Senin, 14 Maret 2022

The Perfect World of Miwako Sumida (resensi)

 

source: goodreads



Judul: The Perfect World of Miwako Sumida

Penulis: Clarissa Goenawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 368 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Pertama kali baca novelnya Clarissa Goenawan. Akhirnya kesampean juga. Waktu pertama Rainbirds terbit, aku juga tertarik liat kover dan judulnya tapi tiap ada kesempatan baca di ipusnas rasanya males buat memulai. Mungkin karena blurbnya yang terkesan gloomy dan berat.

Tapi beda waktu pertama kali baca blurb TPWoMS ini, aku langsung tertarik dan langsung masukin ke daftar to-read di Goodreads haha.

TPWoMS bercerita tentang Miwako Sumida, well, not really actually, novel ini bercerita tentang tiga orang anak manusia yang kebetulan sama-sama kenal dan berhubungan dengan Miwako. Karena konflik dimulai dan cerita didasari karena Miwako yang bunuh diri, jadi ketiga orang tersebut nyeritain tentang Miwako deh.

Suicide case? Mystery? Lil bit thriller? At least those were what I thought I would find in this book. Reality? Not really haha.

Novel ini mengajak aku buat lebih mengenal sosok Miwako lewat tiga narator, sekaligus menikmati kisah tiga naratornya juga. Yang pertama ada Ryusei, cowok ganteng yang ketemu dan jatuh cinta sama sosok Miwako. Yang kedua ada Chie, sahabat Miwako. Dan yang ketiga ada Fumi-nee, kakak Ryusei sekaligus orang yang mempekerjakan Miwako di studionya.

Dari halaman pertama baca novel ini, aku udah mulai betah bacanya. Gaya penulisannya enak dibaca, thank the translator ya soalnya aku jadi nggak bosen meskipun ceritanya ngalir-ngalir adem gitu cocok buat bobo siang.

Alur cerita yang ditata dengan rapi pun bikin aku menikmati ceritanya. Dari mulai Ryusei yang jatuh cinta, selain bisa ngeliat gimana karakter dan kehidupan Ryusei, tentu sang tokoh utama Miwako juga digambarin dengan jelas di bagian satu ini. Sebenarnya aku sedikit kesulitan ngebayangin gaya penulisan yang mendayu-dayu ini dituturkan oleh pov kesatu laki-laki. Entah kenapa nuansanya lebih cocok pov perempuan, imo.

Di bagian kedua ada bagiannya Chie. Ada yang sedikit berbeda di bagian ini karena pov berganti jadi pov orang ketiga meskipun dari sudut pandang Chie. Alurnya juga jadi maju mundur, nyeritain gimana awal hubungan Chie dan Miwako.

Di bagian ini juga, daripada lebih mengenal sosok Miwako, aku justru lebih disuguhi karakter dan konflik batin Chie sendiri. Bisa dibilang, Miwako di sini hanya tempelan, karakter pendukung hidup Chie. Bagian ini nunjukin kalau Chie bener-bener kehilangan Miwako tapi dia berusaha untuk menerima kenyataan. Persahabatan Chie dan Miwako juga cukup seru dan hearwarming pas dibaca.

Di bagian ketiga ini adalah bagian yang paling seru. Awalnya aku mikir, Fumi nggak terlalu deket sama Miwako seperti Ryusei dan Chie, tapi kenapa dia dimasukin jadi salah satu narator? Dan yap, dari ketiga bagian, bagian Fumi adalah favoritku!!

Masih dengan pov ketiga sudut pandang Fumi, awalnya aku diajak untuk sedikit-sedikit flashback ke masal lalu Fumi sampe mikir, ini novel kok makin lama makin ngilang aja si Miwako? Kok jadi bahas Fumi? Tapi ternyata ya spekulasi hanyalah spekulasi, karena di akhir, benang merah pasti muncul haha.

Nggak bisa terlalu ceritain bagian Fumi karena akan major spoiler, darimulai identitas Fumi, plot-twist yang membagongkan, a lil bit thriller dan horor yang bikin aku –yang tadinya santai aja baca pas mau tidur lampu udah pada mati jadi merinding sendiri nengok kanan kiri haha.

Di bagian ini pula, rasa penasaranku soal sesempurna apa sih hidup Miwako sampai dijadiin judul akhirnya terbongkar. Dan kesimpulanku, sepertinya nggak ada satupun yang menganggap hidup Miwako itu sempurna kecuali dirinya sendiri AHAHAH.

“Mestinya aku tidak membohongi diri sendiri, atau orang lain.” Suawa Miwako memecah keheningan. “Mestinya aku tidak berpura-pura segalanya sempurna.” – hlm 352

Sepanjang cerita, aku nggak pernah mikir hidup Miwako sempurna, dan aku pun nggak menemukan Ryu, Chie, ataupun Fumi menganggap hidup Miwako sempurna. Cmiiw. Siapa tau kelewat.

Bagian milik Fumi bercerita tentang masa lalu Miwako. Yang menurutku udah banyak(?) ada di kehidupan nyata, mengerikan, sekaligus biasa, gitu deh, campur aduk, kayaknya diceritain secara biasa dan reaksi Fumi juga biasa makanya terasa agak flat tapi ngeri juga haha.

Yang bikin aku kurang puas dengan eksekusi cerita ini adalah, nggak begitu jelas alasan kenapa Miwako akhirnya bunuh diri. Oke, sebenernya cukup dijelasin, hanya saja bagi aku kurang ngena.

Selama ini kedua narator sebelumnya memang menceritakan Miwako di dalam hidup mereka, tapi bukan hidup, isi hati, dan isi pikiran Miwako sepenuhnya. Jadi buatku agak kurang ngena, karena cuma satu-dua paragraf aja nggak cukup, meskipun aku tau pasti berat juga jadi Miwako.

Overall, aku cukup menikmati cerita ini. Tulisannya bagus dan ceritanya menarik untuk dibaca. Sayangnya, aku jadi merasa buku ini kehilangan tujuan. Aku pikir akan lebih menemukan diri Miwako yang sesungguhnya dari novel ini. Makna yang sesungguhnya dipegang dari suicide case-nya Miwako. Tapi ternyata nggak.

Kesimpulannya? Aku juga nggak tau haha. Lebih ke cerita tentang cowok yang ditinggal pujaan hatinya, sahabat yang kehilangan sahabat terbaiknya, dan seseorang yang punya banyak rahasia akhirnya kebongkar rahasianya apa. Udah. Gitu aja.

Jadi, cuma bisa ngasih 3.5 buat The Perfect World of Miwako Sumida.

And anyway, tadinya mau baca Rainbirds juga, tapi ternyata pas baca ulang blurbnya, mirip-mirip sama TPWoMS ini, bedanya di Rainbirds tokoh yang jadi topiknya dibunuh, bukan bunuh diri. Jadi kayaknya aku nggak akan baca Rainbirds deh hehe, nuansanya sama (death case/mystery) jadi takut bosen.

Sekian.

Dont forget to tap follow button/submit your email below! See you in the next review and have a nice day!

 

 

 

Sabtu, 12 Maret 2022

Satu Hal Terbaik dari Say Hi! Karya Inggrid Sonya (a review)

 

source: google


 

Judul: Say Hi!

Penulis: Inggrid Sonya

Penerbit: Elex Media Komputindo (2021-digital)

Jumlah halaman: 528 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Seperti biasa, pembukaan dulu. Pertama kali gue baca karya Inggrid Sonya adalah Revered Back di Wattpad. Dulu, bener-bener sukaaaa banget sama ceritanya meskipun kalau dipikir-pikir lagi ceritanya drama abis tapi intense-nya yang bikin gue betah baca.

Lalu gue kenalan sama Nagra dan Aru, collab-nya Inggrid bareng penulis lain, dan sekarang gue udah lupa banget ceritanya tentang apa, maap gue pikun.

Setelah sekian lama, waktu lagi berselancar di Wattpad, gue nemu Say Hi! terus mikir, wih judulnya lucu. Pas baca blubrnya i was like: wow..this is definitely my type! Semenarik itu di mata gue. Waktu itu udah ada pengumuman mau terbit, gue yakinin diri sendiri mau baca fisiknya titik.

Setelah terbit, gue agak syok liat jumlah halamannya. Gue mulai ragu. Tapi ini tulisan Inggrid loh, yang Revered Back-nya bisa bikin gue kelemer-kelemer sendiri pas baca di sekolah! Oke, gue tetep mutusin buat jadiin ini wishlist gue.

Kebetulan sekarang gue lagi punya GD, akhirnya gue mutusin buat baca aja, beli fisiknya kalau gue bener-bener jatuh cinta aja deh sama bukunya. And you know what? I think I am grateful that i didn’t buy the book lol.

Bukan, bukan, bukan karena ceritanya nggak bagus. Ceritanya bagus banget, tapi ada beberapa hal yang bikin gue berenti tertarik ke novel ini.

Cerita ini berkisah tentang Ribby si itik buruk rupa yang sahabatan sama dua cowok ganteng idola sekolah bernama Pandu dan Ervan. Di tengah serangan ejekan dari seluruh murid di sekolah, Ribby udah lama ngerasa insecure karena penampilannya. Lalu, nggak sengaja dia nge-install aplikasi Say Hi! di mana kita bisa pacaran virtual secara anonim. Di sana, Ribby kenalan sama Robbi, stranger yang bisa diajak ngobrol apa pun termasuk ngehibur dan ngemotivasi Ribby untuk berubah.

Lalu ternyata, Robbi ini adalah cowok yang selama ini ada di dekat Ribby. Salah satu sahabatnya.

Gue suka banget sama gaya bercerita Inggrid. Tulisannya luwes dan enak dibaca. Apalagi nampilin sosok karakter utama yang nggak mainstream kayak tokoh-tokoh protagonist lain. Jujur suka banget sama penggambaran fisik Ribby.

Di awal-awal, gue masih excited banget buat baca novel ini. Meskipun menurut gue humornya agak garing hehe, jarang banget gue ketawa sepanjang buku. Gue degdegan pengen tau siapa Robbi, gue degdegan pengen tau gimana Ribby ngatasin insecurity-nya, ngatasin rasa mindernya, dan jadi lebih berani untuk merjuangin sabuk hitamnya di lomba, pokoknya cerita ini menarik banget!

Apalagi pas Ribby mulai merubah penampilannya karena mau lebih self-love, reaksi Pandu dan Ervan bener-bener keterlaluan dan itu sakitnya kerasa sampe ke sini:) Tapi untungnya ada Robbi yang siap ngehibur Ribby, walaupun tetep aja lelucon Robbi juga garing sih. Perasaan selera humor gue rendah dan receh abis tapi kenapa gue gabisa ketawa di sini aaaaa.

Jujur gue agak bingung untuk gimana nge-review buku ini. Yang jelas, gue mulai turn off setelah konflik pertama selesai. Ya, konflik pertama, alias ada yang kedua!! Dan yang gue suka dari buku ini tentu aja konflik antara ketiga sahabat itu dan identitas asli Robbi. Sialnya, gue gabisa ngomong banyak karena pasti spoiler, yang jelas ini PLOT TWIST ABISSSS gue si tukang nebak plot twist aja sampe kegocek trus kegocek lagi.

Udah tegang nih, tinggal antiklimaks, gue lagi suka dan semangat banget buat baca apa yang akan terjadi. Tapi guys, itu baru di halaman 300an, dan gue mikir... hah..200 halaman lagi nyeritain apa kalau sekarang identitas Robbi dan klimaks udah muncul? [menelan ludah]

Di situlah rasa ketertarikan gue mulai turun. Gue diajak masuk ke konflik kedua. Di konflik kedua ini, gue ngerasa ceritanya ganti jalur. Masih kereta keren yang sama, cuma pindah jalur. Bukan lagi berfokus ke Ribby maupun kedua temen cowoknya, melainkan ke Ipank, salah satu tokoh penting di Say Hi! Apalagi si Pandu, kayak cuma tempelan aja.

Di cerita konflik yang kedua ini, gue disuguhin tentang perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan dan solidaritas. Gue nggak tau apakah gue boleh nyeritain konflik kedua ini tanpa bikin spoiler konflik pertama, yang jelas gue tau rasanya putus asa kayak Ipank dan pengen ngehindarin semua orang.

Anyway, Ipank adalah temen Pandu dan Ervan, temen Ribby juga di klub taekwondo. Ipank dan Ribby sama-sama berjuang untuk lomba.

I am not saying this second conflict was bad, i just didn’t sign up for this, honestly. I am sorry. Gue di sini, mutusin baca ini, untuk tau kisah Ribby dan dua sahabat cowoknya, bukan cerita ini. Jadi sebagus apa pun konflik kedua ini, gue nggak terlalu menikmatinya.

Gaya bahasa Inggrid yang tadinya ramah di otak gue, perlahan mulai berubah membosankan. Terlalu banyak narasi, terlalu banyak dialog nggak penting, humor yang masih gitu-gitu aja, ditambah lagi terlalu banyak kata-kata kasar. Gue bahkan sampe males baca scene di mana dikit-dikit ada rokok dan bahkan ada alkohol juga. I am actually fine with these kind of life style, but it irked me somehow. I didn’t know why.

Gue tadinya ngarepin konflik yang unyu dari sahabat yang diem-diem naksir sahabatnya. Tapi meskipun ekspektasi gue agak melenceng, gue tetep suka sama konflik 1.

Di konflik dua ini, gue juga sadar kalau gue nggak terlalu suka sama tokoh-tokohnya kecuali Ribby. Di awal Ervan sama Pandu yang meledak-ledak nggak jelas. Emosian banget ni anak dua. Ipank justru penyelamat yang bikin gue adem, makanya gue tim Ipank.

Tapi di konflik kedua inilah gue akhirnya lost interest juga sama Ipank, dia lebih meledak lagi ternyata. Trus gue mikir, yaelah ini anak-anak hobinya teriak-teriak ngegas mulu apa tdk lelah dik.. gue yang bacanya aja capek.

Besides konfliknya yang bikin gue lelah, satu hal yang perlu banget untuk dicatet dari novel ini, SAY HI! HAS GREAT CHARACTER DEVELOPMENTS! Sorry gue caplocks haha. Ribby, Ervan, dan Ipank adalah tiga karakter kuat yang nunjukin perubahan paling signifikan. Tapi gue paling suka bagiannya Ribby dan Ervan sih. Terutama Ervan yang bikin gemes hehe. Penasaran? Baca aja.

Sebenernya, konfliknya biasa, ringan, dan bagus buat nunjukin perkembangan karakter, tapi ya gitu, kepanjangan buset. Untuk konflik biasa dan mainstream gue kira nggak usah lah dibawain sepanjang ini, karena pada akhirnya ya udah tau endingnya bakal gimana.

Overall, takut kepanjangan dan udah ngga tau lagi harus ngetik apa karena takut spoiler, kadar cinta gue kebagi dua di buku ini. Gue suka banget 300 hlm awal yang menarik dan fresh menurut gue, tapi 200 halaman akhirnya draining energy banget. Gue suka karena ada antagonist yang nggak bisa dibenci dan plot twistnya yang bangke.

300 pages were such a masterpiece, 200 pages left wasn’t my cup of tea. Banyak banget hal yang bisa diambil dari novel ini di bagian characters development-nya. I wish I could give more than 4 stars at first but I should give it only 3.5 stars. It would be nice if the pages weren’t this long.

Apakah gue bakal berenti baca novel-novel Inggrid? Oh tentu tidak. Sayangnya gue agak gak tertarik untuk baca Wedding Converse apalagi Tujuh Hari Untuk Keshia yang katanya bombay itu. Definitely looking forward to another Inggrid’s masterpiece.

 

Dont forget to click follow button/submit your email below and see you!

 

 

Senin, 07 Maret 2022

“Tetap Hidup,” kata The Midnight Library karya Matt Haig (a review)

source: goodreads


 


Judul: The Midnight Library (Perpustakaan Tengah Malam)

Penulis: Matt Haig

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 368 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Gue clueless banget waktu mutusin untuk unduh novel ini di GD. Cuma karena gue nggak asing sama judulnya yang sering seliweran di base twitter. Fortunately, I ended up loving this book so much. So much.

Novel ini bercerita tentang Nora Seed, wanita berusia 35 tahun yang berpikir kalau dia udah gagal menjalani hidup. Semua pilihan dan keputusannya di masa lalu malah ngebawa dia ke malapetaka lainnya. Hingga ke titik terendahnya, Nora berencana untuk bunuh diri.

Yup, buku ini mungkin agak depressing bagi kalian yang punya sejuta positive vibes di dalam diri kalian. Tapi gue yakin sedikit banyak, kehidupan Nora ini bakal kerasa relate ke kehidupan kita sendiri. Jujur, baru beberapa bab awal aja gue udah dibuat nangis sama narasi Matt Haig yang ngena dan nusuk banget ke jantung.

Penulis dan penerjemahnya (ofc) bisa banget bikin hati gue yang lemah ini makin menderita aja pas baca narasinya haha. Gue jadi gabisa berenti untuk baca novel ini.

Lalu, setelah keputusan bunuh diri itulah, Nora tiba-tiba aja ada di sebuah perpustakaan bernama The Midnight Library. Di sana, ada jutaan buku yang merupakan hidupan Nora di dunia paralel, dunia di mana apa yang mungkin Nora jalani kalau dia nggak milih keputusan-keputusannya di dunia yang ini.

Katanya, perpustakaan itu adalah batas ambang kehidupan akar dan kematian. Sebelum benar-benar mati, Nora boleh milih kehidupan yang ingin dia jalani dan kalau dia mau, dia bisa hidup selamanya di kehidupan itu.

Sepanjang kisah gue dibawa bolak-balik ke kehidupan Nora dan perpustakaan. Semua hal yang dia sesali di kehidupan akarnya, satu persatu dia coba menjalani kehidupan yang berbeda. Beberapa kehidupan pertama yang Nora jalani, ternyata nggak sebagus yang dia kira, akhirnya dia tetep kecewa dan balik perpustakaan tengah malam.

Nyaris semua hal gue suka di novel ini, mulai dari ide cerita, gaya bahasa yang enak dibaca, kalimat-kalimat menohok, dan pelajaran yang bisa diambil.

Untuk tokohnya sendiri, Nora, bisa dibilang dia adalah orang yang pesimis banget saking putus asanya. Hidup dia nggak berjalan dengan lancar, semua orang ninggalin dia, sampai ke tahap pengen bunuh diri, tentu aja bagi yang nggak bisa relate dengan karakter Nora, pasti bakal ngelus dada sambil bilang ‘aduh kok segininya Nora’.

Kenapa gue mikir gitu? Soalnya latar belakang Nora nyaris sempurna. Dia berbakat, pintar, menarik, dan punya banyak peluang untuk bisa bangkit. Tapi nyatanya dia tetep depresi.

Kesampingkan karakter Nora yang mungkin bisa pengaruhin banget ke penilaian keseluruhan ceritanya deh. Mana kadang gue baca kehidupan yang didatangi Nora udah cukup bagus, eh dia malah tetep mutusin untuk kecewa dan akhirnya pulang ke perpus.

Di sini gue cuma mau nekenin soal apa yang bisa gue ambil dari novel ini. Untuk elemen-elemen yang lain, no comment, gue ngerasa semuanya udah sempurna. Secinta itu sama novel ini. Filsafat dan fantasi yang nyatu jadi elemen terindah yang pernah gue baca.

Satu hal yang bisa gue ambil dari novel ini adalah, no life can satisfy us. Nggak ada yang bisa muasin keinginan kita, nggak ada hidup sempurna yang kita inginkan, hidup pasti selalu punya celah untuk bikin sesuatunya terasa salah. Itu yang bikin Nora terus-terusan bolak-balik ke perpus, milih lagi buku, dan kecewa lagi pada akhirnya.

Di sini gue bisa ngerasain betapa dia sedih dan putus asa, itu yang bikin gue ikut terhanyut sama ceritanya. Dan ketika akhirnya Nora memilih buku yang tepat, kehidupan yang terasa tepat buat dirinya, gue ikutan ketar-ketir dan bahkan berdoa supaya Nora bisa tinggal di buku yang itu aja. Saking gue pengen banget Nora bahagia haha.

Oh ya tentu saja ending dari buku itu bikin gue jerat-jerit kayak orang gila. Berasa gue yang dikhianati. DAN SAYANGNYA gue gabisa ngulas bagian ini terlalu banyak karena nanti spoiler. Tapi sumpah deh, sumpah gue berasa nyatu banget sama ceritanya T_T

Overall, untuk kalian yang sekarang mungkin lagi butuh motivasi untuk ‘tetap hidup’ gue bener-bener nyaranin untuk baca The Midnight Library. Gue nggak tau gimana buku ini bisa ngubah hidup kalian yang merasa putus asa, karena toh kalian dan gue nggak akan pernah punya kesempatan untuk ngerasain ngejalanin hidup yang berbeda dari kehidupan kita yang sekarang.

Tapi gue yakin pasti ada sesuatu yang bisa diambil, bisa dipahami, bahkan tanpa perlu ada perpustakaan tengah malam versi kita. Gue juga nggak bisa bilang kalau kita bakal mulai ngehapus semua penyesalan di masa lalu karena belum tentu kalau penyesalan itu nggak ada, hidup kita bakal beda saat ini.

Apa yang bisa diambil dari buku ini jelas tergantung kepribadian dan sudut pandang diri kita sendiri. Buat gue pribadi, gue cuma berpikir untuk jalanin aja apa yang ada dan nggak perlu nyangkal segala penyesalan, gue juga jadi sadar kalau gue masih punya hal-hal yang ternyata pengen banget gue lakuin meskipun gue udah muak sama dunia ini. Just go, do it, i dont care if the world will drown me while i’m doing something i want. That’s it.

Despite all the mess the world gave to me or I created it myself, I realized that I still wanna do something. No matter how messed up my life is. Gue nggak mencoba untuk berpikir bahwa ‘dunia itu ternyata cukup baik, tinggal guenya aja yang bla bla’. Nggak. Tapi gue sadar ada hal yang berubah dari sudut pandang gue meskipun gue nggak terlalu yakin apa gue bisa nulisin itu di sini sejelas yang otak dan hati gue pahamin.

Gue kasih full stars alias 5 bintang buat The Midnight Library yang sukses bikin gue terombang-ambing di hidup orang lain. Highly recommended banget buat semua orang di dunia deh haha dan gue harap siapapun yang lagi struggling saat ini, bisa ambil sesuatu dari novel ini.

Soalnya, kita harus tetep hidup guys. Satu-satunya cara untuk belajar adalah tetap hidup. Kita nggak perlu ngerti soal kehidupan, kita cuma perlu hidup.

 

Cheers! See you on another review. Stay healthy and stay alive.

 

Quotes:

“Setiap langkah merupakan kesalahan, setiap keputusan menjadi bencana, setiap hari adalah satu langkah mundur dari sosok yang ia bayangkan bisa dicapainya.”

“Ia masuk ke Instagram dan melihat semua orang sudah berhasil menemukan cara untuk hidup, kecuali dirinya.”

“Dengan kesembronoan dan nasib sialku sendiri, dunia telah mundur dariku, jadi sekarang masuk akal kalau aku harus mundur dari dunia.”

“Ia sadar bahwa ia tidak berusaha mengakhiri hidupnya karena ia menderita, melainkan karena ia berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada jalan keluar dari penderitaannya.”

“Hidup dimulai dari sisi lain keputusasaan.” (Sartre).

 

Selasa, 22 Februari 2022

Cinta Segitiga + Friendzone di Nonversation (a review)

 

source: goodreads


 

Judul: Nonversation

Penulis: Valerie Patkar

Penerbit: Bhuana Sastra (2019)

Jumlah halaman: 348 hlm

Baca via: iPusnas

 

Bagai keluar dari kandang buaya, malah masuk ke kandang macan (ya ini ngarang aja g usah serius2). Ini adalah pikiran gue waktu selamat dari baca Claires, eh malah kejebak di Nonversation.

Sedikit pembukaan, dari dulu gue pengen baca novelnya Valerie. Claires yang judulnya menarik serta kover pink bikin gue penasaran. Tapi ternyata gue memutuskan kalau gue nggak sanggup baca cerita ini karena karakter Ares di 4 bab pertama, nggak ada bagus-bagusnya! Kasarnya, semua red flags ditunjukkin semua dah buset. Jadilah gue nggak tertarik untuk tau apa green flagsnya Ares sampe bisa dapetin Claire yang polos.

Tapi gue belum nyerah buat baca novelnya Valerie, minimal satu aja gitu, kenalan sama tulisannya. Lalu akhirnya Nonversation-lah yang tersedia di iPusnas.

Nothing was wrong when i read some first chapters of this book. Ceritanya tentang cinta segitiga dan friendzone sekaligus. Tetapi masalahnya, udah di-spoiler duluan di halaman awal sama penulisnya ke mana ceritanya akan berlabuh :D jadi buat apa gw baca gitu kan sebenernya tapi yodah.

Dua tokoh utama kita di Nonversation adalah Theala dan Dirga. Theala si anak baik yang naksir Trian dari SMA, tapi berakhir malah sahabatan sama Dirga sejak masuk kuliah di kampus yang sama. Dirga ini adalah playboy sekaligus temen Trian yang tobat dan hanya mencintai Theala sejak bertemu pertama kali entah karena apa gue juga ngga terlalu nangkep.

Dirga emang tobat dan sahabatan sama Theala, tapi dia tetep pura-pura brengsek aja biar Theala nggak nyadar perasaan Dirga, soalnya Dirga tau Theala sukanya sama Trian. Sembari tetep di samping Theala, panggil-panggil sayang, sampe skinship pun Theala nggak nyadar kalau Dirga naksir dia karena Dirga masih gonta-ganti cewek.

OK. Masuk ke gaya bahasanya, satu hal yang gue rasain pas baca ini adalah gue nggak bisa baca cepet. Ya, dari dulu gue termasuk orang yang bisa baca kalimat dengan cepet, tapi anehnya pas baca nonver gue jadi ngelag gitu loh, kayak hape yang kuotanya skarat. Harus bener-bener gue cerna dengan baik.

Gaya bahasanya agak-agak puitis, diksinya tuh kayak sengaja dibuat deep sehingga supaya pembaca baper. Gaya bahasa ditambah gaya hidup karakter-karakternya yang diceritain kadang bikin gue mikir ini kayak high society love story yang nggak mashok dibaca sama rakyat jelata kek gue. Kayak ketinggian aja gitu untuk bisa gue resapi T_T

Setiap bab awal ada puisi pendek. Setiap judul bab adalah gabungan dari dua kata bahasa inggris yang mana menurut gue idenya unik tapi beberapa ada gabungan yang i hope i didnt read it lmao.

POV di novel ini ada tiga orang; Dirga, Theala, dan Trian. Yang mana gue tegaskan sekali lagi, couple buku ini udah jelas siapa, mengapa harus ada pov Trian pun gue nggak tau juga.

Sedikit yang mengganggu gue di POV ini, gue kadang nggak tau siapa yang lagi bernarasi. Kadang narasi mereka tuh kayak curhat, kalo di sinetron tuh kayak suara pikiran tokoh yang kedengeran sama penonton.

Dan menurut gue semua narasi mereka nggak bisa gue bedain. Nuansa pikiran mereka sama semua, poetic semua, deep semua. Nggak ada ciri khas. Mana mereka ya seringnya kan ngobrol satu sama lain makanya kadang-kadang gue ilang fokus dan harus balik lagi ke atas buat mastiin ini pov siapa. Haha.

Masuk ke karakter, nggak ada satupun karakter yang gue suka di buku ini. Sorry to say. Theala cuma gadis baik biasa, loyal, punya trauma, lembut, yang diem aja dan sabar saat dilabrak mantan Dirga, ibu peri banget pokoknya.

Dirga si playboy yang doyan main cewek, hm apalagi ya, gatau mau deskripsiin dia apa? Bucin? Tulus? Pengertian? Gue nggak terlalu bisa menilai dia karena dia baiknya sama Theala doang dan teman-temannya. Both of them have daddy’s issues anyway.

Nah Trian nih gue bingung, dia bener-bener cuma tempelan doang di sini. Cuma kayak tokoh pembantu yang karakternya dibikin ngarang aja asal ada konflik dan kemajuan buat kedua tokoh utamanya. I felt bad for him. Sumpah di bagian karakterisasi Trian, gue beneran marah dan nggak terima sama penulisnya.

The plot: karena dari awal ke tengah gue bisa tahan baca novel ini, gue jadi nggak bisa buat DNF saat plot mulai nunjukin tanda-tanda trope yang paling gue benci. Tanggung. Sebenernya di plot inilah gue mulai turn off sama Nonversation.

I do like ‘love triangles’ trope or ‘friendzone’, in short, i like reading romance no matter what theme it has.

Tapi plot yang kayak gini? Big turn off and there was no way to go back. I had to finish what I started. Makanya gue bilang gue berasa selamat dari Claires tapi kejebak di Nonversation.

Penasaran plot seperti apa yang bikin gue turn off? Gih baca!

Yang jelas, gue bener-bener ngerasa Trian ternistakan banget haha. Poor Trian.

Memasuki puncak konflik ini pun, gue ngerasa ternyata Theala nggak sebaik yang gue pikirkan selama ini. Dia bersikap jahat dengan cara yang paling baik. Kalau Dirga nggak usah ditanya, a walking green flag just for Theala. Pokoknya cerita ini bener-bener nekenin kalau Dirga itu yang paling tepat dan paling benar dan paling sempurna untuk Theala!!

Tapi menurut gue, orang waras manapun pasti bakal liat duluan track record Dirga kayak gimana. Gue sendiri skeptis sama orang yang bisa tiba-tiba tobat karena jatuh cinta. Bisa jadi kalau udah bosen, ya liarnya kumat lagi. Yes, i didn’t trust Dirga. That is what i think, how ‘bout you?

So, dari tema cinta segitiga dan plotnya yang dikemas begini, cerita ini termasuk klasik dan mainstream menurut gue. Gue sangat amat berharap plotnya nggak akan nyeret-nyeret Trian sekejam ini sebenernya, he’s actually lovely, tapi yah..mau gimana.

Sebenernya masih banyak banget unek-unek gue soal Nonversation. Gue nulis ini H+3 setelah selesai baca, kalau gue nulisnya pas setelah selesai baca banget, dijamin ini bakal sampe 2000+ words dah haha.

Overall, hampir semua elemen di novel ini nggak gue suka. This book is definitely, 100%, not my cup of tea. Gue nggak cocok sama karakter-karakternya, ga cocok sama gaya hidup mereka, dan ga cocok sama plotnya. Kalau gaya bahasa masih bisa gue terima meskipun tetep merasa ada ketidakcocokan sama selera gue. Ceritanya terlalu biasa. Kehidupan sehari-hari yang membosankan. Endingnya ketebak dan not satisfying at all.

Hanya dua hal yang gue suka dari novel ini adalah kovernya dan judulnya yang menarik. Dah segitu aja. Anyway, gue tadinya berencana untuk menyudahi ‘pertemanan’ gue sama tulisan Valerie karena baru kenalan sama dua buku aja udah gini, tapi gue kayaknya agak berubah pikiran dan berharap bisa baca Luka Cita suatu saat nanti.

2 for Nonversation from me.

Cheers! Don’t forget to click follow/submit your email below! Have a nice day!

 

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)