dok.pribadi |
Judul: The Bond
Penulis: Eve Shi
Editor: Prisca Primasari
Proofreader: Tharien Indri
Designer sampul: Dwi Anissa Anindhika
Penata letak: Gita Mariana
Penerbit: Twigora (2016)
Blurb:
Aku akan memberitahumu sebuah cerita yang membuatku sangat tidak nyaman. Semuanya dimulai ketika aku menemukan sejumlah kaset peninggalan mendiang Mama. Mendengar kembali suara orng yang seumur hidup kau cintai menghangatkan hati dan jiwamu. Tapi yang aku temukan tak hanya itu. Mama bilang, ada sesuatu yang mencurigakan tentang rumah yang sedang aku tempati ini. Sesuatu yang belakangan membuatku terlibat dalam urusan masa lalu yang belum tuntas.
Sepanjang cerita ini, aku akan menyebutkan sejumlah karakter; ada yang penting, dan ada juga yang hanya selewat lalu. Ada yang membuatku berdesir hangat, ada juga yang berniat menikamku dan mewarnai akhir cerita ini dengan lumuran darah.
Di situ jugalah letak masalahnya: aku benar-benar tak bisa membedakan mereka….
(attention: mohon maaf kalau ada beberapa kalimat yang mungkin termasuk spoiler, nggak maksud ._.v)
The Bond, adalah novel horor Indonesia kedua yang aku baca setelah Danur (mungkin? Lupa juga sih). Ada dua hal yang membuatku suka (pada pandangan pertama) kepada suatu buku, yaitu kover dan sinopsis. Jujur, aku nggak begitu suka dengan kover The Bond meski cocok sama ceritanya sih, kuno, rumah Belanda, dan cermin yang meski disebut hanya sekilas.
Tetapi dari sinopsisnya, sumpah, keren pake banget!
Novel ini bercerita tentang Nina, seorang freelance designer yang ditinggal mati ibunya. Di rumah mendiang ibunya, dia menemukan empat kaset di dalam lemari. Di dalam kaset itu ada rekaman suara seorang gadis muda, bernama Shava, yang tidak lain tidak bukan adalah ibunya sendiri ketika masih muda.
Selagi mendengarkan rekaman itu, Nina mempunyai beberapa masalah. Dia tertipu proyek kerjaannya, rumah ibunya yang akan dijual juga sebuah rumah Belanda turun-temurun yang juga tidak lagi Nina butuhkan.
Ternyata, isi rekaman itu adalah kisah masa lalu ketika Shava tinggal di rumah Belanda, yang diwarnai banyak kejadian mistis, mengundang Nina untuk menyelesaikan masalah yang belum tuntas.
Maka Nina pergi ke rumah Belanda itu, mencoba menguak kebenaran lewat rekaman suara ibundanya..
---
Bicara soal rumah Belanda yang berhantu, hal ini sudah sangat umum kuketahui. Dulu, ketika aku tinggal di kompleks pinggiran Bandung, kisah soal rumah Belanda ini sangat terkenal karena berhantu. Aku dan teman-temanku sibuk sendiri jika melihat rumah Belanda dari jauh sambil berkata: “Itu tuh, rumah Belanda!”
Aku sih dulu cuma pura-pura ngeliat biar keliatan keren (abis jaraknya jauh banget). Pernah juga kami main ke sana, rumah Belanda itu terletak di tengah-tengah sawah, dan diapit beberapa bangunan konstruksi besar. Biasanya setiap pulang dari sana, kami selalu membual bahwa kami melihat sesuatu. WKWK.
Rumah Belanda milik Nina berbeda, rumah ini terletak di perumahan biasa di kawasan Bogor dan tidak terkucil seperti di ceritaku dulu. Penggambaran penulis soal rumah kuno ini cukup bagus dan aku bisa dengan mudah membayangkannya, terutama settingnya berlatarkan tahun 1989 dan sekarang.
Awalnya, aku cukup heran karena sudut pandang di sini menggunakan sudut pandang orang ketiga dari sisi Nina (sekarang) dan Shava & Daven (th 1989). Kupikir, Nina akan menjadi tokoh utama dari novel ini, tapi menurutku yang jadi tokoh utama itu adalah Shava dan Daven.
Meski Nina yang hidup di masa sekarang dan didapuk menyelesaikan masalah yang belum tuntas, peran Shava dan Daven lebih menonjol karena mereka hidup di mana konflik terjadi.
Rekaman suara itu berisi curhatan Shava tentang keseharian mereka berdua di rumah Belanda yang mulai dipenuhi mistis. Sebagai penggambarannya, dibuatlah POV dari sudut pandang Shava dan Daven.
Mereka berdua adalah kakak-beradik. Shava yang saat itu baru saja di-PHK dan Daven yang gagal masuk kuliah setelah lulus SMA. Shava lebih aktif ketimbang adiknya yang sering mengurung diri karena minder. Lalu seorang orangtua tunggal, ibunya mengalami kesulitan di usahanya dan membuat mereka terpaksa tinggal di rumah peninggalan nenek moyang Shava.
Jujur, silsilah keluarga Shava sampai ke Nina membuatku agak bingung. Kehadiran Oma Detta sebagai pemeran pembantu adalah hal yang paling membuatku pusing (entah akunya emang lagi nggak konek), yang jelas beberapa kali aku harus bulak-balik halaman depan untuk memastikan, siapa sih Oma Detta itu dan dia berasal dari pohon keluarga yang mana. HAHA.
(Psst, aku sampai buat bagan keluarga mereka di selembar kertas!)
Karena ini novel horor, tadinya aku berpikir akan menemukan gaya bahasa yang rumit, dan mengajak pembaca untuk berpikir dua kali tentang plot-twist atau semacamnya, tapi aku tidak merasa begitu. Gaya bahasa yang dipakai lancar jaya, membuatku menikmati lembar demi lembar yang disajikan.
Secara keseluruhan, plot yang dipakai sangat menarik. Aku juga terkejut ternyata Daven yang pemurung itu bisa dengan ‘cepat’ berteman dengan hantu hanya karena sentuhan-sentuhan kecil yang seharusnya bikin merinding.
Yeah, konflik yang terjadi di sini adalah bahwa rumah Belanda menampung dua orang hantu. Saudara sepupu bernama Eira dan Taruna. Yang lambat-laun menghantarkan Shava dan Daven untuk menggali kebenaran tentang mereka berdua. Serta kejanggalan yang pernah terjadi pada satu setengah tahun yang lalu oleh dua keluarga di daerah tempat mereka tinggal.
---
Untuk karakter, Nina sebenarnya tidak begitu penting menurutku, apalagi tentang jati dirinya di masa lalu. Sampai sekarang aku belum ‘ngeh’ apa maksud penulis untuk membuat hubungannya dengan Shava (ibunya) seperti itu. Dia juga hanya penting di akhir cerita.
Shava berperan lebih banyak. Ketika Daven justru menganggap hal mistis yang ada di sekitarnya sebagai suatu yang tidak perlu ditakutkan, Shava diganggu Taruna, yang mana efek cerita horor ini lebih nyata karena Taruna bukan hantu yang baik seperti Eira (namun Taruna hanya muncul dikit banget -_-)
Untuk Daven, yah, aku agak sangsi ini novel horor atau novel romance? Tapi setelah melihat bab ‘afterword’di akhir, aku tahu kisah ini terinspirasi dari kisah nyata di bumi bagian lain. Aku kecewa berat dengan karakter Daven, secara pribadi. Dia ini punya kisah yang hampir sama denganku: gagal dalama ujian Sipenmaru (sistem penerimaan mahasiswa baru) kalau sekarang namanya SNMPTN/SBMPTN.
“Dia mencurahkan segenap upaya dan pikiran demi niat itu. saat upayanya terjegal, bisa jadi batinnya terguncang. Lantas dia malu mengakui kekecewaannya.” – hlm 34
Jujur, aku sempat nangis ketika penulis menggambarkan kenelangsaan Daven yang ini, merasa aku punya teman. WKWK.
Yang membuatku kesal sama Daven adalah bahwa dia jatuh suka sama Eira. Um, yah, agak, wah! Apa-apaan nih, stres-boleh-bego-jangan, gituloh. Masa iya suka sama hantu? Hubungan yang memang aneh yang juga memang pernah aku dengar.
Dan yang lebih parahnya lagi, Shava setuju soal kedekatan Daven & Eira karena itu memberikan dampak positif bagi Daven (dia jadi nggak pemurung lagi dan mulai ceria) but, aku tetep kayak, are u serious? Apa Shava nggak pernah mikir panjang kalau bisa aja Daven dicap gila sama warga atau yang lebih buruk, diajak mati biar bisa sama-sama Eira selamanya?
Tapi sekali lagi, cerita ini terinspirasi..hm
---
Semakin ke belakang, rahasia kematian Eira dan Taruna perlahan terungkap. Dan hal itu termasuk ‘wow’ banget. Aku suka. Lama-kelamaan Taruna jarang muncul lagi, kejadian mistis yang bikin merinding hilang di masa-masa Shava. Sebaliknya, kejadian mistis di masa Nina mulai muncul sejak dia bisa menguak apa yang terjadi di masa lalu ibunya.
Hal. 195 aku baca saat itu hampir pukul 12 malam dan aku nyaris menjerit (untung masih bisa kutahan), langsung aku tutup novel ini karena mau lanjut baca juga takut nggak bisa tidur karena kepikiran. Horor banget! Scene mistis paling hebat yang ada dalam keseluruhan novel ini!
Diceritakan bahwa Daven meninggal jauh sebelum Nina lahir, dan bahkan membaca POV dari sudut Shava dan Daven juga membuatku agak merinding karena di masa sekarang, mereka berdua sudah meninggal.
Daven sendiri meninggal karena terpeleset dan jatuh ke kolam, kepalanya membentur tegel yang keras. Kematian Daven inilah yang coba diungkap oleh Nina. Serta beberapa fakta tentang Eira dan masa-lalunya yang masih ‘mengikuti’ dia hingga ke rumah Belanda.
So, kisah ini memang Happy Ending buat Daven (rasanya pengin teriak ke muka Daven: selamat Bang! Bisa sentuh-sentuhan sama Eira! *saking keselnya*). Aku pokoknya gemes banget sama endingnya Daven, aku suka ending yang happy, but harus di jalan yang ‘benar’ juga. WKWK *ngomong apasih lu ci*
Tapi ini jelas bukan happy ending buat Shava. Setelah kembali ke masa sekarang di sudut Nina, ketegangan mulai kembali dan plot-twist yang ‘mendadak’ muncul membuatku terkesiap sambil bilang ‘wow!’ cukup masuk akal dan genius! Kenapa aku bilang mendadak? Karena aku memang nggak menemukan sedikit pun ‘clue’ yang membuatku bisa berpikir: ‘oh iya ya, kan di bab segini si itu gini’.
Overall, aku tetep suka! Dari Danur sampai The Bond, kesanku soal novel horor Indonesia tinggi-tinggi. Dan pastinya nggak bakal ilfeel deh baca novel horor lokal lagi kedepannya. Dan salah satu yang aku sukai dari novel ini adalah banyaknya kata-kata baru yang kutemukan.
Lalu ada lagi, aku menemukan satu umpatan kasar dari bahasa Inggris yang cukup buat aku kaget di halaman-halaman awal. Jujur, aku bukannya munafik bilang nggak terbiasa dengan kata itu:) tapi aku juga pernah membaca dari ulasan-ulasan di goodreads ataupun dari editor di sosmed kalau kata-kata semacam itu nggak pantas lolos untuk novel yang notabene lewat penerbit mayor. But, cuma 1 doang kok! Its okayyyy!
Big thanks banget buat penulis, aku jadi punya pembendaharaan yang lebih kaya lagi~ (aku catat di notes ponsel). Aku kasih 3.75 dari 5 bintang untuk The Bond :)
“Come out a clear winner and say, screw it all, I’m a survivor!” – hlm. 183
0 komentar:
Posting Komentar