Jumat, 11 November 2022

[Tur Review Cabaca] Three Little Monsters karya Aulia Musla

Judul: Three Little Monster

Penulis: Aulia Musla

Baca via: Cabaca App

 

Hello, long time no see~

Jujur banyak banget buku yang aku mulai baca tapi nggak selesai-selesai karena sok sibuk di real life. Lalu aku dapet tawaran untuk berpartisipasi di tur review novel di Cabaca App, salah satu aplikasi baca novel yang berbayar gais.

Aku harus milih salah satu di antara dua novel yang jadi bagian dari tur ini, lalu aku mutusin buat milih novel yang judulnya “Three Little Monsters” karena judulnya menarik dan cover-nya juga bagus HAHA.

source: Cabaca app


Let’s start discussing about it:

Three Little Monster atau TLM bercerita tentang seorang gadis miskin bernama Raina yang hidupnya nelangsa banget pokoknya, mencoba buat ngikutin jejak sahabatnya dengan cara nyari cowo kaya buat dijadiin suami.

Hm hm memang sedikit klise but i deliberately signed up for it! This is why:

Lalu, Raina bertemu Revano, anak tunggal kaya raya pewaris nan tampan yang sayangnya ternyata udah punya tiga buntut dari mendiang istrinya. Mereka, Lea-Ilo-Lily, itulah si biang kerok yang bikin tujuan Raina untuk hidup makmur harus di-pending.

I was expecting a stressful humor from TLM. Udah tau juga pasti trio L ini nggak akan setuju sama Raina dan papanya. Aku berharap cerita ini seger, ringan, dan bikin melek.

And to be honest, TLM reached 50% of my expectation. Not saying it was bad, tapi ternyata perasaan aku ketika baca nggak sesuai aja sama yang aku harapin.

Justru, terlepas dari ekspektasi aku, novel ini bagusss, serius, bacanya sat set sat set. Banyak banget poin plus yang bisa aku kasih untuk Three Little Monsters.

Pertama gaya bahasa yang penulis pake bener-bener enak dibaca, nggak ngebosenin, dan pembawaannya santai banget. Tiap baca babnya, aku selalu ngerasa ini pendek banget tapi ngga tau juga kalau emang seluwes itu makanya aku cepet bacanya haha.

Untuk masalah alur, aku berpendapat kalau alurnya memang sedikit kecepetan. Aku belum terlalu ngerasa ada kemistri antara Revano dan Raina, dan pendekatannya agak maksa. But then I realized the point wasn’t the love story between them.

It’s more about parenting and family.

Raina yang tetep nganggep bapak dan Rival sebagai keluarga meski benci setengah mati. Revano yang nunjukin sikap dan sifat terbaik sebagai seorang ayah tunggal. Juga cerita-cerita Lea, Ilo, Lily, dan cara untuk meng-handle mereka dengan karakter yang berbeda-beda.

Lea si sulung yang bossy, Ilo si tengah yang terlalu aktif, dan Lily si bungsu yang polos dan menggemaskan.

Aku suka gimana cara orang-orang di sekitar anak-anak memperlakukan mereka, penyampaian parentingnya bikin heartwarming, juga sedikit bumbu dramatis yang bikin sudut bibir ketarik haha.

Hanya satu hal yang bikin aku agak meh, yaitu bagian Chaca yang menyadarkan Lea, nggak maksud bilang kalau anak umur 9 tahun nggak bisa bijak, tapi di sini Chaca beneran kayak orang dewasa yang lagi nasehatin anaknya haha.

Overall, Three Little Monster dibuka dengan baik, konfliknya yang dikemas dengan menarik, baca ini bener-bener cepet ngga kerasa banget tau-tau udah bab puluhan aja. Sebenernya ceritanya bisa sedikit lebih diperdalam biar feel-nya lebih kerasa, banyak hal lagi yang bisa lebih digali.

Tapi segini juga udah cukup menyampaikan apa yang penulis maksud, if i am not mistaken haha. Pada akhirnya, keluarga memang berperan penting untuk membentuk diri kita di masa depan. (Go thank your parents right now!)

Last but not least, makasih banyak tim Cabaca app yang udah ngajakin aku buat jadi salah satu reviewer di tur ini. Sukses selalu untuk Cabaca & penulis!!

 

.


.


.

 

p.s this is not important plsss but im a little bit annoyed by the last sentence. Of course i personally still believe happiness is money, money can make us happy (in some ways). If it isnt for money, no way Raina will meet Vano. If it isnt because they have money, no way they could fly to Krui bringing those people and rented a freakin bungalow there lmao. Or maybe it was about something else....adult activity...idk hahahaha

See you on another review, don’t forget to click follow button/submit your email below!

Kamis, 01 September 2022

Over(love)weight karya Desy Miladiana buat kamu yang insecure soal berat badan! (sebuah resensi)

 

source: google


Judul: Over(love)weight

Karya: Desy Miladiana

Penerbit: Elex Media Komputindo (2021)

Jumlah halaman: 282 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Hola! Setelah dua bulan hiatus bikin resensi, akhirnya aku balik lagi! Kali ini aku baru aja beres baca novel Over(love)weight (yang selanjutnya akan kusingkat OLW aja ya) karya Kak Desy. Ciatt so akrab. Ini kedua kalinya aku baca novel beliau, yang pertama itu novel Val(l) for Mars kerjasama dengan penulisnya sendiri.

Jujur aku cukup suka Vall for Mars, drama abis tapi setidaknya plotnya cukup menarik lah ya buat diikutin haha. Yang kepo boleh baca minireview-ku di sini.

Nah, OLW bercerita tentang childhood friends/bestfriends to lovers sekaligus friendzone antara Desya dan Deon. Desya yang kelebihan berat badan dan kelebihan cinta buat Deon dan Deon yang gonta-ganti pacar mulu akhirnya sepakat buat dijodohin sama orangtua mereka karena usia mereka yang udah mau kepala tiga.

Yup, stereotip umur buat masa ideal menikah jadi bumbu utama di novel ini. Alasan klasik sih, tapi mau gimana lagi. Cuma itu satu-satunya jalan biar Desya punya kesempatan buat dapetin Deon.

Sambil pura-pura ‘ikutin aja deh kemauan ortu’ padahal dalem hati seneng, Desya berusaha stay cool mau dinikahin sama sahabatnya itu. Sementara Deon, si anak baik penurut juga iya-iya aja karena dia mikir Desya pasangan yang ideal meskipun nggak ada cinta.

Orang ketiga buat menyadarkan perasaan para pemeran utama jadi bumbu kedua di OLW. Again, classic but acceptable. Muncullah si mantan seksi bernama Bella yang bikin Deon galau lagi. Bukan cuma orang ketiga dari pihak Deon, gak mau kalah Desya juga punya kok orang ketiganya sendiri haha.

Mulai dari karakter-karakternya, aku lumayan suka penggambaran karakter mereka daripada karakter-karakter di novel sebelumnya (Vall for Mars) rasanya mereka lebih mudah dipahami lah.

Meskipun ya ada beberapa scene yang bikin gereget pengen gigit like would anyone at their thirties did something like this..? Of course yes, tapi aku gemes aja HAHA. Desya yang kekanak-kanakan dan Deon plin-plan dan nggak tegas mengomandoi alur novel ini. Jadi setiap tindakan yang mereka lakukan tuh buat aku nepok jidat.

Plot ceritanya sendiri nggak ada yang bisa dibilang istimewa lah ya, kecuali kenyataan bahwa tokoh utama perempuannya anti-mainstream. Kelebihan berat badan emang jadi hal yang bikin insecure banget buat para cewek. Dan di sini memang nggak ada wacana khusus tentang healthy lifestyle karena 100% temanya romance. And somehow, aku juga agak kecewa di bagian ini.

Tapi, ada satu hal yang mau aku garisbawahi di sini. Deon si anak baik jadi highlight sub-tema insecurity di OLW ini. Intinya, gals, masih banyak cowok kayak Deon kok di dunia ini, tapi tetep jangan terlena gitu aja mentang-mentang orang kayak Deon exists ya. Hewhew.

Selanjutnya kemistri. 6/10. I dont really get their chemistry tbh. Kurang sweet aja kalinya interaksinya karena si Deon flat (like he’s just trying to act nicely hiks) dan si Desya suka diem-diem, entah kenapa aku juga ngerasa meskipun udah ada scene romatisnya tapi tetep ga cukup buat ngebangun kemistri di antara mereka.

Label friendship-nya nggak mau ilang dari otakku :’D

And note about the kiss, it’s disgusting for me. Bukannya jadi nambahin kemistri, jujur itu malah buat aku ilfeel sama Deon. Deon is a nice person tho. Ada kelebihan, ada kekurangan haha. Aku ga akan tulis kebanyakan karena nanti spoiler.

Overall, ceritanya yang nggak page-turner ini aku selesain seminggu bahkan sempet dijeda. Gaya bahasanya masih enak dan luwes buat diikutin. Konflik dan karakterisasi aja yang bikin aku mandeg baca OLW. Aku kasih 2.5/5 buat OLW. It means it was okay! Lumayan menghibur dan tipis pula.

Again, this is personal opinion. Buat kalian yang sukaaaa banget tropes dan subtema yang udah aku sebutin di atas, what are you waiting for? Go grab the novel here!

(no quotes for today)

Don’t forget to click follow and/or submit your email for next updates! See you and have a great day!

 

Kamis, 30 Juni 2022

The Star and I, A 55% Heartwarming Story karya Ilana Tan (resensi)

 



source: google

 

Judul: The Star and I

Penulis: Ilana Tan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2021)

Jumlah halaman: 344 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Siapa sih yang nggak kenal Ilana Tan? Penulis lokal yang paling populer deh ini. Tetralogi musimnya yang sukses dan sosok misterius yang kita nggak tau siapa, bikin nama Ilana Tan dikenal di mana-mana.

Jujur, Ilana Tan juga adalah penulis lokal pertama yang aku kepoin, dan bisa dibilang awal mula aku suka baca novel-novel romance. Judul pertama yang aku baca waktu itu adalah Sunshine Becomes You yang sukses besar bikin aku nangis sampai sakit hati hahaha.

Book-hangover yang aku rasain setelah baca SBY tuh ada kali sampai seminggu. Bengong dikit kepikiran Mia Clark, dasar lemah.

Disusul In A Blue Moon, tapi aku nggak terlalu suka buku itu. Lanjut bertahun-tahun kemudian aku mulai baca Tetralogi Musim, yang mana baru aja aku selesain bulan kemarin. Terakhir baca adalah ini, The Star and I, karya terbaru dari Ilana Tan.

Bisa dibilang, aku udah khatam semua karyanya Ilana Tan kecuali Season to Remember sama collabnya.

Dan setelah mabok baca karya Ilana Tan, diakhiri dengan TSaI, sepertinya ini saatnya untukku pensiun baca novel beliau...

Wait..why?

Jadi gini ceritanya.

Setelah marathon Tetralogi Musim (yang populer pada masanya), baca novel-novel itu sekarang buatku udah terlalu biasa. Dari mulai ide cerita dan plot. Semuanya biasa aja. Karakter? Apalagi. Cuma sekumpulan cewek baik dan cowok baik yang dipermainkan takdir.

Lalu aku pikir, oke sekali lagi baca novel Ilana Tan, yang terbaru, sekalian mumpung lagi mood baca novel kontemporer ringan dari penulis yang sama pula.

The Star and I bercerita tentang Olivia, seorang aktris teater asal Skotlandia yang merantau ke Amerika dengan tujuan mencari orangtua kandungnya. Ya, Olivia diadopsi di Amerika lalu dibesarkan di Skotlandia. Di Skotlandia, dia punya temen dari kecil yang bernama Rex, seorang penulis lagu dan pemusik, Di Amerika, Rex membantu Ollie untuk mencari ortu kandungnya sekaligus kangen-kangenan karena mereka udah sembilan tahun nggak ketemu karena suatu kesalahpahaman.

Setelah namatin novel ini, yang rasanya kering dan serak butuh minum itulah akhirnya aku berpikir kayaknya aku harus udahan baca novel Ilana Tan. Soalnya, menurutku nggak ada perubahan sama sekali dari semua novel yang beliau tulis. Semua novelnya terasa warm tapi flat banget.

Melanjutkan series sebelumnya mengambil latar belakang di luar negeri, The Star and I cuma nyeritain kisah cinta biasa. Keseharian Ollie si gadis manis baik hati di Amerika sebagai aktris teater, dateng ke pesta, jalan-jalan, jatuh cinta..dan Rex si ganteng kalem yang cuma bisa senyum sama Ollie doang alias kaku sama cewek lain.

Disisipi oleh kisah dari pov sang detektif, Robert, yang nyeritain beberapa tokoh lain selama pencarian orangtua kandung Ollie. Dan itu juga biasa aja, cuma selewat doang.

Part yang mulai bikin aku bersemangat adalah ketika akhirnya ada hilal buat nemuin ibu kandung Ollie. But what did i expect? Ilana Tan bukan penulis yang gemar bikin ‘drama makjang’ kalaupun ada drama, ya masih normal aja gitu. Like it will definitely happen in the real world, 100% make sense.

Plotnya datar, konfliknya datar, karakterisasinya juga datar. Mungkin novel ini consists of 55% heartwarming lah ya, karena karakter-karakternya yang seperti balls of sunshine, serta gaya bahasanya yang adem dan ngalir. Terlebih, aku lumayan suka sama gimana Olivia menghadapi masalahnya dengan ibu kandungnya. Nggak lebay, tapi nggak sok kuat juga.

Well, it isn’t enough for me, tho.

Dari sinilah aku mulai sadar..

Ini novel Ilana Tan semua ternyata gini-gini aja ya. No something new, no something fresh. Baca tetralogi musim sama baca The Star and I (yang beda bertahun-tahun) malah jadi nggak ada bedanya buatku. Kayak ditulis di satu timeline yang sama.

Jangan-jangan kalau aku baca SBY sekarang pun rasanya udah biasa kali ya..yang bedainnya mungkin Alex Hirano tuh cowok ngeselin awalnya, jadi ada characters development lah walau sedikit. Ditambah aku suka trope enemies-to-lovers juga sih.

Overall, nggak banyak yang bisa aku ceritain dari The Star and I. Buat yang kangen novel-novel ala Ilana Tan, ya monggo dibaca, tapi ya kamu mungkin nggak akan nemu hal baru. Buatku sendiri, novel ini terlalu datar dan nggak ada yang menarik. Dunia seni peran juga cuma ada beberapa poin aja yang dijelasin tapi nggak terlalu ngaruh sama keseluruhan cerita.

Eksekusinya entah kenapa bikin lega haha. Nggak bisa jelasin, tapi ending-nya adalah hal terbaik nomor satu dari novel ini menurutku.

That’s all. Thank you for reading and see you on another review! Jangan lupa koleksi novel Ilana Tan yang ini tambahin ke rakmu dong, klik di sini!

Dont forget to click the follow button/submit your email for new updates!

 


Kamis, 12 Mei 2022

Toxic Masculinity dalam The Name of The Game karya Adelina Ayu (resensi)

 



source: google
 

Judul: The Name of The Game

Penulis: Adelina Ayu

Penerbit: Bhuana Sastra (2019)

Jumlah halaman: 331 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Sebenernya agak takut nulis ini karena gue liat-liat rating dan resensi novel TNoTG tuh tinggi dan bagus-bagus semua! Nggak, bukannya gue bakal nulis yang jelek cuma karna gue ngasih bintang tiga kok.

Tapi ini murni masalah selera. So, dont get me wrong. Gue cuma berasa berada di zona lain dari orang-orang normal haha.

Oke jadi The Name of The Game ini bertema Young Adult dengan Toxic Masculinity sebagai temanya. Isinya sendiri bercerita tentang tiga remaja kuliahan yang saling terpikat gitu deh.

Ada Flo, maba sastra Perancis UI yang naksir kakak tingkat jurusan mesin bernama Daryll (cowo yang maskulin) dan dia juga deket sama Zio (cowo yang feminin) kakak tingkatnya di jurusan arsitektur. Sementara itu, Daryll dan Zio ini punya love-hate-friendship sejak SMP.

Yang Flo nggak sadar adalah, Zio juga ternyata naksir dia. Yah, semacam cinta segitiga gitu deh.

Novel ini, bisa dibilang adalah buku tentang toxic masculinity versi fiksinya. Kalau kamu pengen baca dan memahami apa itu toxic masculinity dengan mudah, novel ini bakal kasih kamu jawaban selengkap buku paket sekolah. Plus, disuguhin cerita cinta juga. Paket komplit gak tuh?

And that is where it started. Saking mendidiknya, gue jadi nggak menemukan keseruan alurnya. Kayaknya nyaris semua paragraf, semua bab, bener-bener ngungkapin opini yang bagus tentang social issue yang emang anget banget khususnya di Indonesia.

Gue diajak membaca tentang perasaan Zio, cowok feminin yang meskipun feminin tapi dia tetep aja laki-laki. Dan nilainya sebagai laki-laki nggak berkurang. Gue diajak kenalan sama Daryll, yang bener-bener menghargai orang lain sesuai apa adanya, dan maskulinitas dirinya sendiri bukan karena dia dituntut untuk menjadi seperti itu.

Jangan tanya soal Flo, karena menurut gue dia terlalu fiksi. I mean...Flo satu-satunya cewek yang bisa nerima Zio dan nggak ilfeel, nggak ngatain bla bla. Hhe. I dont have any problem about her character tho. Ada sih satu scene di mana Flo bilang “warna pink kan buat cewek –cowok itu warna biru”, tapi cuma segitu aja, selebihnya dia sangat open minded lah ya.

Di sini gue sangattt amattt suka sama penulisan karakternya yang kuat. Khususnya buat Zio dan Daryll. Gue suka gimana cara penulis bikin posisi, ngeluapin perasaan, dan pikiran mereka lewat kata-kata. Semuanya pas dan terasa deep. Zio dan Daryll ini tokoh-tokoh yang konsisten ditulis.

Gue paling suka dengan identitas Zio yang suka banget vanilla, sementara Daryll yang suka milo, buku cerita anak, dan punya banyak hewan peliharaan. I’m so soft for them:”)

Just like what i said before, buku ini adalah buku yang mendidik dengan cara yang menyenangkan. Siapapun yang baca buku ini, gue yakin bakal ningkatin lagi kadar empati kalian terutama saat ngadepin sosok kayak Zio.

Wait, gue sebenernya agak sedikit bingung sama Zio. Dia nggak mau dikatain banci/bencong dan berpura-pura bisa nerima tapi kenapa ya dia malah sering pake bahasa banci? Apa itu choping mechanism-nya karena diejek terus? Idk. It just doesnt sit right with me.

Menurut gue cukup Zio jadi karakter yang kenal skincare, cara ngerawat diri, dan punya kesukaan yang beda sama apa-yang-orang-bilang-maskulin, tanpa perlu dia pake bahasa banci.

Satu hal yang bikin gue gak ‘match’ sama novel ini adalah dari segi alur dan konfliknya. Sejujurnya, gue kurang suka konflik yang nggak ‘bulet’. Dari awal sampe ngelewatin setengah buku, gue cuma diajak jalan-jalan mengenali karakter Zio dan Daryll lewat Flo dan belajar soal toxic masculinity itu sendiri.

Gue bahkan sampe lupa kalo cerita ini ada cinta segitiganya haha. Maka dari itu gue baca novel ini nyaris sepuluh harian lah. Karena gue nggak punya alasan untuk terus kepo sama apa yang terjadi selanjutnya. Sorry for saying this. Konfliknya nggak page-turner buat gue.

Belum lagi, menurut gue di novel ini terlalu banyak telling daripada showing-nya seolah-olah novel ini emang dibuat buat pure mengedukasi/menekankan banget pelajaran daripada menghibur (yang diselipi edukasi). Hal ini juga bikin gue sedikit turn-off karena berasa lagi didikte.

Tapi harus gue akui, cukup banyak quotes yang menampol. Kalau aja nggak terlalu gamblang, novel ini bakal deket banget ke perasaan gue kayak The Midnight Library-nya Matt Haig.

Bicara soal toxic masculinity-nya, gue juga menyaksikan langsung kejadian ini waktu gue kuliah. Nggak mau bilang gue si paling open minded, tapi gue bisa paham dan ngerti sama isu ini.

So, bukan hal baru bagi gue pas baca tema kayak gini. Tapi, gue tetep ngerasa seneng baca buku yang ngangkat isu sensitif ini dan berharap makin banyak yang baca novelnya!

Overall, menurut gue sebagai pembaca (terutama genre fav gue nomer satu itu fantasi) gue sangatt amat menilai sebuah novel dari segi alur dan konflik yang disajikannya duluan. Gue bahkan baca apa pun genre atau temanya asal alurnya seru buat diikutin.

Konflik soal Zio yang mempertanyakan ulang tentang dirinya sendiri (krisis identitas?) karena sosok maskulin Daryll yang disukai oleh cewek yang dia suka buat gue belum cukup untuk bikin gue menyukai alurnya. Sisanya, novel ini sangat amat layak dan high recommended buat dibaca.

The story was good but it was just not for me. So, i only gave 3 for The Name of The Game!

 Tertarik buat baca dan beli novel The Name of The Game? Psst hati-hati novel bajakan! Beli yang ori di sini!

p.s gue masih penasaran sama Daryll. Di awal dia keliatan jadi salah satu tokoh utama, tapi makin kebelakang justru dia kayak cuma figuran bagi kisah Flo dan Zio. Menurut gue, dia cuma kayak jadi pecutan untuk character development-nya Zio. Huhu. Sad.

Gue pengen baca kisah Daryll, tapi yang ada cuma cerita Andra dan Shaien. Not sure if i will read that book or not.

Dont forget to click follow button or submit your email below! See you on another review!

 

 

 

 

 

 


Progresnya Berapa Persen? by Soraya Nasution (resensi)




source: google



Judul: Progresnya Berapa Persen?

Penulis: Soraya Nasution

Penerbit: Elexmedia Komputindo (2019)

Jumlah halaman: 359 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Lagi, penasaran sama novel ini karena keracunan base di twitter haha. Seberapa kece sih si tokoh utama laki-laki di Progresnya Berapa Persen? sampe orang-orang banyak yang bucin?

Well, PBP? bertema office romance. Agak jarang sih baca tema ini, yang aku inget tuh pertama dan terakhir kali baca tema ini cuma Resign dan Ganjil-Genap punyanya Almira Bastari. Sekarang nyoba lagi dari penulis lain.

Ini pertama kalinya baca punya Soraya Nasution, kesan pertamanya, weh buseh, nyaris mirip sama Resign dari segi premisnya. Bos yang diem-diem naksir pegawainya. Si bos lempeng aja berasa lagi pdkt watados sementara si pegawai kebingungan sama tingkah si bos.

Meski premisnya mirip, tapi alur ceritanya tetep beda kok. Gue masih tetep penasaran sama sosok Dewangga si tokoh utama ini.

Secara garis besar, office romance ini termasuk yang slowburn dari sisi romance-nya. Di awal, yang banyak diceritain adalah keseharian para pegawai kantor di perusahaan. Meskipun gaya penulisannya enak buat diikutin, somehow gue ngerasa lagi masuk ke tongkrongan orang lain.

Banyak banget dialog sehari-hari, becanda, ngobrol biasa, yang kadang bikin gue mikir ini penting gak sih dimasukin ke novel. Karena gue mikirnya beberapa ada yang nggak perlu dan nggak ngaruh sama konfliknya sendiri.

Tapi karena konfliknya juga nggak terlalu keliatan, novel ini jadi kayak snack ringan yang bisa dibaca kalau lagi nggak ada kerjaan aja. Jadi gue mewajarkan aja deh banyak percakapan nggak penting.

Yang bikin gue suka sama novel ini adalah banyaknya kegiatan kantor yang dimasukin, detail soal pekerjaan konsultan bidang konstruksi. Meskipun gue nggak ngerti padahal udah ada catatan kaki tentang istilah-istilah teknik, tapi gue tetep aja suka baca novel yang membahas hal-hal baru buat gue. Anak teksip akan menyukai novel ini mungkin ya haha.

Lanjut soal karakter, di sini orangnya banyak, rame bener deh. Ada Pak Dewangga, April, Sheila, Kenzo, Naufal, Clinton, Adrinta, sama Ryan. Maap kalo ada yang kelewat. Untungnya, novel ini punya pov orang pertama April, jadi nggak terlalu pusing sama karakter-karakter lain.

Kalo mereka bilang mereka adalah circle yang paling bikin betah dan nyaman selama di kantor, gue sebagai pembaca yang ngintip obrolan dan keseharian mereka di kantor, mohon maaf untuk tidak setuju HAHA. Apa ya, menurut gue nggak ada yang menarik dari pertemanan mereka. biasa aja. Humornya juga gak banyak yang nyampe ke gue.

April sebagai tokoh utama pun menurut gue biasa aja. Nothing special. Lalu buat Pak Dewangga alias Pakde, menurut gue sama aja haha. Kalo bandingin sama Tigran sih, emang lebih creepy Tigran. Tapi entah kenapa gue nggak terlalu suka sama tipe-tipe kayak mereka, yang seolah-olah nggak mikirin posisi/perasaan partnernya dan tetep ngelancarin serangan pdkt.

Konfik baru dimulai saat Pakde mau deketin April, dan sekali lagi menurut gue alur konflik sampai ke penyelesaian nggak begitu menarik. Apalagi dengan ending yang udah kentara banget, makin bikin gue mikir nothing special with their relationship. No baper baper kayak yang orang lain bilang. Atau gue yang aneh aja kali y?

Overall, novel ini cocok dibaca bagi penggemar office romance yang asik, ringan, ngalir, dan nggak banyak drama. Nilai plus gue buat novel ini cuma terletak di kegiatan kantornya aja yang bikin gue punya insight baru. Sisanya, so-so lah. Not exciting alias biasa aja haha.

Gue baca ini cuma karna penasaran sama Pakde, turns out he’s flat. Tigran memang creepy, tapi karena tokoh ceweknya yang rempong dan abur-aburan, jadi Resign menurut gue lebih gereget. Nah PBP ini versi kalemnya lah.

Jadi, gue cuma ngasih 2.5 aja buat Progressnya Berapa Persen? Mungkin bakal baca karya Soraya Nasution yang lain kalau mungkin premisnya lebih menantang. Hehe. 

Mau koleksi novel ini? Jangan lupa beli yang ori! Klik link di sini!

Dont forget to click the follow button or submit your email below! See you on another review!

'Macet-macetan' di Ganjil-Genap karya Almira Bastari (resensi)

 

source: goodreads



Judul: Ganjil Genap

Penulis: Almira Bastari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 344 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Setelah sukaaa banget sama Resign! aku pengen banget baca lagi karyanya Almira Bastari. Tapi waktu itu lagi nggak mau baca wedding marathon, jadi pas Ganjil Genap terbit, tertarik dong, dan baru bisa baca sekarang.

Awal-awal baca ini auranya udah mirip Resign deh, kayaknya menyenangkan dan ngalir. Semangat banget bacanya walaupun nggak tau tokoh utamanya siapa.

Ganjil-Genap bercerita tentang Gala yang baru aja diputusin sama pacar 13 tahunnya yang bernama Bara. Katanya sih, Gala terlalu baik dan Bara sekarang mikir kalau Gala bukan orangnya, alias bukan orang yang tepat buat dinikahin Bara. Bah.

Sialnya, ternyata adik Gala yang bernama Gisha mau nikah juga. Masa ngeduluin kakaknya sih? Mana Gala juga tahun depan udah umur 30. Sasaran empuk banget buat jadi bulan-bulanan keluarga ga sih?

Makanya Gala mutusin untuk cari cowok baru yang kalau bisa bakal ditarik ke pelaminan sebelum keduluan Gisha. Seluruh isi novel inilah yang menceritakan perjuangan Gala buat nemuin pasangan baru.

Di awal, aku sempet gereget karena nggak tau siapa male lead di novel ini. Pas Gala ketemu satu cowok, eh gagal. Ketemu yang lain, gagal lagi. Gemes banget! Padahal kan aku pengen mulai nge-ship gitu haha.

Trus akhirnya ada satu cowok yang muncul terus-terusan, nah, kalau aku sebutin namanya, spoiler nggak ya? Pokoknya bilang aja si A. Dari setiap tragedi di hidup Gala, si A ini muncul terus. Sayangnya, aku kurang suka sama karakter si A.

A ini menurutku adalah red flag berjalan. Karakternya creepy, bikin ngeri-ngeri sedap lah. Touchy, gombal basi, posesif, arghh i caaant.

Trus karakter Gala sendiri, entah kenapa aku juga nggak begitu suka dia. Menurutku, dia flat, nggak ada uniknya meskipun kata Gala sih dia beda dari cewek-cewek lain. Ga tau deh di mana bedanya. Perasaan dia biasa aja.

Yang paling bikin aku nggak terlalu menikmati novel ini adalah konfliknya sendiri. Agak nggak terlalu masuk akal menurutku. Gatau ya kalau kalian ada yang pernah ngalamin ini. Aku sih, cant relate haha.

Gala ini nggak punya sedikitpun masalah selain jodoh. Hidupnya sempurna. Di poin ini, aku merasa ada yang nggak beres deh. Masa sih, nggak ada faktor lain gitu? Jadi bener-bener fokus cuma di cari jodoh aja.

Dia diputusin Bara setelah pacaran selama 13 tahun tapi nggak terlalu kerasa galaunya. Malah langsung cari cowok baru? Are you kidding me.. emang sih pas beberapa kali dikatakan kalau Gala keinget Bara mulu dan nangis pas ketemuan. But those were not enough for me.

Yang paling mengherankan, tiap Gala inget kelakuan Bara selama mereka pacaran tuh nggak ada bagus-bagusnya dah si Bara?? Cenderung sama-sama red flags kayak si A. Kok bisa mau pacaran sampe 13 tahun?

Menurutku, konfliknya agak gimana gitu. Emang sih banyak yang diomongin kalau nikah terlalu tua bagi cewek cuma aku tetep ngerasa aneh aja. Konteksnya kan Gala baru diputusin, harusnya bisa lebih perhatian lah, masa iya sampe segitunya nyari cowok demi nggak diduluin adik.

Pokoknyaaa, aku nggak sreg sama konfliknya. Kalaupun memang beneran ada yang kayak gini, paling aku cuma bisa heran aja deh, why are people so sick?

Terus, ternyata meskipun gaya bahasanya yang tetep asik kayak Resign, aku nggak seterhibur pas baca Resign sih. Humornya nggak sampe ke aku. Kisah pertemanan Gala juga biasa aja. Duh.

Dari awal sampe akhir ini novel biasa aja. Flat jadinya. Ditambah karakter A yang ew banget. Aku tadinya mutusin buat ngasih 2 bintang aja ke GG T_T

TAPI, thank God, eksekusinya bikin aku lega hahaha pokoknya baca aja deeeeh. Ending yang nggak aku sangka bakal dipake, udah tegang, udah mau ngasih 2 bintang, ehhh jadi naik ke 3.

Overall, aku tetep nggak terlalu suka GG sih. 2 bintang juga cuma karna ‘it was ok’. Boleh lah dibaca buat kalian yang mau tips cara mengatasi kejombloan, aku sih belum perlu. Nambah satu bintang lagi karena endingnya bagus. Dah segitu aja.

Dont forget to click follow button/submit your email! See you on the next review!

Minggu, 17 April 2022

Teenlit Campur Scifi di Dreamology by Lucy Keating (resensi)

Judul: Dreamology

Penulis: Lucy Keating

Alih Bahasa: Aline Tobing

Penerbit: Elex Media Komputindo (2018)

Jumlah halaman: 252 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Pertama kali liat Dreamology versi originalnya, aku langsung jatuh cinta sama cover-nya. Dari situ aku mutusin kalau aku harus bacaaa novel ini. Harusss. Mana judulnya juga unik banget. Pasti ceritanya kece. Iya, dulu bener-bener cuma tertarik sama judul dan cover tanpa tau itu ceritanya tentang apa haha.

Cover yang bikin aku jatuh cinta itu kayak gini:


source: goodreads


Bertahun-tahun kemudian, waktu lagi main ke Gramedia, aku nggak sengaja nemu si kuning kecil ini.


source: goodreads


Wait, what? Dreamology? Dreamology yang cover orinya cakep itu? Dan ternyata bener, Dreamology udah diterjemahin ke bahasa Indonesia. Tapi kok nggak terlalu hype ya. Diem-diem bae.

Dan setelah 4 tahun terbit versi Indonesianya, aku baru punya kesempatan untuk baca Dreamology sekarang. Ekspektasiku tuh, judul unik, cover cewek banget, sinopsis oke, wow pasti ceritanya ringan dan cute gitu kan. Ditambah lagi jumlah halaman yang nggak sampe 300! Semanget banget buat baca.

Ketika buka novelnya di hp, jederrr, ternyata font-nya juga ikutan cute T_T [mnelan ludah] bisa nggak ya baca? Bisa sih kayaknya, cuma teenlit..kan?

So, Dreamology bercerita tentang Alice yang setiap hari memimpikan anak cowok bernama Max. Di mimpinya, yang udah berjalan tahunan, Alice dan Max sekarang pacaran. Mereka udah akrab dan deket banget di dunia mimpi.

Lalu tiba-tiba Alice harus pindah ke rumah peninggalan neneknya dan tentu aja harus masuk ke sekolah baru. Yang mengejutkan Alice, di sekolah barunya dia malah ketemu sama Max. Max asli. Nyata. Versi dunia. Versi real-nya.

Kalau di dunia mimpi Max itu hangat dan baik hati, Max asli ini lebih dingin dan cenderung jauhin Alice. Seakan belum puas bikin Alice kaget, ternyata Max juga selama ini mimpiin Alice. Mereka berbagi mimpi yang sama dan saling mengingat satu sama lain.

Kok bisa..?

Well, kesan pertamaku pas lagi baca ini, awalnya aku bener-bener semangat karena masih mikir ini premis yang lucu dan unik. Kebayang kisah klise ala wattpad gitu cuma dikemas dengan lebih rapi. Dont get me wrong, aku suka baca cerita klise yang imut asalkan rapi aja sih dan gaya penulisannya juga enak.

Tapi justru yang aku alami adalah aku malah bosan. Mataku capek baca font kecil ini. Ditambah lagi narasinya yang menurutku terlalu ‘maksa’ supaya jadi asik tapi jatohnya malah aku hilang fokus tiap baca narasinya.

Menurut aku terjemahannya udah rapi sih, jadi kemungkinan yang bikin aku turn-off emang gaya bahasa si penulisnya sendiri. Aku nyelesain buku ini cukup lama, karena ngantuk terus tiap baca, malah aku yang anti selingkuh sama buku lain, jadi tergoda untuk selingkuh haha.

Salah satu ekspektasi aku yang lain adalah, aku kira novel ini cuma novel remaja biasa dengan bumbu sedikit fantasi karena kedua tokoh utamanya saling mimpiin satu sama lain. Ternyata aku salah, Dreamology bercerita tentang sains modern. Bisa dibilang ini ngebahas fiksi sains.

Untuk sci-finya, aku mungkin nggak akan bahas terlalu banyak, karena aku sendiri nggak ngerti HAHA apaan sih ga jelas banget, mau nangis tiap ngebahas sainsnya. Nggak masuk di logikaku, entah karena faktor font kecil yang bikin males atau gaya bahasa yang bikin pusing.

Intinya, fenomena Alice dan Max bisa dapet mimpi itu adalah karena mereka pernah diterapi waktu kecil, bersamaan, di tempat yang sama. Alice mimpi buruk terus karena satu hal, makanya dia mulai ngejalanin terapi. Dari situlah mimpi mengenai Max muncul, bisa dibilang, mimpiin Max adalah choping mechanism-nya Alice dari traumanya. Begitupun sebaliknya.

Konflik di novel ini adalah saat Alice dan Max ternyata sadar kalau mereka nggak bisa terus mertahanin mimpi ini, juga karena ternyata fenomena ini bisa membahayakan mereka. Dari situlah keduanya, dibantu Sophie dan Oliver, berencana untuk menghapus mimpi-mimpi itu selamanya.

Selain gaya bahasa yang nggak enak dibaca, aku sendiri nggak gitu srek sama kedua tokoh utama di novel ini. Mereka cuma remaja sih, remaja biasa. Wajar masih suka bingung, naif, plin-plan, ngedepanin emosi daripada logika. Sayangnya karena terlalu biasa inilah, aku nggak nemuin bagusnya apa.

Karakter keduanya nggak ngena di perasaanku. Jadi aku bener-bener baca ini murni karena pengen tau aja endingnya. Musnah sudah impianku buat baca cerita yang imut-imut. Karena menurutku, cerita remaja mereka (di luar bahas sains) nggak imut sama sekali. Nggak bikin senyam-senyum. Nggak ikutan baper. Cuma dua kata sih: flat abiz. Aku cuma beberapa kali nyengir, nggak sampe lima kali, itupun cuma dua detik aja, yang bahkan aku udah lupa di scene apa haha. Parah banget gue.

Overall, mungkin ini murni karena berekspektasi ketinggian, nggak baca review orang lain dulu (soalnya takut jadi males baca), Dreamology wasnt my cup of tea. Capek, bosen, ngantuk, nggak ada yang spesial, bab mimpi bikin puyeng karena mimpi mereka kebanyakan sureal/abstrak, eksekusi yang biasa aja, font kecil punnn. Bah.

Akhirnya aku cuma bisa kasih 2 buat Dreamology karena ide/premisnya yang unik dan menjanjikan serta cover-nya yang lucu. Segitu aja kesan-kesanku buat novel ini. Aku bersyukur banget nggak beli fisiknya hahaha.

Dont forget to click follow button/submit your email below! See you on another review!

 

 

Selasa, 05 April 2022

Mengenal Budaya ‘tragis’ Lewat Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam by Dian Purnomo (resensi)

 

source: goodreads


 

Judul: Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam

Penulis: Dian Purnomo

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 320 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Novel ini adalah salah satu novel yang sering banget aku liat seliweran di timeline Twitter-ku, khususnya di salah satu base buku yang paling terkenal. Nggak usah sebut merk lah ya haha.

Terus aku mulai cari tau deh, ini novel tentang apa, kenapa sampai direkomendasi sekenceng itu, bahkan cap trigger warning di cover buku ini bikin aku tertantang untuk baca which was so stupid of me lol. Juga karena antrean di iPusnas yang sampai ribuan.. gila sih. I wanted to read this book so bad!

Singkat cerita, akhirnya aku baca deh. Di bab pertama, bahkan halaman pertama, aku udah disuguhin kata-kata mencurangi kematian dan aksi bunuh diri. Waktu baca ini, bagiku ini bukan salah satu trigger warning yang bikin aku mundur, justru makin gaskeun haha.

Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam berkisah tentang seorang gadis Sumba bernama Magi Diela, sarjana pertanian, gadis kuat yang bercita-cita ingin membawa tanah Sumba menjadi lebih baik lagi.

Celakanya, salah satu budaya adat Sumba bernama membawa kabar buruk untuk cita-cita Magi. Tradisi itu adalah tradisi untuk menculik seorang gadis ke rumah laki-laki untuk dinikahi. Nantinya, pihak laki-laki akan mengunjungi rumah si perempuan untuk melamarnya, gitulah kira-kira. Biar direstui.

Tapi itu cuma berlaku untuk zaman dulu, sebelum ada HAM kali ya. Sekarang, seharusnya tradisi itu harus dilakukan dengan perjanjian dulu sebelumnya, memang ada rencana pernikahan di antara kedua belah pihak, dan tradisi ini hanya sebagai jalan untuk mempermudah prosesnya. Pls cmiiw because that is what I learned from the book.

Magi Diela diculik oleh lelaki mata keranjang yang jahat bernama Leba Ali. Dipaksa menikah oleh Ama Bobo (ayahnya) karena menganggap peristiwa penculikan selama dua hari itu sebagai aib Magi dan keluarga mereka. Bagi Ama Bobo, nggak akan ada yang mau lagi menikahi Magi karena peristiwa itu.

Tapi Magi sebagai perempuan yang tangguh, terutama karena dia berpendidikan, nggak mungkin diam saja pasrah menerima ketidakadilan dan pemaksaan ini. Dari sinilah cerita itu dimulai, cerita Magi untuk menjaga harga dirinya, martabatnya, mendapatkan hak kebebasannya, dan memperjuangan setiap hak perempuan lain yang mungkin mengalami hal yang sama dengannya akibat tradisi ini.

Cukup segitu cerita garis besarnya, nanti spoiler. Fyi, karena ini menyangkut tradisi, budaya salah satu daerah di Indonesia, bahkan isu sosial kayak HAM; pelecehan, pemerkosaan, kekerasan dll pokoknya yang berat-berat deh, makanya aku nggak bisa bikin proper review kali ya. Soalnya aku takut salah haha.

But here are my thoughts about this book:

Aku sempet mau DNF pas baca flashback penculikan Magi selama dua hari di rumah Leba Ali. Di situ ternyata barulah trigger warning-nya berfungsi di otakku T_T ngeri banget dan aku nggak terlalu suka konten eksplisit, apalagi ini konteksnya penculikan.

Tapi aku tetap mutusin untuk baca, aku pengen tau gimana perjuangan Magi, gimana akhir ceritanya, gimana agar tradisi itu jadi tradisi yang sebaiknya nggak lagi dipertahankan di Sumba.

Selama baca ini, ke tengah-tengah cerita, aku mulai nyaman karena nggak ada lagi konten eksplisit. Cerita ini mulai lebih fokus ke masalah keluarga, Ama Bobo yang masih ngotot ingin Magi tetap melanjutkan pernikahan sementara Magi teguh juga dia mau mempertahankan martabatnya terlebih karena Leba Ali itu orang jahat. Super jahat.

Dan jujur kalau ada di posisi Magi, bener-bener dia serba salah. Banyak hal yang dia korbankan demi menegakkan keadilan. Perasaannya, keluarganya, cita-citanya, harga dirinya. Kayak.. dahlah mau nggak mau memang harus berkorban sampe Magi nggak punya apa pun yang tersisa T_T

Cerita ini cukup menyiksaku karena ternyata, hidup ini seberat itu ya. Meskipun beban dan masalah semua orang itu berbeda-beda, tapi rasa sakitnya tetep ada, tetep sama beratnya, sama sakitnya. Jujur aku nangis di beberapa bagian pas baca buku ini. Makin ke belakang makin ngeri sendiri, takut, deg-degan, ini Magi gimana?? Magi mau ngapain?? AAAAA..

Lalu di seperempat terakhir, aku kembali ke-triggered karena nggak nyaman sama konten eksplisit yang kembali hadir. Pengen rasanya skip saking mualnya. Tapi ya gimana, udah tanggung juga. Jadi aku cepet-cepet aja bacanya biar ga kebayang-bayang.

Tapi ternyata hasilnya...jeng jeng. Baca sendiri aja deh biar seru.

Overall, novel ini mengandung banyak hal yang bisa aku pelajari. Mulai dari adat istiadat, tradisi, budaya di Sumba, termasuk bahasanya. Di sini, percakapannya menggunakan bahasa Sumba, maaf nggak tau apa nama bahasanya kalau emang ada, yang mana aku awalnya bingung bacanya gimana, ada kata yang sama kayak bahasa Indo tapi disingkat gitu. Tapi lama-lama aku ngerti dan aku seneng bacanya^^ lebih berwarna aja gitu dibanding baca dialog yang bahasa Indonesia informal.

Penceritaan semua karakternya kuat dan khas banget, aku seperti di bawa langsung ke Sumba untuk mengikuti kisahnya. Bahkan aku sampe bulak-balik Gmaps buat liat perjalanan Magi biar lebih nyata haha terniat.

Dan aku sangat amat puas banget dengan endingnya!! Rasanya satisfying banget tau gimana kondisi si itu sekarang haha.

Selain belajar budaya Sumba, aku juga belajar untuk menjadi tangguh, cerdas, dan tetap berhati lembut serta patuh kepada orangtua/leluhur seperti Magi Diela. Ya, cuma belajar aja, praktiknya kapan-kapan haha. Kadang mikir aku gereget banget sama Magi yang...SEBAIK itu. Kok bisaaaa?

Karena sejujurnya aku nggak mungkin bisa sebaik Magi. Ya Tuhan, aku itu anak bandel dan rebel. Bukannya nurut demi kemauan/menyenangkan ortu, mungkin aku bakal ngamuk HEHE. Instead of nurutin keinginan ortu yang aku nggak mau, aku mungkin bakal bujuk ortu untuk berubah pikiran hm hm. Mamaku gampang diomongin untungnya.

So, aku bener-bener nggak tau harus ngasih bintang berapa untuk novel ini. Novel ini bukan untuk mencari hiburan, apalagi dinikmati ceritanya. Karena terlalu suram, pedih, dan menyakitkan pokoknya. Dan aku nggak menikmati novel ini sedikitpun (karena temanya) tapi penulisan novel ini bagus dan sangat disayangkan untuk dilewati pokoknya. Highly recommended but beware of the trigger warning(s)!

Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya beneran berharga. Values inilah yang bikin aku ngasih 5 untuk Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam, perempuan-perempuan yang lagi berjuang, perempuan-perempuan Sumba, perempuan-perempuan Indonesia, dan seluruh perempuan di dunia. We are the strongest human being that ever existed!

 

Senin, 14 Maret 2022

The Perfect World of Miwako Sumida (resensi)

 

source: goodreads



Judul: The Perfect World of Miwako Sumida

Penulis: Clarissa Goenawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 368 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Pertama kali baca novelnya Clarissa Goenawan. Akhirnya kesampean juga. Waktu pertama Rainbirds terbit, aku juga tertarik liat kover dan judulnya tapi tiap ada kesempatan baca di ipusnas rasanya males buat memulai. Mungkin karena blurbnya yang terkesan gloomy dan berat.

Tapi beda waktu pertama kali baca blurb TPWoMS ini, aku langsung tertarik dan langsung masukin ke daftar to-read di Goodreads haha.

TPWoMS bercerita tentang Miwako Sumida, well, not really actually, novel ini bercerita tentang tiga orang anak manusia yang kebetulan sama-sama kenal dan berhubungan dengan Miwako. Karena konflik dimulai dan cerita didasari karena Miwako yang bunuh diri, jadi ketiga orang tersebut nyeritain tentang Miwako deh.

Suicide case? Mystery? Lil bit thriller? At least those were what I thought I would find in this book. Reality? Not really haha.

Novel ini mengajak aku buat lebih mengenal sosok Miwako lewat tiga narator, sekaligus menikmati kisah tiga naratornya juga. Yang pertama ada Ryusei, cowok ganteng yang ketemu dan jatuh cinta sama sosok Miwako. Yang kedua ada Chie, sahabat Miwako. Dan yang ketiga ada Fumi-nee, kakak Ryusei sekaligus orang yang mempekerjakan Miwako di studionya.

Dari halaman pertama baca novel ini, aku udah mulai betah bacanya. Gaya penulisannya enak dibaca, thank the translator ya soalnya aku jadi nggak bosen meskipun ceritanya ngalir-ngalir adem gitu cocok buat bobo siang.

Alur cerita yang ditata dengan rapi pun bikin aku menikmati ceritanya. Dari mulai Ryusei yang jatuh cinta, selain bisa ngeliat gimana karakter dan kehidupan Ryusei, tentu sang tokoh utama Miwako juga digambarin dengan jelas di bagian satu ini. Sebenarnya aku sedikit kesulitan ngebayangin gaya penulisan yang mendayu-dayu ini dituturkan oleh pov kesatu laki-laki. Entah kenapa nuansanya lebih cocok pov perempuan, imo.

Di bagian kedua ada bagiannya Chie. Ada yang sedikit berbeda di bagian ini karena pov berganti jadi pov orang ketiga meskipun dari sudut pandang Chie. Alurnya juga jadi maju mundur, nyeritain gimana awal hubungan Chie dan Miwako.

Di bagian ini juga, daripada lebih mengenal sosok Miwako, aku justru lebih disuguhi karakter dan konflik batin Chie sendiri. Bisa dibilang, Miwako di sini hanya tempelan, karakter pendukung hidup Chie. Bagian ini nunjukin kalau Chie bener-bener kehilangan Miwako tapi dia berusaha untuk menerima kenyataan. Persahabatan Chie dan Miwako juga cukup seru dan hearwarming pas dibaca.

Di bagian ketiga ini adalah bagian yang paling seru. Awalnya aku mikir, Fumi nggak terlalu deket sama Miwako seperti Ryusei dan Chie, tapi kenapa dia dimasukin jadi salah satu narator? Dan yap, dari ketiga bagian, bagian Fumi adalah favoritku!!

Masih dengan pov ketiga sudut pandang Fumi, awalnya aku diajak untuk sedikit-sedikit flashback ke masal lalu Fumi sampe mikir, ini novel kok makin lama makin ngilang aja si Miwako? Kok jadi bahas Fumi? Tapi ternyata ya spekulasi hanyalah spekulasi, karena di akhir, benang merah pasti muncul haha.

Nggak bisa terlalu ceritain bagian Fumi karena akan major spoiler, darimulai identitas Fumi, plot-twist yang membagongkan, a lil bit thriller dan horor yang bikin aku –yang tadinya santai aja baca pas mau tidur lampu udah pada mati jadi merinding sendiri nengok kanan kiri haha.

Di bagian ini pula, rasa penasaranku soal sesempurna apa sih hidup Miwako sampai dijadiin judul akhirnya terbongkar. Dan kesimpulanku, sepertinya nggak ada satupun yang menganggap hidup Miwako itu sempurna kecuali dirinya sendiri AHAHAH.

“Mestinya aku tidak membohongi diri sendiri, atau orang lain.” Suawa Miwako memecah keheningan. “Mestinya aku tidak berpura-pura segalanya sempurna.” – hlm 352

Sepanjang cerita, aku nggak pernah mikir hidup Miwako sempurna, dan aku pun nggak menemukan Ryu, Chie, ataupun Fumi menganggap hidup Miwako sempurna. Cmiiw. Siapa tau kelewat.

Bagian milik Fumi bercerita tentang masa lalu Miwako. Yang menurutku udah banyak(?) ada di kehidupan nyata, mengerikan, sekaligus biasa, gitu deh, campur aduk, kayaknya diceritain secara biasa dan reaksi Fumi juga biasa makanya terasa agak flat tapi ngeri juga haha.

Yang bikin aku kurang puas dengan eksekusi cerita ini adalah, nggak begitu jelas alasan kenapa Miwako akhirnya bunuh diri. Oke, sebenernya cukup dijelasin, hanya saja bagi aku kurang ngena.

Selama ini kedua narator sebelumnya memang menceritakan Miwako di dalam hidup mereka, tapi bukan hidup, isi hati, dan isi pikiran Miwako sepenuhnya. Jadi buatku agak kurang ngena, karena cuma satu-dua paragraf aja nggak cukup, meskipun aku tau pasti berat juga jadi Miwako.

Overall, aku cukup menikmati cerita ini. Tulisannya bagus dan ceritanya menarik untuk dibaca. Sayangnya, aku jadi merasa buku ini kehilangan tujuan. Aku pikir akan lebih menemukan diri Miwako yang sesungguhnya dari novel ini. Makna yang sesungguhnya dipegang dari suicide case-nya Miwako. Tapi ternyata nggak.

Kesimpulannya? Aku juga nggak tau haha. Lebih ke cerita tentang cowok yang ditinggal pujaan hatinya, sahabat yang kehilangan sahabat terbaiknya, dan seseorang yang punya banyak rahasia akhirnya kebongkar rahasianya apa. Udah. Gitu aja.

Jadi, cuma bisa ngasih 3.5 buat The Perfect World of Miwako Sumida.

And anyway, tadinya mau baca Rainbirds juga, tapi ternyata pas baca ulang blurbnya, mirip-mirip sama TPWoMS ini, bedanya di Rainbirds tokoh yang jadi topiknya dibunuh, bukan bunuh diri. Jadi kayaknya aku nggak akan baca Rainbirds deh hehe, nuansanya sama (death case/mystery) jadi takut bosen.

Sekian.

Dont forget to tap follow button/submit your email below! See you in the next review and have a nice day!

 

 

 

Sabtu, 12 Maret 2022

Satu Hal Terbaik dari Say Hi! Karya Inggrid Sonya (a review)

 

source: google


 

Judul: Say Hi!

Penulis: Inggrid Sonya

Penerbit: Elex Media Komputindo (2021-digital)

Jumlah halaman: 528 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Seperti biasa, pembukaan dulu. Pertama kali gue baca karya Inggrid Sonya adalah Revered Back di Wattpad. Dulu, bener-bener sukaaaa banget sama ceritanya meskipun kalau dipikir-pikir lagi ceritanya drama abis tapi intense-nya yang bikin gue betah baca.

Lalu gue kenalan sama Nagra dan Aru, collab-nya Inggrid bareng penulis lain, dan sekarang gue udah lupa banget ceritanya tentang apa, maap gue pikun.

Setelah sekian lama, waktu lagi berselancar di Wattpad, gue nemu Say Hi! terus mikir, wih judulnya lucu. Pas baca blubrnya i was like: wow..this is definitely my type! Semenarik itu di mata gue. Waktu itu udah ada pengumuman mau terbit, gue yakinin diri sendiri mau baca fisiknya titik.

Setelah terbit, gue agak syok liat jumlah halamannya. Gue mulai ragu. Tapi ini tulisan Inggrid loh, yang Revered Back-nya bisa bikin gue kelemer-kelemer sendiri pas baca di sekolah! Oke, gue tetep mutusin buat jadiin ini wishlist gue.

Kebetulan sekarang gue lagi punya GD, akhirnya gue mutusin buat baca aja, beli fisiknya kalau gue bener-bener jatuh cinta aja deh sama bukunya. And you know what? I think I am grateful that i didn’t buy the book lol.

Bukan, bukan, bukan karena ceritanya nggak bagus. Ceritanya bagus banget, tapi ada beberapa hal yang bikin gue berenti tertarik ke novel ini.

Cerita ini berkisah tentang Ribby si itik buruk rupa yang sahabatan sama dua cowok ganteng idola sekolah bernama Pandu dan Ervan. Di tengah serangan ejekan dari seluruh murid di sekolah, Ribby udah lama ngerasa insecure karena penampilannya. Lalu, nggak sengaja dia nge-install aplikasi Say Hi! di mana kita bisa pacaran virtual secara anonim. Di sana, Ribby kenalan sama Robbi, stranger yang bisa diajak ngobrol apa pun termasuk ngehibur dan ngemotivasi Ribby untuk berubah.

Lalu ternyata, Robbi ini adalah cowok yang selama ini ada di dekat Ribby. Salah satu sahabatnya.

Gue suka banget sama gaya bercerita Inggrid. Tulisannya luwes dan enak dibaca. Apalagi nampilin sosok karakter utama yang nggak mainstream kayak tokoh-tokoh protagonist lain. Jujur suka banget sama penggambaran fisik Ribby.

Di awal-awal, gue masih excited banget buat baca novel ini. Meskipun menurut gue humornya agak garing hehe, jarang banget gue ketawa sepanjang buku. Gue degdegan pengen tau siapa Robbi, gue degdegan pengen tau gimana Ribby ngatasin insecurity-nya, ngatasin rasa mindernya, dan jadi lebih berani untuk merjuangin sabuk hitamnya di lomba, pokoknya cerita ini menarik banget!

Apalagi pas Ribby mulai merubah penampilannya karena mau lebih self-love, reaksi Pandu dan Ervan bener-bener keterlaluan dan itu sakitnya kerasa sampe ke sini:) Tapi untungnya ada Robbi yang siap ngehibur Ribby, walaupun tetep aja lelucon Robbi juga garing sih. Perasaan selera humor gue rendah dan receh abis tapi kenapa gue gabisa ketawa di sini aaaaa.

Jujur gue agak bingung untuk gimana nge-review buku ini. Yang jelas, gue mulai turn off setelah konflik pertama selesai. Ya, konflik pertama, alias ada yang kedua!! Dan yang gue suka dari buku ini tentu aja konflik antara ketiga sahabat itu dan identitas asli Robbi. Sialnya, gue gabisa ngomong banyak karena pasti spoiler, yang jelas ini PLOT TWIST ABISSSS gue si tukang nebak plot twist aja sampe kegocek trus kegocek lagi.

Udah tegang nih, tinggal antiklimaks, gue lagi suka dan semangat banget buat baca apa yang akan terjadi. Tapi guys, itu baru di halaman 300an, dan gue mikir... hah..200 halaman lagi nyeritain apa kalau sekarang identitas Robbi dan klimaks udah muncul? [menelan ludah]

Di situlah rasa ketertarikan gue mulai turun. Gue diajak masuk ke konflik kedua. Di konflik kedua ini, gue ngerasa ceritanya ganti jalur. Masih kereta keren yang sama, cuma pindah jalur. Bukan lagi berfokus ke Ribby maupun kedua temen cowoknya, melainkan ke Ipank, salah satu tokoh penting di Say Hi! Apalagi si Pandu, kayak cuma tempelan aja.

Di cerita konflik yang kedua ini, gue disuguhin tentang perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan dan solidaritas. Gue nggak tau apakah gue boleh nyeritain konflik kedua ini tanpa bikin spoiler konflik pertama, yang jelas gue tau rasanya putus asa kayak Ipank dan pengen ngehindarin semua orang.

Anyway, Ipank adalah temen Pandu dan Ervan, temen Ribby juga di klub taekwondo. Ipank dan Ribby sama-sama berjuang untuk lomba.

I am not saying this second conflict was bad, i just didn’t sign up for this, honestly. I am sorry. Gue di sini, mutusin baca ini, untuk tau kisah Ribby dan dua sahabat cowoknya, bukan cerita ini. Jadi sebagus apa pun konflik kedua ini, gue nggak terlalu menikmatinya.

Gaya bahasa Inggrid yang tadinya ramah di otak gue, perlahan mulai berubah membosankan. Terlalu banyak narasi, terlalu banyak dialog nggak penting, humor yang masih gitu-gitu aja, ditambah lagi terlalu banyak kata-kata kasar. Gue bahkan sampe males baca scene di mana dikit-dikit ada rokok dan bahkan ada alkohol juga. I am actually fine with these kind of life style, but it irked me somehow. I didn’t know why.

Gue tadinya ngarepin konflik yang unyu dari sahabat yang diem-diem naksir sahabatnya. Tapi meskipun ekspektasi gue agak melenceng, gue tetep suka sama konflik 1.

Di konflik dua ini, gue juga sadar kalau gue nggak terlalu suka sama tokoh-tokohnya kecuali Ribby. Di awal Ervan sama Pandu yang meledak-ledak nggak jelas. Emosian banget ni anak dua. Ipank justru penyelamat yang bikin gue adem, makanya gue tim Ipank.

Tapi di konflik kedua inilah gue akhirnya lost interest juga sama Ipank, dia lebih meledak lagi ternyata. Trus gue mikir, yaelah ini anak-anak hobinya teriak-teriak ngegas mulu apa tdk lelah dik.. gue yang bacanya aja capek.

Besides konfliknya yang bikin gue lelah, satu hal yang perlu banget untuk dicatet dari novel ini, SAY HI! HAS GREAT CHARACTER DEVELOPMENTS! Sorry gue caplocks haha. Ribby, Ervan, dan Ipank adalah tiga karakter kuat yang nunjukin perubahan paling signifikan. Tapi gue paling suka bagiannya Ribby dan Ervan sih. Terutama Ervan yang bikin gemes hehe. Penasaran? Baca aja.

Sebenernya, konfliknya biasa, ringan, dan bagus buat nunjukin perkembangan karakter, tapi ya gitu, kepanjangan buset. Untuk konflik biasa dan mainstream gue kira nggak usah lah dibawain sepanjang ini, karena pada akhirnya ya udah tau endingnya bakal gimana.

Overall, takut kepanjangan dan udah ngga tau lagi harus ngetik apa karena takut spoiler, kadar cinta gue kebagi dua di buku ini. Gue suka banget 300 hlm awal yang menarik dan fresh menurut gue, tapi 200 halaman akhirnya draining energy banget. Gue suka karena ada antagonist yang nggak bisa dibenci dan plot twistnya yang bangke.

300 pages were such a masterpiece, 200 pages left wasn’t my cup of tea. Banyak banget hal yang bisa diambil dari novel ini di bagian characters development-nya. I wish I could give more than 4 stars at first but I should give it only 3.5 stars. It would be nice if the pages weren’t this long.

Apakah gue bakal berenti baca novel-novel Inggrid? Oh tentu tidak. Sayangnya gue agak gak tertarik untuk baca Wedding Converse apalagi Tujuh Hari Untuk Keshia yang katanya bombay itu. Definitely looking forward to another Inggrid’s masterpiece.

 

Dont forget to click follow button/submit your email below and see you!

 

 

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)