Sabtu, 23 September 2017

[RESENSI] Happiness by Fakhrisina Amalia



Judul: Happiness
Penulis: Fakhrisina Amalia
Penyunting: Rina Fatiha
Perancang Sampul: Teguh Tri Erdyan
Penerbit: Ice Cube/YARN – young adult realistic novel (2015)


Blurb:
“Berarti nggak masalah, dong, kalau Ceria masuk MIPA tapi ambil Biologi?”

“Bisa aja, sih. Tapi kalau kamu tanya Mama, tang banyak hitung-hitungannya itu lebih spesial. Nggak sembarang orang bisa, kan?”

Bagi Mama yang seorang dosen Matematika, hitung-hitungan itu spesial. Mama selalu membanding-bandingkan nilai rapor Ceria dengan Reina –anak tetangga sebelah yang pandai Matematika– tanpa melihat nilai Bahasa Inggris Ceria yang sempurna. Karena itu, sepanjang hidupnya Ceria memaksakan diri untuk menjadi seperti Reina. Agar Mama dan Papa bangga. Agar ia tak perlu lagi dibayang-bayangi kesuksesan Reina. Agar hidupnya bahagia. Ceria bahkan memilih berkuliah di jurusan Matematika tanpa menyadari ia telah melepaskan sesuatu yang benar-benar ia inginkan. Sesuatu yang membuat dirinya benar-benar bahagia.


Lima detik, izinkan aku menghembuskan napas panjang sebelum memulai resensi ini. Sejujurnya, aku udah nggak mau bahas novel ini, bukan! Bukan karena novel ini jelek, tapi karena aku terserang paranoid setelah bacanya HAHA.

Oke. Jadi, novel ini bercerita tentang Ceria yang tidak seceria namanya. Ceria nggak punya temen di sekolah, duduk di bangku belakang sendirian, dan Ceria paling nggak bisa yang namanya ngitung-ngitungan. Paling nggak bisa ilmu eksakta. Tapi dia sekarang ada di kelas Alam alias, kelas IPA.
Semuanya disebabkan oleh lingkup keluarganya. Mamanya seorang dosen Matematika, ayahnya yang meskipun dulu masuk jurusan IPS, tapi kuliahnya jadi akuntan serta abangnya yang masuk jurusan arsitektur. Kedua orangtuanya menuntut Ceria agar sama seperti mereka semua, terutama dengan cara terus membanding-bandingkan Ceria dengan teman satu kelasnya yang juga tetangga sebelah rumah bernama Reina yang sangat jago di bidang eksak.

Setiap hari, Ceria selalu dibantu belajar oleh abangnya, Farhan. Farhan adalah satu-satunya orang yang mengerti bahwa minat dan bakat Ceria tidak ada di bidang eksak, melainkan bahasa. Tapi Ceria bersikeras ingin membuktikan bahwa dirinya bisa, bahkan melampaui Reina, hingga Farhan tidak bisa menetang keputusan bulat adiknya dan hanya bisa membantunya.

Semua berubah ketika Farhan melakukan sesuatu yang dibenci oleh Ceria. Gadis itu menjauhi abangnya, dan mencoba belajar matematika sendirian. Tapi dia tidak bisa melakukannya bahkan setelah berusaha keras. Otaknya benar-benar tumpul ketika menghadapi rumus. Saat itu, munculah Doni, teman sekelasnya yang diam-diam perhatian kepada Ceria dan menawarkan bantuan.

Beberapa minggu menuju UN, Ceria rutin belajar bersama Doni pagi hari di kelas dan malamnya di rumah Ceria. Perjuangan Ceria yang bahkan sampai membuat Doni kewalahan karena lelah menunjukan hasil yang baik; Ceria mendapatkan nilai sempurna dalam UN-nya. Mengalahkan Reina. Orangtuanya sangat bangga padanya dan Ceria merasa ia sudah berhasil.

Namun, konflik lain muncul ketika ia kembali dipaksa untuk masuk jurusan Matematika saat kuliah. Ceria tidak mau, tapi dia masih terbayang euforia orangtuanya yang bahagia dengan hasil UN-nya dan memutuskan untuk mengambil jurusan Matematika. Farhan yang statusnya masih dimusuhi Ceria langsung menentang habis-habisan karena ia tahu, Ceria tidak akan mampu masuk jurusan Matematika.

Bahkan Doni sudah memperingatkannya: Matematika di kuliah beda sama Matematika di SMA. Tapi sayangnya Ceria tidak peduli, dia berpikir dia bisa jika mau lebih keras belajar. Orangtuanya mendukung seratus persen keputusan Ceria.

Hingga akhirnya setelah kembali privat bersama Doni, Ceria lolos di jurusan Matematika. Orangtuanya kembali bangga padanya, meski dia agak kecewa karena tidak bisa melihat hasil ujiannya, apalagi dengan Reina yang masuk universitas itu melalui jalur beasiswa tanpa tes.

Kehidupan Ceria saat mulai berkuliah jauh lebih parah dari sebelumnya. Masalahnya, dia sama sekali tidak mengerti apa yang dosennya bicarakan. Dia mual tiap kali melihat rumus-rumus di layar proyektor. Untuk mengerjakan tugas pun, Ceria masih memerlukan bantuan, sayangnya Farhan sibuk dengan tugasnya dan Doni juga, yang sekarang berkuliah di jurusan Teknik Informatika.

Kovernya menunjukan gambar seorang gadis yang terjatuh bebas, dan di situlah aku bisa merasakan bagaimana hancurnya Ceria ketika dia memutuskan untuk masuk di jurusan Matematika dan melupakan mimpinya di bidang Pariwisata serta Bahasa Inggris.

---

Matematika adalah hal yang Ceria benci, begitupula aku. Bahasa Inggris adalah hal yang Ceria sukai, tapi tidak denganku XD

Sejujurnya, novel ini adalah novel yang penuh dengan emosi dari awal sampai akhir. Aku bahkan sampai sudah membayangkan sepanjang apa resensiku nantinya, yang sedikit banyak menyelipkan curhatanku sepertinya hahaha.

Jadi, aku benar-benar benci orangtua tipe seperti ini, yang meskipun dalam dunia nyata, belum pernah kutemukan sama sekali .__. Tapi aku percaya mereka ada hahaha.

Selanjutnya, karena terlalu banyak unek-unek yang berhasil dimunculkan penulis di dalam otakku karena novel ini, aku memutuskan bikin poin-poin aja, takutnya kecampur aduk sama perasaanku yang gegana ini, jadinya malah berantakan XD

1)      Kover, Blurb dan Premis
Aku suka kovernyaaaaa! Sangat suka. Kontras sama judulnya, Happiness, dan bikin aku penasaran. Blurb, aku nggak tertarik sama sekali, karena premisnya jujur memang klise, tapi novel ini rekomen dari temenku, jadi aku baca. Mungkin untukku, dan terutama ini udah dua tahun kemudian, blurb seperti ini tidak menarik.

2)      Plot. Astaga. Suka. Banget. Memang premis yang sederhana bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa kalau penulisnya pintar membuat plot. Aku terhanyut dalam setiap alurnya, ikut merasa kesal, sedih, kecewa, marah, campur aduk deh pokoknya.
Ada 3 bagian yang paling membuatku mengeluarkan emosi: ketika Farhan ternyata (...), ketika Ceria mengaku kepada orangtuanya dan endingnya.

(Aku juga ingin memprotes satu bagian, maaf kalau kesannya agak pribadi hahaha, memangnya, gak ada universitas negeri yang bagus di Palangka Raya sampai-sampai Ceria harus masuk univ swasta? Padahal kan, tahun 2015 udah ada SNMPTN? Kalau perlu keluar Kalimantan kan bisa? Demi gak usah tes lagi? Atau sekalian aja, kalau Ceria emang segenius itu di bahasa sampai bisa studi banding, dia harusnya udah ditawarin beasiswa kayak Reina, dan dia bisa ambil itu tanpa perlu mikirin orangtuanya toh dia nggak dibayarin uang kuliah?)

3)      Jadi itulah yang aku kesalkan dari karakter Ceria (padahal, terserah penulisnya lah mau bikin karakter dia jadi kayak apa kan? Hahaha) aku benci Ceria nurut sama orangtuanya, aku benci keputusannya untuk membuat orangtuanya bangga dengan mengalahkan Reina dan masuk jurusan mtk bla bla.

Farhan: so far, dia adalah abang terbaik yang pernah ada. Dia yang paling mengerti dan mendukung Ceria setelah Doni. Farhan bahkan menurutku, adalah arti sesungguhnya dari judul yang dipilih oleh penulis. Karena memang banyak flashback dan pelajaran hidup ngena yang diambil ketika Farhan dan Ceria berbincang. Ada satu hal yang jelas bikin aku benci banget Farhan (yang katanya peduli banget sama Ceria) tapi malah melakukan sesuatu yang sangat amat dibenci Ceria, yang bahkan aku sendiri nggak terima dia bisa-bisanya lakuin itu. (fyi, aku baca adegan ini di dalem bus kota dan hampir teriak saking keselnya, untung bisa tahan hahahaha)

Orangtua: you know lah.

Doni: i love him. Dia satu-satunya karakter yang menurutku tanpa cela. Sabar banget ngadepin Ceria dan ngajarin dia. Idaman lah.

Reina: gak ada yang salah sama dia. Tapi karena Ceria selalu menggambarkan Reina sebagai sosok antagonis dalam hidupnya, aku juga jadi ikut kesel. Karena tentu aja aku ada di pihak pemeran utama, bagaimanapun juga. Dan ketika kita dibandingkan sama orang lain itu rasanya nyebelin setengah mati. Betul? Otomatis kita bakal jadi benci sama orang itu meski dia gak salah apa-apa.

4)      Penulisan. Nah, nah, di bagian ini agak disayangkan. Bukan berarti jelek, tapi aku merasa kurang variasi dalam pembentukan kalimat. Novel ini menggunakan penulisan yang simpel dan sangat mudah dicerna. Aku bahkan bisa sambil dengerin musik DAN NYANYI ketika baca novel ini tanpa sedikitpun kehilangan konsentrasi esensi ceritanya.
Alasan ini pula yang bisa membuatku tahan untuk tidak menangis sesedih apa pun aku ikut merasakan alurnya yang brilian.

Kecuali di bagian Ceria mengaku kepada orangtuanya, kalimat muntah, sesederhana itu tapi bisa bikin aku nangis kejer hahaha.

Ah ya, dan aku juga gak menyelipkan qoutes ya di resensi ini karena alasan yang sama. Memang ada beberapa yang secara umum masuk sebagai qoutes dan bermakna dalam juga, tapi menurutku pribadi terlalu biasa hehe.

So far, buku ini juga rapi dan bebas dari typo. Cuma nemu satu kata yang kelebihan huruf T, but its okay, aku gak ambil pusing dengan cara mengabaikannya dan nggak nyatet kalimat apa halaman berapa.

5)      Terakhir, bebas mau diskip apa mo dibaca. Curhatan doang sih hahaha. Yang jelas setelah membaca novel ini aku berharap nggak ada lagi kejadian orangtua yang suka otoriter sama anaknya, biarkan setiap anak menuju impiannya masing-masing tanpa terbebani.

Dan juga bagi para anak, emang ngelawan orangtua itu dosa ya dan durhaka, tapi kalau sampai kayak gini, kita gak bisa diem aja. Ayo bergerak sendiri, Tuhan pasti bantu kita, yakin itu. Jika orangtua gak ngerestuin, serahkan aja sama Tuhan. Kalau kita nantinya sukses, justru nanti orangtua kita bakal sadar dengan sendirinya. Jangan kayak Ceria yang demi bikin orangtuanya bangga dan berenti bandingin dia sama Reina, dia nyiksa dirinya sendiri. Juga karena kemungkinan aku ini termasuk jiwa pemberontak, makanya kesel aja Ceria bersikap kek gitu :)

Lalu, aku cukup paranoid ketika selesai membaca buku ini, terutama ketika Ceria harus menghadapi UTS dan UAS. Sejujurnya, aku salah satu yang merasa salah masuk jurusan hahaha. Aku kuliah jurusan Sastra Inggris, hal yang diinginkan Ceria (tambah ironi kan? hiks) dan kenyataan bahwa aku gak bisa berenti dari jurusan ini karena aku gak mungkin ngelepasin beasiswa.....hahaha. (inilah alasan kenapa aku gak mau bahas novel ini dan pengen cepet lupain Happiness, maaf kak Fakhrisina, bukannya nggak suka, tapi aku takut kebayang terus dan malah berdampak buruk buat kuliahkuL)

6)      Overall!! Wuuuhu! Aku SUKA BANGET ceritanya, feelnya, alurnya, kovernya, dan kukasih 4 bintang buat Happiness. Kenapa gak lima? Aku belum bahas ending kan? Nah, endingnya adalah bagian paling aku benci hahahaha. Aku gak rela. Aku gak terima. Aku gak suka. Jadi aku mau simpen satu bintangnya buatku sendiri, karena harus memikirkan endingnya untuk diriku sendiri. Sejujurnya, aku tuh gak bisa diginiin!! Tapi apa mau dikata hahahaha.

Panjang ya? Hehehe. Untuk novel yang bikin aku gereget sih, segini belum apa-apa. Tapi jariku juga butuh istirahat. Paling terakhir, ada funfact tentang aku dan penulis novel ini:


Kami sama-sama bersaing di lomba menulis Ellunar Publisher tahun 2015 tema Amnesia. Dulu aku belum tau Fakhrisina tuh siapa karena emang gak pernah denger novelnya. Ternyata setelah hasil pengumuman juara keluar, Kak Fakhrisina ini menang juara pertama dengan cerpennya yang berjudul Dear Lalita. Sementara aku keluar sebagai juara kedua dengan judul Nocturne Op.9 HEHE. Mulai dari situ, kepoin Kak Fakhrisina dan ternyata memang doi udah jadi penulis beneran! Baru kesampaian sekarang baca novel beliau. Sukses selalu untuk Kak Fakhrisina, salam kenal dari aku :)

[RESENSI] Crenshaw by Katherine Applegate

“Sahabat Beda Dunia”



Judul: Crenshaw
Penulis: Katherine Applegate
Penerjemah: Prisca Primasari
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Emi Kusmiati
Desain Cover: Agung Wulandana
Penerbit: Mizan Fantasi (Maret, 2017)
Jumlah halaman: 172 hlm.
ISBN: 978-602-61099-2-7


Blurb:

“Teman-teman khayalan tidak sembarangan muncul. Kami diundang. Kami akan tinggal selama yang diperlukan. Dan baru setelah itulah kami akan pergi.”

Jackson tahu ada yang salah dengan hidupnya, dengan hidup keluarganya. Dia dan adik perempuannya selalu merasa kelaparan. Ayah dan ibunya diam-diam bertengkar sepanjang waktu. Satu per satu barang di apartemen mereka raib. Puncaknya, muncul seekor kucing raksasa bernama Crenshaw, yang hanya bisa dilihat oleh Jackson.

Ya, Jackson tahu, Crenshaw adalah teman khayalannya yang telah lama menghilang. Crenshaw bilang, ia kembali karena Jackson memerlukan bantuannya. Tapi apakah bantuan dari seorang teman khayalan saja cukup untuk menyelamatkan keluarga Jackson dari kehilangan segalanya?


Ketika pertama kali memutuskan untuk menyukai novel ini dan ingin membacanya adalah karena kovernya! Aku suka warna dan gambarnya, dan entah kenapa ya, buku-buku fantasi Mizan itu wanginya enak. Wkwk. (perasaan doang kali ya)

Ketika membaca blurb, sejujurnya nggak terlalu tertarik, tapi karena ini fantasi dan aku sangat suka fantasi, jadi kupikir: okelah, mari kita baca.

Ternyata isinya memang nggak sesuai harapanku, meski nggak bisa dikatakan jelek. Novel ini bercerita tentang kehidupan Jackson dan keluarga miskinnya. Hidupnya sangat kesusahan sampai-sampai aku ikutan baper.

Setiap hari, Jackson dan adiknya kelaparan. Mereka biasa memainkan permainan sampai lapar itu menghilang. Lalu ketika ayah dan ibunya menyuruh mereka mengumpulkan barang-barang untuk diloakkan, bagaimana penulis menggambarkan Jackson yang baru kelas lima SD itu bersikap seolah-olah dia mampu menanggungnya, padahal tidak. Dia tidak mau kamarnya kosong, dia tidak mau menjual barang-barangnya.

Jujur itu membuatku nyesek. Penggambaran konflik batin Jackson sangat bisa kurasakan karena sedikit banyak aku juga pernah melalui hal-hal sulit seperti Jackson meski dalam situasi yang berbeda.
Terdapat banyak juga flashback, ketika pertama kali Crenshaw muncul ketika Jacks kelas satu SD. Jacks sempat tinggal di van selama empat belas minggu. Dan bagi siapa pun yang bacanya, termasuk aku, gak punya hati banget kalau nggak langsung bersyukur!

Novel ini mengandung banyak pelajaran berharga tentang pentingnya rasa syukur dan perjuangan. Walaupun terkadang di beberapa bagian aku mengutuk kedua orangtuanya hahahaha yang membuat hidup Jackson dan Robin, adiknya, sampai ikut menderita.

Tapi toh, orangtua mana yang mau anak-anaknya ikut menderita yes? Nggak ada. Setelah baca tentang bagian ayah Jacks yang menangis, aku ikut sedih.

Balik lagi soal fantasinya. Satu kata: kurang! Aku nggak puas dengan kehadiran Crenshaw yang cuma dijelaskan berselancar, mandi gelembung, dan selanjutnya ngobrol sama Jacks. Kurang keajaiban, kurang peran penting dari Crenshaw. Kucing raksasa itu cuma bilang kepada Jacks untuk berkata jujur. Dan setelah Jacks melakukannya.. Udah.

Jadi ya, aku merasa kehadiran Crenshaw nggak istimewa, tapi tetep aja aku jadi pengin punya temen khayalan. Dan endingnya pun nggak gereget, seperti yang sudah seharusnya terjadi. Tapi bikin lega.

Overall, aku kasih 3 bintang! Satu untuk kover, satu untuk si maskot karena kucing hewan kesukaanku, bintang terakhir untuk kisah Jackson yang memilukan. Ada yang perlu kisah inspirasi yang ringan? Aku merekomendasikan Crenshaw.


p.s jangan lupa sayangi ayah dan ibu :)

[RESENSI] Underwater by Marisa Reichardt

“Sometimes, the safest place to be is in underwater.”




Judul: Underwater
Penulis: Marisa Reichardt
Penerbit: Spring (2017)
Jumlah halaman: 329 hlm.

Blurb:
Memaafkanmu akan membuatku bisa memaafkan diriku sendiri

Morgan tidak bisa keluar dari pintu depan apartemennya, rumah yang dia tinggali bersama ibu dan adik laki-lakinya. Gadis itu merasa sedang berada di bawah air, tidak mampu naik ke permukaan, tidak mampu bertemu dengan teman-temannya, tidak mampu ke sekolah.

Saat Morgan kira dia tidak bisa menahan napasnya lebih lama lagi, seorang cowok pindah ke sebelah rumahnya. Evan mengingatkannya pada laut yang asin, dan semangat yang dia dapatkan dari berenang. Mungkin, Evan adalah bantuan yang dia butuhkan untuk terhubung kembali dengan dunia luar.....


Well, aku menyelesaikan novel ini dalam satu hari dan kesan yang kudapat dari novel ini adalah gereget luar biasa. Menjengkelkan dan menyenangkan dalam satu waktu. Underwater berkisah tentang seorang cewek bernama Morgan yang mengalami gangguan mental PTSD atau sindrom pasca trauma.

Dia menjadi jauh dengan dunia luar dan hanya dapat berdiam diri di dalam rumah. Sekolah online dan melakukan segala hal sendirian saat ibu dan adiknya pergi untuk ‘hidup’. Di bab awal, Evan Kokua sudah muncul, menawarkan ‘pertemanan’, tapi Morgan masih ragu. Selama keraguannya untuk membuat cerita ini lengkap karena hadirnya Evan, aku dibuat bosan setengah mati dengan kegiatan Morgan di rumahnya.

Seolah-olah aku ikut dikurung di dalam apartemennya, seolah aku berada di ruang sempit yang membuat napasku sesak. Marisa berhasil membuatku ikut terkurung bersama Morgan melalui bab-bab awal Underwater. Ini pujian, aku serius.

Meski kebosanan, aku nggak bisa berhenti membalik halaman novel ini, karena cerita lambat dan clue tentang konflik yang seolah jatuh satu-persatu seperti daun dari ketinggian 1000 meter membuatku penasaran setengah mati.

Berulang kali aku menghela napas dan memandangi kovernya, memandangi bookmarknya yang terdapat gambar pistol, kembali aku memoskuskan diri membaca novel ini. Sebegitulah niatku untuk menyelesaikannya dalam satu hari. Aku tidak tahan, Marisa membuatku tidak tahan dengan konflik yang disajikannya dan aku salut.

Underwater memakai sudut pandang orang pertama, Morgan. Untuk itu aku benar-benar dibawa ke bagaimana dia melalui masa-masa sulitnya, mencoba untuk baik-baik saja dengan meminum pil ketika serangan panik itu datang, serta melakukan hal-hal yang disuruh Brenda, psikiaternya, untuk membantu membuatnya sembuh.

Kehadiran Evan bukan hanya menjadi sesuatu yang ditunggu Morgan, tapi aku juga menunggunya. Rasanya lebih berwarna jika ada Evan, rasanya Morgan tidak terlalu aneh jika ada Evan. Hubungan mereka terutama ketika Morgan mengirim surat kepada Evan dan mengakui penyakitnya, membuat seolah-olah akulah yang sedang memberi surat itu pada Evan. Untuk urusan feel yang didapat, aku punya banyak bintang untuk Marisa. Aku suka dan tidak berhenti deg-degan.

Tapi aku kurang setuju dengan blurbnya yang mengatakan Evan membantunya terhubung dengan dunia luar. Menurutku, Brenda punya peran yang lebih besar dan dia yang membuat Morgan berani melakukan itu.

Lama-kelamaan, aku dibuat benci kepada Morgan. Mulai dari tingkahnya yang merasa Evan akan terbebani karena penyakitnya dan memutuskan menjauh, juga saat Brenda memberikan nasihat-nasihat kepada Morgan yang membuatku menyalahkan tingkah Morgan.

“Hanya karena mereka tampak baik-baik saja, bukan berarti mereka tidak terluka seperti dirimu.” – hlm. 180

Ditambah kehadiran Taylor, teman cewek Morgan di sekolah lamanya (yang sekarang ditutup akibat kejadian mengerikan Lima Belas Oktober) yang sekarang jadi teman satu sekolah Evan, kenyataan bahwa Taylor mempunyai bekas luka peluru akibat kejadian masa lalu itu dan tetap bertahan, membuatku makin tidak menyukai Morgan karena dia terlalu lemah.

Dia terpuruk dan trauma ketika orang-orang lain yang berada di lokasi kejadian memutuskan bertahan dan melanjutkan hidup, melupakan dan memaafkan.

Tapi ternyata tidak sesederhana itu, kekesalanku berubah menjadi keterkejutan yang amat sangat ketika aku membaca alasan dibalik traumanya Morgan. Brenda terkejut, aku juga. Kami sama-sama berkata: “Ya Tuhan.”

Yang jelas, setelah bosan, degdegan sambil tersenyum gila, lalu kesal, aku dibuat tidak bisa berkata-kata dengan konflik aslinya. Lalu tentang masa lalu keluarga Morgan, topik ayah kembali dibahas dan aku tidak bisa tidak mengeluarkan air mata.

Ibunya memang tidak terlalu mendapatkan peran di hatiku, tapi Ben, adik Morgan, benar-benar membuatku ingin melepaskan status anak bungsu demi memiliki adik semenggemaskan itu XD Aku suka bagaimana Marisa menyusun latar belakang keluarga Morgan dan itu sangat menyentuh :”

Sejauh ini aku benar-benar sulit menulis resensi tanpa spoiler. Yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana Morgan melalui masalahnya, bagaimana dia bertahan, dan selalu ada orang-orang yang mendukung, menyayangi dan mendampinginya ketika dia melewati semua itu.

Underwater mengajarkanku untuk bertahan dan tetap berjuang. Terlebih ketika banyak orang peduli yang mengelilingimu. Aku iri bagaimana Morgan berhubungan dengan semua orang-orang di dekatnya.
“Jika kau menjauhi seseorang terus-menerus, pada akhirnya orang-orang akan pergi!” – hlm 180
Aku bahkan merasa aneh sendiri ketika menyadari bahwa novel ini ditulis oleh satu orang, pikiran yang sama, tapi kenapa karakter Morgan begitu melekat seolah-olah dia tercipta karena kemauannya sendiri sementara Marisa berusaha mengubah itu dengan memunculkan Evan dan Brenda. #hala

Overall, aku fifty-fifty jika dibilang menyukai novel ini atau tidak. Romance antara Evan dan Morgan membuat wajahku memerah dengan sendirinya, hubungan Morgan dengan Aaron di masa lalu membuatku ngeri dan tegang, hubungan Morgan dan ayahnya (apalagi surat di akhir itu) membuatku menangis tersedu-sedu, tapi aku masih merasa ada yang hilang.

Efek tidak ada puncak klimaks? Aku nggak yakin sih, konflik utama penyebab Morgan trauma sudah terjadi beberapa bulan yang lalu dalam novel ini, dan diceritakan dengan flashback-flashback yang meskipun membuatku terkejut, tapi itu ... masa lalu ._.

Usaha penyembuhan Morgan memang heartwarming, tapi tetap saja aku perlu ‘tembakan pistol’ itu lebih nyata. HAHA.
Jadi aku kasih 3.5 dari 5 bintang untuk Underwater! Aku akan dengan sangat senang hati menunggu novel kedua Marisa Reichardt :)

Its time to qoutes:
“Aku mendengarkan desis mentega di wajah. Bunyi itu mengingatkanku betapa cepatnya hal-hal berubah. Satu detik kau utuh, detik berikutnya kau meleleh.” – hlm 11
“Hatimu memerlukan kenyamanan dan penghiburan. Berikan. Jangan menjadi korban, tapi jadilah penyintas.” – hlm 162
“Jangan bahas soal adil denganku. Hidup itu tidak adil.” – hlm 179
“Aku ingin membencimu, tapi membencimu tidak membawamu kemana-mana. Memaafkanmu akan menjadi awal sembuhku. Memaafkanmu akan membuatku memaafkan diri sendiri.” – hlm. 195
Bagian tersedih favoritku dari novel ini adalah surat dari Morgan untuk ayahnya. Aku hampir-hampir membasahi buku ini oleh air mataku yang tiba-tiba turun dengan sendirinya. Aku ingin menuliskan keseluruhannya karena memang tidak banyak, tapi kupikir, kalian harus membacanya sendiri. Harus!
“Aku selalu menyayangimu. Bahkan ketika rasanya sakit. Bahkan ketika kau tidak ada. Bahkan ketika aku cemas kau telah melupakan siapa diriku. Aku selalu menyayangimu.” – hlm 323

 p.s kalimat pembuka yang aku pakai berasal dari kover asli (atau versi mana lah gitu) dari Underwater, sayang sekali Spring melewatkan kalimat itu, padahal ngena banget. trus, jujur aku lebih suka kover Underwater yang ceweknya tiduran di sofa di bawah air (entah versi negara mana). Itu keren banget :)

Minggu, 17 September 2017

[RESENSI] The Rosie Project by Graeme Simsion




Judul: The Rosie Project
Penulis: Graeme Simsion
Alih bahasa: Dharmawati
Editor: Siska Yuanita
Desain sampul: emte
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2015)
ISBN: 978-602-03-2193-6


Blurb:

Cinta seharusnya bukan ilmu eksakta. Namun, tak ada yang pernah bilang begitu kepada Don Tillman, profesor genetika ganteng berumur 39 yang tak pernah mengalami kencan kedua. Maka, dia pun menciptakan Proyek Istri, suatu survei ilmiah untuk menemukan mitra hidup yang tepat.

Kemudian datanglah Rosie– “wanita yang paling tidak sesuai”. Tanpa dinyana, Rosie mampu mengguncang dunia Don yang aman dan teratur, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang mirip chaos.

Jadi, apakah gerangan perasaan asing yang menggelisahkan hati Don itu?


The Rosie Project adalah novel kedua yang aku dapat dari hasil Bookcrossing. Bagi yang belum tau bookcrossing itu apa, boleh mampir ke sini. XD

Seperti di blurb, novel ini bercerita tentang Don Tillman, seorang profesor genetika, hidupnya tergantung pada jadwal yang tertulis di whiteboard, selalu tepat waktu, tidak pernah menyia-nyiakan waktu dan bahkan menjadwalkan makanan yang sama setiap minggunya XD

Keadaan yang seperti itu membuatnya hanya punya sedikit teman; Gene, seorang dosen di departemen Psikologi dan istrinya, Claudia. Don bahkan sering dijuluki sebagai orang aneh, terlebih dengan ketidakmampuannya dalam berinteraksi sosial.

Suatu waktu, Don berpikir untuk menikah, tapi sayangnya dia tidak pernah mengalami kencan kedua karena di kencan pertama pun, selalu berakhir dengan tragis (read: ditinggalkan XD). Akhirnya dia memutuskan untuk membuat sebuah survei ilmiah bernama Proyek Istri. Kuesioner yang berisi pertanyaan konyol demi menemukan mitra hidup yang tepat.

Lalu, datanglah Rosie, atas usul dari Gene. Tapi Don bingung kenapa Gene menyuruh Rosie datang padanya, ketika Rosie sama sekali tidak sesuai dengan kuesioner yang telah dibuatnya. Kencan pertama bersama Rosie seharusnya berakhir seperti kencan-kencan sebelumnya, namun Rosie berbeda, dia mampu bertahan dengan Don sampai akhir kencan itu, dan bahkan mengacaukan beberapa jadwal Don.

Hingga dimulailah sebuah Proyek Ayah, Rosie menginginkan Don, yang seorang profesor genetika untuk menemukan ayah kandungnya. Berkali-kali mereka bertemu untuk membahas proyek itu, dan mengunjungi para kandidat ayah Rosie untuk mengambil sampel DNA-nya secara diam-diam. Tidak hanya sampai di situ, mereka bahkan mengejar kandidat sampai ke New York. Momen-momen bersama Rosie akhirnya membuat suatu perasaan aneh di hati Don, yang memporak-porandakan hidupnya.

---

Novel ini memakai sudut pandang orang pertama, yaitu Profesor Don Tillman. Di awal-awal bab, aku dibuat pusing dengan segala macam istilah sains dan memang gaya bahasa yang dipakai sangat berat. Untuk memahaminya saja aku perlu membaca beberapa kali XD

Tetapi ketika Rosie muncul, bahasa yang digunakan mulai agak mudah tercerna. Aku suka penyusunan narasinya, kalimatnya indah meski kadang butuh berpikir dua kali. Humor dalam cerita khususnya yang dilemparkan Rosie kepada Don (yang hidupnya serius banget itu) apalagi diceritakan dari sudut pandang si korban ledekan justru sangat menghibur.

Ide cerita yang disuguhkan juga unik, cerita ini memang romance tapi tidak sepenuhnya hanya perjuangan mencari cinta Don ataupun tentang pergulatan batin yang gak ada habisnya. Proyek Ayah serta petualangan Rosie dan Don berperan penting dalam membangun alur yang kuat dan konflik yang seru.

Aku suka bagaimana konflik membawa pertemuan-pertemuan untuk Don dan Rosie, bagaimana perlahan-lahan Rosie mengubah banyak hal pada diri Don. Don yang tidak bisa mencintai seseorang itu mulai menginginkan Rosie, membuat hal yang biasanya dia ucapkan dengan serius, ketika mengucapkan hal tentang cinta, membuatku langsung tersenyum (read: baper XD)

Makin akhir, pergulatan batin antar kedua tokoh mulai muncul. Don ingin mengubah dirinya untuk Rosie, tapi Rosie sendiri tidak bisa menerima Don karena Don tidak benar-benar mengerti apa itu cinta. Sempat dilanda frustrasi, Don membuatku ikut merasakan rasanya patah hati. Tapi justru monolognya sepanjang kepatah-hatian itu membawanya untuk bangkit lagi, menyatakan fakta bahwa dia telah jatuh cinta kepada Rosie.

Overall, aku sangaaat menyukai novel ini. Sedikit kemungkinan untuk novel terjemahan mengecewakanku. Mulai dari gaya bahasa yang memang berat, tapi aku suka dan menikmatinya. Makin sulit dimengerti makin seru XD, ide cerita yang unik, tokoh Don yang bikin gemes, Rosie yang ‘berantakan’ tapi menarik, hingga ilmu-ilmu kegenetikaan yang lumayan bisa aku dipelajari. Pokoknya, aku suka semua aspek yang ada di novel ini!

Dan sejujurnya, aku hampir-hampir nggak ngerti endingnya, kaget pas buka halaman selanjutnya udah bab ucapan terima kasih wkwk. Butuh hampir lima menit buat mengerti ending tentang teka-teki ayah kandung Rosie dan itu bikin aku ketawain diri sendiri saking lemotnya XD

Oh ya, novel ini termasuk novel dewasa, memang mungkin nggak ada adegan dewasa atau apa, tapi dilihat dari narasi, dialog dan kebudayaan orang luar, novel ini cukup mencantumkan bahasa yang vulgar. Buat adek-adek gemes jangan dulu baca yang beginian deh XD

Terakhir, 4.5 bintang buat kuesioner ajaibnya Don! 0.5 kurangnya buat otakku yang hampir meledak berusaha memahami narasi dan beberapa typo menuju ending. Membaca novel ini membuatku ingin kenal dengan orang aneh macam Don XD aku juga mencoba kuesioner ciptaan Don di halaman belakang buku, dan hasilnya aku gak cocok sama Don, tapi masih lebih nggak cocok Rosie, sih XD

Qoutes:

Sebenarnya banyak kalimat yang ingin aku jadikan qoutes, tapi aku gak bisa berenti baca buku ini untuk nyatet qoute XD

“Sepertinya semua yang pernah kulakukan seumur hidupku mengarahkan jalanku kemari, kepadamu.” – hlm 320
“Apa pun modifikasi perilaku yang kau butuhkan dariku merupakan perubahan sepele demi bisa mendapatkanmu sebagai pasanganku.” – hlm 321

*mimisan* XD
Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)