Sabtu, 23 September 2017

[RESENSI] Happiness by Fakhrisina Amalia



Judul: Happiness
Penulis: Fakhrisina Amalia
Penyunting: Rina Fatiha
Perancang Sampul: Teguh Tri Erdyan
Penerbit: Ice Cube/YARN – young adult realistic novel (2015)


Blurb:
“Berarti nggak masalah, dong, kalau Ceria masuk MIPA tapi ambil Biologi?”

“Bisa aja, sih. Tapi kalau kamu tanya Mama, tang banyak hitung-hitungannya itu lebih spesial. Nggak sembarang orang bisa, kan?”

Bagi Mama yang seorang dosen Matematika, hitung-hitungan itu spesial. Mama selalu membanding-bandingkan nilai rapor Ceria dengan Reina –anak tetangga sebelah yang pandai Matematika– tanpa melihat nilai Bahasa Inggris Ceria yang sempurna. Karena itu, sepanjang hidupnya Ceria memaksakan diri untuk menjadi seperti Reina. Agar Mama dan Papa bangga. Agar ia tak perlu lagi dibayang-bayangi kesuksesan Reina. Agar hidupnya bahagia. Ceria bahkan memilih berkuliah di jurusan Matematika tanpa menyadari ia telah melepaskan sesuatu yang benar-benar ia inginkan. Sesuatu yang membuat dirinya benar-benar bahagia.


Lima detik, izinkan aku menghembuskan napas panjang sebelum memulai resensi ini. Sejujurnya, aku udah nggak mau bahas novel ini, bukan! Bukan karena novel ini jelek, tapi karena aku terserang paranoid setelah bacanya HAHA.

Oke. Jadi, novel ini bercerita tentang Ceria yang tidak seceria namanya. Ceria nggak punya temen di sekolah, duduk di bangku belakang sendirian, dan Ceria paling nggak bisa yang namanya ngitung-ngitungan. Paling nggak bisa ilmu eksakta. Tapi dia sekarang ada di kelas Alam alias, kelas IPA.
Semuanya disebabkan oleh lingkup keluarganya. Mamanya seorang dosen Matematika, ayahnya yang meskipun dulu masuk jurusan IPS, tapi kuliahnya jadi akuntan serta abangnya yang masuk jurusan arsitektur. Kedua orangtuanya menuntut Ceria agar sama seperti mereka semua, terutama dengan cara terus membanding-bandingkan Ceria dengan teman satu kelasnya yang juga tetangga sebelah rumah bernama Reina yang sangat jago di bidang eksak.

Setiap hari, Ceria selalu dibantu belajar oleh abangnya, Farhan. Farhan adalah satu-satunya orang yang mengerti bahwa minat dan bakat Ceria tidak ada di bidang eksak, melainkan bahasa. Tapi Ceria bersikeras ingin membuktikan bahwa dirinya bisa, bahkan melampaui Reina, hingga Farhan tidak bisa menetang keputusan bulat adiknya dan hanya bisa membantunya.

Semua berubah ketika Farhan melakukan sesuatu yang dibenci oleh Ceria. Gadis itu menjauhi abangnya, dan mencoba belajar matematika sendirian. Tapi dia tidak bisa melakukannya bahkan setelah berusaha keras. Otaknya benar-benar tumpul ketika menghadapi rumus. Saat itu, munculah Doni, teman sekelasnya yang diam-diam perhatian kepada Ceria dan menawarkan bantuan.

Beberapa minggu menuju UN, Ceria rutin belajar bersama Doni pagi hari di kelas dan malamnya di rumah Ceria. Perjuangan Ceria yang bahkan sampai membuat Doni kewalahan karena lelah menunjukan hasil yang baik; Ceria mendapatkan nilai sempurna dalam UN-nya. Mengalahkan Reina. Orangtuanya sangat bangga padanya dan Ceria merasa ia sudah berhasil.

Namun, konflik lain muncul ketika ia kembali dipaksa untuk masuk jurusan Matematika saat kuliah. Ceria tidak mau, tapi dia masih terbayang euforia orangtuanya yang bahagia dengan hasil UN-nya dan memutuskan untuk mengambil jurusan Matematika. Farhan yang statusnya masih dimusuhi Ceria langsung menentang habis-habisan karena ia tahu, Ceria tidak akan mampu masuk jurusan Matematika.

Bahkan Doni sudah memperingatkannya: Matematika di kuliah beda sama Matematika di SMA. Tapi sayangnya Ceria tidak peduli, dia berpikir dia bisa jika mau lebih keras belajar. Orangtuanya mendukung seratus persen keputusan Ceria.

Hingga akhirnya setelah kembali privat bersama Doni, Ceria lolos di jurusan Matematika. Orangtuanya kembali bangga padanya, meski dia agak kecewa karena tidak bisa melihat hasil ujiannya, apalagi dengan Reina yang masuk universitas itu melalui jalur beasiswa tanpa tes.

Kehidupan Ceria saat mulai berkuliah jauh lebih parah dari sebelumnya. Masalahnya, dia sama sekali tidak mengerti apa yang dosennya bicarakan. Dia mual tiap kali melihat rumus-rumus di layar proyektor. Untuk mengerjakan tugas pun, Ceria masih memerlukan bantuan, sayangnya Farhan sibuk dengan tugasnya dan Doni juga, yang sekarang berkuliah di jurusan Teknik Informatika.

Kovernya menunjukan gambar seorang gadis yang terjatuh bebas, dan di situlah aku bisa merasakan bagaimana hancurnya Ceria ketika dia memutuskan untuk masuk di jurusan Matematika dan melupakan mimpinya di bidang Pariwisata serta Bahasa Inggris.

---

Matematika adalah hal yang Ceria benci, begitupula aku. Bahasa Inggris adalah hal yang Ceria sukai, tapi tidak denganku XD

Sejujurnya, novel ini adalah novel yang penuh dengan emosi dari awal sampai akhir. Aku bahkan sampai sudah membayangkan sepanjang apa resensiku nantinya, yang sedikit banyak menyelipkan curhatanku sepertinya hahaha.

Jadi, aku benar-benar benci orangtua tipe seperti ini, yang meskipun dalam dunia nyata, belum pernah kutemukan sama sekali .__. Tapi aku percaya mereka ada hahaha.

Selanjutnya, karena terlalu banyak unek-unek yang berhasil dimunculkan penulis di dalam otakku karena novel ini, aku memutuskan bikin poin-poin aja, takutnya kecampur aduk sama perasaanku yang gegana ini, jadinya malah berantakan XD

1)      Kover, Blurb dan Premis
Aku suka kovernyaaaaa! Sangat suka. Kontras sama judulnya, Happiness, dan bikin aku penasaran. Blurb, aku nggak tertarik sama sekali, karena premisnya jujur memang klise, tapi novel ini rekomen dari temenku, jadi aku baca. Mungkin untukku, dan terutama ini udah dua tahun kemudian, blurb seperti ini tidak menarik.

2)      Plot. Astaga. Suka. Banget. Memang premis yang sederhana bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa kalau penulisnya pintar membuat plot. Aku terhanyut dalam setiap alurnya, ikut merasa kesal, sedih, kecewa, marah, campur aduk deh pokoknya.
Ada 3 bagian yang paling membuatku mengeluarkan emosi: ketika Farhan ternyata (...), ketika Ceria mengaku kepada orangtuanya dan endingnya.

(Aku juga ingin memprotes satu bagian, maaf kalau kesannya agak pribadi hahaha, memangnya, gak ada universitas negeri yang bagus di Palangka Raya sampai-sampai Ceria harus masuk univ swasta? Padahal kan, tahun 2015 udah ada SNMPTN? Kalau perlu keluar Kalimantan kan bisa? Demi gak usah tes lagi? Atau sekalian aja, kalau Ceria emang segenius itu di bahasa sampai bisa studi banding, dia harusnya udah ditawarin beasiswa kayak Reina, dan dia bisa ambil itu tanpa perlu mikirin orangtuanya toh dia nggak dibayarin uang kuliah?)

3)      Jadi itulah yang aku kesalkan dari karakter Ceria (padahal, terserah penulisnya lah mau bikin karakter dia jadi kayak apa kan? Hahaha) aku benci Ceria nurut sama orangtuanya, aku benci keputusannya untuk membuat orangtuanya bangga dengan mengalahkan Reina dan masuk jurusan mtk bla bla.

Farhan: so far, dia adalah abang terbaik yang pernah ada. Dia yang paling mengerti dan mendukung Ceria setelah Doni. Farhan bahkan menurutku, adalah arti sesungguhnya dari judul yang dipilih oleh penulis. Karena memang banyak flashback dan pelajaran hidup ngena yang diambil ketika Farhan dan Ceria berbincang. Ada satu hal yang jelas bikin aku benci banget Farhan (yang katanya peduli banget sama Ceria) tapi malah melakukan sesuatu yang sangat amat dibenci Ceria, yang bahkan aku sendiri nggak terima dia bisa-bisanya lakuin itu. (fyi, aku baca adegan ini di dalem bus kota dan hampir teriak saking keselnya, untung bisa tahan hahahaha)

Orangtua: you know lah.

Doni: i love him. Dia satu-satunya karakter yang menurutku tanpa cela. Sabar banget ngadepin Ceria dan ngajarin dia. Idaman lah.

Reina: gak ada yang salah sama dia. Tapi karena Ceria selalu menggambarkan Reina sebagai sosok antagonis dalam hidupnya, aku juga jadi ikut kesel. Karena tentu aja aku ada di pihak pemeran utama, bagaimanapun juga. Dan ketika kita dibandingkan sama orang lain itu rasanya nyebelin setengah mati. Betul? Otomatis kita bakal jadi benci sama orang itu meski dia gak salah apa-apa.

4)      Penulisan. Nah, nah, di bagian ini agak disayangkan. Bukan berarti jelek, tapi aku merasa kurang variasi dalam pembentukan kalimat. Novel ini menggunakan penulisan yang simpel dan sangat mudah dicerna. Aku bahkan bisa sambil dengerin musik DAN NYANYI ketika baca novel ini tanpa sedikitpun kehilangan konsentrasi esensi ceritanya.
Alasan ini pula yang bisa membuatku tahan untuk tidak menangis sesedih apa pun aku ikut merasakan alurnya yang brilian.

Kecuali di bagian Ceria mengaku kepada orangtuanya, kalimat muntah, sesederhana itu tapi bisa bikin aku nangis kejer hahaha.

Ah ya, dan aku juga gak menyelipkan qoutes ya di resensi ini karena alasan yang sama. Memang ada beberapa yang secara umum masuk sebagai qoutes dan bermakna dalam juga, tapi menurutku pribadi terlalu biasa hehe.

So far, buku ini juga rapi dan bebas dari typo. Cuma nemu satu kata yang kelebihan huruf T, but its okay, aku gak ambil pusing dengan cara mengabaikannya dan nggak nyatet kalimat apa halaman berapa.

5)      Terakhir, bebas mau diskip apa mo dibaca. Curhatan doang sih hahaha. Yang jelas setelah membaca novel ini aku berharap nggak ada lagi kejadian orangtua yang suka otoriter sama anaknya, biarkan setiap anak menuju impiannya masing-masing tanpa terbebani.

Dan juga bagi para anak, emang ngelawan orangtua itu dosa ya dan durhaka, tapi kalau sampai kayak gini, kita gak bisa diem aja. Ayo bergerak sendiri, Tuhan pasti bantu kita, yakin itu. Jika orangtua gak ngerestuin, serahkan aja sama Tuhan. Kalau kita nantinya sukses, justru nanti orangtua kita bakal sadar dengan sendirinya. Jangan kayak Ceria yang demi bikin orangtuanya bangga dan berenti bandingin dia sama Reina, dia nyiksa dirinya sendiri. Juga karena kemungkinan aku ini termasuk jiwa pemberontak, makanya kesel aja Ceria bersikap kek gitu :)

Lalu, aku cukup paranoid ketika selesai membaca buku ini, terutama ketika Ceria harus menghadapi UTS dan UAS. Sejujurnya, aku salah satu yang merasa salah masuk jurusan hahaha. Aku kuliah jurusan Sastra Inggris, hal yang diinginkan Ceria (tambah ironi kan? hiks) dan kenyataan bahwa aku gak bisa berenti dari jurusan ini karena aku gak mungkin ngelepasin beasiswa.....hahaha. (inilah alasan kenapa aku gak mau bahas novel ini dan pengen cepet lupain Happiness, maaf kak Fakhrisina, bukannya nggak suka, tapi aku takut kebayang terus dan malah berdampak buruk buat kuliahkuL)

6)      Overall!! Wuuuhu! Aku SUKA BANGET ceritanya, feelnya, alurnya, kovernya, dan kukasih 4 bintang buat Happiness. Kenapa gak lima? Aku belum bahas ending kan? Nah, endingnya adalah bagian paling aku benci hahahaha. Aku gak rela. Aku gak terima. Aku gak suka. Jadi aku mau simpen satu bintangnya buatku sendiri, karena harus memikirkan endingnya untuk diriku sendiri. Sejujurnya, aku tuh gak bisa diginiin!! Tapi apa mau dikata hahahaha.

Panjang ya? Hehehe. Untuk novel yang bikin aku gereget sih, segini belum apa-apa. Tapi jariku juga butuh istirahat. Paling terakhir, ada funfact tentang aku dan penulis novel ini:


Kami sama-sama bersaing di lomba menulis Ellunar Publisher tahun 2015 tema Amnesia. Dulu aku belum tau Fakhrisina tuh siapa karena emang gak pernah denger novelnya. Ternyata setelah hasil pengumuman juara keluar, Kak Fakhrisina ini menang juara pertama dengan cerpennya yang berjudul Dear Lalita. Sementara aku keluar sebagai juara kedua dengan judul Nocturne Op.9 HEHE. Mulai dari situ, kepoin Kak Fakhrisina dan ternyata memang doi udah jadi penulis beneran! Baru kesampaian sekarang baca novel beliau. Sukses selalu untuk Kak Fakhrisina, salam kenal dari aku :)

3 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)