Judul: The Infinite Sea
Penulis: Rick Yancey
Alih bahasa: Angelic Zaizai
Desain sampul: Marcel A.W
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2015)
Jumlah halaman: 400 hlm.
ISBN: 978-602-03-1799-1
Blurb:
Bagaimana cara melenyapkan miliaran manusia penghuni Bumi?
Lenyapkan sisi kemanusiaan mereka.
Lenyapkan sisi kemanusiaan mereka.
Nyaris mustahil rasanya selamat dari empat gelombang
pertama. Tetapi Cassie Sullivan berhasil, dan sekarang ia hidup di dunia baru,
dunia tanpa rasa percaya pada sesama. Saat Gelombang 5 menyapu segalanya,
Cassie, Ben, dan Ringer dipaksa berhadapan dengan tujuan utama para Makhluk
Lain: pemusnahan umat manusia.
Maka mereka pun terlibat dalam pertempuran terdahsyat: antara
hidup dan mati, cinta dan benci, harapan dan kenyataan.
----
Jauh di luar ekspektasi, inilah yang aku rasakan ketika
membaca buku kedua trilogi ini. Aku emang suka banget sama buku pertamanya dan
itulah kenapa aku pengen namatin seri ini, tapi ternyata buku kedua nggak
sebagus buku pertama.
Cerita dimulai dengan POV Ringer, heroin yang berhasil
mencuri perhatianku di buku pertama. Gaya
bahasanya masih sama seperti buku pertama, memang agak berat dan butuh
berpikir dua kali untuk mencerna, meski nggak di semua bagian. Menurutku, POV
Ringer atau yang berhubungan dengan pangkalan dan Vosch sangat rumit.
Beda dengan POV Cassie atau Ben yang agak santai, walaupun
di buku kedua ini, aku nggak bisa merasakan perbedaan antara pov Cassie dan
Ringer, mereka kelihatan sama buatku.
Setelah Evan meledakkan pangkalan dan Cassie kabur, mereka
bersembunyi di sebuah bangkai hotel, namun mereka tidak bisa tetap di situ,
karena Vosch masih memburu mereka. Ditambah lagi sekarang ada Grace, manusia
sejenis Evan yang ikut mencari mereka.
Ringer terpaksa pergi untuk menemukan tempat penampungan di
utara, sementara Teacup menyusulnya. Sialnya, sesuatu terjadi kepada Cup, lalu
Ringer. Mereka berdua diculik oleh Vosch dan sesuatu yang mengejutkan terjadi
pada Ringer.
Sementara itu, Evan menepati janjinya dan kembali kepada
Cassie. Sayangnya, kembalinya Evan pun membawa musuh-musuh untuk mendekat.
Secara garis besar, hanya segitulah kisah pada buku kedua
ini. Momen-momen besar jarang terjadi, digantikan alur yang lumayan lambat. Konflik utamanya pun bisa dibilang
terletak pada Ringer, menguak sesuatu yang sebenarnya terjadi di dunia mereka.
Kebenaran tentang Makhluk Lain. sejujurnya, plot twist ini cukup membuatku
melongo. Bagian terbaik dari novel ini hanya plot twistnya, menurutku.
Aku juga merasa alurnya
begitu lambat pada bagian Ringer, dan jujur ini bikin aku ngantuk karena harus
berpikir dua kali untuk mencerna dan bosan, padahal konflik utama terletak di
sini. Aku merasa penulis mengulur-ngulur ceritanya.
Para tokoh pun
cenderung datar-datar saja. Tidak ada perkembangan, menurutku. Bagian Cassie
dan Ben yang menurutku menarik justru tertutup oleh Ringer. Di sini juga ada
pov Poundcake, prajurit yang tidak pernah berbicara, namun karena hanya satu
bab porsinya, aku nggak terlalu merasa dekat dengan cowok itu. Dan bagian
Ringer yang paling banyak ini, meskipun dia tokoh kesukaanku, ternyata aku
kurang puas dengan kehidupan dan aksinya HAHA XD
Overall, aku
kurang merasakan chemistry atau ‘nyawa’ dalam novel ini, tapi meski begitu
banyak juga bagian-bagian yang menyenangkan untuk diikuti :D satu hal yang aku
sayangkan adalah kenapa kovernyaaaa harus ada gambar wajahhhh perempuaaaan.
Sekian.
Quote:
“Janji adalah satu-satunya mata uang yang tersisa. Harus dibelanjakan dengan bijak.” – hlm 21
“Kadang-kadang kau berada di tempat yang salah pada waktu yang keliru dan apa yang terjadi bukan kesalahan siapa-siapa. Kau cuma ingin merasa bersalah agar kau meras lebih baik.” – Ringer (hlm 40)
“Kenapa seseorang harus hidup meskipun dunia itu sendiri akan musnah?” – hlm 144
“Aku tidak mau menyelamatkan dunia. Aku hanya berharap siapa tahu aku dapat kesempatan untuk membunuhmu.” – Ringer kepada Vosch. (hlm 317)
"Kenapa kau tak berdoa?" - “Aku tak suka merepotkan Tuhan.” – Ringer (hlm 334)