Sabtu, 04 Maret 2017

[RANDOM] DAY2 - Writing Challenge Kampus Fiksi

Writing Challeng Bersama Kampus Fiksi #DAY2

---

Untuk Ayah, di Surga.


---
DAY 2


Seandainya ada mesin waktu dan bisa kembali ke masa lalu, kesalahan apa yang paling ingin kamu perbaiki? Ceritakan!

---

Butuh berpikir banyak untuk ‘nekat’ mengikuti challenge ini, sampai-sampai aku harus telat nyetor di hari pertama. Dua pertanyaan yang dimaksudkan untuk dua hari, aku menyelesaikannya dalam satu waktu. Dan bukan main-main flashback-nya. Aku berhasil kembali ke masa itu, masih dengan perasaan yang sama ketika aku mengalaminya waktu itu.

Mungkin di hari pertama aku mengingat banyak yang bagus tentang masa lalu, tetapi sebetulnya aku ini bukanlah orang yang senang menyimpan kenangan, terlebih kenangan masa laluku, bagiku, banyak yang tidak menyenangkan.

Seringnya aku berusaha melupakan semuanya yang pernah terjadi, baik itu yang baik atau buruk, karena entah kenapa aku selalu menganggapnya adalah beban tersendiri buatku.

Jadi sekarang aku memaksa lagi, menggalinya, terluka lagi, dan untuk pertama kalinya menuliskannya, berniat mempublish kesalahan yang paling kubenci kepada dunia.
Seandainya ada mesin waktu, sejujurnya aku pernah berpikir tentang hal ini dulu sekali, aku ingin kembali ke hari di mana aku lahir, dan… mencegahnya terjadi.

Tapi bukan itu sekarang, justru yang aku ingat adalah Ayahku. Betapa rasa bersalah yang sering kucoba lupakan itu, seringkali hadir tanpa permisi, membuat aku secara mendadak membenci dunia, membenci diriku sendiri dan membenci apa yang kurasakan saat itu.

Ayahku berpulang ketika aku kelas 9, pada tanggal 5 September 2012. Sedari kecil, aku tidak dekat dengan Ayah. Ayahku itu orang yang sulit mengekspresikan perasaannya kecuali rasa marah. Jadilah, aku yang kecil, menganggap ayahku adalah orang yang galak. Aku jarang mengobrol dengannya, tapi beliau juga sosok yang bisa terlihat hangat, biasanya mengobrol kalau kami berkumpul sekeluarga.

Ayahku adalah seorang yang sangat disiplin dan taat pada aturan, aku baru menyadari juga bahwa aku menuruni sifatnya itu, bahkan sifat dingin, cuek, emosian dan keras kepala kami juga sama. Jadi, di usianya yang sudah tua dan sakit-sakitan sementara aku yang masih kecil dan terbiasa dengan jarak di antara kami, membuat aku tidak memanfaatkan waktu yang tersisa sebaik-baiknya.

Ayah sakit parah. Awalnya kanker prostat, menyebabkannya harus memasang selang di kantung kemihnya. Lalu kemudian fisiknya semakin lemah, Ayah jatuh di kamar mandi dan tidak bisa berdiri lagi. Di rumah sakit, Ayah mendapat diagnosa lagi bahwa dirinya terkena gagal ginjal.

Sempat untuk beberapa waktu, ayah dirawat di rumah sakit, setengah sadar, tidak bisa berbicara dengan jelas, tidak tahu siapa-siapa yang datang menjenguk. Kemudian ayah sembuh, kembali seperti sedia kala secara mental.

Aku dan kakakku masih menjaga jarak, seperti biasa, hanya menghampiri ketika ayah butuh sesuatu. Ketika kakakku sekolah di Bandung, ibuku pergi bekerja, akulah yang ada di rumah bersama ayah.

Jarang sekali aku menengok ke kamarnya, sekedar menanyakan bagaimana keadaannya, apa yang dia rasakan atau apa yang dia butuhkan. Aku sibuk dengan diriku sendiri; menonton tv, bermain, mengerjakan tugas atau hal-hal lain.

Ayah hanya memanggil kalau beliau ingin mengisi lagi gelasnya, meminta dibuatkan bubur instan, atau minta diguntingkan kukunya. Di hari ulangtahunku, ayah sudah tidak bisa lagi menyiapkan kado yang biasanya kulihat di pagi hari, beliau hanya mendoakan dan memberi uang. Di hari Lebaran pun, tidak banyak waktu yang kuluangkan untuk ayah.

Lalu pada suatu hari, ketika aku sedang mengerjakan tugas, ayahku memanggil-manggil namaku. Menyuruhku mengambilkan pencukur jenggot. Tanpa berpikir panjang, aku hanya menyerahkan benda itu dan kembali ke PR-ku.

Tentu saja ayah kembali memanggil, menyuruhku membasahi sapu tangannya. Aku kembali ke PR-ku sekali lagi, dan ayah masih memanggil. Katanya, basahi dengan sabun. Entah kenapa, saat itu aku merasa sangat kesal, situasiku di sekolah juga membuat mood-ku jelek sekali. Aku kesal ayah terus-menerus memanggilku.

Bukannya membantunya cukur tanpa mengeluh agar semuanya cepat selesai, aku malah menangis dan keluar dari rumah. Berdiri di beranda, dengan suara ayah yang berteriak memanggil.

Ya, aku mengabaikannya. Aku mengabaikan ayahku dan terus menangis sampai akhirnya aku pergi ke rumah Wulan. Ayah mengirim SMS, mengatakan aku untuk menghampirinya tapi aku mengabaikannya.

Sampai hal itu berlalu. Ayah tak lagi membahasnya dan aku juga bersikap seolah-olah tindakanku benar.

Hingga suatu hari, seperti biasa ayah harus menjalani cuci darahnya. Malam sebelumnya ayah memanggilku ke kamarnya, dengan lembut dia meminta aku untuk ikut menemaninya cuci darah, menyuruhku bolos sekolah, karena selama ini, hanya aku yang belum pernah ikut ke rumah sakit karena sekolah.

Aku hendak menolak, tapi tidak berani. Kubilang itu pada ibu, aku minta padanya agar menjelaskan kepada Ayah kalau aku tidak bisa bolos sekolah karena sudah kelas 9. Ibu menyetujuiku, dan mengatakan pada ayah soal hal itu. Kata Ibu, Ayah bilang, “Oh yaudah nggak apa-apa. Masuk sekolah aja lebih penting.”

Aku senang mendengarnya.

Kesenangan terakhir sebelum semuanya terenggut, terkubur dalam dengan kesakitan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Jam sebelas siang aku dipanggil ke ruang tamu sekolah karena ada Ibu dan kakakku datang. Mereka membawa kabar bahwa ayahku meninggal karena serangan jantung.

---

Nah, itulah kesalahan terbesar yang kurasakan seumur hidupku. Kalau aku bisa menemukan mesin waktu, aku ingin memperbaiki kesalahanku kepada Papa. Aku tidak akan kabur mendengarnya berteriak memanggil. Aku akan ikuti kemauannya untuk bolos dan mengantarnya cuci darah.

Kalau aku melakukan itu, aku tidak akan semenyesal ini. Aku juga mungkin tidak akan pernah menemukan pencukur milik Papa di meja kamarnya dengan darah yang mengering karena dagunya terluka. Saat aku kabur.[]




Bandung, 4 Maret 2017

[RANDOM] DAY1 - Writing Challenge Kampus Fiksi

Writing Challenge Bersama Kampus Fiksi #DAY1
---

Didedikasikan:
Untuk, sahabatku. Atau yang pernah merasa begitu.

Selanjutnya, Kak Ika Vihara dan Admin Kampus Fiksi, serta semua yang nggak sengaja mampir. HE.

---

DAY 1


Ceritakan mengenai sahabat masa kecilmu dan bagaimana persahabatan kalian sekarang!


---

Ini dia, sepenggal kisah masa laluku yang aku sendiri nggak tahu apakah ini murni terjadi di dunia nyata atau separuh kuciptakan sendiri di dalam otakku.

Waktu itu adalah tahun antara 2006/2007. Namanya Wulan. Ya, aku memilihmu, Sobat, sayangnya kau nggak pernah berselancar di Blog. Aku kenal dia tepat di depan rumahku. Dia tetangga baruku, yang punya dua adik perempuan kecil. Tiap harinya bulak-balik untuk mengasuh.

Adiknya itu, suka lihat marmutku yang kutaruh di kandang depan halaman rumah. Kami kenal dari sana, dan kami ternyata satu sekolah dan satu angkatan. Namanya Wulan. Eh? Aku sudah bilang ya? Dia ada di kelas 3A sementara aku 3C.

Kami suka main bareng semenjak hari itu. Pergi sekolah saling tunggu, begitu pula ketika pulang sekolah. Dia anaknya kurus, tinggi, kulitnya hitam, cantik, dan rambutnya selalu di model bob ‘nungging’. Dia bilang ibunya nggak suka lihat dia berambut panjang.

Jadi begini, awalnya kami nggak terlalu sering main di luar jam sekolah, tapi semenjak marmutku ada yang mati dan sisanya dipulangkan, aku sering sekali main sampai lupa waktu. Sebenarnya, bukan hanya ada Wulan. Ada beberapa anak cewek dan cowoknya. Kami main banyak hal, sampai aku lupa harus menyebutkan apa saja; petak umpet, main karet (semacam lompat tali pakai untaian karet), bersepeda keliling komplek, atau main boneka.

Bertahun-tahun kemudian kami masih berteman baik. Sedang sedikit pertengkaran, kadang kami bisa musuhan sampai satu-dua hari. Tanpa bicara. Karena di sini aku yang anak rumahan, kadang suka iri melihat Wulan punya banyak teman yang lain atau bermain bersama adiknya. Aku cuma bisa lihat dari jendela rumah. Tapi cara kami berbaikan cukup aneh, tidak ada kata maaf atau apa. Besoknya, dia menyamperku, ngajak main seolah-olah kami tidak pernah bermusuhan sehari sebelumnya. Dan aku juga tidak ambil pusing, aku hanya ingin main.

Yang paling berkesan selama bersahabatan dengan Wulan adalah ketika kami menginjak kelas enam SD, baru 7 tahun yang lalu sih, jadi diumur itu kami sudah mulai ngeceng cowok. Dan setahun setelahnya semua berubah jadi bencana. Sebuah status Facebook Wulan tanggal 23 Maret 2011 memicu terjadinya ‘perang’ yang tidak akan pernah kami lupakan selamanya bersama geng para cowok di belakang rumah kami.

Aku dan Wulan itu, bisa dikatakan sudah seperti adik-kakak, seperti dua saudara kandung. Kami banyak melakukan hal-hal bersama, kami juga saling membantu, dan terlihat sangat kompak. Bahkan untuk pergi ke warung yang tidak jauh letaknya, kami selalu nyamper satu sama lain untuk mengantar.

Jadi, hal itu berkaitan dengan perang kami. Setiap kami berjalan bersama untuk ke warung, selalu saja para anak cowok itu menganggu, dari mulai mengejek sampai mengejar-ngejar kami keliling dua blok sekaligus. Mungkin kalau diceritakan semua itu nggak ada artinya, tapi bagiku dan Wulan yang sampai sekarang masih sering membahasnya, hal itu sangat berkesan bagi kami yang bocah ini untuk berurusan dengan anak lelaki.

Dan semua itu hanya kami berdua yang tahu rasanya. Hanya kami berdua yang mengalaminya. Teman-teman cewek tetanggaku yang lain terlihat iri mendengar kisahku dan Wulan, mereka berusaha melibatkan diri dengan ikut ‘caper’ tetapi ternyata para anak cowok itu diam kalau bukan hanya kami berdua yang ada di sekitar mereka.

Aku menulis ini sambil tersenyum, lho.

Setelah reda perang antara aku dan Wulan dengan para cowok itu, kami tak lantas melupakan semua itu dan kembali ke awal. Ternyata, salah satu cowok di sana suka padaku (iya, aku ke-GR-an, tapi aku yakin itu). Dan ternyata Wulan menyukai cowok yang sama. Kalau dia adalah tipe cewek emosian dan iri hati, sudah pasti Wulan akan langsung memusuhiku dan berbalik menyerang.

Nyatanya, dia marah-marah di depanku, tapi dia masih main denganku. Dia bilang aku centil, dia bilang bahwa aku tidak perlu dandan kalau terus mengeluh karena cowok itu melihatiku terus (sejujurnya aku hanya merapikan rambut, mengurai dan mengepangnya kecil).

Lambat laun semua itu berubah, dia akhirnya suka dengan teman dari cowok yang kusukai itu. Kami jadi sering mengobrolkan cowok-cowok itu, lalu terpikir untuk menjahili cowok yang dia sukai; pura-pura salah kirim SMS, membuat facebook palsu–

Ah. Harusnya aku tidak menceritakan ini. Itu rahasia kami berdua yang sampai sekarang tidak pernah ada kata pengakuan.

Persahabatan kami yang erat bertahan hanya sampai akhir tahun di SMP saja, setelahnya, kami tidak bersekolah di sekolah yang sama lagi. Aku pergi sekolah ke kota, tepatnya di SMAN 6 Bandung, setiap hari harus naik kereta untuk ke sana. Sementara Wulan ada di SMA Negeri yang ada di daerahku.

Rumahku juga pindah setelah ayahku meninggal ketika aku kelas 9, masih di perum yang sama hanya saja berbeda blok. Kami jadi jarang bermain bersama lagi setelah semua itu. Lalu, setahun setelah berpetualang setiap hari dengan kereta, aku sekeluarga pindah ke Bandung. Makin jaranglah kami bertemu. Hanya chat via BBM atau Line dan FB waktu itu.

Kepindahanku adalah akhir segalanya. Intensitas mengobrol via IM pun jarang lagi kami lakukan. Kami sibuk dengan urusan masing-masing. Jangan tanyakan kemana geng para cowok itu, kami sudah tidak pernah bertemu mereka lagi setelah lulus SMP (tapi salah satunya jadi kakak kelasku di SMA).

Sekarang, Wulan juga sudah pergi dari rumah lamanya, rumah blok 6 yang pernah jadi tetanggaku, dan sekarang berada di Bandung juga. Hanya saja rumah kami tetap berjauhan. Sedikitnya interaksi antara kami, membuat kami juga tidak begitu ngotot untuk mengadakan reuni. Kami santai-santai saja, mengaku saling rindu tapi tak ada usaha untuk bertemu, hanya beberapa kali chat singkat dalam sebulan dan hanya membahas masalah pekerjaan.

Setelah itu semua kembali normal, kehidupan kami yang biasa, seakan-akan kenangan masa kecil yang hampir seharian selalu bermain bersama tidak pernah terjadi. Aku bahkan merasa kami seperti orang asing, tidak bisa bercerita dengan bebas tentang apa yang terjadi di hidup kami.

Dulu, ketika aku sedang menangisi sesuatu yang tidak bisa kubicarakan pada Wulan, dia juga langsung ikut menangis bersamaku, hanya saja dia menangis tanpa alasan. Dia hanya mau menemaniku menangis.

Aah. Aku benar-benar rindu masa-masa itu. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi keinginan kuat untuk bertemu. Mungkin kami butuh suatu kebetulan untuk saling bertemu suatu hari nanti.

Wulan adalah sahabat, teman, saudara, partner-in-crime, dan masa lalu yang paling berkesan buatku. Lan, kalau kamu nggak ada, aku nggak mungkin pernah ngerasain masa kecil semenarik itu. Kau yang membuatku sadar bahwa aku ternyata punya hal indah yang perlu dikenang.


Bandung, harusnya 3 Maret 2017.

Rabu, 01 Maret 2017

[RESENSI] Then She Smiles by Makna Sinatria


“Lo nggak perlu memaksakan senyum di depan gue.”






Judul: Then She Smiles
Penulis: Makna Sinatria
Penyunting: Adeliany Azfar
Proofreader: Titish A.K.
Ilustrasi: Makna Sinatria
Layout Kover: @fadiaaaa_
Penerbit: Haru, 2017
Jumlah halaman: 244 hlm



Blurb:

“Lo nggak perlu memaksakan senyum di depan gue.”

Alena tidak pernah menyangka kata-kata tersebut akan keluar dari mulut Hexa, tetangga barunya.
Lembaran foto mempertemukan mereka. Jepretan shutter sedikit demi sedikit mengikis tembok yang Alena bangun sejak lama.

Lambat laun, kesendirian Alena pun terisi oleh momen-momen baru bersama Hexa.
Alena terbuai, hingga kedekatan mereka membuat Hexa menyadari sebuah rahasia yang Alena sembunyikan di balik senyumnya.

Ketika sisi gelap paling rapuh Alena terkuak, siapkah Hexa untuk tetap berada di samping Alena?





Huah! Setelah ikutan Pre-ordernya dari bulan Januari, aku baru bisa menyelesaikan novel TSS ini tanggal 20an XD hampir sebulan lamanya. Padahal novelnya tipis, dan isinya sangat ringan HEHE. Alasannya dulu masih ada novel yang ngantri, tapi karena bosen, aku coba baca TSS, tapi karena nggak mood juga, aku lanjutin deh yang udah ngantri duluan :D

Tadinya aku pengin ngereview-nya pendek, kayak blogger lainnya yang sempet aku baca. Tapi kayaknya aku emang kebanyakan omong orangnya :( Yauda sih ya...

Nah, pertama, sebenarnya novel-novel lokal bukanlah tipeku. Dulu, waktu masih sering minjem buku temen dan perpus sekolah, aku lahap apapun novel yang ada. Aku menyukainya, beberapa, tapi nggak pernah ada yang sampai ‘jleb’ ke hati. Hanya ada dua penulis lokal yang karyanya kusukai yaitu Ilana Tan yang pertama, aku dibuat nangis kejer karena novelnya yang berjudul Sunshine Becomes You. Yang kedua, adalah Clio Freya. Aku langsung jatuh cinta ketika membaca novel Eiffel, Tolong! Ceritanya bener-bener seru, menantang, idenya hebat, dan yang terpenting di novelnya itu nggak full romance remaja yang menye.

Karena sulitnya aku menyatu dengan cerita-cerita penulis lokal, padahal aku ini juga lagi belajar nulis novel dan penerbit incaranku yaitu Penerbit Haru (eh!) Aku agak malas mencari novel-novel Haru dari penulis lokal, tapi pas waktu Haru ngumumin novel baru yang berasal dari penulis Indo, aku langsung ikut PO-nya. Soalnya aku penasaran dan ingin tahu tipe cerita gimana sih yang Haru mau (aku seringnya baca terjemahan Haru, yang Indo belum pernah sama sekali).
Tapi sayangnya, (meskipun aku tahu nggak cukup cuma nilai dari satu novel), novel TSS ini sangaaaaat jauh dari tipe novel yang aku tulis. Yang memang aku udah pernah kirim, dan ditolak HEHE. Sekarang sepertinya aku nggak bisa kirim ke Haru lagi~ 

***

Berlatarkan di Bandung yang mana adalah kota tempatku tinggal, novel ini bercerita tentang Hexa (namanya artinya enam *anak ipa*), seorang fotografer asal Prancis (blasteran Indo-Prancis) yang baru pindah rumah karena urusan pekerjaannya.

Hexa mempunyai tetangga namanya Alena. Di sanalah kisah mereka dimulai. Alena yang nggak sengaja Hexa liat dari balkon kamarnya dan Alena yang nggak sengaja nginjek foto milik Hexa.
Dimulai dari hal-hal kecil itu, dari situ udah keliatan kalau Hexa tertarik sama Alena, dibilang mirip Louise Bourgoin pula (padahal nggak tahu siapa tuh?) (pas searching: wihhh cantikkk)

Lalu karena kesukaan mereka pada fotografi, Hexa dan Alena pertama kali berinteraksi lebih jauh adalah waktu mereka di Taman Foto Bandung. Hexa nggak sengaja liat Alena lagi foto tanah dari jarak sangat dekat. Hexa nganggep itu lucu dan dia langsung foto Alena dalam posisi begitu XD
Lama-kelamaan, secara tetanggan, dan balkon kamar mereka juga sebrangan, dan sama-sama suka fotografi, jadilah Hexa sering ngajak Alena ngobrol dan ngasih saran-saran gitu.

Cuma ada satu hal yang dicurigai Hexa soal Alena dan ayah tirinya. Tapi Alena menyembunyikan itu semua selama kedekatan mereka. Hexa sering ngajak Alena hunting foto bareng; pertama nyari kamera instan dulu di Braga lanjut foto-foto di New Majestic dan sekitarnya. Terus ada mereka yang ke Saung Angklung Udjo dan Bukit Moko.

Oh ya, di sini Hexa itu serumah sama sepupunya, namanya Riou (dan di ilustrasinya, menurutku dia paling ganteng XD) sementara Alena tinggal bersama Mama, Ayah tiri, dan Kakak tirinya yang bernama Altair (seorang Chef yang punya bistro di Dago; La Cuisine)

Di sini peran mereka nggak terlalu banyak menurutku, bener-bener cuma pendukung konfliknya aja. Kecuali Riou, dia sering muncul. Ih gemes banget sama dia WKWK. Kebanyakan semua bab hanya fokus ke Hexa dan kerjaannya, atau Alena dan kuliahnya, atau mereka berdua. *yaiya orang novelnya tipis*

---

Kita mulai dari hal-hal yang kurang kusukai dari novel ini ya.

♠ Ini yang paling membuatku terganggu. Karena Alena itu orang Bandung, dan sebagai orang Bandung, tentu di sini nggak akan pakai percakapan ‘lo-gue’ sehari-hari. Kecuali di chat mungkin ya, anak sok gaul bilangnya lo-gue (nunjuk diri sendiri). Sementara Hexa pernah tinggal di Jakarta dan dia pakai bahasa lo-gue. Dan satu tokoh yang agak sering muncul (Riou) dia karena orang Prancis tulen, bahasa Indonesianya formal banget.

Aku cuma heran aja kok mereka betah ngobrol campur-campur gitu. Aku punya temen orang Jakarta dan dia biasa pakai lo-gue. tapi kalau ngomong sama orang luar Jkt, dia selalu pakai aku-kamu. Biar klop, biar nyambung gitu loh. Mungkin aku masih bisa tolerir kalau yang ngobrol Alena-Hexa atau Hexa-Riou. Nah, ada scene yang mereka bertiga semua ada. Lah pusing dah tuh XD

♠ Jujur, yang kurang kusukai dari novel lokal adalah cara penulisnya menimbulkan ketertarikan antara dua tokoh yang emang udah dipairing sejak awal. Salah satunya ada di novel TSS hal. 53

“Tiba-tiba dia merasakan sensasi aneh yang membuatnya ingin melompat ke seberang dan menarik gadis itu ke pelukannya.”

Seriously, ini baru di bab 4 dan membuatku agak merinding. Atau mungkin aku (yang masih bocah ini) nggak begitu paham bagaimana cara orang dewasa jatuh cinta. Cuma disenyumin, ngomong beberapa kalimat, nggak kenal-kenal amat pula. Sesungguhnya ini too much, menurutku.

♠ Hal. 90. “Kalau senyum lenyap dari bibirnya, orang-orang akan mulai bertanya macam-macam kepadanya.”

Diceritakan bahwa Alena ini selalu menyembunyikan lukanya dengan cara terus tersenyum. Aduh Kaklen sayang banget punya orang-orang sepeduli itu tapi lebih milih senyumin aja hanya karena males buat nanggepinnya:(. Ng..mungkin yang kurang kusukai adalah alasan yang dipakai Alena XD

♠ Jujur aja, aku nggak begitu penasaran dengan masa lalu Hexa-Alena. Apalagi di bab-bab awalpun aku sudah bisa menebak apa yang terjadi pada Alena. Cuma, sebagai pembaca dengan ekspetasi tinggi yang aneh, aku selalu mikirin hal-hal terburuk yang bisa penulis kasih ke tokohnya, aku mulai mikir macem-macem dan senyum-senyum nggak jelas karena pikiranku. Nyatanya konfliknya sangat biasa menurutku.

♠ Alasan kenapa Alena menyembunyikannya bikin aku pengen nangis kejer karena kesel sumpah WKWK nggak abis pikir aja Alena kok bisa yah punya pikiran kek gitu. Aku suka karakter Alena kecuali alasan dia yang satu itu, nggak masuk akal, dan malah nyakitin diri sendiri. Aah, aku frustrasi baca hal. 113. Aku tahu sih penulisnya emang penginnya bikin karakter Alena kayak begitu, tapi aku nggak suka aja:(

Alena itu menurutku agak polos, udah mau ending, dan dia udah keliatan banget suka sama Hexa, tapi masih bilang ‘perasaan aneh’ #gereget

Hal-hal yang aku sukai:

♠ Sudut pandang orang ketiga dari sudut Alena di halaman 57 sangat nyata dan aku bener-bener dapet feel-nya. Ini ceritanya adegan Hexa-Alena mau kencan pertama uhuy!

♠ Mulai dari halaman 100, aku udah bisa nemu inti dari cerita ini dan bukannya perkenalan awalan hubungan Alena-Hexa yang datar (dan bikin aku bosan). Konflik berat mulai muncul dan aku sangat menikmati tulisan yang menantang di halaman-halaman itu, bikin ikut ngerasa tegang. Aku suka gimana penulisnya bikin suasana, karena emang sejak awal mengalir lancar seperti sungai, jadi pas ada riak sedikit pun kerasa banget.

♠ Ada scene di mana Hexa bikin aku kesel di halaman 106. Tapi aku masukin ini ke hal-hal yang kusukai karena perasaanku bilang: penulisnya hebat bikin pembaca ikut emosi XD

♠ Di halaman 109-110 Aku suka sekaligus gereget sama karakter Alena. Mungkin karena aku keseringan baca fantasi, aku jadi gereget sama karakter cewek yang lemah lembut kayak Alena dan lebih suka yang strong (secara fisik dan mental). Tapi aku udah bilang kan, aku suka karakter Alena meskipun dia bukan tipeku banget (kecuali alasan dia menyimpan rahasia), apalagi pas dia cemburu unchhh gemessss!

♠ Kalau kebanyakan pembaca lain yang kuamati lebih seneng sama Chef ganteng aka Altair (dan minta lebih banyak scene-nya) tapi aku lebih suka Riou! Dia bener-bener bikin cerita yang datar dan penuh cinta (yang lagi-lagi bukan tipeku) antara Alena-Hexa jadi lebih berwarna :)) Jadi pengin nyubit Riou! Jadi pengin banyak scene Riou! Riou aku padamuuuuu *kisskiss*

♠ Mendekati akhir, di halaman 180 lagi-lagi aku dibuat merinding dan ikut ketakutan membaca kisah Alena. Feel ngerinya dapet banget dan aku jadi ngebayangin kalau aku sendiri yang ngalamin kejadian itu. Ya Tuhan~ the best part menurutku. Setelah Riou di beberapa bab sebelumnya.

♠ Yang terakhir...ILUSTRASINYA! Astagaaa nggak nyangka aja itu ilustrasi bikinan penulisnya sendiri. Keren bangeeet. Kebetulan aku juga emang suka menggambar, aku pernah bikin ilustrasi untuk ceritaku sendiri (yang sekarang masih tersimpan rapi dalam dokumen) meskipun gambarnya nggak bagus-bagus amat dan cenderung mengarah ke anime XD



Qoute fav-ku:

"Kerinduan. Hujan selalu mengirimkan kerinduan." - hal 71
"Semakin dia membiarkan dirinya tenggelam, dia bisa menemukan sisi gelap yang anehnya membuatnya diselimuti rasa aman." - hal 72
"Sometimes, it's okay not to be okay."

"Namun, lama-kelamaan pertahanan itu berbalik mencekiknya. Penderitaannya tidak juga berhenti." - hal 144

"Jawaban dari pertanyaan 'mengapa?' lebih mudah dijawab dengan 'karena ini salahku'. Terkadang pemikiran itu muncul begitu saja, membuat segalanya terasa lebih mudah." hal 116



Sekarang aku mau cuap-cuap lagi. Jadi kan novel ini fokus utamanya adalah soal fotografi, dan aku yang nggak tertarik sama dunia itu, kadang dibikin bosen itu karena terlalu banyak scene tentang hobi mereka itu, dan beberapa footnote istilah fotografi yang sama sekali nggak bisa kubayangin. HEHE.

Lalu di bagian blurb ada kalimat yang bilang ‘Ketika sisi gelap paling rapuh Alena terkuak, siapkah Hexa untuk tetap berada di samping Alena?’ Sejujurnya aku sempat menaruh tinggi ekspretasiku pada konfliknya dan sampai nanya ke admin Haru di fb tentang genre novel ini? Sisi gelap gitu kayak yang thriller. Ternyata kata miminnya ini romance. Satu lagi too much. Dan aku sama sekali nggak nemu scene Hexa di mana dia pantas mendapatkan pertanyaan ‘Siapkah?’

Sedikit hal yang aku gagal paham. Di halaman 216 dikatakan: “Altair juga kehilangan ibu kandungnya karena ayahnya.”

Tapi di hal 233 dikatakan kalau ibu kandungnya Altair ada kok, sehat walafiat. Aku kira di kalimat itu ceritanya Ibu Altair meninggal ya, makanya dia terpaksa ikut ayahnya. Tapi kalau ternyata masih ada, kenapa Altair nggak ikut ibunya? .___.

Bagian tipikal banget: Balkon yang bersebrangan XD emang banyak sih, dan baru-baru juga aku baca hal kayak gitu di novel Everything, Everything-nya Nicola Yoon. Terus tipikalnya Alena di hal. 173 “Apa Hexa juga tersenyum seperti itu pada cewek yang dia suka?” Hadeuh XD

Dan untuk endingnya, yup, aku puas sekali. Diakhiri dengan sangat manis semanis covernya. Berharap Alena bisa kedepannya bisa lebih baik menyikapi masalahnya, jangan kek gitu lagi. HEHE.
Terakhir, aku kasih 3 dari 5 bintang untuk Riou novel debut Kak Makna yang sekarang lagi di New York!



P.s ngiri deh liat foto-fotonya Kak Makna di IG. Jadi pengen nyusul. Hihi :D
P.s.s maaf jika masih banyak kekurangan, mohon kritik dan sarannya :D

Senin, 06 Februari 2017

[RESENSI] Being Henry David By Cal Armistead


Halo! Akhirnya di awal bulan Februari ini bisa mulai latihan review novel lagi. Bulan ini, novel yang berhasil aku selesaikan adalah Being Henry David karya Cal Armistead. Novel ini sebenarnya aku beli barengan sama The Girl On Paper, dan aku baca setelah TGOP selesai. Sayangnya, tidak seperti TGOP, ada hal-hal yang membuat aku menunda baca BHD dan baru selesai dua hari kemarin HE.

“Hal terakhir yang kuingat adalah ‘sekarang’.”

sumber: google



Judul: Being Henry David
Penulis: Cal Armistead
Penerjemah: Dewi Sunarni
Penyunting: Novianita
Proofreader: Seplia
Layout Cover: @teguhra
Penerbit: Spring
Jumlah halaman: 279 hlm.



Blurb:

‘Hank’ tersadar di Stasiun Penn, New York tanpa ingatan. Pemuda berumur tujuh belas tahun itu tidak tahu namanya, siapa dirinya, dan dari mana ia berasal. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki adalah sebuah buku berjudul ‘Walden’ karya Henry David Thoreau yang ada di tangannya.

Menggunakan buku itu, ia mencoba mencari jati dirinya. Dapatkah ia mengingat kembali siapa dirinya?

Atau lebih baik ia tidak mengingatnya sama sekali?

dok.pribadi


Yah! Jadi review kali ini, aku sedang mencari jati diri gaya ulasan yang pas buatku, jadi aku masih ganti-ganti cara reviewnya yaa!

Jujur, sejujur-jujurnya, aku ketipu sama buku ini. HAHA. Nggak juga sih, akunya aja yang rada o’on sepertinya WKWK.

Jadi, sebagai penggemar berat novel terjemahan, aku ngefans sama penerbit Spring, ikutin semua sosmednya (meskipun bukunya baru punya tiga HEHE). Dan waktu Spring baru nerbitin novel ini, aku udah jatuh cinta sama sinopsisnya. Ya, sinopsis, nggak kayak TGOP yang aku jatuh cinta duluan sama covernya, baru sinopsisnya.

Salah satu hal yang aku sukai dari novel terjemahan adalah, idenya yang unik, dan nggak pasaran, malah sinopsisnya bikin penasaran setengah mati. Kalau soal covernya, jujur aku nggak tertarik tapi setelah aku cari-cari info soal penulisnya dan novel ini, memang cover aslinya pun nggak jauh beda dari tema cover versi Indonesianya (dan memang sesuai dengan isinya).

Kenapa tadi aku bilang ketipu? Soalnya novel BHD bener-bener jauh dari ekspetasiku. Aku yang tadinya kebayang akan petualangan ‘Hank’ dan cara menantang yang bakal dia lalui untuk menemukan jati dirinya, atau teka-teki, dan masa lalunya yang twist.

Tapi o’onnya aku, aku lupa kalau genre novel ini bukanlah adventure/action or fantasy. Jadi harapanku menemukan kisah menakjubkan(versiku) pupuslah sudah. Itulah juga yang bikin aku sering tunda-tunda baca BHD dan seling sama novel yang lain.

Review

Seperti yang dituliskan di sinopsisnya, novel ini bercerita tentang ‘Hank’ –sebut saja begitu (kan dia nggak inget apa-apa ya) yang terbangun di Stasiun Penn dengan keadaan hilang ingatan dan hanya ada sebuah buku berjudul Walden karya Henry David dan uang sepuluh dolar.

Nah, di sini nih, aku gereget banget bahkan belum sampai konflik sesungguhnya udah senyam-senyum nggak jelas. Di stasiun Penn, dia ketemu gelandangan namanya Frankie, yang lucunya, dia makan se-galanya. Yap, dia makan apapun! #gereget

Sempat berantem dikit sama Frankie karena dia makan buku Walden, datanglah polisi yang melerai. Nah, diceritakan kalau Hank itu punya firasat dia nggak boleh berhubungan sama polisi (yang tambah bikin aku bertanya-tanya ada apa dengan masa lalu Hank, kayaknya dark-dark gimanaaa gitu).

Lalu ekspetasiku muncul: dia ketemu sama anak gelandangan lain yang sebaya, namanya Jack (nama samaran) dan Jack jugalah yang memberi nama Hank pada Hank karena Hank bilang namanya Henry.

“Henry,” ucap Jack bimbang, mencoba melafalkan. “Kau tidak terlihat seperti seorang Henry. Aku akan memanggilmu Hank.” Dan begitu saja, aku menjadi Hank.(hlm. 16)


#Ngakak

Novel ini punya sudut pandang orang pertama, yaitu Hank, kalau orang ketiga, ya nggak bisa dong jadi novel penuh rahasia di setiap halamannya WKWK #youdontsay

Lama-kelamaan, masih di bab-bab awal, faktor yang membuat aku kurang srek dan nggak nyaman baca novel ini adalah penulisannya. Terjemahannya memang begitu, atau emang kurang enak aja dibaca. Contohnya gini:

“Si Thoreau menulis buku ini pada pertengahan 1800-an, karena itu awalnya tulisan dia terasa sedikit aneh bagiku.” Hlm. 29

Dan ada beberapa lain yang mengangguku tapi lupa catet halamannya hee. Selain itu ada sedikit plot hole menurutku. Pengennya pap sih tapi ribet dan akunya males HE. Jadi di halaman 34 dijelaskan kalau Hank dan Jack berantem sama pemabuk dan pencandu bernama Simon.

“Dia berhasil melepaskan diri dari cekikan Jack, melemparkannya dari punggungnya, membuat Jack pingsan.” Hal. 34.

Oke, garis bawahi ‘Jack pingsan’.

Tapi di hal 35 aku menemukan: “Jack dan aku mundur dua langkah …”

 Oke, beberapa baris aja Jack udah sadar lagi XD

Lalu ada lagi kalimat menganggu seperti: “dedaunan dan tanah dan pinus.” Aku nggak tau ya, mungkin novel aslinya emang begitu tapi menurutku kebanyakan kata hubung ‘dan’.

Selepas dari itu semua, selanjutnya aku sangat menikmati kisah Hank. Terutama ketika dia mulai mengenal sosok Thomas –seorang peneliti perpustakaan yang berperan banyak dalam membantu Hank menemukan siapa dirinya. Kalau Hank nggak ketemu Thomas, mungkin sekarang Hank lagi luntang-lantung di jalanan kayak Jack dan nggak ada ‘kebetulan-kebetulan’ menyenangkan dan menguntungkan untuk Hank :))

“Aku tidak bangga akan itu. aku dulu anak yang pemarah dan pemberontak. Aku masih pemberontak, tapi aku tahu cara menyalurkan energi itu.” – Thomas (hal.130)


~mauu dong caranya mauuu mas Thomas~~

“Perasaan tidak diinginkan siapa pun dan kau tidak diterima di mana pun bisa membuat seseorang sedikit gila.” – Thomas (Hal. 132)


Karena semua di sini tokoh remaja, apalagi Jack yang nggak bisa jadi panutan, Hank juga nggak menginspirasi karena hilang ingatan, Thomaslah yang membuat banyak perubahan pola pikir, dan memberikan banyak pesan moral di novel BHD. Menurutku si Mas Thomas ini adalah karakter penguatnya.

Jangan lupakan romance. Meskipun aku penikmat fantasi, tapi aku selalu mengharapkan ada romance yang sedikit banyak bikin baper HAHA. Setelah memutuskan untuk berpisah dengan Jack, Hank melakukan perjalanannya –Being Henry David– dan di kota Concord, dia bertemu gadis cantik yang membuat dirinya terpikat, namanya Hailey. Jujur, kisah asmara mereka nggak banyak bikin baper, tapi aku suka gimana cara remaja di sana menyikapi rasa cinta. Lucu, dan sederhana. Meskipun bukan itu intinya, Hailey hanya selingan dan sadly, in the ending, she’s disappear. How can you just –argh! *ngomel ke Cal*

***

Yeah, semakin ke akhir semakin spoiler karena memang sulit untuk mereview BHD secara keseluruhan, intinya lama-kelamaan Hank memang akan benar-benar menemukan petunjuk siapa dirinya karena novel Walden karya Henry David, meskipun sampai akhir, nggak dijelasin dari mana asalnya novel itu bisa ada bersama Hank di Stasiun Penn ataupun kalimat yang membuktikan bahwa Hank memang membawa buku itu bersamanya. Semua masih menjadi teka-teki~

Hingga akhirnya Hank menemukan masa lalunya, menemukan asal muasal ‘monster’ penghuni jiwanya, dan seriously, aku nggak tahan buat nggak nangis. Aku seolah merasakan apa yang Hank alami selama ini, perasaan terdalamnya. Jujur aku lebih menghargai baper tentang kehidupan dan suka-duka hidup di dunia daripada masalah cinta.

Meski cerita ini tidak seperti yang kuharapkan, tapi cerita ini mampu mengambil sudut simpatiku yang terdalam. Sumpah, novel ini kece banget. Plis, para remaja, jangan kecanduan tokoh fiktif pembuat bapermu, coba baca kisah Hank, meskipun dia bukan tipe cowok romantis bikin blushing dan senyam-senyum gak jelas, tapi jelas kisah Hank jelas lebih berfaedah HAHAHA :v

Aku nggak nyesel menginginkan buku ini, nggak nyesel lanjutin sampai akhir. Meskipun endingnya nggak bikin perasaanku ‘plong’ setelah badai-gelombang yang menerpa hidup Hank. Terlalu singkat, dan terlalu dipaksakan endingnya seperti itu. Tebakanku sih, (ngeliat babnya dikit banget cuma 18 dan ternyata ini novel pertama Cal) pasti ini ketentuan penerbitnya yang membatasi halaman. Jadi, Cal terpaksa membuat ending seperti itu. Hiks.

***

Banyak cuap-cuap, akhirnya sampai di ending reviewku. Ini semua daftar favorit quotesku. Sebelum benar-benar memantapkan diri belajar review, aku dari dulu selalu mencatat kalimat-kalimat yang membuatku baper, yang 11-12 sama keadaan hidup dan perasaanku lah #ea

“Mimpi-mimpi kenangan buruk adalah ketika aku melihat diriku sendiri menjadlani hari-hari sebagai ‘anak baik’, padahal dalam kenyataannya aku menahan diri sedemikian rupa hingga aku ingin menghancurkan perabotan dan melemparkan barang-barang ke tembok dan berteriak sampai pembuluh darah di kepalaku pecah. (cut spoiler). Dari luar, aku anak yang sempurna –seperti patung pualam yang sempurna, tenteram, dan tidak nyata. Di dalam, isinya ular-ular dan belatung-belatung dan pecahan kaca.” – hal 193
“Kau tahu, terkadang aku bertanya-tanya apakah dia terganggu karena sebenarnya dia tidak pernah tiba di puncak. Dia sudah begitu dekat, dan pada saat itu dia berpikir dia berhasil. Kukira itulah yang penting.” – hal 203

“Merenungkan masa depanku sama seperti mengintip ke dalam lubang hitam. Semua orang sudah harus merencakannya pada umur delapan belas tahun: daftar tujuan hidup, sebuah rencana hidup yang lengkap. Iya, benar. Aku takut untuk menceritakan ini kepada siapa pun, tapi aku tidak punya rencana. Aku bahkan tidak punya petunjuk.” – hal 207

“Aku tidak pernah menemukan teman yang begitu setia seperti kesendirian.” – hal 244



Makin akhir makin baper:

“Akhirnya, aku tak sanggup lagi menjalani hidupku, tak bisa mengatasi rasa bersalahku. Aku tahu aku harus lari atau akhirnya aku akan menggantung diri di garasi. Sesederhana itu.” – hal 265



“Ini akan menjadi akhir yang bersih bagi hidupku yang sia-sia. Cara yg baik untuk mati.” – hal 271



“Memilih hidup berarti menghadapi rasa sakit dan aku tidak cukup kuat. Kematian adalah akhir, pelarian pamungkas bagi kita yang berada dalam pelarian. Jadi inilah akhirnya: berpegang pada batu dan hidup. Atau melepaskan dan mati.” – hal 272



Kuingatkan sekali lagi, BHD cuma sampai halaman 279 loh, hal 272 aja ada kalimat kek begitu, jadi coba tebak…happy end or sad end?? Hihi :D

Terakhir, aku kasih 3.5 dari 5 bintang buat ‘Hank’ or DH. ♥
Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)