Rabu, 05 April 2017

[RESENSI] When Love Is Not Enough by Ika Vihara

“There’s only one possibility: win, draw, or lose.” – Franz Beckenbauer




Judul: When Love Is Not Enough
Penulis: Ika Vihara
Editor: Afrianty P. Pardede
Penerbit: Elex Media Komputindo (2017)
Jumlah halaman: 271 hlm


Blurb:

Awalnya, Lilja Henrietta Møller berpikir, menikah dengan sahabatnya, Linus Zainulin, dan tinggal bersamanya di Munchen, akan menjadi sebuah pernikahan yang sempurna. Tidak ada yang salah dengan pernikahan mereka. Karena Linus dan Lily bisa sama-sama melakukan apa yang mereka suka. Tapi semua tidak sesempurna angan-angan Lily. Karier Linus sebagai pembuat kereta cepat, yang semakin menanjak, ternyata malah menghancurkan gerbong kehidupan pernikahan mereka.

Lily kehilangan laki-laki yang dia cintai. Ayah dari anaknya. Suaminya. Yang lebih buruk lagi, dia kehilangan sahabatnya. Sosok yang sudah bersamanya sejak dia dilahirkan. Lily kembali ke Indonesia, mencoba membangun kembali hidupnya, tanpa Linus bersamanya.

**

Seri Le Mariage dari Elexmedia yang pertama aku punya ini hadiah dari Writing Challenge Bersama Kampus Fiksi dan penulisnya sendiri, di blogku. Buat yang penasaran, boleh cek curhatanku (true-story) yang kutulis untuk ikutan challenge pertamaku di sini.

When Love Is Not Enough bercerita tentang Lilja (sumpah ini aku nggak tahu cara bacanya) atau Lily dan Linus. Dua orang yang bersahabat dari kecil, dan akhirnya memutuskan untuk menikah.
Udah banyaaak banget kisah-kisah sahabat jadi cinta teenlit yang ujung-ujungnya nikah dan hidup bahagia selamanya. Konyol sih, tapi bisa aja terjadi, dan aku pun berpikiran hal yang sama. Kalau nikah sama sahabat sendiri, kita udah mengenal sifat baik dan buruk masing-masing kan? Lalu ada juga fact yang pernah kubaca kalau menikah sama sahabat sendiri itu bisa lebih bahagia/langgeng(?)

“Kata orang, kalau sahabat menjadi pasangan kita, makan kita mendapatkan persahabatan sekaligus cinta yang abadi.” – hlm lupa lagi.

Tapi semua nggak berjalan lancar untuk Lily dan Linus. Bahkan di bab pertama, aku udah dibuat sedih. Langsung, nggak pakai aba-aba. Itu juga yang membuatku cepet banget baca novel ini, karena aku nggak bisa berenti buat buka halaman selanjutnya.

She is not in a better place” adalah subjudul untuk bab pertama. Mereka berdua harus kehilangan Leyna, anak mereka yang baru berusia kurang dari enam bulan.

“Saat seorang suami ditinggal mati oleh istri, maka dia disebut duda. Istri yang ditinggal mati suami, dia disebut janda. Anak yang ditinggal mati ayah, dia dinamakan yatim. Dan anak yang ditinggal mati ibu, dia dinamakan piatu.
Bagaimana dengan seorang ayah atau seorang ibu yang ditinggal mati anaknya? Tidak ada nama untuk mereka. Mungkin orang tidak berpikir untuk memberikan sebutan bagi orang sepertinya dan Lily.”

Setelah itu semua, aku cukup kaget karena ternyata Lily menyalahkan Linus karena meninggalnya Leyna. Konflik itulah yang membuat Lily kehilangan suami sekaligus sahabatnya seperti yang dicantumkan di blurb.

Lily jadi kehilangan arah setelah Leyna pergi, dia selalu melamun dan hampir tidak pernah berinteraksi dengan Linus di apartemen mereka di Jerman sampai akhirnya Lily minta cerai. Alasan kenapa Lily seperti itu adalah karena Linus tidak pernah menginginkan keberadaan Leyna. Bahkan Lily harus mengurus Leyna sendirian.

Setelah Lily pulang ke Indonesia, semuanya makin kacau di hidup Linus yang awalnya tetap mempertahankan pekerjaannya di Munchen. Keputusannya sudah bulat, Linus akan melepas kariernya yang cemerlang, demi merebut kembali Lily, membawanya pulang ke kehidupannya.

---

Ide konflik yang brilian, menurutku. Aku suka dengan cerita yang langsung masuk ke dalam konflik seperti ini. Awalnya, Lily setuju untuk menunda kehamilan karena Linus beralasan bahwa mereka masih belum mapan, Linus masih kuliah dan mereka butuh rumah yang lebih luas dan nyaman untuk membesarkan seorang anak. Tapi, lama-kelamaan Lily tidak sabar ingin segera mempunyai anak. Jadilah insiden ‘menjebak’ Linus agar Lily bisa hamil.

Linus yang terkejut dengan berita kehamilan Lily, malah emosi dan akhirnya membuat Lily sakit hati dengan kata-kata Linus yang tidak menginginkan anak itu.

Yah, cukup menguras hati. Kehidupan dan eksplor perasaan baik Lily ataupun Linus digambarkan dengan sangat-sangat baik. Di sini aku #TeamLinus karena aku tetap berpikir kalau Lily punya porsi yang lebih pantas untuk disalahkan. Tapi ketika diceritakan dari sudut pandang Lily yang membesarkan anak seorang diri dan betapa Linus nyebelin setengah mati (meskipun sama anak sendiri), aku juga ikutan kesel.

Novel ini bikin perasaan campur aduk. Aku nggak tahu harus dukung siapa atau menentukan yang mana yang salah atau benar, karena sesungguhnya hal itu terlalu abu-abu.
Jujur aku masih bisa dibilang ‘remaja ingusan’ kalau harus nyebutin pelajaran apa yang bisa didapatkan dari kisah ini. Tapi khusus untuk diriku sendiri, aku banyak dapet pelajaran yang berarti. Pentingnya komunikasi dan saling terbuka, salah satunya.


Peran keluarga besar Lily dan Linus juga  digambarkan sangat bagus, mereka mungkin sama seperti peran pembantu yang lainnya, tapi porsi mereka di sini sangat pas. Aku bukan tipe orang yang mudah dinasehati, tapi mendengar sosok orangtua yang menceramahi di novel ini, justru aku jadi terharu.

Setelah Linus menyusul Lily pulang ke Indonesia, di sini aku merasa bahwa Linus itu suamiable banget. Dia jelas tipe laki-laki yang diinginkan banyak gadis. Cerdas, tampan, karier yang bagus dan penyayang. Hanya satu kekurangannya, dia nggak mudah mengekspresikan perasaannya, khususnya ketika Leyna lahir.

Aku dibuat sedih sekaligus suka dengan sikap Linus yang berusaha memperbaiki hubungannya dengan Lily. Yang paling aku suka adalah ketika Linus mengorbankan kariernya dan memilih perusahaan biasa saja di Indonesia demi Lily.

“Cinta tidak selalu bisa menyelesaikan masalah. Iya kan?” – hlm 58

Lain lagi dengan Lily, aku dibuat kesal karena dia ini hatinya seperti batu. Yah, aku ngerti sih perasaan dia apalagi ketika dia benar-benar membutuhkan Linus untuk sama-sama merawat Leyna, tapi tetep aja, Linus udah ngeluarin kata-kata yang membuat terenyuh pun, Lily masih nggak mau membuka hatinya lagi.

Kadang suka kesel sama cewek yang terus ngasih kesempatan meskipun udah disakitin berkali-kali, tapi kesel juga sama cewek yang nggak ngasih kesempatan sedikit pun. Whyyyy?

Ya Lord. *Bang Linus, sini sama aku aja*

---

Salah satu yang paling aku suka dari novel ini adalah subjudul di setiap bab. Sumpah judulnya keren semua:( bikin penasaran sama isi bab itu. Bikin ‘nyes’ di hati juga. Gaya penulisaannya enak dibaca, dan nggak berat untuk ukuran novel dewasa ini. Mengalir dan mudah diikuti, serta mudah bikin baper. Ini serius, aku jatuh cinta sama setiap kalimat indah yang dirangkai Kak Ika Vihara.

Bahkan aku punya banyak stok quotable. WKWK.

Overall, sepanjang cerita aku dibuat terus-terusan terharu. Lily yang tiap kali teringat Linus dan kenangan mereka, tapi langsung sakit hati saat mengingat Leyna. Keseharian Lily yang bisa dibilang datar justru membuatku sedih, bukannya bosan. Lalu Linus yang.. perjuangannya bikin meleleh.

Novel ini memang dilabeli dewasa, dan memang benar, novel ini mendewasakan pembacanya. Memberi banyak nasihat tentang kehidupan pernikahan. Suka-duka melanjani rumah tangga. Konflik yang diciptakan malah membuatku ingin merasakan rasanya hidup berkeluarga. Hihi XD

---

Qoutable:

“Hidup satu rumah dengan laki-laki itu tidak mudah. Betul, kan?” – hlm 20

“Apa bedanya aku sama anak kos kalau tidurnya peluk guling?” – Linus (hlm 33) 

*sebagai anak kost, saya merasa tersindir XD*

“Masa kanak-kanak adalah masa-masa ketika lutut kita yang terluka, bukan hati kita. Masa-masa kita tidak sengaja mematahkan roda mobil-mobilan atau tangan boneka. Bukan mematahkan hati orang yang kita cintai.” – hlm 43

Sebenernya masih banyak, cuma males ngetik. Hoho.

---

Terakhir aku kasih 4 dari 5 bintang buat novel When Love Is Not Enough ini. Jujur aku sempet bingung harus gimana menjelaskan perasaanku soal novel ini, jadi hanya inilah yang bisa kutulis. Terlalu sulit untuk mengungkapkan kesan-kesan kisah Linus dan Lily dalam bentuk kata-kata.

Pahit, manis, nyesek, sedih, terharu, terenyuh.. apalagi yang bisa kutulis? Novel ini benar-benar membuatku campur aduk dalam mendeskripsikannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)