source: goodreads |
Judul: The
Midnight Library (Perpustakaan Tengah Malam)
Penulis: Matt
Haig
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama (2020)
Jumlah halaman:
368 hlm.
Baca via:
Gramedia Digital
Gue clueless banget
waktu mutusin untuk unduh novel ini di GD. Cuma karena gue nggak asing sama
judulnya yang sering seliweran di base twitter. Fortunately, I ended up loving
this book so much. So much.
Novel ini
bercerita tentang Nora Seed, wanita berusia 35 tahun yang berpikir kalau dia
udah gagal menjalani hidup. Semua pilihan dan keputusannya di masa lalu malah
ngebawa dia ke malapetaka lainnya. Hingga ke titik terendahnya, Nora berencana
untuk bunuh diri.
Yup, buku ini
mungkin agak depressing bagi kalian yang punya sejuta positive vibes di dalam
diri kalian. Tapi gue yakin sedikit banyak, kehidupan Nora ini bakal kerasa
relate ke kehidupan kita sendiri. Jujur, baru beberapa bab awal aja gue udah
dibuat nangis sama narasi Matt Haig yang ngena dan nusuk banget ke jantung.
Penulis dan
penerjemahnya (ofc) bisa banget bikin hati gue yang lemah ini makin menderita
aja pas baca narasinya haha. Gue jadi gabisa berenti untuk baca novel ini.
Lalu, setelah
keputusan bunuh diri itulah, Nora tiba-tiba aja ada di sebuah perpustakaan
bernama The Midnight Library. Di sana, ada jutaan buku yang merupakan hidupan
Nora di dunia paralel, dunia di mana apa yang mungkin Nora jalani kalau dia
nggak milih keputusan-keputusannya di dunia yang ini.
Katanya,
perpustakaan itu adalah batas ambang kehidupan akar dan kematian. Sebelum
benar-benar mati, Nora boleh milih kehidupan yang ingin dia jalani dan kalau
dia mau, dia bisa hidup selamanya di kehidupan itu.
Sepanjang kisah
gue dibawa bolak-balik ke kehidupan Nora dan perpustakaan. Semua hal yang dia
sesali di kehidupan akarnya, satu persatu dia coba menjalani kehidupan yang
berbeda. Beberapa kehidupan pertama yang Nora jalani, ternyata nggak sebagus
yang dia kira, akhirnya dia tetep kecewa dan balik perpustakaan tengah malam.
Nyaris semua hal
gue suka di novel ini, mulai dari ide cerita, gaya bahasa yang enak dibaca,
kalimat-kalimat menohok, dan pelajaran yang bisa diambil.
Untuk tokohnya
sendiri, Nora, bisa dibilang dia adalah orang yang pesimis banget saking putus
asanya. Hidup dia nggak berjalan dengan lancar, semua orang ninggalin dia,
sampai ke tahap pengen bunuh diri, tentu aja bagi yang nggak bisa relate dengan
karakter Nora, pasti bakal ngelus dada sambil bilang ‘aduh kok segininya Nora’.
Kenapa gue mikir
gitu? Soalnya latar belakang Nora nyaris sempurna. Dia berbakat, pintar,
menarik, dan punya banyak peluang untuk bisa bangkit. Tapi nyatanya dia tetep
depresi.
Kesampingkan
karakter Nora yang mungkin bisa pengaruhin banget ke penilaian keseluruhan
ceritanya deh. Mana kadang gue baca kehidupan yang didatangi Nora udah cukup
bagus, eh dia malah tetep mutusin untuk kecewa dan akhirnya pulang ke perpus.
Di sini gue cuma
mau nekenin soal apa yang bisa gue ambil dari novel ini. Untuk elemen-elemen
yang lain, no comment, gue ngerasa
semuanya udah sempurna. Secinta itu sama novel ini. Filsafat dan fantasi yang
nyatu jadi elemen terindah yang pernah gue baca.
Satu hal yang
bisa gue ambil dari novel ini adalah, no
life can satisfy us. Nggak ada yang bisa muasin keinginan kita, nggak ada
hidup sempurna yang kita inginkan, hidup pasti selalu punya celah untuk bikin
sesuatunya terasa salah. Itu yang bikin Nora terus-terusan bolak-balik ke
perpus, milih lagi buku, dan kecewa lagi pada akhirnya.
Di sini gue bisa
ngerasain betapa dia sedih dan putus asa, itu yang bikin gue ikut terhanyut
sama ceritanya. Dan ketika akhirnya Nora memilih buku yang tepat, kehidupan
yang terasa tepat buat dirinya, gue ikutan ketar-ketir dan bahkan berdoa supaya
Nora bisa tinggal di buku yang itu aja. Saking gue pengen banget Nora bahagia
haha.
Oh ya tentu saja
ending dari buku itu bikin gue jerat-jerit kayak orang gila. Berasa gue yang
dikhianati. DAN SAYANGNYA gue gabisa ngulas bagian ini terlalu banyak karena
nanti spoiler. Tapi sumpah deh, sumpah gue berasa nyatu banget sama ceritanya
T_T
Overall, untuk kalian yang sekarang mungkin lagi butuh motivasi untuk ‘tetap
hidup’ gue bener-bener nyaranin untuk baca The Midnight Library. Gue nggak tau
gimana buku ini bisa ngubah hidup kalian yang merasa putus asa, karena toh
kalian dan gue nggak akan pernah punya kesempatan untuk ngerasain ngejalanin
hidup yang berbeda dari kehidupan kita yang sekarang.
Tapi gue yakin
pasti ada sesuatu yang bisa diambil, bisa dipahami, bahkan tanpa perlu ada
perpustakaan tengah malam versi kita. Gue juga nggak bisa bilang kalau kita
bakal mulai ngehapus semua penyesalan di masa lalu karena belum tentu kalau
penyesalan itu nggak ada, hidup kita bakal beda saat ini.
Apa yang bisa
diambil dari buku ini jelas tergantung kepribadian dan sudut pandang diri kita
sendiri. Buat gue pribadi, gue cuma berpikir untuk jalanin aja apa yang ada dan
nggak perlu nyangkal segala penyesalan, gue juga jadi sadar kalau gue masih
punya hal-hal yang ternyata pengen banget gue lakuin meskipun gue udah muak
sama dunia ini. Just go, do it, i dont
care if the world will drown me while i’m doing something i want. That’s it.
Despite all the mess the world gave to me or I
created it myself, I realized that I still wanna do something. No matter how
messed up my life is. Gue
nggak mencoba untuk berpikir bahwa ‘dunia itu ternyata cukup baik, tinggal
guenya aja yang bla bla’. Nggak. Tapi gue sadar ada hal yang berubah dari sudut
pandang gue meskipun gue nggak terlalu yakin apa gue bisa nulisin itu di sini
sejelas yang otak dan hati gue pahamin.
Gue kasih full stars alias 5 bintang buat The
Midnight Library yang sukses bikin gue terombang-ambing di hidup orang lain. Highly recommended banget buat semua
orang di dunia deh haha dan gue harap siapapun yang lagi struggling saat ini, bisa ambil sesuatu dari novel ini.
Soalnya, kita
harus tetep hidup guys. Satu-satunya cara untuk belajar adalah tetap hidup.
Kita nggak perlu ngerti soal kehidupan, kita cuma perlu hidup.
Cheers! See you on another review. Stay healthy
and stay alive.
Quotes:
“Setiap langkah merupakan kesalahan, setiap keputusan menjadi bencana, setiap hari adalah satu langkah mundur dari sosok yang ia bayangkan bisa dicapainya.”
“Ia masuk ke Instagram dan melihat semua orang sudah berhasil menemukan cara untuk hidup, kecuali dirinya.”
“Dengan kesembronoan dan nasib sialku sendiri, dunia telah mundur dariku, jadi sekarang masuk akal kalau aku harus mundur dari dunia.”
“Ia sadar bahwa ia tidak berusaha mengakhiri hidupnya karena ia menderita, melainkan karena ia berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada jalan keluar dari penderitaannya.”
“Hidup dimulai dari sisi lain keputusasaan.” (Sartre).