Judul: Underwater
Penulis: Marisa Reichardt
Penerbit: Spring (2017)
Jumlah halaman: 329 hlm.
Blurb:
Memaafkanmu
akan membuatku bisa memaafkan diriku sendiri
Morgan
tidak bisa keluar dari pintu depan apartemennya, rumah yang dia tinggali
bersama ibu dan adik laki-lakinya. Gadis itu merasa sedang berada di bawah air,
tidak mampu naik ke permukaan, tidak mampu bertemu dengan teman-temannya, tidak
mampu ke sekolah.
Saat
Morgan kira dia tidak bisa menahan napasnya lebih lama lagi, seorang cowok
pindah ke sebelah rumahnya. Evan mengingatkannya pada laut yang asin, dan
semangat yang dia dapatkan dari berenang. Mungkin, Evan adalah bantuan yang dia
butuhkan untuk terhubung kembali dengan dunia luar.....
Well, aku menyelesaikan novel ini dalam satu hari dan kesan
yang kudapat dari novel ini adalah gereget luar biasa. Menjengkelkan dan
menyenangkan dalam satu waktu. Underwater berkisah tentang seorang cewek
bernama Morgan yang mengalami gangguan mental PTSD atau sindrom pasca trauma.
Dia menjadi jauh dengan dunia luar dan hanya dapat berdiam
diri di dalam rumah. Sekolah online dan melakukan segala hal sendirian saat ibu
dan adiknya pergi untuk ‘hidup’. Di bab awal, Evan Kokua sudah muncul,
menawarkan ‘pertemanan’, tapi Morgan masih ragu. Selama keraguannya untuk
membuat cerita ini lengkap karena hadirnya Evan, aku dibuat bosan setengah mati
dengan kegiatan Morgan di rumahnya.
Seolah-olah aku ikut dikurung di dalam apartemennya, seolah
aku berada di ruang sempit yang membuat napasku sesak. Marisa berhasil
membuatku ikut terkurung bersama Morgan melalui bab-bab awal Underwater. Ini
pujian, aku serius.
Meski kebosanan, aku nggak bisa berhenti membalik halaman
novel ini, karena cerita lambat dan clue tentang konflik yang seolah jatuh
satu-persatu seperti daun dari ketinggian 1000 meter membuatku penasaran
setengah mati.
Berulang kali aku menghela napas dan memandangi kovernya,
memandangi bookmarknya yang terdapat gambar pistol, kembali aku memoskuskan
diri membaca novel ini. Sebegitulah niatku untuk menyelesaikannya dalam satu
hari. Aku tidak tahan, Marisa membuatku tidak tahan dengan konflik yang
disajikannya dan aku salut.
Underwater memakai sudut pandang orang pertama, Morgan.
Untuk itu aku benar-benar dibawa ke bagaimana dia melalui masa-masa sulitnya,
mencoba untuk baik-baik saja dengan meminum pil ketika serangan panik itu
datang, serta melakukan hal-hal yang disuruh Brenda, psikiaternya, untuk
membantu membuatnya sembuh.
Kehadiran Evan bukan hanya menjadi sesuatu yang ditunggu
Morgan, tapi aku juga menunggunya. Rasanya lebih berwarna jika ada Evan,
rasanya Morgan tidak terlalu aneh jika ada Evan. Hubungan mereka terutama
ketika Morgan mengirim surat kepada Evan dan mengakui penyakitnya, membuat
seolah-olah akulah yang sedang memberi surat itu pada Evan. Untuk urusan feel
yang didapat, aku punya banyak bintang untuk Marisa. Aku suka dan tidak
berhenti deg-degan.
Tapi aku kurang setuju dengan blurbnya yang mengatakan Evan
membantunya terhubung dengan dunia luar. Menurutku, Brenda punya peran yang
lebih besar dan dia yang membuat Morgan berani melakukan itu.
Lama-kelamaan, aku dibuat benci kepada Morgan. Mulai dari
tingkahnya yang merasa Evan akan terbebani karena penyakitnya dan memutuskan
menjauh, juga saat Brenda memberikan nasihat-nasihat kepada Morgan yang
membuatku menyalahkan tingkah Morgan.
“Hanya karena mereka tampak baik-baik saja, bukan berarti mereka tidak terluka seperti dirimu.” – hlm. 180
Ditambah kehadiran Taylor, teman cewek Morgan di sekolah
lamanya (yang sekarang ditutup akibat kejadian mengerikan Lima Belas Oktober)
yang sekarang jadi teman satu sekolah Evan, kenyataan bahwa Taylor mempunyai
bekas luka peluru akibat kejadian masa lalu itu dan tetap bertahan, membuatku
makin tidak menyukai Morgan karena dia terlalu lemah.
Dia terpuruk dan trauma ketika orang-orang lain yang berada
di lokasi kejadian memutuskan bertahan dan melanjutkan hidup, melupakan dan
memaafkan.
Tapi ternyata tidak sesederhana itu, kekesalanku berubah
menjadi keterkejutan yang amat sangat ketika aku membaca alasan dibalik
traumanya Morgan. Brenda terkejut, aku juga. Kami sama-sama berkata: “Ya
Tuhan.”
Yang jelas, setelah bosan, degdegan sambil tersenyum gila,
lalu kesal, aku dibuat tidak bisa berkata-kata dengan konflik aslinya. Lalu
tentang masa lalu keluarga Morgan, topik ayah kembali dibahas dan aku tidak
bisa tidak mengeluarkan air mata.
Ibunya memang tidak terlalu mendapatkan peran di hatiku,
tapi Ben, adik Morgan, benar-benar membuatku ingin melepaskan status anak
bungsu demi memiliki adik semenggemaskan itu XD Aku suka bagaimana Marisa
menyusun latar belakang keluarga Morgan dan itu sangat menyentuh :”
Sejauh ini aku benar-benar sulit menulis resensi tanpa
spoiler. Yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana Morgan melalui masalahnya,
bagaimana dia bertahan, dan selalu ada orang-orang yang mendukung, menyayangi
dan mendampinginya ketika dia melewati semua itu.
Underwater mengajarkanku untuk bertahan dan tetap berjuang.
Terlebih ketika banyak orang peduli yang mengelilingimu. Aku iri bagaimana
Morgan berhubungan dengan semua orang-orang di dekatnya.
“Jika kau menjauhi seseorang terus-menerus, pada akhirnya orang-orang akan pergi!” – hlm 180
Aku bahkan merasa aneh sendiri ketika menyadari bahwa novel
ini ditulis oleh satu orang, pikiran yang sama, tapi kenapa karakter Morgan
begitu melekat seolah-olah dia tercipta karena kemauannya sendiri sementara
Marisa berusaha mengubah itu dengan memunculkan Evan dan Brenda. #hala
Overall, aku fifty-fifty
jika dibilang menyukai novel ini atau tidak. Romance antara Evan dan Morgan
membuat wajahku memerah dengan sendirinya, hubungan Morgan dengan Aaron di masa
lalu membuatku ngeri dan tegang, hubungan Morgan dan ayahnya (apalagi surat di
akhir itu) membuatku menangis tersedu-sedu, tapi aku masih merasa ada yang
hilang.
Efek tidak ada puncak klimaks? Aku nggak yakin sih, konflik
utama penyebab Morgan trauma sudah terjadi beberapa bulan yang lalu dalam novel
ini, dan diceritakan dengan flashback-flashback
yang meskipun membuatku terkejut, tapi itu ... masa lalu ._.
Usaha penyembuhan Morgan memang heartwarming, tapi tetap
saja aku perlu ‘tembakan pistol’ itu lebih nyata. HAHA.
Jadi aku kasih 3.5 dari 5 bintang untuk Underwater! Aku
akan dengan sangat senang hati menunggu novel kedua Marisa Reichardt :)
Its
time to qoutes:
“Aku mendengarkan desis mentega di wajah. Bunyi itu mengingatkanku betapa cepatnya hal-hal berubah. Satu detik kau utuh, detik berikutnya kau meleleh.” – hlm 11
“Hatimu memerlukan kenyamanan dan penghiburan. Berikan. Jangan menjadi korban, tapi jadilah penyintas.” – hlm 162
“Jangan bahas soal adil denganku. Hidup itu tidak adil.” – hlm 179
“Aku ingin membencimu, tapi membencimu tidak membawamu kemana-mana. Memaafkanmu akan menjadi awal sembuhku. Memaafkanmu akan membuatku memaafkan diri sendiri.” – hlm. 195
Bagian tersedih favoritku dari novel ini adalah surat dari
Morgan untuk ayahnya. Aku hampir-hampir membasahi buku ini oleh air mataku yang
tiba-tiba turun dengan sendirinya. Aku ingin menuliskan keseluruhannya karena
memang tidak banyak, tapi kupikir, kalian harus membacanya sendiri. Harus!
“Aku selalu menyayangimu. Bahkan ketika rasanya sakit. Bahkan ketika kau tidak ada. Bahkan ketika aku cemas kau telah melupakan siapa diriku. Aku selalu menyayangimu.” – hlm 323
p.s kalimat pembuka yang aku pakai berasal dari kover asli (atau versi mana lah gitu) dari Underwater, sayang sekali Spring melewatkan kalimat itu, padahal ngena banget. trus, jujur aku lebih suka kover Underwater yang ceweknya tiduran di sofa di bawah air (entah versi negara mana). Itu keren banget :)
0 komentar:
Posting Komentar