai sedih melihat timeline-ku XD

Nah, sekali lagi, di sini aku nggak nyalahin siapa pun. Nggak nyalahin temen-temenku yang dapet amanah dari penerbit ataupun nyalahin penerbit yang kalau minta share banner gak kira-kira XD

Toh semuanya demi marketing, alhamdulillah juga kalau memang banyak yang tertarik dengan dunia literasi karena promosi besar-besaran ini. Aku ikut senang kalau makin banyak yang suka baca buku apalagi gabung menjadi bookstagrammer dan mencoba mengapresiasi penulis dengan meresensi bukunya. (daripada ngelakuin hal yang gak bermanfaat, mending jadi peresensi, yegak?)

That’s all! So, guys, ini murni cuma keluh-kesahku sebagai seorang pengguna instagram hehe. Cuma agak sedih aja gitu :D tapi aku tetap suka jadi bagian dari komunitas ini dan kenal banyak orang yang suka baca buku juga, terutama ketemu sama fandom yang sama. Rasa-rasanya aku jadi punya dunia kedua :’)

Buat kalian yang mau coba gabung di bookstagram, jangan ragu! Mulai coba foto-foto aja dulu, resensinya belakangan (karena nggak semua bookstagrammer yang peresensi juga sih), atau bisa juga belajar liatin resensi dari para senior di sana :D

Kalian juga jangan ragu untuk berteman sama aku di instagram hehe, aku orangnya emang agak sinting tapi gak gigit kok, aku suka temenan sama banyak orang :D akun instagram-ku sama kayak nama blog ini: @arthms12

Jadi, tunggu apa lagi? Aku tunggu kehadiran kalian :D

Minggu, 05 Maret 2017

[RANDOM] DAY3 - Writing Challenge Kampus Fiksi (last)

Writing Challenge Bersama Kampus Fiksi #DAY3

---

Untuk aku, beberapa tahun kemudian.

Tolong ingat-ingat lagi hari-hari di mana kamu rasa kamu telah memperjuangkan segalanya dengan tertatih-tatih. Kamu akan baik-baik saja setelahnya. Baca kata-katamu sendiri di bawah ini dan kuharap kamu akan menampilkan ekspresi yang selalu kunantikan; tersenyum lebar.

---

DAY 3




Jelaskan tentang keinginan atau cita-citamu yang belum tercapai hingga hari ini dan seberapa keras usaha kalian untuk mewujudkannya!

---

Writing Challenge pertama yang kuikuti, terima kasih banyak atas kesempatannya. Aku mungkin berharap menang, tapi lebih daripada itu, aku senang bisa mulai menulis kisahku sendiri dan membiarkannya dilihat banyak orang. Nggak apa-apa, aku nggak malu, semuanya adalah proses belajar.

Tolong, tolong bantu aku cara membuat tulisan yang pendek XD *abaikan*


Pada dasarnya, setiap manusia selalu nggak puas dengan apa yang mereka miliki, dan naluri terus menggiringnya untuk tetap menginginkan sesuatu yang lebih. Menurutku pribadi, keinginan berbeda dengan cita-cita. Keinginan bisa berupa hal sehari-hari atau daftar wishlist yang kita simpan di notes ponsel. Tapi cita-cita, maknanya lebih kuat, hal yang kita impikan sejak dulu, yang mampu menentukan status kita kelak.

Jadi di sini keinginanku banyak sekali. Pertama-tama aku mulai dengan ingin mengoleksi banyak novel, dan sekarang yang sedang kuusahakan adalah mengumpulkan satu-persatu lewat GA ataupun menabung.

Aku ingin barang-barang baru, entah itu baju, ponsel, laptop, alat-alat menggambar. Dan untuk mendapatkan itu, aku harus bekerja, kan? Nah, keinginanku selanjutnya adalah cepat-cepat dapat pekerjaan XD Untuk mendapatkan pekerjaan, aku juga sedang mengusahakan melamar ke sana-sini bahkan sampai ikut walkin interview yang penuhnya kayak pembagian sembako. *derita jobseeker*

Lalu ada dua hal lain, aku ingin kurus dan aku ingin punya followers yang banyak.

Bercanda! Keinginan terbesarku daripada itu semua adalah aku ingin kuliah. Lulus sekolah tahun kemarin dan nggak lolos SBMPTN jalur beasiswa membuatku terpaksa tidak melanjutkan dulu dan harus cari kerja. Biasalah, masalah ekonomi. Meskipun ada banyak beasiswa, tapi ada masalah lain yang membuatku nggak bisa memperjuangkan itu tahun kemarin.

Sampai sekarang, aku sangat ingin melanjutkan kuliah kelas regular seperti teman-temanku, walaupun hal itu mustahil. Aku bakal kepayahan menghidupi diriku sendiri, jadi sepertinya aku akan mengambil kelas karyawan saja. Tapi tetap, tekadku kuat, aku ingin kuliah, tahun ini!

Sementara untuk cita-citaku, yang paling utama adalah aku ingin jadi orang sukses tentunya. Dalam bidang yang kusukai, hidup damai dan sejahtera. Aku bercita-cita ingin menjadi seorang penulis dan menerbitkan novelku suatu hari nanti. Aku bercita-cita ingin menjadi seorang desainer interior atau menjadi seorang psikolog.

Untuk seberapa keras usahaku dalam meraih semua itu, kurasa aku nggak bisa menilainya untuk diriku sendiri. Yang jelas yang sedang kulakukan adalah, semenjak lulus SMA dan punya banyak waktu luang, aku mulai mendalami segala hal yang kusukai. Aku belajar me-review, aku mempublikasikan tulisanku di wattpad, aku belajar menggambar bahkan sekarang mencoba handlettering, bahkan aku ikut writing challenge seperti ini :’D

Aku juga sedang giat-giatnya bekerja untuk masa depanku, dan masa depan ibuku, serta untuk menyenangkan semua orang yang kusayangi.[]


p.s udah pendek kan? Nggak kepanjangan kayak dua hari kemarin, kan?


Bandung, 5 Maret 2017

Sabtu, 04 Maret 2017

[RANDOM] DAY2 - Writing Challenge Kampus Fiksi

Writing Challeng Bersama Kampus Fiksi #DAY2

---

Untuk Ayah, di Surga.


---
DAY 2


Seandainya ada mesin waktu dan bisa kembali ke masa lalu, kesalahan apa yang paling ingin kamu perbaiki? Ceritakan!

---

Butuh berpikir banyak untuk ‘nekat’ mengikuti challenge ini, sampai-sampai aku harus telat nyetor di hari pertama. Dua pertanyaan yang dimaksudkan untuk dua hari, aku menyelesaikannya dalam satu waktu. Dan bukan main-main flashback-nya. Aku berhasil kembali ke masa itu, masih dengan perasaan yang sama ketika aku mengalaminya waktu itu.

Mungkin di hari pertama aku mengingat banyak yang bagus tentang masa lalu, tetapi sebetulnya aku ini bukanlah orang yang senang menyimpan kenangan, terlebih kenangan masa laluku, bagiku, banyak yang tidak menyenangkan.

Seringnya aku berusaha melupakan semuanya yang pernah terjadi, baik itu yang baik atau buruk, karena entah kenapa aku selalu menganggapnya adalah beban tersendiri buatku.

Jadi sekarang aku memaksa lagi, menggalinya, terluka lagi, dan untuk pertama kalinya menuliskannya, berniat mempublish kesalahan yang paling kubenci kepada dunia.
Seandainya ada mesin waktu, sejujurnya aku pernah berpikir tentang hal ini dulu sekali, aku ingin kembali ke hari di mana aku lahir, dan… mencegahnya terjadi.

Tapi bukan itu sekarang, justru yang aku ingat adalah Ayahku. Betapa rasa bersalah yang sering kucoba lupakan itu, seringkali hadir tanpa permisi, membuat aku secara mendadak membenci dunia, membenci diriku sendiri dan membenci apa yang kurasakan saat itu.

Ayahku berpulang ketika aku kelas 9, pada tanggal 5 September 2012. Sedari kecil, aku tidak dekat dengan Ayah. Ayahku itu orang yang sulit mengekspresikan perasaannya kecuali rasa marah. Jadilah, aku yang kecil, menganggap ayahku adalah orang yang galak. Aku jarang mengobrol dengannya, tapi beliau juga sosok yang bisa terlihat hangat, biasanya mengobrol kalau kami berkumpul sekeluarga.

Ayahku adalah seorang yang sangat disiplin dan taat pada aturan, aku baru menyadari juga bahwa aku menuruni sifatnya itu, bahkan sifat dingin, cuek, emosian dan keras kepala kami juga sama. Jadi, di usianya yang sudah tua dan sakit-sakitan sementara aku yang masih kecil dan terbiasa dengan jarak di antara kami, membuat aku tidak memanfaatkan waktu yang tersisa sebaik-baiknya.

Ayah sakit parah. Awalnya kanker prostat, menyebabkannya harus memasang selang di kantung kemihnya. Lalu kemudian fisiknya semakin lemah, Ayah jatuh di kamar mandi dan tidak bisa berdiri lagi. Di rumah sakit, Ayah mendapat diagnosa lagi bahwa dirinya terkena gagal ginjal.

Sempat untuk beberapa waktu, ayah dirawat di rumah sakit, setengah sadar, tidak bisa berbicara dengan jelas, tidak tahu siapa-siapa yang datang menjenguk. Kemudian ayah sembuh, kembali seperti sedia kala secara mental.

Aku dan kakakku masih menjaga jarak, seperti biasa, hanya menghampiri ketika ayah butuh sesuatu. Ketika kakakku sekolah di Bandung, ibuku pergi bekerja, akulah yang ada di rumah bersama ayah.

Jarang sekali aku menengok ke kamarnya, sekedar menanyakan bagaimana keadaannya, apa yang dia rasakan atau apa yang dia butuhkan. Aku sibuk dengan diriku sendiri; menonton tv, bermain, mengerjakan tugas atau hal-hal lain.

Ayah hanya memanggil kalau beliau ingin mengisi lagi gelasnya, meminta dibuatkan bubur instan, atau minta diguntingkan kukunya. Di hari ulangtahunku, ayah sudah tidak bisa lagi menyiapkan kado yang biasanya kulihat di pagi hari, beliau hanya mendoakan dan memberi uang. Di hari Lebaran pun, tidak banyak waktu yang kuluangkan untuk ayah.

Lalu pada suatu hari, ketika aku sedang mengerjakan tugas, ayahku memanggil-manggil namaku. Menyuruhku mengambilkan pencukur jenggot. Tanpa berpikir panjang, aku hanya menyerahkan benda itu dan kembali ke PR-ku.

Tentu saja ayah kembali memanggil, menyuruhku membasahi sapu tangannya. Aku kembali ke PR-ku sekali lagi, dan ayah masih memanggil. Katanya, basahi dengan sabun. Entah kenapa, saat itu aku merasa sangat kesal, situasiku di sekolah juga membuat mood-ku jelek sekali. Aku kesal ayah terus-menerus memanggilku.

Bukannya membantunya cukur tanpa mengeluh agar semuanya cepat selesai, aku malah menangis dan keluar dari rumah. Berdiri di beranda, dengan suara ayah yang berteriak memanggil.

Ya, aku mengabaikannya. Aku mengabaikan ayahku dan terus menangis sampai akhirnya aku pergi ke rumah Wulan. Ayah mengirim SMS, mengatakan aku untuk menghampirinya tapi aku mengabaikannya.

Sampai hal itu berlalu. Ayah tak lagi membahasnya dan aku juga bersikap seolah-olah tindakanku benar.

Hingga suatu hari, seperti biasa ayah harus menjalani cuci darahnya. Malam sebelumnya ayah memanggilku ke kamarnya, dengan lembut dia meminta aku untuk ikut menemaninya cuci darah, menyuruhku bolos sekolah, karena selama ini, hanya aku yang belum pernah ikut ke rumah sakit karena sekolah.

Aku hendak menolak, tapi tidak berani. Kubilang itu pada ibu, aku minta padanya agar menjelaskan kepada Ayah kalau aku tidak bisa bolos sekolah karena sudah kelas 9. Ibu menyetujuiku, dan mengatakan pada ayah soal hal itu. Kata Ibu, Ayah bilang, “Oh yaudah nggak apa-apa. Masuk sekolah aja lebih penting.”

Aku senang mendengarnya.

Kesenangan terakhir sebelum semuanya terenggut, terkubur dalam dengan kesakitan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Jam sebelas siang aku dipanggil ke ruang tamu sekolah karena ada Ibu dan kakakku datang. Mereka membawa kabar bahwa ayahku meninggal karena serangan jantung.

---

Nah, itulah kesalahan terbesar yang kurasakan seumur hidupku. Kalau aku bisa menemukan mesin waktu, aku ingin memperbaiki kesalahanku kepada Papa. Aku tidak akan kabur mendengarnya berteriak memanggil. Aku akan ikuti kemauannya untuk bolos dan mengantarnya cuci darah.

Kalau aku melakukan itu, aku tidak akan semenyesal ini. Aku juga mungkin tidak akan pernah menemukan pencukur milik Papa di meja kamarnya dengan darah yang mengering karena dagunya terluka. Saat aku kabur.[]




Bandung, 4 Maret 2017

[RANDOM] DAY1 - Writing Challenge Kampus Fiksi

Writing Challenge Bersama Kampus Fiksi #DAY1
---

Didedikasikan:
Untuk, sahabatku. Atau yang pernah merasa begitu.

Selanjutnya, Kak Ika Vihara dan Admin Kampus Fiksi, serta semua yang nggak sengaja mampir. HE.

---

DAY 1


Ceritakan mengenai sahabat masa kecilmu dan bagaimana persahabatan kalian sekarang!


---

Ini dia, sepenggal kisah masa laluku yang aku sendiri nggak tahu apakah ini murni terjadi di dunia nyata atau separuh kuciptakan sendiri di dalam otakku.

Waktu itu adalah tahun antara 2006/2007. Namanya Wulan. Ya, aku memilihmu, Sobat, sayangnya kau nggak pernah berselancar di Blog. Aku kenal dia tepat di depan rumahku. Dia tetangga baruku, yang punya dua adik perempuan kecil. Tiap harinya bulak-balik untuk mengasuh.

Adiknya itu, suka lihat marmutku yang kutaruh di kandang depan halaman rumah. Kami kenal dari sana, dan kami ternyata satu sekolah dan satu angkatan. Namanya Wulan. Eh? Aku sudah bilang ya? Dia ada di kelas 3A sementara aku 3C.

Kami suka main bareng semenjak hari itu. Pergi sekolah saling tunggu, begitu pula ketika pulang sekolah. Dia anaknya kurus, tinggi, kulitnya hitam, cantik, dan rambutnya selalu di model bob ‘nungging’. Dia bilang ibunya nggak suka lihat dia berambut panjang.

Jadi begini, awalnya kami nggak terlalu sering main di luar jam sekolah, tapi semenjak marmutku ada yang mati dan sisanya dipulangkan, aku sering sekali main sampai lupa waktu. Sebenarnya, bukan hanya ada Wulan. Ada beberapa anak cewek dan cowoknya. Kami main banyak hal, sampai aku lupa harus menyebutkan apa saja; petak umpet, main karet (semacam lompat tali pakai untaian karet), bersepeda keliling komplek, atau main boneka.

Bertahun-tahun kemudian kami masih berteman baik. Sedang sedikit pertengkaran, kadang kami bisa musuhan sampai satu-dua hari. Tanpa bicara. Karena di sini aku yang anak rumahan, kadang suka iri melihat Wulan punya banyak teman yang lain atau bermain bersama adiknya. Aku cuma bisa lihat dari jendela rumah. Tapi cara kami berbaikan cukup aneh, tidak ada kata maaf atau apa. Besoknya, dia menyamperku, ngajak main seolah-olah kami tidak pernah bermusuhan sehari sebelumnya. Dan aku juga tidak ambil pusing, aku hanya ingin main.

Yang paling berkesan selama bersahabatan dengan Wulan adalah ketika kami menginjak kelas enam SD, baru 7 tahun yang lalu sih, jadi diumur itu kami sudah mulai ngeceng cowok. Dan setahun setelahnya semua berubah jadi bencana. Sebuah status Facebook Wulan tanggal 23 Maret 2011 memicu terjadinya ‘perang’ yang tidak akan pernah kami lupakan selamanya bersama geng para cowok di belakang rumah kami.

Aku dan Wulan itu, bisa dikatakan sudah seperti adik-kakak, seperti dua saudara kandung. Kami banyak melakukan hal-hal bersama, kami juga saling membantu, dan terlihat sangat kompak. Bahkan untuk pergi ke warung yang tidak jauh letaknya, kami selalu nyamper satu sama lain untuk mengantar.

Jadi, hal itu berkaitan dengan perang kami. Setiap kami berjalan bersama untuk ke warung, selalu saja para anak cowok itu menganggu, dari mulai mengejek sampai mengejar-ngejar kami keliling dua blok sekaligus. Mungkin kalau diceritakan semua itu nggak ada artinya, tapi bagiku dan Wulan yang sampai sekarang masih sering membahasnya, hal itu sangat berkesan bagi kami yang bocah ini untuk berurusan dengan anak lelaki.

Dan semua itu hanya kami berdua yang tahu rasanya. Hanya kami berdua yang mengalaminya. Teman-teman cewek tetanggaku yang lain terlihat iri mendengar kisahku dan Wulan, mereka berusaha melibatkan diri dengan ikut ‘caper’ tetapi ternyata para anak cowok itu diam kalau bukan hanya kami berdua yang ada di sekitar mereka.

Aku menulis ini sambil tersenyum, lho.

Setelah reda perang antara aku dan Wulan dengan para cowok itu, kami tak lantas melupakan semua itu dan kembali ke awal. Ternyata, salah satu cowok di sana suka padaku (iya, aku ke-GR-an, tapi aku yakin itu). Dan ternyata Wulan menyukai cowok yang sama. Kalau dia adalah tipe cewek emosian dan iri hati, sudah pasti Wulan akan langsung memusuhiku dan berbalik menyerang.

Nyatanya, dia marah-marah di depanku, tapi dia masih main denganku. Dia bilang aku centil, dia bilang bahwa aku tidak perlu dandan kalau terus mengeluh karena cowok itu melihatiku terus (sejujurnya aku hanya merapikan rambut, mengurai dan mengepangnya kecil).

Lambat laun semua itu berubah, dia akhirnya suka dengan teman dari cowok yang kusukai itu. Kami jadi sering mengobrolkan cowok-cowok itu, lalu terpikir untuk menjahili cowok yang dia sukai; pura-pura salah kirim SMS, membuat facebook palsu–

Ah. Harusnya aku tidak menceritakan ini. Itu rahasia kami berdua yang sampai sekarang tidak pernah ada kata pengakuan.

Persahabatan kami yang erat bertahan hanya sampai akhir tahun di SMP saja, setelahnya, kami tidak bersekolah di sekolah yang sama lagi. Aku pergi sekolah ke kota, tepatnya di SMAN 6 Bandung, setiap hari harus naik kereta untuk ke sana. Sementara Wulan ada di SMA Negeri yang ada di daerahku.

Rumahku juga pindah setelah ayahku meninggal ketika aku kelas 9, masih di perum yang sama hanya saja berbeda blok. Kami jadi jarang bermain bersama lagi setelah semua itu. Lalu, setahun setelah berpetualang setiap hari dengan kereta, aku sekeluarga pindah ke Bandung. Makin jaranglah kami bertemu. Hanya chat via BBM atau Line dan FB waktu itu.

Kepindahanku adalah akhir segalanya. Intensitas mengobrol via IM pun jarang lagi kami lakukan. Kami sibuk dengan urusan masing-masing. Jangan tanyakan kemana geng para cowok itu, kami sudah tidak pernah bertemu mereka lagi setelah lulus SMP (tapi salah satunya jadi kakak kelasku di SMA).

Sekarang, Wulan juga sudah pergi dari rumah lamanya, rumah blok 6 yang pernah jadi tetanggaku, dan sekarang berada di Bandung juga. Hanya saja rumah kami tetap berjauhan. Sedikitnya interaksi antara kami, membuat kami juga tidak begitu ngotot untuk mengadakan reuni. Kami santai-santai saja, mengaku saling rindu tapi tak ada usaha untuk bertemu, hanya beberapa kali chat singkat dalam sebulan dan hanya membahas masalah pekerjaan.

Setelah itu semua kembali normal, kehidupan kami yang biasa, seakan-akan kenangan masa kecil yang hampir seharian selalu bermain bersama tidak pernah terjadi. Aku bahkan merasa kami seperti orang asing, tidak bisa bercerita dengan bebas tentang apa yang terjadi di hidup kami.

Dulu, ketika aku sedang menangisi sesuatu yang tidak bisa kubicarakan pada Wulan, dia juga langsung ikut menangis bersamaku, hanya saja dia menangis tanpa alasan. Dia hanya mau menemaniku menangis.

Aah. Aku benar-benar rindu masa-masa itu. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi keinginan kuat untuk bertemu. Mungkin kami butuh suatu kebetulan untuk saling bertemu suatu hari nanti.

Wulan adalah sahabat, teman, saudara, partner-in-crime, dan masa lalu yang paling berkesan buatku. Lan, kalau kamu nggak ada, aku nggak mungkin pernah ngerasain masa kecil semenarik itu. Kau yang membuatku sadar bahwa aku ternyata punya hal indah yang perlu dikenang.


Bandung, harusnya 3 Maret 2017.
Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)