source: google |
Judul: The Name
of The Game
Penulis: Adelina
Ayu
Penerbit: Bhuana
Sastra (2019)
Jumlah halaman:
331 hlm.
Baca via:
Gramedia Digital
Sebenernya agak
takut nulis ini karena gue liat-liat rating dan resensi novel TNoTG tuh tinggi
dan bagus-bagus semua! Nggak, bukannya gue bakal nulis yang jelek cuma karna
gue ngasih bintang tiga kok.
Tapi ini murni
masalah selera. So, dont get me wrong.
Gue cuma berasa berada di zona lain dari orang-orang normal haha.
Oke jadi The Name
of The Game ini bertema Young Adult dengan Toxic Masculinity sebagai temanya.
Isinya sendiri bercerita tentang tiga remaja kuliahan yang saling terpikat gitu
deh.
Ada Flo, maba
sastra Perancis UI yang naksir kakak tingkat jurusan mesin bernama Daryll (cowo
yang maskulin) dan dia juga deket sama Zio (cowo yang feminin) kakak tingkatnya
di jurusan arsitektur. Sementara itu, Daryll dan Zio ini punya love-hate-friendship
sejak SMP.
Yang Flo nggak
sadar adalah, Zio juga ternyata naksir dia. Yah, semacam cinta segitiga gitu
deh.
Novel ini, bisa
dibilang adalah buku tentang toxic masculinity versi fiksinya. Kalau kamu
pengen baca dan memahami apa itu toxic masculinity dengan mudah, novel ini
bakal kasih kamu jawaban selengkap buku paket sekolah. Plus, disuguhin cerita
cinta juga. Paket komplit gak tuh?
And that is where it started. Saking mendidiknya, gue jadi nggak
menemukan keseruan alurnya. Kayaknya nyaris semua paragraf, semua bab,
bener-bener ngungkapin opini yang bagus tentang social issue yang emang anget
banget khususnya di Indonesia.
Gue diajak
membaca tentang perasaan Zio, cowok feminin yang meskipun feminin tapi dia
tetep aja laki-laki. Dan nilainya sebagai laki-laki nggak berkurang. Gue diajak
kenalan sama Daryll, yang bener-bener menghargai orang lain sesuai apa adanya,
dan maskulinitas dirinya sendiri bukan karena dia dituntut untuk menjadi
seperti itu.
Jangan tanya soal
Flo, karena menurut gue dia terlalu fiksi. I mean...Flo satu-satunya cewek
yang bisa nerima Zio dan nggak ilfeel, nggak ngatain bla bla. Hhe. I dont have any problem about her character
tho. Ada sih satu scene di mana
Flo bilang “warna pink kan buat cewek –cowok itu warna biru”, tapi cuma segitu
aja, selebihnya dia sangat open minded
lah ya.
Di sini gue
sangattt amattt suka sama penulisan karakternya yang kuat. Khususnya buat Zio
dan Daryll. Gue suka gimana cara penulis bikin posisi, ngeluapin perasaan, dan
pikiran mereka lewat kata-kata. Semuanya pas dan terasa deep. Zio dan Daryll ini tokoh-tokoh yang konsisten ditulis.
Gue paling suka
dengan identitas Zio yang suka banget vanilla, sementara Daryll yang suka milo,
buku cerita anak, dan punya banyak hewan peliharaan. I’m so soft for them:”)
Just like what i said before, buku ini adalah buku yang mendidik
dengan cara yang menyenangkan. Siapapun yang baca buku ini, gue yakin bakal
ningkatin lagi kadar empati kalian terutama saat ngadepin sosok kayak Zio.
Wait, gue sebenernya agak sedikit bingung sama Zio. Dia nggak mau dikatain
banci/bencong dan berpura-pura bisa nerima tapi kenapa ya dia malah sering pake
bahasa banci? Apa itu choping mechanism-nya
karena diejek terus? Idk. It just doesnt
sit right with me.
Menurut gue cukup
Zio jadi karakter yang kenal skincare,
cara ngerawat diri, dan punya kesukaan yang beda sama
apa-yang-orang-bilang-maskulin, tanpa perlu dia pake bahasa banci.
Satu hal yang
bikin gue gak ‘match’ sama novel ini
adalah dari segi alur dan konfliknya. Sejujurnya, gue kurang suka konflik yang
nggak ‘bulet’. Dari awal sampe ngelewatin setengah buku, gue cuma diajak
jalan-jalan mengenali karakter Zio dan Daryll lewat Flo dan belajar soal toxic masculinity itu sendiri.
Gue bahkan sampe
lupa kalo cerita ini ada cinta segitiganya haha. Maka dari itu gue baca novel
ini nyaris sepuluh harian lah. Karena gue nggak punya alasan untuk terus kepo
sama apa yang terjadi selanjutnya. Sorry
for saying this. Konfliknya nggak page-turner
buat gue.
Belum lagi,
menurut gue di novel ini terlalu banyak telling
daripada showing-nya seolah-olah
novel ini emang dibuat buat pure
mengedukasi/menekankan banget pelajaran daripada menghibur (yang diselipi
edukasi). Hal ini juga bikin gue sedikit turn-off
karena berasa lagi didikte.
Tapi harus gue
akui, cukup banyak quotes yang
menampol. Kalau aja nggak terlalu gamblang, novel ini bakal deket banget ke
perasaan gue kayak The Midnight Library-nya Matt Haig.
Bicara soal toxic masculinity-nya, gue juga
menyaksikan langsung kejadian ini waktu gue kuliah. Nggak mau bilang gue si
paling open minded, tapi gue bisa
paham dan ngerti sama isu ini.
So, bukan hal baru bagi gue pas baca tema kayak gini. Tapi, gue tetep ngerasa
seneng baca buku yang ngangkat isu sensitif ini dan berharap makin banyak yang
baca novelnya!
Overall, menurut gue sebagai pembaca (terutama genre fav gue nomer satu itu
fantasi) gue sangatt amat menilai sebuah novel dari segi alur dan konflik yang
disajikannya duluan. Gue bahkan baca apa pun genre atau temanya asal alurnya
seru buat diikutin.
Konflik soal Zio
yang mempertanyakan ulang tentang dirinya sendiri (krisis identitas?) karena
sosok maskulin Daryll yang disukai oleh cewek yang dia suka buat gue belum
cukup untuk bikin gue menyukai alurnya. Sisanya, novel ini sangat amat layak
dan high recommended buat dibaca.
The story was
good but it was just not for me. So, i only gave 3¶ for The Name of The Game!
p.s gue masih
penasaran sama Daryll. Di awal dia keliatan jadi salah satu tokoh utama, tapi
makin kebelakang justru dia kayak cuma figuran bagi kisah Flo dan Zio. Menurut
gue, dia cuma kayak jadi pecutan untuk character
development-nya Zio. Huhu. Sad.
Gue pengen baca
kisah Daryll, tapi yang ada cuma cerita Andra dan Shaien. Not sure if i will read that book or not.
Dont forget to click follow button or submit your
email below! See you on another review!
0 komentar:
Posting Komentar