Judul: My Heart and Other Black Holes (Hati yang Hampa)
Penulis: Jasmine Warga
Alih bahasa: Rosemary Kesauly
Editor: Mery Riansyah
Desain sampul: Rovliene Kalunsinge
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)
ISBN: 978-602-03-8271-5
Jumlah halaman: 326 hlm
Baca via: iPusnas
Blurb ala-ala: Aysel, remaja berusia 16 tahun yang menyukai
fisika dan terobsesi untuk bunuh diri. Tapi dia tidak berani untuk bunuh diri
sendirian, melalui situs Suicide Partners, dia menemukan kawan bunuh diri,
seorang pebasket bernama Roman. Ketika kesepakatan bunuh diri mereka makin
konkret, Aysel mulai mempertanyakan apakah ia benar-benar ingin melakukannya.
Ia harus memilih antara ingin mati atau berusaha meyakinkan Roman untuk tetap
bertahan hidup. Hanya saja, Roman tidak akan mudah diyakinkan.
----
Sebenernya, blurb aslinya agaknya udah menggambarkan
keseluruhan alur, tapi agak mislead sedikit dari cerita aslinya. Tapi kita
bahas itu nanti.
Alasan aku pengen baca ini? Aku suka tema suicide dan
depresi haha. Apalagi kalimat awal blurb tuh beuhh, menantang sekali buat
dibaca. Dari kombinasi judul dan kover pun novel ini udah menarik banget.
Awal-awal aku baca ini sempet aku dnf dulu sebentar,
alasannya, aku langsung disuguhi banyak deskripsi dan detail, jadi aku agak
males bacanya. Tapi ternyata aku masih tetap tertarik nyelesain novel ini sampe
akhir. Yang tadinya aku pikir gaya bahasa di sini cukup berat, tapi ternyata
nggak alias ringan banget.
Aku makin semangat baca dan enjoy banget buku ini waktu
Aysel udah ketemu Roman, dari situ, kerasa banget kalau novel ini adalah novel
remaja biasa. Ringan, asik (bagiku asik ya, mungkin bagi sebagian dari kalian
ini cukup gloomy HAHA), yang jelas ini kayak kisah cinta remaja biasa kok, yang
bikin beda mereka mau bunuh diri tanggal 7 April haha.
Pembahasan tentang depresi di sini juga menurutku nggak
terlalu mendalam. Novel ini menggunakan pov 1 Aysel, di mana dia selalu
‘pasrah’ sama hal-hal yang terjadi di hidupnya, toh dia bakal mati juga bentar
lagi. Butuh sampai nyaris bab-bab terakhir untuk tahu kenapa Aysel ingin bunuh
diri. (dan yang akhirnya tidak berhasil memuaskanku, karena alasannya kurang
kuat, tapi dia bener-bener menunjukan pikiran-pikiran dan sikap orang depresi asli,
i liked it tho).
Yang sedikit mislead
antara isi dan blurbnya adalah, dikatakan kalau ibunya malu atas sang anak, bab
awal yang isinya ngenalin tokoh-tokoh keluarga Aysel pun begitu, kesannya ibu
dan Georgia, adik tirinya tidak mengharapkan Aysel, padahal di bab-bab
selanjutnya mereka berdua berusaha untuk dekat dengan Aysel. Aku gak tau ini mislead atau karena ini pov Aysel dan
dia memang menganggap semua orang membencinya.
Lalu tentang Roman, alasan dia depresi dan ingin bunuh diri
lebih masuk akal daripada Aysel. Ibu Roman yang mengkhawatirkan anaknya pun
kerasa emosinya dibanding kisah Aysel sendiri.
Konflik keseluruhan novel ini pun ringan, hanya membahas
hal-hal yang mereka berdua lakukan bersama sebelum 7 April, dan jujur aku suka
banget, terutama karena aku membayangkan mereka akan mati bersama di akhir
cerita, kan? Bener-bener bikin aku semangat, haha.
Overall, cerita
ini memang membuatku agak ke-triggered.
Aku bisa merasakan apa yang Aysel rasakan. Setelah aku selesai baca ini, aku
suka banget, sepuluh menit kemudian, aku nangis haha. Kenapa? Soalnya aku
kepikiran juga, nggak semua orang ‘seberuntung’ Aysel bisa ketemu kawan bunuh
diri kayak ‘Roman’, sebagian orang sendirian sampe akhir kan? Kepo nggak? Baca
sendiri aja yaa haha.
Recommended buat kalian yang suka isu mental illness, kisah
cinta remaja, atau sekalipun kalian yang lagi nyari alasan untuk tetap hidup..
dan untuk menemukan harapan? Aku kasih 3.7ó
“Aku tidak sabar menantikan saat aku tidak ada lagi dalam hidup mereka.” – hlm 27
“Saat aku menyenandungkan requiem Mozart, aku bertanya-tanya seperti apa rasanya saat semua cahaya padam dan segala sesuatu hening selamanya. Aku tidak tahu apakah mati akan terasa menyakitkan dan apakah aku akan takut pada saat-saat terakhir. Aku hanya bisa berharap semua akan berlalu dengan cepat. Dan damai. Dan tetap begitu selamanya.” – hlm 34
“Aku tidak bisa menjamin hal itu tidak akan terjadi, apalagi karena aku yakin ada yang salah denganku. Ada yang rusak. Orang-orang tidak pernah paham bahwa depresi tidak berhubungan dengan hal-hal di luar diri seseorang; tapi dengan hal-hal yang ada di dalam. Ada yang salah dalam diriku.” – hlm 50.
“Kalaupun aku punya pacar, namanya Maut.” – hlm 115
“Mungkin setiap orang hanya butuh dilihat dan diperhatikan orang lain.” – hlm 253
“...aku jadi teringat saat aku masih kecil, saat perasaan berat dan hampa dalam diriku belum menguasai seluruh hidupku dan terasa tidak tertahankan. Mungkin seperti itulah cara kegelapan menguasai kita, dengan meyakinkan kita untuk menyimpannya di dalam dan bukan mengeluarkannya. Aku tidak ingin kegelapan itu menang.” – hlm 285