Sabtu, 23 September 2017

[RESENSI] Underwater by Marisa Reichardt

“Sometimes, the safest place to be is in underwater.”




Judul: Underwater
Penulis: Marisa Reichardt
Penerbit: Spring (2017)
Jumlah halaman: 329 hlm.

Blurb:
Memaafkanmu akan membuatku bisa memaafkan diriku sendiri

Morgan tidak bisa keluar dari pintu depan apartemennya, rumah yang dia tinggali bersama ibu dan adik laki-lakinya. Gadis itu merasa sedang berada di bawah air, tidak mampu naik ke permukaan, tidak mampu bertemu dengan teman-temannya, tidak mampu ke sekolah.

Saat Morgan kira dia tidak bisa menahan napasnya lebih lama lagi, seorang cowok pindah ke sebelah rumahnya. Evan mengingatkannya pada laut yang asin, dan semangat yang dia dapatkan dari berenang. Mungkin, Evan adalah bantuan yang dia butuhkan untuk terhubung kembali dengan dunia luar.....


Well, aku menyelesaikan novel ini dalam satu hari dan kesan yang kudapat dari novel ini adalah gereget luar biasa. Menjengkelkan dan menyenangkan dalam satu waktu. Underwater berkisah tentang seorang cewek bernama Morgan yang mengalami gangguan mental PTSD atau sindrom pasca trauma.

Dia menjadi jauh dengan dunia luar dan hanya dapat berdiam diri di dalam rumah. Sekolah online dan melakukan segala hal sendirian saat ibu dan adiknya pergi untuk ‘hidup’. Di bab awal, Evan Kokua sudah muncul, menawarkan ‘pertemanan’, tapi Morgan masih ragu. Selama keraguannya untuk membuat cerita ini lengkap karena hadirnya Evan, aku dibuat bosan setengah mati dengan kegiatan Morgan di rumahnya.

Seolah-olah aku ikut dikurung di dalam apartemennya, seolah aku berada di ruang sempit yang membuat napasku sesak. Marisa berhasil membuatku ikut terkurung bersama Morgan melalui bab-bab awal Underwater. Ini pujian, aku serius.

Meski kebosanan, aku nggak bisa berhenti membalik halaman novel ini, karena cerita lambat dan clue tentang konflik yang seolah jatuh satu-persatu seperti daun dari ketinggian 1000 meter membuatku penasaran setengah mati.

Berulang kali aku menghela napas dan memandangi kovernya, memandangi bookmarknya yang terdapat gambar pistol, kembali aku memoskuskan diri membaca novel ini. Sebegitulah niatku untuk menyelesaikannya dalam satu hari. Aku tidak tahan, Marisa membuatku tidak tahan dengan konflik yang disajikannya dan aku salut.

Underwater memakai sudut pandang orang pertama, Morgan. Untuk itu aku benar-benar dibawa ke bagaimana dia melalui masa-masa sulitnya, mencoba untuk baik-baik saja dengan meminum pil ketika serangan panik itu datang, serta melakukan hal-hal yang disuruh Brenda, psikiaternya, untuk membantu membuatnya sembuh.

Kehadiran Evan bukan hanya menjadi sesuatu yang ditunggu Morgan, tapi aku juga menunggunya. Rasanya lebih berwarna jika ada Evan, rasanya Morgan tidak terlalu aneh jika ada Evan. Hubungan mereka terutama ketika Morgan mengirim surat kepada Evan dan mengakui penyakitnya, membuat seolah-olah akulah yang sedang memberi surat itu pada Evan. Untuk urusan feel yang didapat, aku punya banyak bintang untuk Marisa. Aku suka dan tidak berhenti deg-degan.

Tapi aku kurang setuju dengan blurbnya yang mengatakan Evan membantunya terhubung dengan dunia luar. Menurutku, Brenda punya peran yang lebih besar dan dia yang membuat Morgan berani melakukan itu.

Lama-kelamaan, aku dibuat benci kepada Morgan. Mulai dari tingkahnya yang merasa Evan akan terbebani karena penyakitnya dan memutuskan menjauh, juga saat Brenda memberikan nasihat-nasihat kepada Morgan yang membuatku menyalahkan tingkah Morgan.

“Hanya karena mereka tampak baik-baik saja, bukan berarti mereka tidak terluka seperti dirimu.” – hlm. 180

Ditambah kehadiran Taylor, teman cewek Morgan di sekolah lamanya (yang sekarang ditutup akibat kejadian mengerikan Lima Belas Oktober) yang sekarang jadi teman satu sekolah Evan, kenyataan bahwa Taylor mempunyai bekas luka peluru akibat kejadian masa lalu itu dan tetap bertahan, membuatku makin tidak menyukai Morgan karena dia terlalu lemah.

Dia terpuruk dan trauma ketika orang-orang lain yang berada di lokasi kejadian memutuskan bertahan dan melanjutkan hidup, melupakan dan memaafkan.

Tapi ternyata tidak sesederhana itu, kekesalanku berubah menjadi keterkejutan yang amat sangat ketika aku membaca alasan dibalik traumanya Morgan. Brenda terkejut, aku juga. Kami sama-sama berkata: “Ya Tuhan.”

Yang jelas, setelah bosan, degdegan sambil tersenyum gila, lalu kesal, aku dibuat tidak bisa berkata-kata dengan konflik aslinya. Lalu tentang masa lalu keluarga Morgan, topik ayah kembali dibahas dan aku tidak bisa tidak mengeluarkan air mata.

Ibunya memang tidak terlalu mendapatkan peran di hatiku, tapi Ben, adik Morgan, benar-benar membuatku ingin melepaskan status anak bungsu demi memiliki adik semenggemaskan itu XD Aku suka bagaimana Marisa menyusun latar belakang keluarga Morgan dan itu sangat menyentuh :”

Sejauh ini aku benar-benar sulit menulis resensi tanpa spoiler. Yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana Morgan melalui masalahnya, bagaimana dia bertahan, dan selalu ada orang-orang yang mendukung, menyayangi dan mendampinginya ketika dia melewati semua itu.

Underwater mengajarkanku untuk bertahan dan tetap berjuang. Terlebih ketika banyak orang peduli yang mengelilingimu. Aku iri bagaimana Morgan berhubungan dengan semua orang-orang di dekatnya.
“Jika kau menjauhi seseorang terus-menerus, pada akhirnya orang-orang akan pergi!” – hlm 180
Aku bahkan merasa aneh sendiri ketika menyadari bahwa novel ini ditulis oleh satu orang, pikiran yang sama, tapi kenapa karakter Morgan begitu melekat seolah-olah dia tercipta karena kemauannya sendiri sementara Marisa berusaha mengubah itu dengan memunculkan Evan dan Brenda. #hala

Overall, aku fifty-fifty jika dibilang menyukai novel ini atau tidak. Romance antara Evan dan Morgan membuat wajahku memerah dengan sendirinya, hubungan Morgan dengan Aaron di masa lalu membuatku ngeri dan tegang, hubungan Morgan dan ayahnya (apalagi surat di akhir itu) membuatku menangis tersedu-sedu, tapi aku masih merasa ada yang hilang.

Efek tidak ada puncak klimaks? Aku nggak yakin sih, konflik utama penyebab Morgan trauma sudah terjadi beberapa bulan yang lalu dalam novel ini, dan diceritakan dengan flashback-flashback yang meskipun membuatku terkejut, tapi itu ... masa lalu ._.

Usaha penyembuhan Morgan memang heartwarming, tapi tetap saja aku perlu ‘tembakan pistol’ itu lebih nyata. HAHA.
Jadi aku kasih 3.5 dari 5 bintang untuk Underwater! Aku akan dengan sangat senang hati menunggu novel kedua Marisa Reichardt :)

Its time to qoutes:
“Aku mendengarkan desis mentega di wajah. Bunyi itu mengingatkanku betapa cepatnya hal-hal berubah. Satu detik kau utuh, detik berikutnya kau meleleh.” – hlm 11
“Hatimu memerlukan kenyamanan dan penghiburan. Berikan. Jangan menjadi korban, tapi jadilah penyintas.” – hlm 162
“Jangan bahas soal adil denganku. Hidup itu tidak adil.” – hlm 179
“Aku ingin membencimu, tapi membencimu tidak membawamu kemana-mana. Memaafkanmu akan menjadi awal sembuhku. Memaafkanmu akan membuatku memaafkan diri sendiri.” – hlm. 195
Bagian tersedih favoritku dari novel ini adalah surat dari Morgan untuk ayahnya. Aku hampir-hampir membasahi buku ini oleh air mataku yang tiba-tiba turun dengan sendirinya. Aku ingin menuliskan keseluruhannya karena memang tidak banyak, tapi kupikir, kalian harus membacanya sendiri. Harus!
“Aku selalu menyayangimu. Bahkan ketika rasanya sakit. Bahkan ketika kau tidak ada. Bahkan ketika aku cemas kau telah melupakan siapa diriku. Aku selalu menyayangimu.” – hlm 323

 p.s kalimat pembuka yang aku pakai berasal dari kover asli (atau versi mana lah gitu) dari Underwater, sayang sekali Spring melewatkan kalimat itu, padahal ngena banget. trus, jujur aku lebih suka kover Underwater yang ceweknya tiduran di sofa di bawah air (entah versi negara mana). Itu keren banget :)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)