Kamis, 12 Mei 2022

Toxic Masculinity dalam The Name of The Game karya Adelina Ayu (resensi)

 



source: google
 

Judul: The Name of The Game

Penulis: Adelina Ayu

Penerbit: Bhuana Sastra (2019)

Jumlah halaman: 331 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Sebenernya agak takut nulis ini karena gue liat-liat rating dan resensi novel TNoTG tuh tinggi dan bagus-bagus semua! Nggak, bukannya gue bakal nulis yang jelek cuma karna gue ngasih bintang tiga kok.

Tapi ini murni masalah selera. So, dont get me wrong. Gue cuma berasa berada di zona lain dari orang-orang normal haha.

Oke jadi The Name of The Game ini bertema Young Adult dengan Toxic Masculinity sebagai temanya. Isinya sendiri bercerita tentang tiga remaja kuliahan yang saling terpikat gitu deh.

Ada Flo, maba sastra Perancis UI yang naksir kakak tingkat jurusan mesin bernama Daryll (cowo yang maskulin) dan dia juga deket sama Zio (cowo yang feminin) kakak tingkatnya di jurusan arsitektur. Sementara itu, Daryll dan Zio ini punya love-hate-friendship sejak SMP.

Yang Flo nggak sadar adalah, Zio juga ternyata naksir dia. Yah, semacam cinta segitiga gitu deh.

Novel ini, bisa dibilang adalah buku tentang toxic masculinity versi fiksinya. Kalau kamu pengen baca dan memahami apa itu toxic masculinity dengan mudah, novel ini bakal kasih kamu jawaban selengkap buku paket sekolah. Plus, disuguhin cerita cinta juga. Paket komplit gak tuh?

And that is where it started. Saking mendidiknya, gue jadi nggak menemukan keseruan alurnya. Kayaknya nyaris semua paragraf, semua bab, bener-bener ngungkapin opini yang bagus tentang social issue yang emang anget banget khususnya di Indonesia.

Gue diajak membaca tentang perasaan Zio, cowok feminin yang meskipun feminin tapi dia tetep aja laki-laki. Dan nilainya sebagai laki-laki nggak berkurang. Gue diajak kenalan sama Daryll, yang bener-bener menghargai orang lain sesuai apa adanya, dan maskulinitas dirinya sendiri bukan karena dia dituntut untuk menjadi seperti itu.

Jangan tanya soal Flo, karena menurut gue dia terlalu fiksi. I mean...Flo satu-satunya cewek yang bisa nerima Zio dan nggak ilfeel, nggak ngatain bla bla. Hhe. I dont have any problem about her character tho. Ada sih satu scene di mana Flo bilang “warna pink kan buat cewek –cowok itu warna biru”, tapi cuma segitu aja, selebihnya dia sangat open minded lah ya.

Di sini gue sangattt amattt suka sama penulisan karakternya yang kuat. Khususnya buat Zio dan Daryll. Gue suka gimana cara penulis bikin posisi, ngeluapin perasaan, dan pikiran mereka lewat kata-kata. Semuanya pas dan terasa deep. Zio dan Daryll ini tokoh-tokoh yang konsisten ditulis.

Gue paling suka dengan identitas Zio yang suka banget vanilla, sementara Daryll yang suka milo, buku cerita anak, dan punya banyak hewan peliharaan. I’m so soft for them:”)

Just like what i said before, buku ini adalah buku yang mendidik dengan cara yang menyenangkan. Siapapun yang baca buku ini, gue yakin bakal ningkatin lagi kadar empati kalian terutama saat ngadepin sosok kayak Zio.

Wait, gue sebenernya agak sedikit bingung sama Zio. Dia nggak mau dikatain banci/bencong dan berpura-pura bisa nerima tapi kenapa ya dia malah sering pake bahasa banci? Apa itu choping mechanism-nya karena diejek terus? Idk. It just doesnt sit right with me.

Menurut gue cukup Zio jadi karakter yang kenal skincare, cara ngerawat diri, dan punya kesukaan yang beda sama apa-yang-orang-bilang-maskulin, tanpa perlu dia pake bahasa banci.

Satu hal yang bikin gue gak ‘match’ sama novel ini adalah dari segi alur dan konfliknya. Sejujurnya, gue kurang suka konflik yang nggak ‘bulet’. Dari awal sampe ngelewatin setengah buku, gue cuma diajak jalan-jalan mengenali karakter Zio dan Daryll lewat Flo dan belajar soal toxic masculinity itu sendiri.

Gue bahkan sampe lupa kalo cerita ini ada cinta segitiganya haha. Maka dari itu gue baca novel ini nyaris sepuluh harian lah. Karena gue nggak punya alasan untuk terus kepo sama apa yang terjadi selanjutnya. Sorry for saying this. Konfliknya nggak page-turner buat gue.

Belum lagi, menurut gue di novel ini terlalu banyak telling daripada showing-nya seolah-olah novel ini emang dibuat buat pure mengedukasi/menekankan banget pelajaran daripada menghibur (yang diselipi edukasi). Hal ini juga bikin gue sedikit turn-off karena berasa lagi didikte.

Tapi harus gue akui, cukup banyak quotes yang menampol. Kalau aja nggak terlalu gamblang, novel ini bakal deket banget ke perasaan gue kayak The Midnight Library-nya Matt Haig.

Bicara soal toxic masculinity-nya, gue juga menyaksikan langsung kejadian ini waktu gue kuliah. Nggak mau bilang gue si paling open minded, tapi gue bisa paham dan ngerti sama isu ini.

So, bukan hal baru bagi gue pas baca tema kayak gini. Tapi, gue tetep ngerasa seneng baca buku yang ngangkat isu sensitif ini dan berharap makin banyak yang baca novelnya!

Overall, menurut gue sebagai pembaca (terutama genre fav gue nomer satu itu fantasi) gue sangatt amat menilai sebuah novel dari segi alur dan konflik yang disajikannya duluan. Gue bahkan baca apa pun genre atau temanya asal alurnya seru buat diikutin.

Konflik soal Zio yang mempertanyakan ulang tentang dirinya sendiri (krisis identitas?) karena sosok maskulin Daryll yang disukai oleh cewek yang dia suka buat gue belum cukup untuk bikin gue menyukai alurnya. Sisanya, novel ini sangat amat layak dan high recommended buat dibaca.

The story was good but it was just not for me. So, i only gave 3 for The Name of The Game!

 Tertarik buat baca dan beli novel The Name of The Game? Psst hati-hati novel bajakan! Beli yang ori di sini!

p.s gue masih penasaran sama Daryll. Di awal dia keliatan jadi salah satu tokoh utama, tapi makin kebelakang justru dia kayak cuma figuran bagi kisah Flo dan Zio. Menurut gue, dia cuma kayak jadi pecutan untuk character development-nya Zio. Huhu. Sad.

Gue pengen baca kisah Daryll, tapi yang ada cuma cerita Andra dan Shaien. Not sure if i will read that book or not.

Dont forget to click follow button or submit your email below! See you on another review!

 

 

 

 

 

 


Progresnya Berapa Persen? by Soraya Nasution (resensi)




source: google



Judul: Progresnya Berapa Persen?

Penulis: Soraya Nasution

Penerbit: Elexmedia Komputindo (2019)

Jumlah halaman: 359 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Lagi, penasaran sama novel ini karena keracunan base di twitter haha. Seberapa kece sih si tokoh utama laki-laki di Progresnya Berapa Persen? sampe orang-orang banyak yang bucin?

Well, PBP? bertema office romance. Agak jarang sih baca tema ini, yang aku inget tuh pertama dan terakhir kali baca tema ini cuma Resign dan Ganjil-Genap punyanya Almira Bastari. Sekarang nyoba lagi dari penulis lain.

Ini pertama kalinya baca punya Soraya Nasution, kesan pertamanya, weh buseh, nyaris mirip sama Resign dari segi premisnya. Bos yang diem-diem naksir pegawainya. Si bos lempeng aja berasa lagi pdkt watados sementara si pegawai kebingungan sama tingkah si bos.

Meski premisnya mirip, tapi alur ceritanya tetep beda kok. Gue masih tetep penasaran sama sosok Dewangga si tokoh utama ini.

Secara garis besar, office romance ini termasuk yang slowburn dari sisi romance-nya. Di awal, yang banyak diceritain adalah keseharian para pegawai kantor di perusahaan. Meskipun gaya penulisannya enak buat diikutin, somehow gue ngerasa lagi masuk ke tongkrongan orang lain.

Banyak banget dialog sehari-hari, becanda, ngobrol biasa, yang kadang bikin gue mikir ini penting gak sih dimasukin ke novel. Karena gue mikirnya beberapa ada yang nggak perlu dan nggak ngaruh sama konfliknya sendiri.

Tapi karena konfliknya juga nggak terlalu keliatan, novel ini jadi kayak snack ringan yang bisa dibaca kalau lagi nggak ada kerjaan aja. Jadi gue mewajarkan aja deh banyak percakapan nggak penting.

Yang bikin gue suka sama novel ini adalah banyaknya kegiatan kantor yang dimasukin, detail soal pekerjaan konsultan bidang konstruksi. Meskipun gue nggak ngerti padahal udah ada catatan kaki tentang istilah-istilah teknik, tapi gue tetep aja suka baca novel yang membahas hal-hal baru buat gue. Anak teksip akan menyukai novel ini mungkin ya haha.

Lanjut soal karakter, di sini orangnya banyak, rame bener deh. Ada Pak Dewangga, April, Sheila, Kenzo, Naufal, Clinton, Adrinta, sama Ryan. Maap kalo ada yang kelewat. Untungnya, novel ini punya pov orang pertama April, jadi nggak terlalu pusing sama karakter-karakter lain.

Kalo mereka bilang mereka adalah circle yang paling bikin betah dan nyaman selama di kantor, gue sebagai pembaca yang ngintip obrolan dan keseharian mereka di kantor, mohon maaf untuk tidak setuju HAHA. Apa ya, menurut gue nggak ada yang menarik dari pertemanan mereka. biasa aja. Humornya juga gak banyak yang nyampe ke gue.

April sebagai tokoh utama pun menurut gue biasa aja. Nothing special. Lalu buat Pak Dewangga alias Pakde, menurut gue sama aja haha. Kalo bandingin sama Tigran sih, emang lebih creepy Tigran. Tapi entah kenapa gue nggak terlalu suka sama tipe-tipe kayak mereka, yang seolah-olah nggak mikirin posisi/perasaan partnernya dan tetep ngelancarin serangan pdkt.

Konfik baru dimulai saat Pakde mau deketin April, dan sekali lagi menurut gue alur konflik sampai ke penyelesaian nggak begitu menarik. Apalagi dengan ending yang udah kentara banget, makin bikin gue mikir nothing special with their relationship. No baper baper kayak yang orang lain bilang. Atau gue yang aneh aja kali y?

Overall, novel ini cocok dibaca bagi penggemar office romance yang asik, ringan, ngalir, dan nggak banyak drama. Nilai plus gue buat novel ini cuma terletak di kegiatan kantornya aja yang bikin gue punya insight baru. Sisanya, so-so lah. Not exciting alias biasa aja haha.

Gue baca ini cuma karna penasaran sama Pakde, turns out he’s flat. Tigran memang creepy, tapi karena tokoh ceweknya yang rempong dan abur-aburan, jadi Resign menurut gue lebih gereget. Nah PBP ini versi kalemnya lah.

Jadi, gue cuma ngasih 2.5 aja buat Progressnya Berapa Persen? Mungkin bakal baca karya Soraya Nasution yang lain kalau mungkin premisnya lebih menantang. Hehe. 

Mau koleksi novel ini? Jangan lupa beli yang ori! Klik link di sini!

Dont forget to click the follow button or submit your email below! See you on another review!

'Macet-macetan' di Ganjil-Genap karya Almira Bastari (resensi)

 

source: goodreads



Judul: Ganjil Genap

Penulis: Almira Bastari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 344 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Setelah sukaaa banget sama Resign! aku pengen banget baca lagi karyanya Almira Bastari. Tapi waktu itu lagi nggak mau baca wedding marathon, jadi pas Ganjil Genap terbit, tertarik dong, dan baru bisa baca sekarang.

Awal-awal baca ini auranya udah mirip Resign deh, kayaknya menyenangkan dan ngalir. Semangat banget bacanya walaupun nggak tau tokoh utamanya siapa.

Ganjil-Genap bercerita tentang Gala yang baru aja diputusin sama pacar 13 tahunnya yang bernama Bara. Katanya sih, Gala terlalu baik dan Bara sekarang mikir kalau Gala bukan orangnya, alias bukan orang yang tepat buat dinikahin Bara. Bah.

Sialnya, ternyata adik Gala yang bernama Gisha mau nikah juga. Masa ngeduluin kakaknya sih? Mana Gala juga tahun depan udah umur 30. Sasaran empuk banget buat jadi bulan-bulanan keluarga ga sih?

Makanya Gala mutusin untuk cari cowok baru yang kalau bisa bakal ditarik ke pelaminan sebelum keduluan Gisha. Seluruh isi novel inilah yang menceritakan perjuangan Gala buat nemuin pasangan baru.

Di awal, aku sempet gereget karena nggak tau siapa male lead di novel ini. Pas Gala ketemu satu cowok, eh gagal. Ketemu yang lain, gagal lagi. Gemes banget! Padahal kan aku pengen mulai nge-ship gitu haha.

Trus akhirnya ada satu cowok yang muncul terus-terusan, nah, kalau aku sebutin namanya, spoiler nggak ya? Pokoknya bilang aja si A. Dari setiap tragedi di hidup Gala, si A ini muncul terus. Sayangnya, aku kurang suka sama karakter si A.

A ini menurutku adalah red flag berjalan. Karakternya creepy, bikin ngeri-ngeri sedap lah. Touchy, gombal basi, posesif, arghh i caaant.

Trus karakter Gala sendiri, entah kenapa aku juga nggak begitu suka dia. Menurutku, dia flat, nggak ada uniknya meskipun kata Gala sih dia beda dari cewek-cewek lain. Ga tau deh di mana bedanya. Perasaan dia biasa aja.

Yang paling bikin aku nggak terlalu menikmati novel ini adalah konfliknya sendiri. Agak nggak terlalu masuk akal menurutku. Gatau ya kalau kalian ada yang pernah ngalamin ini. Aku sih, cant relate haha.

Gala ini nggak punya sedikitpun masalah selain jodoh. Hidupnya sempurna. Di poin ini, aku merasa ada yang nggak beres deh. Masa sih, nggak ada faktor lain gitu? Jadi bener-bener fokus cuma di cari jodoh aja.

Dia diputusin Bara setelah pacaran selama 13 tahun tapi nggak terlalu kerasa galaunya. Malah langsung cari cowok baru? Are you kidding me.. emang sih pas beberapa kali dikatakan kalau Gala keinget Bara mulu dan nangis pas ketemuan. But those were not enough for me.

Yang paling mengherankan, tiap Gala inget kelakuan Bara selama mereka pacaran tuh nggak ada bagus-bagusnya dah si Bara?? Cenderung sama-sama red flags kayak si A. Kok bisa mau pacaran sampe 13 tahun?

Menurutku, konfliknya agak gimana gitu. Emang sih banyak yang diomongin kalau nikah terlalu tua bagi cewek cuma aku tetep ngerasa aneh aja. Konteksnya kan Gala baru diputusin, harusnya bisa lebih perhatian lah, masa iya sampe segitunya nyari cowok demi nggak diduluin adik.

Pokoknyaaa, aku nggak sreg sama konfliknya. Kalaupun memang beneran ada yang kayak gini, paling aku cuma bisa heran aja deh, why are people so sick?

Terus, ternyata meskipun gaya bahasanya yang tetep asik kayak Resign, aku nggak seterhibur pas baca Resign sih. Humornya nggak sampe ke aku. Kisah pertemanan Gala juga biasa aja. Duh.

Dari awal sampe akhir ini novel biasa aja. Flat jadinya. Ditambah karakter A yang ew banget. Aku tadinya mutusin buat ngasih 2 bintang aja ke GG T_T

TAPI, thank God, eksekusinya bikin aku lega hahaha pokoknya baca aja deeeeh. Ending yang nggak aku sangka bakal dipake, udah tegang, udah mau ngasih 2 bintang, ehhh jadi naik ke 3.

Overall, aku tetep nggak terlalu suka GG sih. 2 bintang juga cuma karna ‘it was ok’. Boleh lah dibaca buat kalian yang mau tips cara mengatasi kejombloan, aku sih belum perlu. Nambah satu bintang lagi karena endingnya bagus. Dah segitu aja.

Dont forget to click follow button/submit your email! See you on the next review!

Minggu, 17 April 2022

Teenlit Campur Scifi di Dreamology by Lucy Keating (resensi)

Judul: Dreamology

Penulis: Lucy Keating

Alih Bahasa: Aline Tobing

Penerbit: Elex Media Komputindo (2018)

Jumlah halaman: 252 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Pertama kali liat Dreamology versi originalnya, aku langsung jatuh cinta sama cover-nya. Dari situ aku mutusin kalau aku harus bacaaa novel ini. Harusss. Mana judulnya juga unik banget. Pasti ceritanya kece. Iya, dulu bener-bener cuma tertarik sama judul dan cover tanpa tau itu ceritanya tentang apa haha.

Cover yang bikin aku jatuh cinta itu kayak gini:


source: goodreads


Bertahun-tahun kemudian, waktu lagi main ke Gramedia, aku nggak sengaja nemu si kuning kecil ini.


source: goodreads


Wait, what? Dreamology? Dreamology yang cover orinya cakep itu? Dan ternyata bener, Dreamology udah diterjemahin ke bahasa Indonesia. Tapi kok nggak terlalu hype ya. Diem-diem bae.

Dan setelah 4 tahun terbit versi Indonesianya, aku baru punya kesempatan untuk baca Dreamology sekarang. Ekspektasiku tuh, judul unik, cover cewek banget, sinopsis oke, wow pasti ceritanya ringan dan cute gitu kan. Ditambah lagi jumlah halaman yang nggak sampe 300! Semanget banget buat baca.

Ketika buka novelnya di hp, jederrr, ternyata font-nya juga ikutan cute T_T [mnelan ludah] bisa nggak ya baca? Bisa sih kayaknya, cuma teenlit..kan?

So, Dreamology bercerita tentang Alice yang setiap hari memimpikan anak cowok bernama Max. Di mimpinya, yang udah berjalan tahunan, Alice dan Max sekarang pacaran. Mereka udah akrab dan deket banget di dunia mimpi.

Lalu tiba-tiba Alice harus pindah ke rumah peninggalan neneknya dan tentu aja harus masuk ke sekolah baru. Yang mengejutkan Alice, di sekolah barunya dia malah ketemu sama Max. Max asli. Nyata. Versi dunia. Versi real-nya.

Kalau di dunia mimpi Max itu hangat dan baik hati, Max asli ini lebih dingin dan cenderung jauhin Alice. Seakan belum puas bikin Alice kaget, ternyata Max juga selama ini mimpiin Alice. Mereka berbagi mimpi yang sama dan saling mengingat satu sama lain.

Kok bisa..?

Well, kesan pertamaku pas lagi baca ini, awalnya aku bener-bener semangat karena masih mikir ini premis yang lucu dan unik. Kebayang kisah klise ala wattpad gitu cuma dikemas dengan lebih rapi. Dont get me wrong, aku suka baca cerita klise yang imut asalkan rapi aja sih dan gaya penulisannya juga enak.

Tapi justru yang aku alami adalah aku malah bosan. Mataku capek baca font kecil ini. Ditambah lagi narasinya yang menurutku terlalu ‘maksa’ supaya jadi asik tapi jatohnya malah aku hilang fokus tiap baca narasinya.

Menurut aku terjemahannya udah rapi sih, jadi kemungkinan yang bikin aku turn-off emang gaya bahasa si penulisnya sendiri. Aku nyelesain buku ini cukup lama, karena ngantuk terus tiap baca, malah aku yang anti selingkuh sama buku lain, jadi tergoda untuk selingkuh haha.

Salah satu ekspektasi aku yang lain adalah, aku kira novel ini cuma novel remaja biasa dengan bumbu sedikit fantasi karena kedua tokoh utamanya saling mimpiin satu sama lain. Ternyata aku salah, Dreamology bercerita tentang sains modern. Bisa dibilang ini ngebahas fiksi sains.

Untuk sci-finya, aku mungkin nggak akan bahas terlalu banyak, karena aku sendiri nggak ngerti HAHA apaan sih ga jelas banget, mau nangis tiap ngebahas sainsnya. Nggak masuk di logikaku, entah karena faktor font kecil yang bikin males atau gaya bahasa yang bikin pusing.

Intinya, fenomena Alice dan Max bisa dapet mimpi itu adalah karena mereka pernah diterapi waktu kecil, bersamaan, di tempat yang sama. Alice mimpi buruk terus karena satu hal, makanya dia mulai ngejalanin terapi. Dari situlah mimpi mengenai Max muncul, bisa dibilang, mimpiin Max adalah choping mechanism-nya Alice dari traumanya. Begitupun sebaliknya.

Konflik di novel ini adalah saat Alice dan Max ternyata sadar kalau mereka nggak bisa terus mertahanin mimpi ini, juga karena ternyata fenomena ini bisa membahayakan mereka. Dari situlah keduanya, dibantu Sophie dan Oliver, berencana untuk menghapus mimpi-mimpi itu selamanya.

Selain gaya bahasa yang nggak enak dibaca, aku sendiri nggak gitu srek sama kedua tokoh utama di novel ini. Mereka cuma remaja sih, remaja biasa. Wajar masih suka bingung, naif, plin-plan, ngedepanin emosi daripada logika. Sayangnya karena terlalu biasa inilah, aku nggak nemuin bagusnya apa.

Karakter keduanya nggak ngena di perasaanku. Jadi aku bener-bener baca ini murni karena pengen tau aja endingnya. Musnah sudah impianku buat baca cerita yang imut-imut. Karena menurutku, cerita remaja mereka (di luar bahas sains) nggak imut sama sekali. Nggak bikin senyam-senyum. Nggak ikutan baper. Cuma dua kata sih: flat abiz. Aku cuma beberapa kali nyengir, nggak sampe lima kali, itupun cuma dua detik aja, yang bahkan aku udah lupa di scene apa haha. Parah banget gue.

Overall, mungkin ini murni karena berekspektasi ketinggian, nggak baca review orang lain dulu (soalnya takut jadi males baca), Dreamology wasnt my cup of tea. Capek, bosen, ngantuk, nggak ada yang spesial, bab mimpi bikin puyeng karena mimpi mereka kebanyakan sureal/abstrak, eksekusi yang biasa aja, font kecil punnn. Bah.

Akhirnya aku cuma bisa kasih 2 buat Dreamology karena ide/premisnya yang unik dan menjanjikan serta cover-nya yang lucu. Segitu aja kesan-kesanku buat novel ini. Aku bersyukur banget nggak beli fisiknya hahaha.

Dont forget to click follow button/submit your email below! See you on another review!

 

 

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)