Tampilkan postingan dengan label Gramedia Digital. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gramedia Digital. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 Maret 2022

Satu Hal Terbaik dari Say Hi! Karya Inggrid Sonya (a review)

 

source: google


 

Judul: Say Hi!

Penulis: Inggrid Sonya

Penerbit: Elex Media Komputindo (2021-digital)

Jumlah halaman: 528 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Seperti biasa, pembukaan dulu. Pertama kali gue baca karya Inggrid Sonya adalah Revered Back di Wattpad. Dulu, bener-bener sukaaaa banget sama ceritanya meskipun kalau dipikir-pikir lagi ceritanya drama abis tapi intense-nya yang bikin gue betah baca.

Lalu gue kenalan sama Nagra dan Aru, collab-nya Inggrid bareng penulis lain, dan sekarang gue udah lupa banget ceritanya tentang apa, maap gue pikun.

Setelah sekian lama, waktu lagi berselancar di Wattpad, gue nemu Say Hi! terus mikir, wih judulnya lucu. Pas baca blubrnya i was like: wow..this is definitely my type! Semenarik itu di mata gue. Waktu itu udah ada pengumuman mau terbit, gue yakinin diri sendiri mau baca fisiknya titik.

Setelah terbit, gue agak syok liat jumlah halamannya. Gue mulai ragu. Tapi ini tulisan Inggrid loh, yang Revered Back-nya bisa bikin gue kelemer-kelemer sendiri pas baca di sekolah! Oke, gue tetep mutusin buat jadiin ini wishlist gue.

Kebetulan sekarang gue lagi punya GD, akhirnya gue mutusin buat baca aja, beli fisiknya kalau gue bener-bener jatuh cinta aja deh sama bukunya. And you know what? I think I am grateful that i didn’t buy the book lol.

Bukan, bukan, bukan karena ceritanya nggak bagus. Ceritanya bagus banget, tapi ada beberapa hal yang bikin gue berenti tertarik ke novel ini.

Cerita ini berkisah tentang Ribby si itik buruk rupa yang sahabatan sama dua cowok ganteng idola sekolah bernama Pandu dan Ervan. Di tengah serangan ejekan dari seluruh murid di sekolah, Ribby udah lama ngerasa insecure karena penampilannya. Lalu, nggak sengaja dia nge-install aplikasi Say Hi! di mana kita bisa pacaran virtual secara anonim. Di sana, Ribby kenalan sama Robbi, stranger yang bisa diajak ngobrol apa pun termasuk ngehibur dan ngemotivasi Ribby untuk berubah.

Lalu ternyata, Robbi ini adalah cowok yang selama ini ada di dekat Ribby. Salah satu sahabatnya.

Gue suka banget sama gaya bercerita Inggrid. Tulisannya luwes dan enak dibaca. Apalagi nampilin sosok karakter utama yang nggak mainstream kayak tokoh-tokoh protagonist lain. Jujur suka banget sama penggambaran fisik Ribby.

Di awal-awal, gue masih excited banget buat baca novel ini. Meskipun menurut gue humornya agak garing hehe, jarang banget gue ketawa sepanjang buku. Gue degdegan pengen tau siapa Robbi, gue degdegan pengen tau gimana Ribby ngatasin insecurity-nya, ngatasin rasa mindernya, dan jadi lebih berani untuk merjuangin sabuk hitamnya di lomba, pokoknya cerita ini menarik banget!

Apalagi pas Ribby mulai merubah penampilannya karena mau lebih self-love, reaksi Pandu dan Ervan bener-bener keterlaluan dan itu sakitnya kerasa sampe ke sini:) Tapi untungnya ada Robbi yang siap ngehibur Ribby, walaupun tetep aja lelucon Robbi juga garing sih. Perasaan selera humor gue rendah dan receh abis tapi kenapa gue gabisa ketawa di sini aaaaa.

Jujur gue agak bingung untuk gimana nge-review buku ini. Yang jelas, gue mulai turn off setelah konflik pertama selesai. Ya, konflik pertama, alias ada yang kedua!! Dan yang gue suka dari buku ini tentu aja konflik antara ketiga sahabat itu dan identitas asli Robbi. Sialnya, gue gabisa ngomong banyak karena pasti spoiler, yang jelas ini PLOT TWIST ABISSSS gue si tukang nebak plot twist aja sampe kegocek trus kegocek lagi.

Udah tegang nih, tinggal antiklimaks, gue lagi suka dan semangat banget buat baca apa yang akan terjadi. Tapi guys, itu baru di halaman 300an, dan gue mikir... hah..200 halaman lagi nyeritain apa kalau sekarang identitas Robbi dan klimaks udah muncul? [menelan ludah]

Di situlah rasa ketertarikan gue mulai turun. Gue diajak masuk ke konflik kedua. Di konflik kedua ini, gue ngerasa ceritanya ganti jalur. Masih kereta keren yang sama, cuma pindah jalur. Bukan lagi berfokus ke Ribby maupun kedua temen cowoknya, melainkan ke Ipank, salah satu tokoh penting di Say Hi! Apalagi si Pandu, kayak cuma tempelan aja.

Di cerita konflik yang kedua ini, gue disuguhin tentang perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan dan solidaritas. Gue nggak tau apakah gue boleh nyeritain konflik kedua ini tanpa bikin spoiler konflik pertama, yang jelas gue tau rasanya putus asa kayak Ipank dan pengen ngehindarin semua orang.

Anyway, Ipank adalah temen Pandu dan Ervan, temen Ribby juga di klub taekwondo. Ipank dan Ribby sama-sama berjuang untuk lomba.

I am not saying this second conflict was bad, i just didn’t sign up for this, honestly. I am sorry. Gue di sini, mutusin baca ini, untuk tau kisah Ribby dan dua sahabat cowoknya, bukan cerita ini. Jadi sebagus apa pun konflik kedua ini, gue nggak terlalu menikmatinya.

Gaya bahasa Inggrid yang tadinya ramah di otak gue, perlahan mulai berubah membosankan. Terlalu banyak narasi, terlalu banyak dialog nggak penting, humor yang masih gitu-gitu aja, ditambah lagi terlalu banyak kata-kata kasar. Gue bahkan sampe males baca scene di mana dikit-dikit ada rokok dan bahkan ada alkohol juga. I am actually fine with these kind of life style, but it irked me somehow. I didn’t know why.

Gue tadinya ngarepin konflik yang unyu dari sahabat yang diem-diem naksir sahabatnya. Tapi meskipun ekspektasi gue agak melenceng, gue tetep suka sama konflik 1.

Di konflik dua ini, gue juga sadar kalau gue nggak terlalu suka sama tokoh-tokohnya kecuali Ribby. Di awal Ervan sama Pandu yang meledak-ledak nggak jelas. Emosian banget ni anak dua. Ipank justru penyelamat yang bikin gue adem, makanya gue tim Ipank.

Tapi di konflik kedua inilah gue akhirnya lost interest juga sama Ipank, dia lebih meledak lagi ternyata. Trus gue mikir, yaelah ini anak-anak hobinya teriak-teriak ngegas mulu apa tdk lelah dik.. gue yang bacanya aja capek.

Besides konfliknya yang bikin gue lelah, satu hal yang perlu banget untuk dicatet dari novel ini, SAY HI! HAS GREAT CHARACTER DEVELOPMENTS! Sorry gue caplocks haha. Ribby, Ervan, dan Ipank adalah tiga karakter kuat yang nunjukin perubahan paling signifikan. Tapi gue paling suka bagiannya Ribby dan Ervan sih. Terutama Ervan yang bikin gemes hehe. Penasaran? Baca aja.

Sebenernya, konfliknya biasa, ringan, dan bagus buat nunjukin perkembangan karakter, tapi ya gitu, kepanjangan buset. Untuk konflik biasa dan mainstream gue kira nggak usah lah dibawain sepanjang ini, karena pada akhirnya ya udah tau endingnya bakal gimana.

Overall, takut kepanjangan dan udah ngga tau lagi harus ngetik apa karena takut spoiler, kadar cinta gue kebagi dua di buku ini. Gue suka banget 300 hlm awal yang menarik dan fresh menurut gue, tapi 200 halaman akhirnya draining energy banget. Gue suka karena ada antagonist yang nggak bisa dibenci dan plot twistnya yang bangke.

300 pages were such a masterpiece, 200 pages left wasn’t my cup of tea. Banyak banget hal yang bisa diambil dari novel ini di bagian characters development-nya. I wish I could give more than 4 stars at first but I should give it only 3.5 stars. It would be nice if the pages weren’t this long.

Apakah gue bakal berenti baca novel-novel Inggrid? Oh tentu tidak. Sayangnya gue agak gak tertarik untuk baca Wedding Converse apalagi Tujuh Hari Untuk Keshia yang katanya bombay itu. Definitely looking forward to another Inggrid’s masterpiece.

 

Dont forget to click follow button/submit your email below and see you!

 

 

Senin, 07 Maret 2022

“Tetap Hidup,” kata The Midnight Library karya Matt Haig (a review)

source: goodreads


 


Judul: The Midnight Library (Perpustakaan Tengah Malam)

Penulis: Matt Haig

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 368 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Gue clueless banget waktu mutusin untuk unduh novel ini di GD. Cuma karena gue nggak asing sama judulnya yang sering seliweran di base twitter. Fortunately, I ended up loving this book so much. So much.

Novel ini bercerita tentang Nora Seed, wanita berusia 35 tahun yang berpikir kalau dia udah gagal menjalani hidup. Semua pilihan dan keputusannya di masa lalu malah ngebawa dia ke malapetaka lainnya. Hingga ke titik terendahnya, Nora berencana untuk bunuh diri.

Yup, buku ini mungkin agak depressing bagi kalian yang punya sejuta positive vibes di dalam diri kalian. Tapi gue yakin sedikit banyak, kehidupan Nora ini bakal kerasa relate ke kehidupan kita sendiri. Jujur, baru beberapa bab awal aja gue udah dibuat nangis sama narasi Matt Haig yang ngena dan nusuk banget ke jantung.

Penulis dan penerjemahnya (ofc) bisa banget bikin hati gue yang lemah ini makin menderita aja pas baca narasinya haha. Gue jadi gabisa berenti untuk baca novel ini.

Lalu, setelah keputusan bunuh diri itulah, Nora tiba-tiba aja ada di sebuah perpustakaan bernama The Midnight Library. Di sana, ada jutaan buku yang merupakan hidupan Nora di dunia paralel, dunia di mana apa yang mungkin Nora jalani kalau dia nggak milih keputusan-keputusannya di dunia yang ini.

Katanya, perpustakaan itu adalah batas ambang kehidupan akar dan kematian. Sebelum benar-benar mati, Nora boleh milih kehidupan yang ingin dia jalani dan kalau dia mau, dia bisa hidup selamanya di kehidupan itu.

Sepanjang kisah gue dibawa bolak-balik ke kehidupan Nora dan perpustakaan. Semua hal yang dia sesali di kehidupan akarnya, satu persatu dia coba menjalani kehidupan yang berbeda. Beberapa kehidupan pertama yang Nora jalani, ternyata nggak sebagus yang dia kira, akhirnya dia tetep kecewa dan balik perpustakaan tengah malam.

Nyaris semua hal gue suka di novel ini, mulai dari ide cerita, gaya bahasa yang enak dibaca, kalimat-kalimat menohok, dan pelajaran yang bisa diambil.

Untuk tokohnya sendiri, Nora, bisa dibilang dia adalah orang yang pesimis banget saking putus asanya. Hidup dia nggak berjalan dengan lancar, semua orang ninggalin dia, sampai ke tahap pengen bunuh diri, tentu aja bagi yang nggak bisa relate dengan karakter Nora, pasti bakal ngelus dada sambil bilang ‘aduh kok segininya Nora’.

Kenapa gue mikir gitu? Soalnya latar belakang Nora nyaris sempurna. Dia berbakat, pintar, menarik, dan punya banyak peluang untuk bisa bangkit. Tapi nyatanya dia tetep depresi.

Kesampingkan karakter Nora yang mungkin bisa pengaruhin banget ke penilaian keseluruhan ceritanya deh. Mana kadang gue baca kehidupan yang didatangi Nora udah cukup bagus, eh dia malah tetep mutusin untuk kecewa dan akhirnya pulang ke perpus.

Di sini gue cuma mau nekenin soal apa yang bisa gue ambil dari novel ini. Untuk elemen-elemen yang lain, no comment, gue ngerasa semuanya udah sempurna. Secinta itu sama novel ini. Filsafat dan fantasi yang nyatu jadi elemen terindah yang pernah gue baca.

Satu hal yang bisa gue ambil dari novel ini adalah, no life can satisfy us. Nggak ada yang bisa muasin keinginan kita, nggak ada hidup sempurna yang kita inginkan, hidup pasti selalu punya celah untuk bikin sesuatunya terasa salah. Itu yang bikin Nora terus-terusan bolak-balik ke perpus, milih lagi buku, dan kecewa lagi pada akhirnya.

Di sini gue bisa ngerasain betapa dia sedih dan putus asa, itu yang bikin gue ikut terhanyut sama ceritanya. Dan ketika akhirnya Nora memilih buku yang tepat, kehidupan yang terasa tepat buat dirinya, gue ikutan ketar-ketir dan bahkan berdoa supaya Nora bisa tinggal di buku yang itu aja. Saking gue pengen banget Nora bahagia haha.

Oh ya tentu saja ending dari buku itu bikin gue jerat-jerit kayak orang gila. Berasa gue yang dikhianati. DAN SAYANGNYA gue gabisa ngulas bagian ini terlalu banyak karena nanti spoiler. Tapi sumpah deh, sumpah gue berasa nyatu banget sama ceritanya T_T

Overall, untuk kalian yang sekarang mungkin lagi butuh motivasi untuk ‘tetap hidup’ gue bener-bener nyaranin untuk baca The Midnight Library. Gue nggak tau gimana buku ini bisa ngubah hidup kalian yang merasa putus asa, karena toh kalian dan gue nggak akan pernah punya kesempatan untuk ngerasain ngejalanin hidup yang berbeda dari kehidupan kita yang sekarang.

Tapi gue yakin pasti ada sesuatu yang bisa diambil, bisa dipahami, bahkan tanpa perlu ada perpustakaan tengah malam versi kita. Gue juga nggak bisa bilang kalau kita bakal mulai ngehapus semua penyesalan di masa lalu karena belum tentu kalau penyesalan itu nggak ada, hidup kita bakal beda saat ini.

Apa yang bisa diambil dari buku ini jelas tergantung kepribadian dan sudut pandang diri kita sendiri. Buat gue pribadi, gue cuma berpikir untuk jalanin aja apa yang ada dan nggak perlu nyangkal segala penyesalan, gue juga jadi sadar kalau gue masih punya hal-hal yang ternyata pengen banget gue lakuin meskipun gue udah muak sama dunia ini. Just go, do it, i dont care if the world will drown me while i’m doing something i want. That’s it.

Despite all the mess the world gave to me or I created it myself, I realized that I still wanna do something. No matter how messed up my life is. Gue nggak mencoba untuk berpikir bahwa ‘dunia itu ternyata cukup baik, tinggal guenya aja yang bla bla’. Nggak. Tapi gue sadar ada hal yang berubah dari sudut pandang gue meskipun gue nggak terlalu yakin apa gue bisa nulisin itu di sini sejelas yang otak dan hati gue pahamin.

Gue kasih full stars alias 5 bintang buat The Midnight Library yang sukses bikin gue terombang-ambing di hidup orang lain. Highly recommended banget buat semua orang di dunia deh haha dan gue harap siapapun yang lagi struggling saat ini, bisa ambil sesuatu dari novel ini.

Soalnya, kita harus tetep hidup guys. Satu-satunya cara untuk belajar adalah tetap hidup. Kita nggak perlu ngerti soal kehidupan, kita cuma perlu hidup.

 

Cheers! See you on another review. Stay healthy and stay alive.

 

Quotes:

“Setiap langkah merupakan kesalahan, setiap keputusan menjadi bencana, setiap hari adalah satu langkah mundur dari sosok yang ia bayangkan bisa dicapainya.”

“Ia masuk ke Instagram dan melihat semua orang sudah berhasil menemukan cara untuk hidup, kecuali dirinya.”

“Dengan kesembronoan dan nasib sialku sendiri, dunia telah mundur dariku, jadi sekarang masuk akal kalau aku harus mundur dari dunia.”

“Ia sadar bahwa ia tidak berusaha mengakhiri hidupnya karena ia menderita, melainkan karena ia berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada jalan keluar dari penderitaannya.”

“Hidup dimulai dari sisi lain keputusasaan.” (Sartre).

 

Selasa, 22 Februari 2022

Cinta Segitiga + Friendzone di Nonversation (a review)

 

source: goodreads


 

Judul: Nonversation

Penulis: Valerie Patkar

Penerbit: Bhuana Sastra (2019)

Jumlah halaman: 348 hlm

Baca via: iPusnas

 

Bagai keluar dari kandang buaya, malah masuk ke kandang macan (ya ini ngarang aja g usah serius2). Ini adalah pikiran gue waktu selamat dari baca Claires, eh malah kejebak di Nonversation.

Sedikit pembukaan, dari dulu gue pengen baca novelnya Valerie. Claires yang judulnya menarik serta kover pink bikin gue penasaran. Tapi ternyata gue memutuskan kalau gue nggak sanggup baca cerita ini karena karakter Ares di 4 bab pertama, nggak ada bagus-bagusnya! Kasarnya, semua red flags ditunjukkin semua dah buset. Jadilah gue nggak tertarik untuk tau apa green flagsnya Ares sampe bisa dapetin Claire yang polos.

Tapi gue belum nyerah buat baca novelnya Valerie, minimal satu aja gitu, kenalan sama tulisannya. Lalu akhirnya Nonversation-lah yang tersedia di iPusnas.

Nothing was wrong when i read some first chapters of this book. Ceritanya tentang cinta segitiga dan friendzone sekaligus. Tetapi masalahnya, udah di-spoiler duluan di halaman awal sama penulisnya ke mana ceritanya akan berlabuh :D jadi buat apa gw baca gitu kan sebenernya tapi yodah.

Dua tokoh utama kita di Nonversation adalah Theala dan Dirga. Theala si anak baik yang naksir Trian dari SMA, tapi berakhir malah sahabatan sama Dirga sejak masuk kuliah di kampus yang sama. Dirga ini adalah playboy sekaligus temen Trian yang tobat dan hanya mencintai Theala sejak bertemu pertama kali entah karena apa gue juga ngga terlalu nangkep.

Dirga emang tobat dan sahabatan sama Theala, tapi dia tetep pura-pura brengsek aja biar Theala nggak nyadar perasaan Dirga, soalnya Dirga tau Theala sukanya sama Trian. Sembari tetep di samping Theala, panggil-panggil sayang, sampe skinship pun Theala nggak nyadar kalau Dirga naksir dia karena Dirga masih gonta-ganti cewek.

OK. Masuk ke gaya bahasanya, satu hal yang gue rasain pas baca ini adalah gue nggak bisa baca cepet. Ya, dari dulu gue termasuk orang yang bisa baca kalimat dengan cepet, tapi anehnya pas baca nonver gue jadi ngelag gitu loh, kayak hape yang kuotanya skarat. Harus bener-bener gue cerna dengan baik.

Gaya bahasanya agak-agak puitis, diksinya tuh kayak sengaja dibuat deep sehingga supaya pembaca baper. Gaya bahasa ditambah gaya hidup karakter-karakternya yang diceritain kadang bikin gue mikir ini kayak high society love story yang nggak mashok dibaca sama rakyat jelata kek gue. Kayak ketinggian aja gitu untuk bisa gue resapi T_T

Setiap bab awal ada puisi pendek. Setiap judul bab adalah gabungan dari dua kata bahasa inggris yang mana menurut gue idenya unik tapi beberapa ada gabungan yang i hope i didnt read it lmao.

POV di novel ini ada tiga orang; Dirga, Theala, dan Trian. Yang mana gue tegaskan sekali lagi, couple buku ini udah jelas siapa, mengapa harus ada pov Trian pun gue nggak tau juga.

Sedikit yang mengganggu gue di POV ini, gue kadang nggak tau siapa yang lagi bernarasi. Kadang narasi mereka tuh kayak curhat, kalo di sinetron tuh kayak suara pikiran tokoh yang kedengeran sama penonton.

Dan menurut gue semua narasi mereka nggak bisa gue bedain. Nuansa pikiran mereka sama semua, poetic semua, deep semua. Nggak ada ciri khas. Mana mereka ya seringnya kan ngobrol satu sama lain makanya kadang-kadang gue ilang fokus dan harus balik lagi ke atas buat mastiin ini pov siapa. Haha.

Masuk ke karakter, nggak ada satupun karakter yang gue suka di buku ini. Sorry to say. Theala cuma gadis baik biasa, loyal, punya trauma, lembut, yang diem aja dan sabar saat dilabrak mantan Dirga, ibu peri banget pokoknya.

Dirga si playboy yang doyan main cewek, hm apalagi ya, gatau mau deskripsiin dia apa? Bucin? Tulus? Pengertian? Gue nggak terlalu bisa menilai dia karena dia baiknya sama Theala doang dan teman-temannya. Both of them have daddy’s issues anyway.

Nah Trian nih gue bingung, dia bener-bener cuma tempelan doang di sini. Cuma kayak tokoh pembantu yang karakternya dibikin ngarang aja asal ada konflik dan kemajuan buat kedua tokoh utamanya. I felt bad for him. Sumpah di bagian karakterisasi Trian, gue beneran marah dan nggak terima sama penulisnya.

The plot: karena dari awal ke tengah gue bisa tahan baca novel ini, gue jadi nggak bisa buat DNF saat plot mulai nunjukin tanda-tanda trope yang paling gue benci. Tanggung. Sebenernya di plot inilah gue mulai turn off sama Nonversation.

I do like ‘love triangles’ trope or ‘friendzone’, in short, i like reading romance no matter what theme it has.

Tapi plot yang kayak gini? Big turn off and there was no way to go back. I had to finish what I started. Makanya gue bilang gue berasa selamat dari Claires tapi kejebak di Nonversation.

Penasaran plot seperti apa yang bikin gue turn off? Gih baca!

Yang jelas, gue bener-bener ngerasa Trian ternistakan banget haha. Poor Trian.

Memasuki puncak konflik ini pun, gue ngerasa ternyata Theala nggak sebaik yang gue pikirkan selama ini. Dia bersikap jahat dengan cara yang paling baik. Kalau Dirga nggak usah ditanya, a walking green flag just for Theala. Pokoknya cerita ini bener-bener nekenin kalau Dirga itu yang paling tepat dan paling benar dan paling sempurna untuk Theala!!

Tapi menurut gue, orang waras manapun pasti bakal liat duluan track record Dirga kayak gimana. Gue sendiri skeptis sama orang yang bisa tiba-tiba tobat karena jatuh cinta. Bisa jadi kalau udah bosen, ya liarnya kumat lagi. Yes, i didn’t trust Dirga. That is what i think, how ‘bout you?

So, dari tema cinta segitiga dan plotnya yang dikemas begini, cerita ini termasuk klasik dan mainstream menurut gue. Gue sangat amat berharap plotnya nggak akan nyeret-nyeret Trian sekejam ini sebenernya, he’s actually lovely, tapi yah..mau gimana.

Sebenernya masih banyak banget unek-unek gue soal Nonversation. Gue nulis ini H+3 setelah selesai baca, kalau gue nulisnya pas setelah selesai baca banget, dijamin ini bakal sampe 2000+ words dah haha.

Overall, hampir semua elemen di novel ini nggak gue suka. This book is definitely, 100%, not my cup of tea. Gue nggak cocok sama karakter-karakternya, ga cocok sama gaya hidup mereka, dan ga cocok sama plotnya. Kalau gaya bahasa masih bisa gue terima meskipun tetep merasa ada ketidakcocokan sama selera gue. Ceritanya terlalu biasa. Kehidupan sehari-hari yang membosankan. Endingnya ketebak dan not satisfying at all.

Hanya dua hal yang gue suka dari novel ini adalah kovernya dan judulnya yang menarik. Dah segitu aja. Anyway, gue tadinya berencana untuk menyudahi ‘pertemanan’ gue sama tulisan Valerie karena baru kenalan sama dua buku aja udah gini, tapi gue kayaknya agak berubah pikiran dan berharap bisa baca Luka Cita suatu saat nanti.

2 for Nonversation from me.

Cheers! Don’t forget to click follow/submit your email below! Have a nice day!

 

Senin, 06 Juli 2020

[RESENSI] Not If I Save You First by Ally Carter

source: google



Judul: Not If I Save You First (Menyelamatkanmu Lebih Dulu)

Penulis: Ally Carter

Penerjemah: Alexandra Karina

Editor: Bayu Anangga

Ilustrasi sampul: Zuchal Rosyidin

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

ISBN: 9786020631417 (digital)

Jumlah halaman: 336 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb ala-ala: Maddie (anak agen rahasia) dan Logan (anak Presiden AS) bersahabat sejak kecil, sampai suatu insiden terjadi di gedung putih dan setelah itu Maddie dan ayahnya pindah ke hutan terpencil di Alaska. Maddie selalu mengirim surat kepada Logan sebagai cara untuk keep contact, tapi Logan tidak sekalipun membalas suratnya sampai ia pun berhenti menulisnya.

Enam tahun kemudian, Logan datang ke tempatnya berada di Alaska. Maddie sangat ingin membunuhnya, tapi ada hal yang lain terjadi. Seorang pengusik datang menculik mereka. Di tengah cuaca yang berubah dan keadaan bisa lebih berbahaya serta hewan liar yang bisa membunuh, Maddie sadar ia harus menyelamatkan Logan lebih dulu.

----

This is my first time reading Ally Carter’s book! Pernah waktu itu kepo berat sama Gallagher series tapi entah kenapa ada sesuatu yang membuatku malas bacanya, padahal temanya tentang akademi mata-mata. Konflik menantang dari dulu selalu jadi poin utama buatku. Tapi ternyata jodohnya sama Not If I Save You First duluan ahaha.

Jujur, bahkan baca ini pun karena tergoda sama kovernya yang girly tapi ada kesan elegan dan ‘berontak’ juga, bener-bener menggambarkan sosok Maddie. And i loooove this cover so much. I gave one stars for this gorgeous cover!!

Dari bab awal, aku langsung disuguhkan adegan baku tembak di gedung putih wkwk aku kira bakal intro panjang, tapi ternyata langsung masuk konflik! Ini juga termasuk poin lebih yang aku sukai dari novel ini.

Terus, terjemahannya enak banget sumpah, dinikmatin banget baca novel ini. Narasi dan dialog seimbang. Poin plus lagi. kecuali bagian akhirnya, aku ngerasa kayak....dipanjangin gitu, kok kayak makin lama aja beresnya wkw.

Banyak banget hal yang aku suka dari novel ini selain kovernya, terutama karakter kedua tokoh utamanya. Maddie yang tomboy dan Logan yang bandel dan juga prince charming gitu auranya. Perpaduan dua karakter utama yang cocok menurutku.

Konfliknya, petualangan bersama penculik, jujur ini juga sebenernya bagus. Banyak hal menarik selama penggambaran isi novel ini. Dengan latar hutan Alaska, beruang liar di mana-mana, seni bertahan hidup di sini adalah daya tarik terutama di dalam characters development-nya.

Tapi, ada alasan-alasan lain juga yang membuat aku kurang srek dengan ceritanya meskipun secara garis besar, novel ini tipeku banget harusnya!! Yaitu aku kurang srek sama title anak presiden ini, mon maap...halu. Aku lebih suka kalau memang harus anak presiden, mending bikin dunia sendiri, gitu.

Karena dari awal aja aku sudah merasa ini bener-bener karangan, alhasil sampe akhir pun aku gabisa ngefeel banget sama ceritanya karena ini terlalu jelas, kayak..fiksinya kerasa banget haha. Cuma itu dong, cuma itu doangggg yang bikin aku didn’t dive into the story HAHA so sad.

Overall, kesan pertama itu penting banget buatku. Jadi yah, ceritanya memang menarik. Recommended buat yang suka kisah teenlit tentang agen rahasia, penculikan, senjata-senjata, seni bertahan hidup ala Maddie di hutan Alaska, yaa siapa tau aja suatu saat berguna haha. Tapi aku cuma bisa kasih 3.5 bintang aja. But this story was really really good, indeed!

“Tapi aku tahu dari pengalaman pribadi bahwa saat satu-satunya temanmu pergi, kadang hal terbaik yang bisa kaulakukan adalah mencoba meyakinkan dirimu bahwa dia tidak pernah ada.” – hlm 225

 


[RESENSI] Thunderhead by Neal Shusterman

source: google



Judul: Thunderhead (Arc of Scythe #2)

Penulis: Neal Shusterman

Alih Bahasa: Primadona Angela

Editor: Reita Ariyanti

Desain sampul: Robby Garsia

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

ISBN: 9786020637426 (Digital)

Jumlah Halaman: 544 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Scythe mengendalikan kematian, Thunderhead mengendalikan semua hal lain. Sistem yang sempurna. Sampai kesempurnaannya musnah. Satu tahun berlalu sejak Rowan keluar dari sistem. Diburu Scythedom, dia menjadi legenda urban, pemburu Scythe korup.

Sebagai Scythe Anastasia, Citra memungut dengan belas kasih dan terang-terangan menantang “orde baru”. Namun, ketika nyawanya terancam dan metodenya dipertanyakan, jelaslah kelihatan bahwa tidak semua orang mau menerima perubahan.

Thunderhead mengamati segalanya, dan dia tidak menyukai apa yang dilihatnya. Akankah Thunderhead ikut campur? Atau akankah dia hanya mengamati sementara dunia sempurna mulai buyar?

----

Well, aku nggak akan panjang-panjang kali ini karena selain tidak terlalu banyak yang menarik, aku takut banget ngga sengaja kasih spoiler. Bahkan aku nggak jadi nulis blurb sendiri, jadi ngikutin blurb yang ada di bukunya langsung. Dan yap, agak spoiler dikit sih: Rowan jadi Scythe ilegal di sini, sesuai apa kata blurb haha.

Seperti yang sudah kita tau semua kalau novel ini bercerita tentang dunia utopia di mana segalanya sempurna. Tidak ada kematian karena manusia bisa dibangkitkan, tapi demi menjaga jumlah manusia, terbentuklah Scythe, para manusia berjubah dan cincin yang mempunyai kewajiban untuk membunuh orang. Orang yang dibunuh Scythe nggak bisa hidup lagi.

Nah, di buku ini, sesuai judulnya yaitu Thunderhead, menurut yang aku tangkap, ia adalah semacam AI atau Artificial Intelligence aka Kecerdasan Buatan. Thunderhead ada di mana? Di atas awan? Atau di mana? Aku juga gatau haha otakku gak nyampe. Yang jelas, Thunderhead mengatur segala yang ada di dunia ini.

Konflik baru setelah Rowan dan Citra terpisah, dibagi lagi menjadi beberapa bagian di novel ini. Bukan cuma dua pov seperti novel pertama, di Thunderhead ini cukup banyak pov baru dengan tokoh baru juga. Di sini, kalian bakal nemuin Rowan, Citra, Greyson, dan (sedikit) Munira.

Seperti yang ditulis di blurb asli novel ini, Rowan sekarang menjadi Scythe Ilegal yang membunuhi Scythe korup. Dia menjadi buronan Scythedom. Konflik Rowan inilah yang akan menjadi konflik utama dari puncak klimaks novel Thunderhead ini.

Sementara itu, Citra punya metode tersendiri untuk memungut. Dia dan Scythe Curie masih bersama-sama sebagai partner. Tapi, entah ada angin dari mana, ternyata ada yang menginginkan mereka berdua mati.

Karena konflik Citra tersebut, muncul Greyson. Greyson adalah pemuda yang seharusnya bekerja menjadi bawahan Thunderhead. Hampir sebagian besar awal sampe tengah cerita dibawa oleh Greyson. World building series ini menjadi luas lagi, banyak penjelasan dan terutama tentang kelompok pembangkang bernama Unsavory.

Di sisi lain, ada Munira dan Scythe Faraday yang mengobrak-abrik perpustakaan untuk menemukan titik buta Thunderhead, sebuah daerah yang tidak tersentuh Thunderhead sama sekali. Tujuannya? Bahkan sampai akhir pun aku masih belum ngeuh. Haha.

Jujur, novel ini jauh lebih membosankan daripada Scythe. Tapi banyak yang bilang novel ini lebih gila daripada Scythe. DAN BENER DONG WKWKSKKSKSKS. Sepanjang nyaris 300an halaman, aku lelet banget bacanya, bosen, ngantuk, dan ... bingung. Ketika ada penjelasan yang aku gak paham, saking bosennya, aku gak ada niat sama sekali untuk baca ulang. Yang penting poinnya dapet ehe.

Apalagi novel ini didominasi oleh Greyson dan Citra, yang mana, konflik mereka menurutku didn’t make sense...kalau pun diskip masih bisa, tapi sepertinya bakal dilanjutin di buku selanjutnya, tapi bisa ajaaaa kan kalau diperpendek gitu? Paling gemes sih sama cerita yang gak penting tapi dipenting-pentingin. Malah konflik Rowan yang beneran gereget bahkan sampai ada plot-twist, kayak kebagian porsi yang sedikit gitu.

Gaya bahasanya masih enak, sumpah aku bingung bukan gegara gaya bahasa kok, tapi murni gegara kebosanan. Terjemahannya sih mantap. Narasinya panjang, tentu saja ya, darimana lagi alasan aku bosan kalau bukan narasi panjang?

Ketika sampe di plot-twist yang anjay banget pokoknya lah!! aku mulai agak melek semenit, tapi semenit kemudian aku kembali ngantuk. Dan baru di akhir-akhir cerita, antiklimaks novel ini beneran sumpah ga boong LEBIH GILA daripada Scythe dan aku......syok T_T

Overall, aku nggak nyesel kok baca series ini meskipun terkantuk-kantuk gitu, endingnya sangat worth it haha. Yang tadinya aku mikir mungkin aku gak kayak orang lain yang nganggep novel ini seru, aku bakal kasih bintang tiga aja dan aku kemungkinan besar nggak bakal lanjut The Toll ..... lalu semua ludah itu aku jilat kembali karena aku kasih 4 bintang buat Thunderhead dan PASTI bakal lanjut baca The Toll!1!1!

p.s sebenernya aku agak gimana gitu..kok bisa konflik yang membosankan di awal dan terkesan nggak penting banget tapi dieksekusi sebejat ini? Kayak kaget, bertanya-tanya, tapi terimain ajalah soalnya seru HAHA.

p.s.s setiap awal bab dari novel ini kalian bakal nemuin catatan dari Thunderhead langsung^^

“Sederhananya, manusia punya kebutuhan bersikap buruk. Tidak semua, tentunya –tapi aku memperhitungkan tiga persen dari populasi hanya bisa menemukan makna dalam hidup melalui pembangkangan. Bahkan ketika ketidakadilan tidak tersisa untuk ditentang, mereka punya kebutuhan dari dalam untuk menentang sesuatu. Apa pun.” – hlm 112

“Kehidupan yang dia pikir akan dia jalani sudah sirna, jadi apa gunanya garansi untuk memperpanjangnya?” – hlm 127

“Tidak menginginkan jabatan tertentu adalah langkah pertama menuju kelayakan untuk mendapatkannya.” – hlm 456

“Kalau mereka harus mati sekarang agar bisa hidup lagi nanti, rasanya entah bagaimana akan salah kalau mereka tidak melakukannya bersama-sama.” – hlm 536


Kamis, 25 Juni 2020

[RESENSI] Paper Princess (Putri yang Hilang) by Erin Watt

source: goodreads



Judul: Paper Princess – Putri yang Hilang (The Royals #1)

Penulis: Erin Watt

Alih bahasa: Dewi Savitri

Editor: Nadya Andwiani

Desain Sampul: Marcel A. W.

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

ISBN: 978-6020-3810-91

Jumlah halaman: 384 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Ella Harper mungkin tak seperti remaja kebanyakan. Setelah sendirian berpindah-pindah tempat tinggal dan sekolah sampai menjadi penari telanjang demi mencari nafkah, ia mendapati dirinya dalam perwalian Callum Royal. Dan bukan sekadar wali, melainkan miliarder yang mengaku sahabat mendiang ayah yang tak pernah dikenalnya. Mulai dari rumah hingga sekolah, dimulailah hidup baru Ella di tengah kemewahan. Sayangnya, hidup baru Ella tak semulus dugaannya. Anak-anak elite yang dikomandoi Royal bersaudara tidak sudi menerimanya begitu saja. Peduli setan. Yang jelas, Ella akan bertahan.

---

Another fairytale – welcome! Jujur, sebelum baca ini, aku memang pengen kisah klasik kayak gini dan novel ini sungguh masuk sesuai ekspektasiku. Cewek miskin yang tiba-tiba jadi ‘anak’ orang kaya trus dikelilingin anak-anak cowok dari si tuan rumah? Hmm..klise tapi tetap menarik dan menantang.

Setelah baca bab-bab awal, novel ini langsung masuk ke inti ceritanya dan gak bertele-tele, di bagian ini aku cukup suka. Ella akhirnya masuk ke rumah Royal, itupun karena diiming-imingi sejumlah uang yang besar setiap bulannya. Di sana, dia bertemu 5 Royal bersaudara; Gideon, Reed, Easton, dan si kembar Sawyer-Sebastian.

Dimulailah petualangan(?) Ella dikelilingi para cowok-cowok hawt. Pertama, gaya bahasanya enak, ngalir tapi nggak bikin enjoy. Kenapa? Mungkin karena konfliknya cukup biasa, kehidupan sehari-hari remaja Amerika kali ya hm hm..

Konfliknya, cukup sederhana, hanya tentang bagaimana proses Ella Harper diterima oleh semua Royal dan akhirnya terjebak romansa ke salah satu Royal..yah, bisa ditebak kan? Puncak konfliknya ada di bagian agak ke belakang, lumayan seru tapi tidak terlalu excited sih pas baca. Plot novel ini secara keseluruhan menyenangkan dan annoying sekaligus karena banyak bahasa yang vulgar gitu. Dan setelah aku cari tau, kalau nggak salah series ini ada 7 atau 8 gitu, jadi kurasa wajar aja novel pertamanya cuma kayak...pemanasan. haha.

Dari banyak karakter yang ada, aku sebenernya gak punya favorit, tapi aku suka Ella Harper yang badass dan mandiri, dia tipe cewek seterong yang bisa ngehandle segalanya. Kadang aku sirik, kok bisa dia nggak stres hahaha. Lalu ada Royals bersaudara, favoritku Easton si anak ketiga. Gideon jarang muncul soalnya dah kuliah, Reed resek pake banget, Sebastian-Sawyer sama brengseknya kayak kakak-kakaknya tapi mereka lebih ‘mind-your-own-business’ type of people, gemes sih haha.

Overall, seperti kataku tadi, novel ini kayaknya baru pemanasan doang, soalnya memang endingnya kurang ajar banget hahahaaskskskks. Bakal lanjut baca kalau dilanjut gramedia? Oh tentu saja. Ceritanya simpel tapi cukup menarik kok. Gak bikin mikir apa gimana. Recommended buat kalian yang berumur 18+ yang suka kisah romance-intrik-sekolahan-bla-bla. Ratingku 3.8ó

“Hidupku adalah milikku. Aku yang menjalaninya. Aku yang mengendalikannya.” – hlm 16

“Apa ada yang mengajarimu cara menjadi orang brengsek atau itu muncul secara alami?” – hlm 111

“Rasa malu dan prinsip itu untuk orang-orang yang tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal kecil, seperti berapa banyak makanan yang bisa kubeli dengan uang sedolar atau haruskan aku membayar tagihan rumah sakit ibuku, atau membeli ganja agar Mom bisa terbebas dari rasa sakit selama satu jam. Rasa malu itu suatu kemewahan.” – Ella (hlm 132)

“Apakah kaupikir ada lelaki di luar sana yang tidak akan menyakitimu? Itulah yang dilakukan para lelaki, Ella. Mereka menyakitimu.” – Brooke (hlm 235)

Oh poor Ella, you shouldve listened to her :’)


[RESENSI] Scythe by Neal Shusterman

source: google



Judul: Scythe

Penulis: Neal Shusterman

Alih bahasa: Mery Riansyah

Editor: Primadonna Angela

Desain sampul: Robby Garsia

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2019)

ISBN: 9786020622286 (digital)

Jumlah halaman: 464 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Bagaimana kalau yang bisa kita kendalikan hanya tinggal kematian?

Tak ada lagi kelaparan, penyakit, perang, penderitaan di dunia ini: manusia berhasil mengendalikan semua itu, bahkan menaklukan kematian. Sekarang, hanya Scythe yang bisa menghabisi nyawa seseorang –dan itu memang tugas mereka, untuk mengontrol jumlah manusia.

Citra dan Rowan terpilih menjadi murid Scythe –meski mereka tidak menginginkannya. Kedua remaja ini harus menguasai “seni” mencabut nyawa. Kegagalan melaksanakan tugas bisa mengakibatkan hilangnya nyawa mereka sendiri.

Lalu, mereka diberitahu bahwa salah satu dari mereka harus mencabut nyawa yang lain...

----

Tertarik sama blurb Scythe sejak lamaaaa, tapi mikir dua kali setelah liat kover versi Indonesia. Jujur aja nih, aku gak suka kovernya, menurutku juga gak cocok sama isi ceritanya. Kover kayak gini cocoknya buat novel horor lokal deh hueheuheu

Akhirnya kesampaian juga baca tanpa perlu beli fisiknya :p

Bab awal dibuka dengan satu scythe yang sama di dua tempat, tempat yang ada Citra nya dan tempat yang ada Rowan nya. Scythe itu, bernama Michael Faraday, nama para Scythe memang diambil dari tokoh-tokoh popular di Era Mortalitas alias zaman sekarang ini.

Sebelum lanjut, aku mau bahas dikit tentang setting novel utopia ini. Buminya kayaknya masih bumi yang sekarang, tapi semua hal-hal buruk sudah hilang, seperti kata blurb. Manusia bahkan nggak bisa mati, ada tempat khusus yang disebut pusat pembangkitan kalau-kalau kita nggak sengaja bunuh orang, dan orang itu bisa hidup lagi seperti semula dalam beberapa hari tergantung kerusakan.

Lalu, di dalam tubuh manusia pun dipasang sebuah benda(?) aku sendiri bingung ini wujudnya apaan tapi namanya adalah nanite. Nanite berfungsi untuk menyembuhkan luka dan rasa sakit, dan kalau gak salah bisa juga ngatur mood agar selalu happy, biar nggak ada manusia yang depresi kali ya, mantap.

Hanya satu yang ditakuti para manusia di sini, yaitu adalah Scythe. Scythe bisa membunuh mereka, atau istilahnya di sini adalah “memungut”. Orang terpilih, tidak akan dikirim ke pusat kebangkitan dan akan dimakamkan selamanya. Scythe memakai jubah warna pilihan dan memiliki sebuah cincin. Jika seorang Scythe memungut seseorang, maka seluruh keluarga orang tersebut boleh memiliki imunitas alias aman dari pungutan Scythe selama setahun kedepan dengan cara mencium cincinnya.

Yah, segitu aja deh, sebenarnya masih banyak aturan Scythe yang lain tapi yha baca saja wkw

Singkatnya, Scythe Faraday tertarik dengan keduanya, Citra dan Rowan, sehingga ia pun memutuskan untuk mengangkat keduanya menjadi murid magang. Meskipun nanti akhirnya, Faraday hanya akan memilih satu yang lulus dan yang lain harus pulang.

Setelah beberapa bulan pelatihan, pada pertemuan Scythe, Scythe Goddard yang terkenal kejam, tidak menerima keputusan Faraday dalam mengambil murid magang, seharusnya hanya satu murid. Ia pun mengajukan tuntutan agar salah satu harus memungut yang lain jika nanti terpilih menjadi Scythe. Meski Faraday sudah berkorban, nyatanya hidup Citra dan Rowan tidak berjalan mulus.

Mulai dari gaya bahasanya, aku sempet mikir ini agak berat, tapi ternyata setelah beberapa bab, aku mulai menikmatinya, nggak berat-berat amat ternyata. Mungkin cuma efek font kecil di hp ku yang kecil juga, beneran sumpah dah berharap GD ngeluarin versi mobile read!1!1

Di setiap bab, dibuka dengan potongan jurnal dari Scythe Curie dan kadang ada Scythe Goddard, Faraday, Citra dan Rowan. Lebih banyak narasi ketimbang dialog, tapi menurutku it’s okay aja soalnya narasinya pun seru dan enak diikutin. Terlebih, aku suka world buildingnya yang cakep, rapi, nyata. Suka konsep nanite dan pusat pembangkitan.

Novel ini sama sekali nggak ngebosenin, tapi kadang bikin ngantuk, entah kenapa. Tapi mungkin karena nggak banyak aksi atau apa, cerita sehari-harinya murid magang yang belajar jadi Scythe dan kadang diseling dengan ikut Faraday untuk memungut. Bisa dibilang, banyak juga kisah-kisah dan makna yang terselip di setiap pemungutan.

Ketika Faraday berkorban, di sinilah titik mengejutkannya. Aku gak bisa cerita banyak tapi beneran makin menarik ceritanya. Aku suka pengembangan karakter Rowan. Kalau Citra, buatku dia biasa aja heuheu.

Untuk konfliknya sendiri aku memang dibuat kaget sih, banyak twist gitu dan memang mencekam. Sayangnya, Scythe belum mampu mengalihkan perasaanku 100%. Novel ini seru pas lagi dibaca tapi kalau nggak lagi dibaca yauda gitu nggak kepikiran haha.

Dan satu lagiiii, kupikir ini penting untuk kalian yang juga pencinta romance kayak aku *minor spoiler starts*, dua tokoh utama cewek dan cowok disatuin jadi murid magang? Wow sudah pasti aku mengharapkan bumbu cinta di sini. Memang ada sih, tapi gak banyak, dikit, beneran minor, gak berasaaaa, jadi jangan berharap banyak, dan siap-siap kaget sama endingnya hehehe *spoiler ends*

Overall, penyuka kisah utopia dan banyak kematian, aku rekomen novel Scythe untuk dibaca. Aku pasti lanjut Thunderhead, tapi belum tau kapan karena meskipun endingnya WOW banget aku nggak dapet perasaan untuk langsung lanjut baca novel keduanya hehehe. Dari novel ini, kita bisa belajar tentang arti kematian dan kehidupan sekaligus. 4/5ó

“Selamat tinggal, Citra. Kuharap kita bisa berbicara lagi.”
“Tapi aku harus mati dulu untuk itu terjadi.”
“Aku yakin kau bisa mengaturnya.” – hlm 366

Kutipan dari salah satu jurnal H.S Curie yang aku suka:


“Aku bukannya tidak bahagia,” katanya kepadaku. “Aku hanya.. sudah selesai.” – hlm 367

“Menurutku, semua perempuan muda dikutuk dengan rangkaian kekonyolan tak bertepi, dan pemuda dikutuk degan serangkaian kebodohan mutlak.” – hlm 375

 


Rabu, 13 Mei 2020

[RESENSI] Vengeful by V.E Schwab

source: google


Judul: Vengeful (Villain #2)

Penulis: V.E Schwab

Alih Bahasa: Angelic Zaizai

Editor: Nadya Andwiani

Desain sampul: Kemasacil

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2019)

ISBN: 9786020635224 (digital)

Jumlah halaman: 600 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Lima tahun telah berlalu, Eli Ever ditangkap dan Victor Vale dikuburkan. Eli mengira berhasil membunuh Victor, tapi Sydney Clarke ternyata menghidupkan kembali pria itu.

Lalu muncullah Marcella Riggins. Marcella akhirnya memperoleh kekuaran yang diidam-idamkannya dan bertekad memanfaatkan kekuatan tersebut untuk membuat seantero Merit bertekuk lutut. Dia bersedia melakukan apa saja, termasuk mengadu domba dua LB paling terkenal, Victor Vale dan Eli Ever.

Dan sekali lagi, Merit City mejadi panggung untuk aksi pembalasan akhir benak-benak luar biasa yang penuh dendam.

----

Pertama-tama, mari kita appreciate dulu kover cakep ini! Meskipun aku masih gak tau, gambar cewek di kover ini Marcella atau June. Haha. Cuma satu yang mau kukeluhkan, kenapa punggung bukunya beda sama Vicious? Jadi nggak cakep buat disejajarin kan... :( padahal gue ngga punya bukunya dua-duanya cuma baca di GD, tapi siapa tau tar mau koleksi lagi sih.

Aku nggak bakal panjang-panjang di sini, karena nyaris 400 halaman yang kubaca itu bosen luar biasa. Aku bahkan sampe ngeluh kenapa Vicious harus ada lanjutannya sih, padahal ending Vicious itu udah perfect banget buatku.

Hal yang pertama, dari segi bahasa, aku gak tau apakah memang begini aslinya atau efek terjemahan, yang jelas aku pusing. Kesan-kesanku hampir sama kayak Vicious, ngantuk di awal, seger di akhir. Narasi di kedua buku ini menurutku membosankan, ditambah emang belom masuk konflik, awal-awal buku ini bertele-tele banget.

Bedanya, di Vengeful ini kebanyakan nyeritain orang lain, Marcella, June dan Eli. Dan, alurnya lambaaaat banget. Yang makin bikin aku bosen dan ngantuk banget karena aku lebih suka baca pov Sydney atau Victor huhu. Pokoknya tiap ada karakter baru muncul, selalu aja dijelasin latar belakangnya. Jujur aku banyak skip-skip pas baca cerita tentang mereka, yang penting aku nggak lost track sama plotnya haha. Menurutku, cerita mereka tuh nggak penting-penting amat. maafkan :( yang kuinginkan cuma Victor.

Menurutku, tokoh-tokoh baru dan konflik baru ini lumayan seru, asal nggak dijadikan bertele-tele gini. Padahal harusnya mungkin Vengeful bisa lebih ringkas dari ini, nggak perlu sampe 600 halaman. Toh, inti yang sebenarnya ada di 200 halaman terakhir. 400 halaman awal semacam intro doang buatku haha.

Balik lagi ke selera sih, kalau yang suka karakter cewek villain, kalian pasti bakal demen sama Marcella dan kemampuan LB-nya.

Setelah berdarah-darah sepanjang 400 halaman, akhirnya konflik sesungguhnya dimulai. Di sini mendadak aku gak bosen lagi, nggak ngantuk lagi, narasi tiba-tiba jadi jelas dan bercahaya pokoknya mah.

Vicious, Vengeful, dua-duanya nggak bisa nggak bikin tegang. Aku suka gimana konflik dan plotnya bener-bener bisa bikin aku masuk ke ceritanya dan gereget sendiri. Jadi kuputuskan bukan gaya bahasanya yang bikin bosen di awal, tapi memang intro di awal nggak menarik.

Dan untuk karakter tambahan, pertama Marcella, aku cukup kasian sama perannya di novel ini, setelah bikin Victor dan Eli reuni dan novel Vengeful tercipta, bisa-bisanya penulis bikin Marcella kayak gini:)

Kedua, June. Aku masih curiga sama dia sampai sekarang, nggak tau dia baik apa nggak sebenernya, tapi karena dia sayang Sydney, aku bisa agak tenang :)

Dan buat Eli, di sini diceritain tentang masa lalunya dan jujur kalau bagian ini aku suka :’) sedih banget Eli...tapi aku tetap #TeamVictorForever.

Karakter favoritku masih tetap, kuartet Victor, Sydney, Mitch, dan Dom, plus si anjing, Dol. Dari dulu, aku selalu jatuh cinta sama novel yang punya kelompok tersendiri kayak gini. Mereka semua orang asing, saling cuek, padahal sebenernya sayang dan perhatian. Tiap nyeritain kisah mereka, aku selalu seneng bacanya. Makanya aku gak suka banget saat harus baca 400 halaman yang dikit merekanya.

Overall, apakah buku ini recommended? OF COURSE! Meskipun cuma 200 halaman terakhir, tapi itu sangat membekas buatku dan aku pun melupakan kebosananku pada buku ini, aku bahkan kasih 5 bintang saking geregetnya novel ini:’) jujur, novel ini menurutku punya open ending yang terbaik sekaligus ternyesek buatku. Gak tau kalau kalian.

Dan legaaa banget kalau tau buku ini nggak akan jadi duology, tapi trilogi. Entah kapan buku ketiga bakal keluar, but, I WOULD WAIT A THOUSAND YEARS FOR VICTOR VALE.

Sesuka itu aku sama karakter-karakter di Villain series.

“Eli tidak tahu bagaimana dia sampai rusak, tapi dia ingin disembuhkan. Dia ingin diselamatkan.” – hlm 187

“Tuhan tidak pernah memberikan ujian lebih daripada yang mampu kita tanggung. Tugas kitalah untuk menemukan tujuan dalam penderitaan itu.” – hlm 218

“Kita tidak bisa membentuk masa lalu, hanya masa depan.” – Eli (hlm 231)

“Pengetahuan boleh saja kekuasaan, tapi uang membeli dua-duanya.” – Marcella (hlm 351)

“Nasib buruk itu seperti karet. Mitch hanya bisa menjauh sedikit sebelum tangan tak kasat mata menyelinap dan dia kembali bertabrakan dengan masalah.” – hlm 417

“Keterikatan itu sesuatu yang menjengkelkan, sama merusaknya seperti rumput liar.” – hlm 426

“... selalu ada yang lebih kuat daripada kau. Begitulah cara kerjanya dunia. ... kau melakukan aoa yang kau bisa. Kau melawan, dan kau menang, sampai kau tidak lagi menang.” – hlm 434-435


[RESENSI] A Conjuring of Light by V.E Schwab

 

source: google

Judul: A Conjuring of Light – Pemanggil Cahaya (Darker Shade of Magic #3)

Penulis: V.E Schwab

Alih bahasa: Angelic Zaizai

Editor: Nadya Andwiani

Desain sampul: Narendra Bintara Adi

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

ISBN: 9786020637259 (Digital)

Jumlah halaman: 768 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: Holland berhasil pergi ke London Merah membawa Osaron, London Merah diserang, untuk itu, Kell, Lila dan Alucard bersama-sama menjalani misi untuk menghentikan Osaron.

----

Kira-kira begitu saja inti dari cerita ini. Simpel, tapi banyak yang terjadi. Gimana nggak, 700 halaman. Aku sempat meragukan novel ini, takutnya sama kayak AGoS, tapi karena konflik di novel kedua dilanjut di sini dan sebagai penutup, aku berusaha positive thinking XD

Awal novel ini sudah tegang soalnya hasil cut dari novel sebelumnya. Dan aku merasa bisa mulai kembali menikmati ceritanya. Pertempuran yang sebenarnya dimulai. Tapi baru kira-kira di halaman 300an petualangan Kell, Lila dan Alucard dimulai. Sebelumnya, masihl liat-liat sikon dulu di Arnes heuheu.

Belum lagi, aku merasa di novel ini banyaaak banget sudut pandang. Selain ketiga pelaku utama, ada Holland serta masa lalunya yang cukup panjang, ada Emira sang Ratu, ada Rhy, ada Maxim sang Raja, banyak opini dah pokoknya. Plotnya memang masih agak lambat, tapi setidaknya yang ini nggak separah agos. Walaupun menurutku masih sama aja buang-buang detail, harusnya bisa agak dipersingkat gitu yaaa.

Awalnya kukira petualangan mereka nyari benda yang bisa menjadi rencana mengalahkan Osaron bakal wow banget tapi ternyata biasa aja, lumayan doang menurutku, tegang tapi nggak setegang adsom, entah mungkin karena aku masih terpengaruh sama agos.

Untuk karakternya, aku agak sebel sama cara author bikin karakter Kell, aku merasa dia kurang banget porsinya dan bukan pusat lagi. Lila lebih menonjol meskipun tetap aja aku nggak terima Kell kayak terasingkan wkwk. Kayaknya semua masalah datengnya ke Kell, tapi bukan dia yang nyelesain. Hufff.

Yang paling bikin aku jatuh cinta sama novel ini adalah bagian klimaks dan antiklimaksnya!! Rasanya aku mendadak nggak nyesel pokoknya udah baca agos wkwk, novel ini bener-bener seru, tegang, sedih, segala macem lah pokoknya.

Meskipun bagian raja dan ratu entah kenapa menurutku rada maksa. Tapi sedih juga sih. Yang paling bikin perasaanku mulai tertaut sama novel ini dimulai dari situ, terus pas Alucard tinggal di kapal, pas Holland juga.....oh no i was a little bit sobbing here. Dan mendadak aku sukaaaa banget sama Rhy, dalam artian aku simpati banget sama dia.

Kell masih tersingkirkan, tapi mereka semua jadi lebih kuat perannya buatku. Pokoknya novel ini seruuuuu dan penuh rasa nyesek. Aku pengen banget protes buat apa banyak flashback Holland kalau akhirnya.....i ran out of words. Skip.

Overalllllll, i loved this book so much! Aku suka feelnya, suka konfliknya, suka karakternya, suka endingnya :’))))) terharu aku tuh sampe nangis :’)))) kesan yang ditinggalkan bener-bener ngena di aku. Aku sayang Kell dan Lila bagaimanapun akhirnya :’)) ADSOM series bakal jadi salah satu series favoritku. Aku kasih 5 bintang!

“...tapi kepengecutan datang lebih mudah dibandingkan harapan.” – hlm 14

“Terkadang kau harus berpura-pura, semua tahu itu. Berpura-pura bahagia. Berpura-pura berani. Berpura-pura kuat. Kalau kau berpura-pura cukup lama, akhirnya itu akan menjadi kenyataan.” – hlm 169

“Sebab, ide buruk itu favoritku.” – Lila (hlm 250)

“Kadang-kadang lebih mudah menjadi sosok yang diremehkan, dilupakan, diabaikan.” – hlm 385

“Tapi satu-satunya cara menghindari kehilangan adalah menghindari cinta. Dan betapa menyedihkannya dunia yang seperti itu.” – Tieren (hlm 462)

“Orang mati tidak bisa menyimpan dendam.” – hlm 465

“Dari berbagai cara untuk mati, hanya orang bodoh yang memilih harga diri.” – hlm 468

“Kita tidak memilih siapa kita, tapi kita memilih apa yang kita lakukan.” – hlm 571

“Kau benar, banyak yang harus membayar keputusan yang diambil segelintir orang. Tapi penguasalah yang memutuskan, dan kamilah yang membayar untuk itu.” – hlm 650

“Dan strategi hanya istilah canggih untuk jenis akal sehat yang spesial, kemampuan untuk melihat pilihan-pilihan, menciptakannya bila tidak ada. Itu bukan soal mengetahui aturan. Tapi soal mengetahui cara melanggarnya.” – Lila (hlm 688)

 

 


[RESENSI] A Gathering of Shadows by V.E Schwab

source: google



Judul: A Gathering of Shadows – Penguasa Bayangan (Darker Shade of Magic #2)

Penulis: V.E Schwab

Alih bahasa: Angelic Zaizai

Editor: Nadya Andwiani

Desain sampul: Narendra Bintara Adi

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2019)

ISBN: 9786020633633 (Digital)

Jumlah halaman: 648 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Blurb: 4 bulan berlalu setelah petualangan Kell dan Lila dalam mengembalikan batu sihir ke London Hitam, kini jalan hidup mereka berbeda. Kell tetap di istana, sementara Lila berlayar. Mereka menemukan kesempatan untuk kembali bertemu saat pertandingan elemen di London dimulai. Saat semua orang fokus pada Essen Tasch itu, di sisi lain, seseorang kembali dan mempersiapkan perebutan takhta.

---

Well, begitulah sinopsisku buat novel kedua series ADSOM ini, soalnya menurutku blurb di belakang buku itu nipu banget :) no offense sih, tapi aku udah naruh ekspektasi yang tinggi buat novel keduanya soalnya aku suka banget sama novel pertamanya kan.

Udah cukup lama aku nyelesain buku ini dan nggak langsung bikin review, jadi aku sebenarnya udah agak lupa haha. Lupa, soalnya buku ini menurutku...meh. Sisa-sisa sensasi ADSOM yang tertinggal bikin aku masih bisa menikmati awal-awal buku ini.

Aku udah nggak kagok sama gaya terjemahannya, bisa langsung ngerti, meskipun nggak terlalu menikmati. Lila, karakter favoritku, kadang-kadang menghibur, kadang nggak. Dan Kell, lumayan lah. Di sini juga ada karakter baru bernama Alucard, kapten kapal yang Lila tumpangi, yang ternyata ada sejarah dengan Rhy.

Di sisi lain, aku pengen nulisin soal POV ketiga selain mereka berdua, tapi jatohnya spoiler buku 1. Pokoknya, di buku dua ini ada kejutan :)

Novel ini selama hampir seluruhnya, ya, 600an halaman, isinya cuma kehidupan sehari-hari Kell dan Rhy, betapa beratnya hidup Rhy, antara hidup enggan mati tak mau, dan Lila dan petualangannya di laut. Part Lila lebih mudah buatku, seenggaknya, ada yang menarik.

Konfliknya adalah hal yang paling bikin aku sakit hati :’) karena konflik utamanya baru muncul di bab-bab akhir. Tepatnya di hlm 625/648 bayangkaaaan. Setelah nahan-nahan bosen demi baca lanjutan adsom, aku kecewa banget. Sebenernya di halaman 500an aku udah feeling ending novel ini bakal gini, tapi tetep aja pas kejadian aku kesel wkwk.

Cerita tentang Essen Tasch ini pun buat aku kurang menarik. Padahal di sini, dunia London Merah lebih dieksplor. Pertandingan ini mengundang rakyat(?) lain selain orang-orang Arnes, yaitu bangsa Faro dan Vesk. Di sini juga dijelasin karakteristik mereka gimana, terus para penyihir yang ikut bertanding juga diceritain. Belum lagi soal Kell dan Lila yang nekat.

Tapi sekali lagi itu gak mempan buatku full menikmati cerita ini, karena apa? Karena blurbnya terlalu menggoda, aku jadi cuma ngarepin konflik utamanya aja yang muncul. Lagipula, Essen Tasch ini seperti cerita Avatar The Legend of Aang buatku. Udah nggak spesial lagi.

Overall, kalau aku nggak naruh ekspektasi tinggi karena blurbnya, mungkin aku lebih bisa menikmati cerita ini. Entahlah huff. Yang jelas di sini nggak ada berantem ama musuh dan nggak ada petualangan, POV di sisi lain pun sebenarnya menarik tapi entah aku malah jadi bosen seluruhnya.

Dan aku juga agak nggak mudeng sama judulnya A Gathering of Shadows – Penguasa Bayangan, siapa penguasa bayangan? Apa penguasa bayangan? Mungkin ke karakter si itu, tapi tetep aja aku merasa nggak menemukan korelasinya. Mungkin saking nggak konsennya jadi nggak ngeuh, who knows lah.

Akhirnya aku cuma ngasih 3 bintang aja buat novel ini. Ada bagian-bagian yang menarik nyempil, ada perasaan-perasaan yang nyesek juga nyempil, kovernya cakep, dan Lila masih jadi favoritku meskipun jadi agak berkurang dikit. Mau mara banget sama endingnya, tapi aku bisa apa hiks. Aku juga agak menyayangkan karakter Kell di akhir, menurutku dia bukan tipe yang bakal mau ngambil keputusan itu, tapi dibuat gitu biar konfliknya jadi. Sayang sekali.

Setelah namatin novel ini, aku langsung baca buku ketiga karena aku gak bisa diginiin. Sekian dan terima kasih :)

“...tapi kekuatan mudah diperoleh, sedangkan ketepatan tidak.” – hlm 462

“Tapi aku tidak ingin mati–mati itu gampang. Tidak, aku ingin hidup, tapi mendekati kematian menjadi satu-satunya cara untuk merasa hidup.” – Lila (hlm 563)

“Sebut saja aku gila, tapi menurutku kita menjalani hidup yang terbaik ketika taruhannya besar.” – Lila (hlm 563)

“Kau bisa saja...” bisiknya, “tinggal.”
“Atau kau bisa saja pergi,” balas Lila. “denganku.”

“Aku tidak bisa terus-terusan menebus kesalahan. Aku memberinya hidupku, tapi Paduka tidak bisa memerintahku berhenti hidup.” – Kell (hlm 620)

“Lila sudah lama sekali tidak memercayai Tuhan –dia tak lagi berdoa setelah jelas terlihat bahwa tidak ada yang akan mengabulkannya.” – hlm 641

“Apa pun aku, semoga itu cukup.” – Lila (hlm 643)


Rabu, 15 April 2020

[RESENSI] A Darker Shade of Magic by V.E Schwab

source: google




Judul: A Darker Shade of Magic – Sihir Kelam (Shades of Magic #1)
Penulis: V.E Schwab
Alih Bahasa: Angelic Zaizai
Editor: Mery Riansyah
Desain Sampul: Narendra Bintara Adi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2019)
ISBN: 9786020623320 (digital)
Jumlah Halaman: 488 hlm
Baca via: Gramedia Digital

Blurb:

London tidak hanya ada satu, melainkan empat. London Merah, kemakmuran dan sihir. London Kelabu, kotor dan membosankan. Londoh Putih, kota yang nyaris mati karena sihir. Yang terakhir, London Hitam, yang sudah hilang.

Kell adalah pengelana dari London Merah, salah satu penyihir terakhir yang dapat bepergian di antara dunia-dunia. Sekaligus, seorang penyelundup, dan tidak sengaja menemukan benda terlarang dari London Hitam.

Saat kabur ke London Kelabu, Kell bertemu Lila, seorang pencopet lihai yang memaksa Kell bertualang menantang bahaya ke dunia lain.

----

Kira-kira, begitulah blurbnya.

Pertama-tama, aku mau bilang kalau aku SUKA sama novel ini karena semua ciri yang bisa bikin aku tertarik sama sebuah novel, ada semuanya di novel ini T_T

1. Judulnya cakepP
2. Kovernya CAKEPP
3. Blurbnya apalagiiiiP

Nggak mikir dua kali buat masukin novel ini di wants-to-read ku pastinya. Salahnya, aku baca duluan Vicious karya penulis yang sama. Di Vicious itu sebenernya aku suka ceritanya, cuma agak berat buatku soalnya tentang sains tapi ide cerita dan konfliknya bagus T_T jujur setelah baca Vicious tuh aku agak males sama ADSOM soalnya takut 11 12 sama Vicious mana ada 3 buku pulak.






Tapi akhirnya, kerinduan baca fantasi dan petualangan akhirnya membawa aku kembali ke buku ini daaaaan aku nggak menyesal sama sekali. ADSOM >>>>> Vicious. Jauh beda. Dan aku sukaaaaa bangetttt sama ADSOM!

Di awal-awalnya efek Vicious masih ada di benakku, aku ngerasa novel ini terlalu berat trus aku harus mikir dua kali buat mencerna. Tapi semua berubah saat aku nemu pov 3 Lila. Lila ini bagaikan oase di tengah gurun buatku wkwk aku yang tadinya gersang dan ngga paham sama dunia Kell akhirnya tertarik buat melek.

Ditambah lagi, Lila ini punya karakter tipe girl-crush ku bangetttt. Gak susah buat jatuh cinta sama karakter Lila. Setelah ketemu Lila, aku mulai bisa ‘connect’ sama novel ini. Narasinya tiba-tiba asik, ngalir, gaya bahasanya tiba-tiba enak dibaca dan gak bikin mikir bahkan aku nemu humor huhu sukaaaa, konfliknya jelas, nggak samar lagi, aku bahkan baru ngerti world building-nya setelah ketemu Lila hahaha.

Konfliknya pun sebenernya cukup sederhana. Kell dan Lila berpetualangan untuk mengembalikan ‘benda’ yang berasal London Hitam itu. Dan tentunya banyak rintangan buat mereka. Tapi V.E Schwab bisa banget bikin cerita ini menarik dengan plotnya. Aku nggak berenti senyam-senyum selama baca ini. Terutama di sini ada sedikit bumbu romance-nya ehe.

Nyaris semua karakternya aku suka. Kell yang baik, loyal dan berani. Lila yang urakan, naif dan badass, dua raja ratu kembar Athos dan Astrid dari London Putih bikin aku inget Jaime dan Cersei Lannister! Astrid dan Cersei setipe banget. Ditambah Pangeran Rhy yang kekanakan tapi kharismatik dan terlalu baik. Suka banget perpaduan karakter-karakternya, favorit banget.

Overall, dua hal yang aku suka dari isi cerita ini adalah karakter dan world building-nya. Cerita tentang London-London itu kayak fairy-tale versi modern, meskipun aku rasa dunia sihirnya belum terlalu dalam. Aku pasti harus kudu wajib baca lanjutannya yaitu A Gathering of Shadows.

Highly recommended buat kalian yang suka fantasi, petualangan, dan plot twist. ADSOM ngasih itu semua dan tidak mengecewakan sama sekali buatku. Aku kasih 5ó

“Masalah itu pencari. Terus mencari sampai menemukanmu. Sekalian saja kita cari duluan.” – hlm 74
“Sihir jahat. Bukan, sihir cerdas. Dan cerdas lebih berbahaya daripada jahat dalam kondisi apa pun.” – hlm 184
“Aku lebih senang mati dalam petualangan daripada mati saat berdiri diam.” – Lila (hlm 241)
“Kasih sayang tidak membelikan kita apa-apa, jadi bersyukurlah atas apa yang kaumiliki dan siapa yang kaumiliki karena kau mungkin kekurangan sesuatu tapi kau tidak membutuhkan apa-apa.” – Lila (hlm 286)
“Sebagian orang mencuri agar tetap hidup, dan sebagian lagi mencuri agar merasa hidup. Sesederhana itu.” – hlm 325
“Kau siap?”
“Tidak.”
“Bagus. Orang yang berpikir sudah siap selalu berakhir mati.” – hlm 422
“Dia menginginkan kebebasan. Dia menginginkan petualangan. Dan dia merasa tak keberatan mati untuk itu. Dia hanya berharap sekarat tidak terlalu menyakitkan.” – hlm 448
“... maka dia hanya berkata, “Jauh-jauhlah dari masalah,”. Lila memberi Kell senyum yang menyiratkan tentu saja dia tak akan melakukan itu.” – hlm 485.



Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)