Senin, 23 Oktober 2023

The Privileged Ones by Mutiarini (sebuah resensi?)

 



source : goodreads

                                            



Judul : The Privileged Ones

Penulis : Mutiarini

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (2022)

Jumlah halaman : 248 hlm

Baca via : Gramedia Digital

 

Agak degdegan dikit nulisnya karna novel ini ratingnya bagus di Goodreads, bintang 4++ padahal di sini aku cuma bakal ngasih 3 bintang.

Udah jelas sebagus apa kan novel ini? Dari premisnya yang tentang orang miskin vs orang kaya. Isu privileged yang sering banget kita temuin di mana-mana...

Tapi baiklah, biar aku ceritain dikit dari sudut pandangku sebagai pembaca yang statusnya ga jauh jauh beda sama main character kita yaitu Rara.

Disclaimer: this will be gonna a very very subjective opinion!

Novel ini bercerita tentang Rara yang you know, miskin, tapi pintar dan sangat ibu kita kartini sekali, berjuang buat jadi perempuan yang berpendidikan. Nekat kuliah meski dilarang ortu kolot yang cuma taunya cewek mah nikah aja gausah sekola. Di kampusnya ini ada orang kaya bernama Diva yang mau apa pun tinggal jentikin jari kek punya jin voila langsung terkabul.

Di mata kuliah publisis, sang Dosen ngasih tugas ke mereka untuk buat channel YouTube yang berkualitas karna belio dah eneg liat konten-konten sampah tapi banyak yang minat.

Dan begitulah persaingan antara Rara yang modalnya dikit vs Diva yang modalnya gacor untuk bikin konten YT.

---

Sulit untuk ngga spoiler tipis karna ini termasuk tema utama novelnya, tapi yup, selain tentang privileged si miskin dan si kaya yang kontras, novel ini juga mengangkat isu mental health. Bisa tebak lah ya kenapa tiba-tiba ada isu ini?? Kalo ga ya syukurlah aku ngga spoiler amat.

Sebenernya nyaris mau drop pas tau ada isu mental health dibahas, seriously, aku lagi ngga berminat banget untuk baca novel motivasi dan baca cerita penderitaan orang lain (meskipun fiksi), tapi aku tetep lanjut aja sekalian karena reading challenge-ku udah ketinggalan jauh HAHA.

Sebelum kita masuk ke main course (ketawa jahat), aku sedikit terganggu dengan pemilihan POV di novel ini yaitu orang ketiga. Tapi pada akhirnya seluruh novel ini hanya tentang Rara. Sampe scene-scene tertentu aja masih dijabarin pake sudut pandang Rara meskipun novel ini POV ke-3? Kek? Why?

“Rara juga sepenuhnya yakin, Diva tak pernah perlu membonceng ojek seumur hidupnya.” - Hlm sekian.

Sotoy.

Menurutku sih ya enaknya pake POV orang pertama aja kalo mau judging orang lain kayak gitu. Hehe.

Kalo secara gaya bahasa, standard lah ya ok ok aja buatku. Bisa dipahami dengan baik dan jelas. (jempol)

Alurnya maju, dan seperti yang bisa ditebak dari novel motivasi ala Young-Adult, plot dikemas sangat rapi, ngga melenceng, tapi bisa masukin berbagai isu-isu panas soal mental health. Sepertinya poin ini yang banyak bikin orang-orang suka sama novel ini.

Aku juga salut sama plotnya yang cakep ini. Kemungkinan besar untuk orang-orang yang belum tau pahitnya dunia (ciat) bakal nemu cerita-cerita sedih, perasaan-perasaan yang mungkin bisa bikin mata hati terbuka, pandangan baru tentang orang lain, bahkan mungkin bikin kita tau alasan-alasan kenapa seseorang bisa bersikap begitu di dunia nyata.

Tapi buatku pribadi, ini bukan pengalaman baru (bukan curhat). So, nothing is new for me. Alasan ini juga yang bikin aku ga bisa terlalu larut dalam ceritanya. But still, ceritanya BAGUS (jempol jempol) banyak juga hal-hal yang dialami Rara yang relate banget sama aku sampe aku ingin menangis ingat diri sendiri (haha).

The biggest turn off, yang sebelumnya udah aku share di IG, adalah karakter Rara itu sendiri.

Jujur, karna terlalu sering muncul narasi Rara yang bandingin dirinya sendiri sama Diva, aku jadi punya mindset isi pikiran dia selalu sinis. Sampe-sampe ada satu scene yang nunjukin cewe cantik yang penampilannya stylish aja si Rara bisa-bisanya bilang “Masalah mental apa yang mungkin dimiliki perempuan seperti ini?”

SUMPAH LO RA.

Meski kenyataannya mungkin Rara nggak ngucapin itu secara sinis tapi aku yang bacanya kek kesel banget??

Sorry MC, you got zero sympathy from me. The main char is definitely, 100%, unlovable. Selain suka ngambil kesimpulan seenaknya dengan sifat bitter-nya, Rara juga insecure parah, iri dengki. Haduh.

Aku sadar tiap orang yang mengalami apa yang Rara alami dan bahkan aku juga (or maybe everyone) pasti punya waktu-waktu di mana dia ngerasa terpuruk dan bitter ke semua orang, iri dengki ke orang lain, tapi i think it’s better to keep those bitter thoughts alone. Jadinya jujur deh, baca sikap dan sifat Rara yang ini bikin aku ga nyaman.

Aku tau karna ini novel YA jadi MC sengaja dibuat kayak gitu lalu ada klimaks dan cahaya ilahi di ujung jalan, tapi ya ga gini juga ...

It’s kinda tiring baca kelakuan si Rara dan isi pikirannya, tbh. Setidaknya aku butuh MC yang bisa dicintai biar aku bisa terus penasaran dan pengen lanjut baca novelnya T_T Ya, aku juga sadar dia ada bagusnya dikit, kek sayang keluarga, peduli orang lain, gigih berusaha, tapi bagiku yang gitu doang bare minimum hehe.

Satu lagi yang bikin aku berada di puncak ketegangan rasa kesal ke Rara adalah ketika dia ada masalah sama temen-temennya. That. That *peep*. I give up AAAA!!




Well, setelah ketegangan selesai dan cahaya ilahi muncul, hatiku juga ikutan tenang. Eksekusinya cuakep. Kata-katanya dirangkai dengan bagus, anak smp juga bisa paham (jempol). Kecuali bagian si Giri dan Rara di akhir got me WhAaAaT? A little turn off yang aneh dan salah tempat. Sisanya, BAGUS. 

Yup, begitulah, akhirnya aku cuma bisa kasih 3 bintang buat TPO. And the last, cuma mau bilang Diva ! Diva ! you do really deserve to be the privileged ones! Gara-gara POV 3 rasa POV 1 nih ceweku jadi kayak orang jahat.

Oh ya, buat yang suka baca novel penuh pesan moral, cerita tentang mental health yang dikemas dengan story telling, mau belajar banyak tentang pahitnya dunia, yes this book is for you!!

Segitu aja, bye.




0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)