Sabtu, 20 Mei 2017

[RESENSI] Other Half of Me by Elsa Puspita

“Selalu kamu, tempatku kembali.”







Judul: Other Half of Me
Penulis: Elsa Puspita
Penyunting: Dila Maretihaqsari
Perancang sampul: Musthofa Nur Wardoyo
Pemeriksa aksara: Septi Ws
Ilustrasi sampul: Boby Erianto
Penata aksara: Martin Buczer & Rio
Penerbit: Bentang Pustaka ( Desember 2016)
Jumlah halaman: 270 hlm

Blurb:

Arkha: Aku tidak tahu siapa orangtua kandungku. Tetapi, aku mengenal baik ayah angkatku. Terlepas dari apa pun kesalahannya di masa lalu, dia sosok terbaik yang hadir dalam hidupku. Papa adalah pusat gravitasiku. Aku menyayanginya, tanpa tapi. Satu hal yang paling kutakutkan: melihat Papa menjauh.

Bhaga: Aku pernah melakukan kesalahan besar. Yang ingin kulakukan sekarang hanya menebusnya, sepanjang sisa umurku. Belum pernah kualami cinta pada pandangan pertama, sampai aku melihatnya. Apa pun akan kulakukan untuk melindungi malaikat kecil itu. Dia adalah pusat semestaku. Aku mencintainya, tanpa syarat. Satu hal yang paling kuhindari: menyakitinya lagi.

Sayangnya, hubungan ayah-anak yang lebih seperti kakak beradik itu harus terusik ketika Bhaga memutuskan maju sebagai calon legislatif. Sebuah kabar mencengangkan tentang keduanya merebak melalui media massa. Sebuah rahasia dari masa lalu. Kabar yang mengancam kebersamaan mereka. Kabar yang sangat mungkin mewujudkan ketakutan terbesar Arkha dalam hidup ini: kehilangan Bhaga.





Well, baru sempet sekarang aktif lagi di bulan Mei... kali ini aku mau bahas sebuah novel yang berkisah tentang keluarga. Yap, novel ini adalah novel non-romance pertama yang aku koleksi wkwk. Dan ini juga merupakan novel hadiah dari giveaway-nya Kak Pauline Desty atas kepindahannya ke rumah baru (destybacabuku.com)

Seperti pada blurb, novel ini bercerita tentang Arkha, seorang pemuda 19 tahun yang tinggal hanya berdua bersama ayah angkatnya, Bhaga. Sejujurnya, sejak bab pertama pun, aku sudah tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua XD buku ini terlalu mudah ditebak, sekalinya aku memikirkan sesuatu untuk menebak salah satu scene, justru aku salah besar karena tebakanku meleset terlalu ‘jauh’.

Bab pertama dibuka dengan scene latihan parkour-nya Arkha, (seni gerak; aktivitas yang bertujuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan efisien dan secepat-cepatnya, menggunakan prinsip kemampuan badan manusia –wikipedia). Sejujurnya lagi, aku nggak ngerti sama sekali tentang penjelasan parkour dalam novel ini, makanya aku searching dulu sebelum nulis review XD entah aku yang kurang fokus, atau memang minim penjelasan secara langsung oleh penulis dan lebih memfokuskan di penjelasan secara tidak langsung (posisi/gerakan yang dilakukan Arkha).

Diceritakan kalau Arkha ini mengalami cedera lutut karena kecelakaan saat balap liar, Bhaga menghukumnya dengan menyuruhnya ikut Parkour kalau tidak mau motornya disita. Waw, badboy lagi nih. Ditambah, Arkha juga dicap sebagai playboy. Ckck.

Di awal-awal bab, aku tidak merasa Arkha ini berumur sembilan belas ya. Lebih mirip anak SMA kebanyakan, atau memang anak cowok 19th juga sekekanakan itu, entahlah, temenku sih nggak.
Berhubung ini adalah novel genre keluarga yang (setidaknya aku ingat) pernah kubaca, aku suka karena novel ini mengangkat sudut pandang seorang cowok bersama ayahnya. Terutama ayah. Novel ini bikin aku kangen Papa! Kangeeen berat!

Sudut pandang yang diambil memang orang ketiga, tapi keseluruhan hampir didominasi oleh sudut pandang Arkha. Aku heran aja, kenapa harus POV 3? Kenapa nggak POV 1 kalau memang semuanya membahas dari sisi Arkha? Memang ada beberapa detail yang dilepas dari sisi Arkha, tapi itu minim, sisanya Arkha semua.

Sebelum memasuki konflik, aku dibuat kebosanan, apa ya, mungkin karena hampir dua halaman full hanya mencerikana Arkha masuk ke kamar mandi, mandi, bosen, makan, main skateboard sendirian. Hh. Bikin narik napas deh XD alurnya terasa lambat dan aku sama sekali nggaaaak butuh penjelasan soal Arkha yang kebosanan sepanjang itu.

Satu-satunya penyelamat dari bab-bab awal adalah flashback dari masa lalu Bhaga dan Dewita, mantan pacarnya yang waktu itu masih SMA. Jujur, aku agak jijik dengan konflik hamil duluan begini. Apalagi ceritanya Dewita masih sekolah. Jadi kasian sama orang-orang yang pacaran, setan mengikuti di belakang. Hati-hati, meskipun ini cuma cerita, tapi banyak kejadiannya.

Tapi konflik masa lalu itu lebih syarat emosi daripada kegiatan Arkha sehari-hari. Aku bahkan jadi malah nungguin bab flashback itu daripada Arkhanya XD

Memasuki konflik, aku mulai membayangkan sesuatu yang menarik. Blurbnya berkata bahwa ini ada berbau politik gitu. Wew, macam drama korea nih, akhirnya novel teenlit lokal ada berat-beratnya dikit, but i was wrong. Emh, nggak ada rasa politik sama sekali XD

Tapi aku cukup menikmatinya dan konfliknya oke, aku suka cara penulis mendeskripsikan perasaan Arkha dan Bhaga terhadap satu sama lain. Feel antara ayah-anak ini bikin baper, seperti yang udah kubilang, bikin kangen Papa. Soundtrack-ku waktu baca novel ini adalah lagu berjudul Father dari BtoB.

Jadi karena Bhaga memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, sosok dirinya makin banyak dimuat di majalah-majalah karena dia juga adalah seorang pengusaha muda (lajang 39th, hot papa banget gitu ya). Namun justru, keputusan itu membuat pers mulai mengusik kehidupan pribadinya, dalam hal ini Arkha, anak angkatnya.

Ketika blurb mengatakan kata ‘terusik’ percayalah, konfliknya itu hanya benar-benar ‘mengusik’. Aku bahkan melongo ketika penyelesaian konfliknya yang se-der-ha-na-se-ka-li (ini soal politik itu ya) di sisi lain, ayahnya Bhaga yang merupakan Presdir #hala #berasadrakor nggak pernah suka sama Arkha karena baginya, Arkha hanylah penghalang Bhaga dalam meraih kehidupan normalnya (menikah dan punya anak kandung yang sah sebagai ahli waris) hm.. cukup menarik kan?

Dan konflik inilah yang paling ngena daripada politiknya (yang aku harapkan akan jadi konflik utama). Pers mulai mengganggu Arkha dengan artikel-artikelnya. Luka lama kembali muncul, namun kebanyakan yang diceritakan dalam novel ini hanyalah keseharian Arkha setelah konflik itu terjadi.
Di sisi lain, ada juga secuil romance dan komedi, hanya saja itu terjadi ketika Arkha berada di tempat parkour, menggoda Anika, asisten pelatih parkour atau Bas, pelatih parkournya. Arkha ini punya sisi humoris yang dijamin, kalau bukan genre family, anak-anak remaja zaman sekarang bakal kelepek-kelepek. Terbukti, Arkha gombal dikit aja, aku senyam-senyum sendiri wkwk.

Oke kayaknya nggak bakal panjang-panjang juga (padahal udah panjang) untuk gaya bahasanya aku sih no comment, mengalir dan ringan, gampang diikuti dan dicerna. Konfliknya datar, konflik batinnya bikin jleb abis. Karakternya, dominan Arkha *cry* so, aku cuma tertarik sama karakter dia. Kerasa banget ketika kita banyak masalah tapi mencoba nutupin itu dengan topeng senyum, perubahan emosi Arkha yang disengaja membuatku merasa dia mirip aku haha. Yang lain, okelah. Bhaga ayahable. Dewita gamparable.

Untuk endingnya. The ending :”

Berhasil bikin aku nangis! Sebenarnya konflik keluarga itu paling bisa membuatku tersentuh, sumpah, daripada konflik cinta gaje anak SMA. Jadilah aku mengakhiri novel ini dengan berlinangan air mata. Bagaimana kakek Arkha (ayah Bhaga) menawarkan solusi untuk menyelesaikan konflik, yang sebenarnya nggak selesai. Hanya sekadar menghindar, dan ini bikin aku sakit hati banget, banget, banget.

Aku nggak puas dengan endingnya, karena bagiku ini termasuk gantung. Meskipun hubungan keduanya kembali adem, tapi aku nggak terima! Hiks.

(lupakan kebaperanku) meskipun aku nggak puas dengan endingnya, tapi aku suka dengan endingnya. Haha. Karena kalau endingnya nggak bikin aku nangis kejer, aku pasti bakal dengan mudah menutup buku ini dan menyimpan kembali ke rak dengan perasaan tenang.

Justru karena endingnya yang nyesek ini, (nggak sad ending, serius, tapi nyesek) novel ini punya kesan tersendiri bagiku. And I feel warm. Lovely story. Recommended banget buat kalian anak cowok yang doyan baca, yang jauh dari papa bisa jadi kangen dan pengin deket-deket papa, buat kalian semua yang menginginkan pelajaran dari sebuah keluarga dan tentunya, soal pacaran. Mending contoh Arkha, elegan meski nyebelin.

Overall, 3.5 bintang untuk Other Half of Me ^_^

Qoutes:

“Yang tersisa sekarang hanya takut, lelah, ingin pergi dari semua kekacauan sial ini.” – hlm 11

“Banyak hal yang lebih penting buat dikerjain selain masalah pacar, El. Jangan sia-siain hidup cuma buat ngurus cinta-cintaan nggak jelas gitu.” – Arkha (hlm 98)

“Malaikat curang ya. Omongan jelek, cepet banget dicatet, terus jadi kenyataan. Omongan baik kadang dicuekin aja, nggak pakai dicatet, apalagi jadi kenyataan.” – hlm 99

(tolong bijak ya soal qoute itu, aku suka, tapi semua tetap harus disikapi dengan baik ya. Haha)

“Tahu gimana aku pas Papa tiba-tiba ngilang? Kayak lagi gelantungan di ranting pohon, terus rantingnya patah. Aku terjun bebas, Pap. Nggak ada yang pegangin lagi.” – Arkha (hlm 140)

“Semua sah dalam cinta dan perang. Ini perang, My Boy.” – Papa (hlm 255)


[RESENSI] Autumn Kiss by Christina Juzwar

“Sebuah ciuman bisa memutarbalikkan semua keadaan. Cinta menjadi benci, dan benci menjadi cinta…”






Judul: Autumn Kiss
Penulis: Christina Juzwar
Editor: Eka Pudjawati
Desain Cover: Marcel A.W.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2017)
Jumlah halaman: 288 hlm.


Blurb:

Kabar duka datang menghampiri Bianca. Sahabatnya, Zie, meninggal dunia. Kenyataan itu membuat Bianca harus terbang ke New Zealand. Tetapi, bukan hanya duka yang harus Bianca hadapi. Dia dihadapkan pada fakta bahwa dia kembali bertemu Levy Welsh, mantan suaminya.

Tentu saja Bianca tidak bisa menghindar. Masa lalunya bersama Levy cukup buruk.

Tapi sebuah ciuman yang tak disengaja mengubah keteguhan hati dan meluluhkan benteng tinggi yang telah dibangun Bianca. Hatinya semakin bimbang ketika dia mengetahui perasaan Levy kepadanya masih sama.

Namun, bagaimana Bianca bisa memutuskan ketika di Jakarta ada Ian, kekasih barunya, yang sedang menunggu dia kembali?




My first Amore and honestly, I’m shock! WKWK.

Sudah jelas kan cerita ini mengarah kemana? Kedatangan penuh duka Bianca ke New Zealand bukan cuma untuk menemui Zie untuk yang terakhir kali, di sana dia juga harus berhadapan dengan Levy, mantan suaminya yang ternyata sudah ‘berubah’ dari kejadian masa lalu dan masih menyimpan perasaan yang sama kepada Bianca, sejak dulu. Mereka berciuman secara tidak sengaja dan BUM! Tembok Bianca runtuh, kegalauan pun terjadi. Levy benar-benar manis di hadapan Bianca dan itu membuatnya merasa mengkhianati  pacarnya yang menunggunya kembali di Jakarta, Ian. Siapa yang akan Bianca pilih? Ian atau Levy?

---

Awalnya, aku nggak begitu suka dengan alasan kenapa Bianca dan Levy bertemu, tema sedih yang menurutku nggak pas karena aku sendiri pun nggak tersentuh. Karena mungkin kurang permainan kata-kata yang bikin ‘jleb’.

Bab-bab awal aku dibuat agak bosan dengan penuturan kematian Zie. Levy yang terlalu datar dan Bianca yang tiba-tiba ketus terus. Aku tahu sih, Bianca seperti itu mungkin untuk menjaga hatinya sendiri agar pertahanannya yang sudah move on dari Levy nggak runtuh begitu aja, tapi menurutku agak..berlebih?

Mulai bab lima, konflik muncul, and I really really enjoyed it! HAHA. Aku nggak munafik kalau aku suka cara penulis menggambarkannya. Tapi rasa-rasanya.. seperti membaca cerita 18+ wattpad, meski yang ini tentunya lebih dikemas dengan ciamik. Suka!

Gaya bahasa dan penuturannya mengalir, enak dibaca dan ngena banget. Tipikal novel romance dewasa. Recommended banget bagi yang suka melodrama. Aku juga nggak menemukan konflik yang berarti karena sejauh 200an halaman dan tidak ada klimaks cerita, hanya disuguhkan bagaimana kedekatan kembali antara Levy dan Bianca, juga kebimbangan Bianca atas menentukan pilihan. Tapi its enough menurutku, lagian belum pernah baca Amore juga kan, mungkin memang tipenya seperti ini.

Tapi…aku menemukan ini:

“Kalau aku bisa bercerita bagaimana hubunganku dengan Levy dulu, mungkin bisa menjadi satu novel romantis namun tragis yang akan menguras emosi pembaca.” – hlm 184

(Kenapa aku jadi lebih tertarik dengan yang itu yaa! *prequel dong prequel* WKWK)
Oh ya, aku nangis ketika pembacaan eulogi untuk Zie. Terutama ketika kalimat ini:

“Aku sudah meninggalkan jejak di bumi selama 35 tahun. Mungkin buat Tuhan itu sudah cukup.” – hlm 93

Untuk kekurangannya dari penulisannya, aku memang menemukan 2 typo yang nggak apa-apa sih, tapi terdapat banyak sekali dua kata yang berhimpit tanpa ada spasi, dan itu lumayan mengganggu.

Aku kasih 3 contoh, aslinya banyak.






Lalu ada sedikit plot hole, mungkin cuma typo sih.
Jadi di rumah duka ada 6 orang; Lee (suami Zie) dan Grace, anak mereka. Ada sahabat lainnya: Nia dan Peter (pasutri) lalu ada Levy dan Bianca. Tapi di sini..

hlm 232 katanya Grace ada di meja makan bersama mereka. Tapi Nia menghilang…



hlm 239 ternyata Grace belum pulang dari rumah neneknya.. nahloh.



---

Menuju akhir, kejadian ketika Grace (anak dari Zie) menghilang membuatku cukup tertarik, mungkin ada kejutan? Dan cukup jika untuk dijadikan klimaks, penggambaran situasi yang ngefeel dan rasa khawatir yang nyata. Tapi aku kecewa karena Levy malah mengakhirinya dengan menyinggung romancenya. Hanya kurang pas, menurutku:(

Dan buat Ian!! Ya Lord, aku ini memang #TeamIan dan aku memang mengharapkan cerita ini sad-ending tapi kok rasa-rasanya kesel ya sama Ian? Semudah itukah dia menyerah? Atau dia udah nggak begitu cinta sama Bianca? Karena novel ini menggunakan sudut pandang Bianca, aku sama sekali nggak dapet tentang perasaannya Ian dan itu bikin aku kesel. HAHA.

Tapi di bagian-bagiaan ini justru emosiku teraduk-aduk. Bagaimana kebimbangan Bianca soal Levy dan Ian begitu mengena. Juga masa lalu bersama Zie yang bikin nangis. Kegalauan Bianca sangat terasa dan aku..baper. Huhu:(

Akhir yang manis, tapi terkesan sendu, seperti kovernya. And I like it very much:))

3 bintang untuk Autumn Kiss!

---

Fav-qoutes

“Terserah. Kamu boleh lihat, tapi jangan percaya.” – hlm 139

“Ini gila. Juga nekat. Tapi semua spontanitas memang melibatkan dua kata. Gila dan nekat.” – hlm 181

“Hidup itu seperti bumi yang berputar. Kita akan merasakan matahari, dan kita akan merasakan bulan.” – hlm 197

“Kami tahu kamu sedih dan kehilangan. Kami juga. Kami mengerti. Tapi jangan lari. Cari kami.” – hlm 264

Just follow your heart. Kamu mendengarnya samar, karena hati kamu masih berbisik. Tapi jawabannya sudah ada di hatimu.” – hlm 281
Dari Zie, bikin baper banget!!:

“Jangan egois, karena sekarang kamu tidur bersama di ranjang yang besar dan berbagi segalanya dengan orang lain. Untuk selamanya.” – hlm 218

p.s sampai sekarang aku nggak bisa membayangkan visual Levy, sejujurnya susah banget buat bayangin cowok ganteng tapi gondrong:(

Minggu, 30 April 2017

[RESENSI] Running Romance by Astri Kumala

“Setelah mendapat petunjuk, kau harus menemukannya sekarang juga! Atau kau akan kehilangan kesempatanmu untuk menang.”






Judul: Running Romance
Penulis: Astri Kumala
Editor: Cicilia Prima
Desain kover: Chyntia Yanetha
Penata isi: Yusuf Pramono
Penerbit: Grasindo (2017)
Jumlah halaman: 138 hlm



Blurb

“Kalau begitu kau akan bermain seperti di Running Man!”

***

Bagi Tae-Ho, perayaan seratus hari hubungannya dengan Ji-Ae sangatlah penting. Sepenting menyelamatkan hubungannya dari ancaman Yun-Woo, seorang murid pindahan yang sok keren dan selalu mencuri perhatian Ji-Ae. Di sela permainan Running Man-nya, Tae-Ho berusaha menyingkirkan Yun-Woo dari benang merah yang sudah melilit kelingkingnya dengan sang gadis pujaan.

Sementara bagi Ji-Ae, hubungan Tae-Ho dan Ha-Neul sudah lebih dari sekadar hubungan tetangga. Bahkan gadis itu mengaku ingin menikah dengan Tae-Ho. Hingga akhirnya dia membuat perjanjian yang mempertaruhkan hubungan cintanya sendiri.




Well, gaises, siapa yang udah ikutan sesi ObrolinBuku dan giveaway novel ini di instagramku?? Sekarang kita bahas novel lokal korea pertama yang aku baca ini yaaa. Siapa sih pecinta korea yang nggak tahu Running Man? Salah satu variety show korea yang terkenal dan kocak. Selalu ada aja tantangan konyol yang bikin perut terkocok.

Meski bukan penggemar berat RM, aku suka nonton setiap ada kesempatan. Apalagi waktu masih ada Joongki Oppa. Pertama kali lihat kover novel Running Romance, membuat Korean-lovers manapun pasti langsung mengingat Running Man. Dan dari segi judul, aku langsung tertarik dengan novel ini.

Kedua, kover. Ya! Aku menemukan lagi salah satu garapan Kak Chyntia Yanetha! And I adore this so much :) Eye-catching dan sesuai dengan isi. Hanya saja ada satu kekurangan, sosok cewek di kover depan itu pasti Ji-Ae kan ya? Nah, tapi di novelnya, Ji-Ae itu rambutnya panjang. Hiks.

---

Writing

Aku kurang puas dengan bagian gaya bahasa Kak Astri, rasanya kurang pemilihan diksi, kurang permainan kata-kata, dan jauh dari kesan korea. Yah, tapi yang terakhir aku nggak begitu mempermasalahkan karena bagaimana pun juga, ini kan novel lokal. Tapi alangkah baiknya kalau penulis agak ‘meniru’ gaya bahasa yang dipakai di novel-novel terjemahan korea :)

Terlepas dari itu, penulisannya rapi dan mengalir. Cepat dan to the point, aku nggak dibuat bosan karena memang tidak ada narasi monoton, mungkin juga karena memang novelnya yang cukup tipis. Tapi aku membayangkan juga, seandainya lumayan tebal, novelnya akan tetap asik kok ;)

Characters

Ini bagian oke nomor dua! Memang pemilihan karakternya umum dan tidak ada yang unik, tapi aku suka penggambaran karakter yang pas dan tingkah laku yang sesuai dengan umurnya. Nggak lebay dan realistis. Hanya saja, aku merasakan bahwa karakter mereka sangat Indonesia sekali XD

Juga dari beberapa dialog yang memang masih terbawa kelokalannya. Tapi sama sekali nggak mengganggu kok, ceritanya tetep keren!

Plot

The best part of the novel. Penggemar korea itu emang imajinasinya unik-unik yaaaa! *nunjuk diri sendiri* Yah, mungkin juga karena pengaruh drama-drama korea yang bagus, mendorong imajinasi penggemarnya juga. Dan I love this plot so much, seriously :)

Aku suka cerita yang penuh tebak-tebakan, aku suka plot yang mengundang penasaran tentang apa yang akan terjadi, dan aku menemukan semuanya di novel ini. Kejadian-kejadian yang terjadi pada karakternya nggak pernah bisa kutebak. Kejutan-kejutan yang ‘sederhana’ tapi keren!
Salah satunya ketika scene di mana Ji-Ae harus membuat perjanjian dengan Ha-Neul yang mempertaruhkan hubungan cintanya sendiri.

Shortage

Aku memang memberikan beberapa di atas, tapi ada satu kesalahan yang benar-benar membuatku terganggu.

“Tae-Ho yang tidak dapat lagi dapat menyembunyikan emosi, …” – hlm 86

Selebihnya nggak ada:)

Fav-scene

Sebenarnya banyak! Tapi yang paling berkesan adalah endingnya :))) Aku jadi suka banget dengan karakter Ji-Ae yang cerdas. Mengikuti Tae-Ho yang dibodoh-bodohi Ji-Ae, aku justru dengan santai mengikutinya, dan terjebak sendiri dengan penyelesaian yang disuguhkan. Unpredictable, dan penulis berhasil membuatku nggak bisa menebak ke arah situ meskipun jelas-jelas hal itu tidak dilewatkan.

Fav-qoute

“Tenang saja, Ji-Ae~ya. Hujan tidak akan membuatmu sakit kalau kau yakin kau tidak akan jatuh sakit.” – hlm 39

OMG TRUE! (Berhubung aku suka hujan-hujanan dan nggak pernah sakit karena itu)

“Hujan mampu melepas semua masalahmu.” - 40

(Sebenarnya dari sini, sampai akhir, aku tidak menemukan alasan Tae-Ho yang sebenarnya mengapa dia menyukai hujan .__.)

“Kata orang, jika tangan seseorang terasa hangat, berarti seseorang itu juga memiliki hati yang hangat.” – hlm 106

“Kemungkinan hanya akan menjadi awal dari kekecewaan.” – hlm 120

---

Overall, cerita K-fiction lokal pertama yang kubaca ini keren! Dan aku jadi makin penasaran dengan K-fiction yang lain terbitan penerbit Grasindo. Ditunggu karya selanjutnya Kak Astri, semoga sukses selalu dan, salam sastra :)


Senin, 17 April 2017

[RESENSI] The Bond by Eve Shi

dok.pribadi



Judul:  The Bond
Penulis: Eve Shi
Editor: Prisca Primasari
Proofreader: Tharien Indri
Designer sampul: Dwi Anissa Anindhika
Penata letak: Gita Mariana
Penerbit: Twigora (2016)



Blurb:

Aku akan memberitahumu sebuah cerita yang membuatku sangat tidak nyaman. Semuanya dimulai ketika aku menemukan sejumlah kaset peninggalan mendiang Mama. Mendengar kembali suara orng yang seumur hidup kau cintai menghangatkan hati dan jiwamu. Tapi yang aku temukan tak hanya itu. Mama bilang, ada sesuatu yang mencurigakan tentang rumah yang sedang aku tempati ini. Sesuatu yang belakangan membuatku terlibat dalam urusan masa lalu yang belum tuntas.

Sepanjang cerita ini, aku akan menyebutkan sejumlah karakter; ada yang penting, dan ada juga yang hanya selewat lalu. Ada yang membuatku berdesir hangat, ada juga yang berniat menikamku dan mewarnai akhir cerita ini dengan lumuran darah.

Di situ jugalah letak masalahnya: aku benar-benar tak bisa membedakan mereka….



(attention: mohon maaf kalau ada beberapa kalimat yang mungkin termasuk spoiler, nggak maksud ._.v)

The Bond, adalah novel horor Indonesia kedua yang aku baca setelah Danur (mungkin? Lupa juga sih). Ada dua hal yang membuatku suka (pada pandangan pertama) kepada suatu buku, yaitu kover dan sinopsis. Jujur, aku nggak begitu suka dengan kover The Bond meski cocok sama ceritanya sih, kuno, rumah Belanda, dan cermin yang meski disebut hanya sekilas.

Tetapi dari sinopsisnya, sumpah, keren pake banget!

Novel ini bercerita tentang Nina, seorang freelance designer yang ditinggal mati ibunya. Di rumah mendiang ibunya, dia menemukan empat kaset di dalam lemari. Di dalam kaset itu ada rekaman suara seorang gadis muda, bernama Shava, yang tidak lain tidak bukan adalah ibunya sendiri ketika masih muda.

Selagi mendengarkan rekaman itu, Nina mempunyai beberapa masalah. Dia tertipu proyek kerjaannya, rumah ibunya yang akan dijual juga sebuah rumah Belanda turun-temurun yang juga tidak lagi Nina butuhkan.

Ternyata, isi rekaman itu adalah kisah masa lalu ketika Shava tinggal di rumah Belanda, yang diwarnai banyak kejadian mistis, mengundang Nina untuk menyelesaikan masalah yang belum tuntas.

Maka Nina pergi ke rumah Belanda itu, mencoba menguak kebenaran lewat rekaman suara ibundanya..

---

Bicara soal rumah Belanda yang berhantu, hal ini sudah sangat umum kuketahui. Dulu, ketika aku tinggal di kompleks pinggiran Bandung, kisah soal rumah Belanda ini sangat terkenal karena berhantu. Aku dan teman-temanku sibuk sendiri jika melihat rumah Belanda dari jauh sambil berkata: “Itu tuh, rumah Belanda!”

Aku sih dulu cuma pura-pura ngeliat biar keliatan keren (abis jaraknya jauh banget). Pernah juga kami main ke sana, rumah Belanda itu terletak di tengah-tengah sawah, dan diapit beberapa bangunan konstruksi besar. Biasanya setiap pulang dari sana, kami selalu membual bahwa kami melihat sesuatu. WKWK.

Rumah Belanda milik Nina berbeda, rumah ini terletak di perumahan biasa di kawasan Bogor dan tidak terkucil seperti di ceritaku dulu. Penggambaran penulis soal rumah kuno ini cukup bagus dan aku bisa dengan mudah membayangkannya, terutama settingnya berlatarkan tahun 1989 dan sekarang.

Awalnya, aku cukup heran karena sudut pandang di sini menggunakan sudut pandang orang ketiga dari sisi Nina (sekarang) dan Shava & Daven (th 1989). Kupikir, Nina akan menjadi tokoh utama dari novel ini, tapi menurutku yang jadi tokoh utama itu adalah Shava dan Daven.

Meski Nina yang hidup di masa sekarang dan didapuk menyelesaikan masalah yang belum tuntas, peran Shava dan Daven lebih menonjol karena mereka hidup di mana konflik terjadi.

Rekaman suara itu berisi curhatan Shava tentang keseharian mereka berdua di rumah Belanda yang mulai dipenuhi mistis. Sebagai penggambarannya, dibuatlah POV dari sudut pandang Shava dan Daven.

Mereka berdua adalah kakak-beradik. Shava yang saat itu baru saja di-PHK dan Daven yang gagal masuk kuliah setelah lulus SMA. Shava lebih aktif ketimbang adiknya yang sering mengurung diri karena minder. Lalu seorang orangtua tunggal, ibunya mengalami kesulitan di usahanya dan membuat mereka terpaksa tinggal di rumah peninggalan nenek moyang Shava.

Jujur, silsilah keluarga Shava sampai ke Nina membuatku agak bingung. Kehadiran Oma Detta sebagai pemeran pembantu adalah hal yang paling membuatku pusing (entah akunya emang lagi nggak konek), yang jelas beberapa kali aku harus bulak-balik halaman depan untuk memastikan, siapa sih Oma Detta itu dan dia berasal dari pohon keluarga yang mana. HAHA.

(Psst, aku sampai buat bagan keluarga mereka di selembar kertas!)

Karena ini novel horor, tadinya aku berpikir akan menemukan gaya bahasa yang rumit, dan mengajak pembaca untuk berpikir dua kali tentang plot-twist atau semacamnya, tapi aku tidak merasa begitu. Gaya bahasa yang dipakai lancar jaya, membuatku menikmati lembar demi lembar yang disajikan.

Secara keseluruhan, plot yang dipakai sangat menarik. Aku juga terkejut ternyata Daven yang pemurung itu bisa dengan ‘cepat’ berteman dengan hantu hanya karena sentuhan-sentuhan kecil yang seharusnya bikin merinding.

Yeah, konflik yang terjadi di sini adalah bahwa rumah Belanda menampung dua orang hantu. Saudara sepupu bernama Eira dan Taruna. Yang lambat-laun menghantarkan Shava dan Daven untuk menggali kebenaran tentang mereka berdua. Serta kejanggalan yang pernah terjadi pada satu setengah tahun yang lalu oleh dua keluarga di daerah tempat mereka tinggal.

---

Untuk karakter, Nina sebenarnya tidak begitu penting menurutku, apalagi tentang jati dirinya di masa lalu. Sampai sekarang aku belum ‘ngeh’ apa maksud penulis untuk membuat hubungannya dengan Shava (ibunya) seperti itu. Dia juga hanya penting di akhir cerita.

Shava berperan lebih banyak. Ketika Daven justru menganggap hal mistis yang ada di sekitarnya sebagai suatu yang tidak perlu ditakutkan, Shava diganggu Taruna, yang mana efek cerita horor ini lebih nyata karena Taruna bukan hantu yang baik seperti Eira (namun Taruna hanya muncul dikit banget -_-)

Untuk Daven, yah, aku agak sangsi ini novel horor atau novel romance? Tapi setelah melihat bab ‘afterword’di akhir, aku tahu kisah ini terinspirasi dari kisah nyata di bumi bagian lain. Aku kecewa berat dengan karakter Daven, secara pribadi. Dia ini punya kisah yang hampir sama denganku: gagal dalama ujian Sipenmaru (sistem penerimaan mahasiswa baru) kalau sekarang namanya SNMPTN/SBMPTN.

“Dia mencurahkan segenap upaya dan pikiran demi niat itu. saat upayanya terjegal, bisa jadi batinnya terguncang. Lantas dia malu mengakui kekecewaannya.” – hlm 34

Jujur, aku sempat nangis ketika penulis menggambarkan kenelangsaan Daven yang ini, merasa aku punya teman. WKWK.

Yang membuatku kesal sama Daven adalah bahwa dia jatuh suka sama Eira. Um, yah, agak, wah! Apa-apaan nih, stres-boleh-bego-jangan, gituloh. Masa iya suka sama hantu? Hubungan yang memang aneh yang juga memang pernah aku dengar.

Dan yang lebih parahnya lagi, Shava setuju soal kedekatan Daven & Eira karena itu memberikan dampak positif bagi Daven (dia jadi nggak pemurung lagi dan mulai ceria) but, aku tetep kayak, are u serious? Apa Shava nggak pernah mikir panjang kalau bisa aja Daven dicap gila sama warga atau yang lebih buruk, diajak mati biar bisa sama-sama Eira selamanya?

Tapi sekali lagi, cerita ini terinspirasi..hm

---

Semakin ke belakang, rahasia kematian Eira dan Taruna perlahan terungkap. Dan hal itu termasuk ‘wow’ banget. Aku suka. Lama-kelamaan Taruna jarang muncul lagi, kejadian mistis yang bikin merinding hilang di masa-masa Shava. Sebaliknya, kejadian mistis di masa Nina mulai muncul sejak dia bisa menguak apa yang terjadi di masa lalu ibunya.

Hal. 195 aku baca saat itu hampir pukul 12 malam dan aku nyaris menjerit (untung masih bisa kutahan), langsung aku tutup novel ini karena mau lanjut baca juga takut nggak bisa tidur karena kepikiran. Horor banget! Scene mistis paling hebat yang ada dalam keseluruhan novel ini!

Diceritakan bahwa Daven meninggal jauh sebelum Nina lahir, dan bahkan membaca POV dari sudut Shava dan Daven juga membuatku agak merinding karena di masa sekarang, mereka berdua sudah meninggal.

Daven sendiri meninggal karena terpeleset dan jatuh ke kolam, kepalanya membentur tegel yang keras. Kematian Daven inilah yang coba diungkap oleh Nina. Serta beberapa fakta tentang Eira dan masa-lalunya yang masih ‘mengikuti’ dia hingga ke rumah Belanda.

So, kisah ini memang Happy Ending buat Daven (rasanya pengin teriak ke muka Daven: selamat Bang! Bisa sentuh-sentuhan sama Eira! *saking keselnya*). Aku pokoknya gemes banget sama endingnya Daven, aku suka ending yang happy, but harus di jalan yang ‘benar’ juga. WKWK *ngomong apasih lu ci*

Tapi ini jelas bukan happy ending buat Shava. Setelah kembali ke masa sekarang di sudut Nina, ketegangan mulai kembali dan plot-twist yang ‘mendadak’ muncul membuatku terkesiap sambil bilang ‘wow!’ cukup masuk akal dan genius! Kenapa aku bilang mendadak? Karena aku memang nggak menemukan sedikit pun ‘clue’ yang membuatku bisa berpikir: ‘oh iya ya, kan di bab segini si itu gini’.

Overall, aku tetep suka! Dari Danur sampai The Bond, kesanku soal novel horor Indonesia tinggi-tinggi. Dan pastinya nggak bakal ilfeel deh baca novel horor lokal lagi kedepannya. Dan salah satu yang aku sukai dari novel ini adalah banyaknya kata-kata baru yang kutemukan.

Lalu ada lagi, aku menemukan satu umpatan kasar dari bahasa Inggris yang cukup buat aku kaget di halaman-halaman awal. Jujur, aku bukannya munafik bilang nggak terbiasa dengan kata itu:) tapi aku juga pernah membaca dari ulasan-ulasan di goodreads ataupun dari editor di sosmed kalau kata-kata semacam itu nggak pantas lolos untuk novel yang notabene lewat penerbit mayor. But, cuma 1 doang kok! Its okayyyy!

Big thanks banget buat penulis, aku jadi punya pembendaharaan yang lebih kaya lagi~ (aku catat di notes ponsel). Aku kasih 3.75 dari 5 bintang untuk The Bond :)

“Come out a clear winner and say, screw it all, I’m a survivor!” – hlm. 183

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)