Senin, 24 September 2018

[RESENSI] The Midnight Star by Marie Lu

instagram: @arthms12



Judul: The Midnight Star
Penulis: Marie Lu
Penerjemah: Prisca Primasari
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Emi Kusmiati
Desain Sampul: Windu Tampan
Penerbit: Mizan Fantasi (Oktober 2017)
Jumlah halaman: 381 hlm
ISBN: 978-602-6699-05-3

Blurb:

Syahdan, kegelapan menyelimuti dunia, dan ia memiliki seorang ratu.

Adelina pikir, tiada lagi penderitaan. Dia telah membalas dendam pada mereka yang mengkhianatinya. Sang Serigala putih memenangi takhta Kenettra, tapi seiring bertambahnya kekuasaan, dia menjadi semakin kejam. Kegelapan dalam dirinya semakin tak terkendali, ingin menghancurkan semua yang ada di dekat Adelina.
Kemudian, ancaman baru muncul, dan Adelina beserta para Mawar mau tak mau harus bekerja sama dengan para Belati untuk menghadapinya. Namun, aliansi mereka yang sarat kecurigaan dan pengkhianatan mungkin lebih berbahaya dari apa pun. Bagaimanakah nasib para Elite selanjutnya?\

---

Aku sebenernya nggak sanggup nulis resensinya. Bilang aku lebay, tapi buku ini sukses bikin aku hancur, remuk redam, berantakan, dan lain-lain.

Dari ketiga buku seri The Young Elites, aku tanpa ragu bilang kalau The Midnight Star adalah yang terbaik. Kalau di TYE atau TRS kan prolog sebelum sampai di konflik utama agak lama, bisa sampai setengah buku, tapi kalau TMS ini dari awal memang udah seru dan menegangkan.

Lagi, aku memang selalu parno ketika membaca TYE dan TRS, tetapi TMS bikin rasa parno itu jadi dua kali lipat XD

Adelina berpikir semuanya telah selesai, dia menjadi Ratu Kenettra dan menjajah semua pulau di Sealand lalu menjadi Ratu Sealand. Tapi ada masalah baru muncul, Violetta yang kabur menuju para Belati di Tamoura tiba-tiba jatuh sakit. Sakit yang berbahaya. Dan semuanya adalah dampak dari suatu kekuatan misterius. Lautan menjadi salah satu korbannya, juga para balira.

Raffaele mau tidak mau memanggil Adelina untuk bersekutu, kemudian mereka melakukan perjalanan bersama-sama. Para musuh berada dalam satu kapal, demi menyelamatkan nyawa umat manusia.

Simpel? Ya, buku ketiga ini lebih simpel daripada The Rose Society yang menurutku agak ribet. Tapi tidak sesederhana The Young Elites yang cuma pendahuluan.

Jujur menurutku ini adalah konflik yang lebih bagus daripada dua novel sebelumnya. Aku suka karena para Elite bergabung menjadi satu, meskipun mereka masih bermusuhan satu sama lain. Keterlibatan dewa-dewa dalam konflik ini menambah rasa kesukaanku kepada TMS.

Alurnya nggak selambat dua novel sebelumnya, seperti yang kubilang, dari halaman awal pun, novel ini sudah menegangkan XD banyak kejutan-kejutan dan tentunya kekejaman Adelina yang menurutku keren mwehehe.

Novel ini masih sekelam dan sesuram novel-novel sebelumnya, dan dijamin tetap bikin depresi XD dan sakiiiiit hati.

Sebenarnya ada banyak yang mau aku bicarain tentang novel ini tapi aku masih kalut, masih bookhangover, dan aku nggak berani buka buku ini lagi jadi nggak tunda bikin review hheheheuheuh
Tokoh-tokohnya masih sama seperti sebelumnya, tapi yang beda, aku jadi makin suka sama Teren. Menurutku, Teren itu mandiri, dia memusuhi semua orang, dan nggak memihak siapapun makanya aku suka. Terus Magiano, yang banyak fans-nya waktu muncul di TRS, sebenarnya aku kurang bisa dapet karakter Magiano, kurang dieksplor di TRS, tapi di TMS, kurasa ku tlah jatuhhhh cintaaa~ *nyanyi*

Tokoh favoritku, masih Adelina. Nggak tahu ya, meskipun dia antagonis dan (kayaknya) para Belati yang baik, aku nggak bisa suka Raffaele dkk. Soalnya ketiga novel ini didominasi Adelina, didominasi pikiran-pikirannya, mau nggak mau aku pasti dukung dia. Tapi, satu hal yang janggal dan terkesan memaksa adalah endingnya.

Entah, tapi aku merasa endingnya, sosok Adelina berubah karakter. Seperti bukan Adelina. Selama tiga buku aku ‘mengenal’ Adelina, aku rasa dia nggak akan mungkin melakukan itu, nggak mungkin memilih keputusan itu. Apalagi cuma karena Violetta yang notabene, adik yang jahat, nyebelin, kualat, wkwkwk. Keterikatan persaudaraan mereka juga nggak begitu menonjol, makanya aku aneh banget rasanya, kayak dipaksain.

Lalu, aku juga merasa masih banyak rahasia-rahasia yang belum terungkap dan aku sebal, khususnya masalah Magiano. Ya, ginilah akibat kebanyakan tokoh.

Pokoknya, aku dalam mode benci dan cinta sama series ini. Aku pengen banget masukin TYE series jadi salah satu seri favoritku tapi aku..nggak sanggup. Luka yang dibuat ketiga novel ini, khususnya TMS, terlalu besarrrrr dan aku masih trauma sama Marie Lu hahahaha XD

Ada banyak hal-hal yang disayangkan kenapa ide cerita sebagus ini harus dibuat demikian. Aku..nggak habis pikir. Padahal aku menikmati kekelaman cerita ini, tapi, akhirnya, aku benci.
Overall, 4 bintang. Tiga buku berturut-turut aku kasih 4 bintang, padahal TMS berpotensi dikasih seribu bintang, tapi, ya. Gitu.

Mau nangis.

Jadi, syarat baca The Young Elites Series adalah persiapin hati dan mental yang kuat. Kalau hati kalian kayak hatiku yang fragile tingkat tinggi, siap-siap banyak sakit di mana-mana, patah di mana-mana dan hancur lebur pokoknya dibantai sama Marie Lu. Heu.

Kutipan-kutipan yang kuambil dari The Midnight Star:

“Aku Serigala Putih, Ratu Sealand–tetapi bagi Raffaele, aku hanya orang yang menjadi berguna lagi, dan itu membuat dirinya tertarik padaku sekali lagi.” – Adelina (hlm 165)
“Aku takut. Setiap hari, aku bangun dan bertanya-tanya apakah ini akan menjadi hari terakhirku hidup di alam kenyataan.” – Adelina (hlm 253)
“Tetapi kau juga bersemangat dan ambisius dan setia. Kau adalah seribu hal, mi Adelinetta, bukan hanya satu. Jangan membatasi dirimu pada satu hal saja.” – Magiano (hlm 256)
“Mungkin setelah seribu kali menjaili kematian, kematian akhirnya berbalik melawan mereka.” – hlm 289
my favorite:
 "I'm going to follow her, of course. As the night sky turns. When she appears on the other side of the world, I will be there, and when she returns here, so will I." - Magiano.

Senin, 17 September 2018

[RESENSI] By The Time You Read This, I’ll Be Dead by Julie Anne Peters

IG : @arthms12





Judul: By The Time You Read This, I’ll Be Dead
Penulis: Julie Anne Peters
Penerjemah: Hedwigis Chrisma Hapsari
Penyelaras aksara: Lani Rachmah
Penata Letak: Nurhasanah Ridwan
Penerbit: Noura Publishing (April 2015)
Jumlah halaman: 308 hlm
ISBN:978-602-0989-13-6

Blurb:

Hanya tersisa 23 hari untuk mewujudkan rencana Daelyn. Dia sudah memperhitungkan semuanya, mempersiapkannya dengan matang. Tak akan ada yang bisa menghalangi atau menghentikannya lagi. Tidak boleh. Kali ini, dia harus berhasil. Dia harus mengakhiri semuanya, mengakhiri hidupnya.
Namun, muncul satu masalah. Ada cowok aneh yang selalu berusaha mendekati Daelyn. Meski diabaikan, cowok itu tak pernah menyerah. Tidak mungkin, kan, Daelyn membiarkan seseorang menyusup ke hatinya saat dia sudah siap pergi dari dunia ini?

Tidak saat semuanya sudah berjalan baik. Saat dirinya sudah yakin sepenuh hati untuk berjalan menuju cahaya.

---

Hal pertama yang membuatku tertarik membaca buku ini adalah karena judulnya. Judulnya terasa suram dan sedih. Ketika aku membacanya, jujur cerita ini mempunyai pembawaan yang santai khas novel remaja, namun memang isinya agak mengerikan.

Novel ini memakai sudut pandang orang pertama, Daelyn. Dia adalah cewek lima belas(?) barangkali, yang sekarang sedang diawasi 24 jam penuh oleh kedua orangtuanya. Karena, dia sudah berkali-kali mencoba bunuh diri namun selalu gagal.

Di sekolah yang entah keberapanya, dia selalu menunggu ibunya menjemput di sebuah bangku semen. Di sana, dia bertemu dengan Santana, cowok aneh yang tiba-tiba mendekatinya. Namun Daelyn tidak pernah menanggapinya, lagipula, dia tidak bisa bicara. Hal itu karena salah satu metode bunuh dirinya yang gagal.

Tapi sekarang dia yakin dia tidak akan gagal lagi. Untuk itu dia diam-diam mendaftar ke salah satu situs bunuh diri bernama menuju-cahaya(.)com. Di situs itu, dia bertemu banyak orang yang sama-sama putus asa.

Di situs itu juga, Daelyn sering mengetik tentang masa lalunya, masa-masa ketika dia dibully hingga akhirnya mencoba bunuh diri berkali-kali. Daelyn adalah cewek gemuk, dia selalu dibully karenanya. Dipermainkan dan dipermalukan anak-anak cowok, direndahkan anak-anak cewek, orangtuanya menganggap hal itu biasa dan Daelyn pun tidak bisa bercerita karena takut, serta kejadian mengerikan di kamp gemuk membuatnya benar-benar menderita.

Konflik utama novel ini adalah tentang Daelyn yang mengikuti petunjuk situs untuk membunuh dirinya. Dia diberi waktu 23 hari. Namun dalam 23 hari itu pula, ada Santana di sana.

Menurutku novel ini juga agak mengerikan karena di situsnya dijelaskan tentang berbagai macam metode bunuh diri, keefektifan hingga tingkat rasa sakit. Tidak dianjurkan bagi kalian-kalian yang sedang depresi, yha bukan apa-apa, takutnya kehasut kan:( sumpah bagian ini tuh serem banget.

Ada satu hal yang membuatku terganggu ketika membaca cerita ini, yaitu narasi yang kadang nggak jelas latarnya, kayak tiba-tiba pindah dari kejadian yang sedang berlangsung ke kejadian lain. Terjemahannya juga enak, tapi ada satu dua kalimat yang kadang bikin mikir dua kali, masih agak kaku juga, atau mungkin memang begini gaya penulisan Julie Anne Peters. Entah.

Kita beralih ke Santana Llyod Girard II, aku pikir novel ini bakal manis ketika membaca blurbnya, namun sayang Daelyn sangat sangatttt menutup diri sehingga Santana tidak terlalu tereksplor. Dia seharusnya jadi pemeran utama juga, tapi aku merasa dia hanya pemeran pembantu, yang disempilkan, untuk sedikit menyadarkan kondisi Daelyn.

Sebenarnya, Daelyn pun tidak dalam kondisi dibully lagi. Memang banyak orang yang menganggapnya gila dan tidak mau berteman dengannya karena percobaan bunuh dirinya diketahui orang-orang, tapi menurutku saat itu kondisi Daelyn masih aman, terutama karena orangtuanya yang memperhatikannya 24 jam.

Tapi luka karena bullying tidak mudah sembuh, apalagi setingkat Daelyn. Aku merasa aku paham kenapa Daelyn menarik diri dari semua orang dan berniat untuk berhasil dalam bunuh dirinya kali ini.
Sejujurnya, banyak narasi pikiran negatif Daelyn dalam perspektifnya, dan mau nggak mau aku cenderung setuju dengan Daelyn. Menurutku, hampir semua orang pasti pernah punya pikiran-pikiran yang dicetuskan Daelyn.

Bohong kalau aku bilang aku nggak pernah stres atau tertekan bla bla, kebanyakan orang juga pasti pernah mengalaminya, dan kisah Daelyn ini sejujurnya relate dengan diriku sendiri, itulah mengapa aku suka cerita ini.

Kalau dibilang penuh amanat, nggak. Narasi Daelyn nggak sedikitpun mengandung amanat, karena semua pikiran negatifnya ditumpahkan dari halaman awal sampai akhir. Tapi kita, sebaiknya mengambil hal-hal yang perlu, bagaimana cara menghadapi seseorang yang depresi atau bagaimana mengenali gejala-gejala orang yang ingin bunuh diri. Novel ini tentunya bikin kita sedih dan nggak ingin hal yang dilakukan Daelyn terjadi di tengah-tengah kita. Novel ini bakal bikin kita lebih aware dengan orang-orang di sekitar kita.

Overall, aku suka cerita ini, suka banget, bahkan sampai bikin aku nangis. Tapi ada satu hal yang bikin aku ngasih 4 bintang, bukannya 5. Kenapa? Silakan baca sendiri. Kalau selesai bacanya bikin pengen lempar bukunya jauh-jauh, berarti kita sama.

Anyway, aku punya banyak qoutes yang aku ambil dari buku ini. Aku suka sama kata-katanya.

“Namun, supaya merasa lebih baik, aku menelan semua rasa sakit. Kemudian, rasa sakit menelanku.” – hlm 41
“Aku tidak tahu mengapa aku tidak dapat membiarkan hinaan-hinaan itu berlalu, tapi aku tetap tidak bisa. Aku adalah produk dari setiap luka yang pernah ditorehkan di diriku.” Hlm 42
“Karena air mata tidak ada gunanya.” – hlm 56
“Kadang-kadang, aku tidak mengerti alasan dari hal-hal yang kulakukan. Aku hanya tahu, aku bangun setiap pagi dan berharap aku mati.” – hlm 78
“Siapa bilang neraka ada di bawah? Bisa saja di atas. Neraka bisa saja di samping pintu surga. Neraka bisa saja merupakan bagian dari surga, seperti kampung miskin di tengah-tengah kota kaca.” – hlm 110
“Bisakah kau memonitor aktivitas di sini, di bumi? Namun, jika alasanmu untuk pergi adalah untuk membalas seseorang, atau melukai seseorang, itu mungkin berguna. Alasanku bukan itu. Aku hanya ingin perasaan sakit ini berakhir.” – hlm 129
“Semakin aku terluka, semakin banyak aku makan.” – hlm 139
Well, ini menunjukan bahwa mereka yang depresi nggak melulu jadi kurus kering. Yang gemuk bisa lebih depresi daripada itu, dan paling menyakitkan kalau orang-orang udah bilang “Gemuk ih, berarti bahagia” no, it’s totally wrong.

Aku harap kita semua berhenti mengomentari bentuk tubuh orang lain, mau dia kurus atau gemuk atau yang lain-lainnya. Karena kita nggak pernah tahu alasan-alasannya, hidupnya, jadi please berhenti.

Jaga mulut kita, karena kita nggak tahu kalau bisa saja orang itu tersinggung dan akhirnya merasa sedih. Kesedihan-kesedihan kecil itulah, jika berkali-kali didapatkannya bisa jadi mengarah ke sesuatu yang mengerikan.

“Ketika Tuhan tidak mengambilku, itu membuatku mempertanyakan imanku. Sedikit iman yang dulu kupunya.” – hlm 182
“Setiap orang kadang-kadang terluka. Tidak perlu malu dengan itu.” – hlm 304-305
“Aku tidak sanggup menghadapi hal-hal yang sangat buruk itu. Pilihannya adalah membunuh setiap orang atau membunuh diriku sendiri.”
“Jika aku tinggal dan hidup hingga lulus sekolah menengah, masuk ke universitas, mendapatkan pekerjaan, apa yang akan bisa berubah? Kegelapan dalam diriku tidak akan pernah tersingkirkan.”
"Mengapa kau tidak berhenti mencoba untuk memperbaiki aku? Dunia ini tidak diciptakan untukku. Aku lahir terlalu cepat, atau terlalu lambat. Terlalu banyak kecacatan."
"Orang-orang tidak berubah. Ada dua jenis orang di dunia ini: para pemenang dan para pecundang." 
Satu lagi, aku foto aja karena kepanjangan XD:




[RESENSI] Raelia by Moemoe Rizal

IG: @arthms12





Judul: Raelia
Penulis: Moemoe Rizal
Ilustrasi sampul: Haikal
Ilustrasi isi: TOR Studio
Penyunting naskah: Diha dam Irawati Subrata
Penyunting Ilustrasi: Kulniya Sally
Proofreader: Hetty Dimayanti
Penerbit: Pastel Books (Februari 2017)
Jumlah halaman: 236 hlm
ISBN: 978-602-0851-75-4

Blurb:

Merah itu warna darah, warna nilai rapor yang di bawah KKM, warna api yang membakar, warna yang nyuruh berhenti di setopan jalan, warna yang ngelarang orang-orang melakukan ini itu, dan bikin sakit mata kalau dilihat terus-terusan.

Bottomline, I hate red. Coba sebutkan satu alasan kenapa kita enggak harus benci warna merah?
“Merah itu warna yang berani. Warna yang ... romantis.” Itu yang dibilang Chris, cowok yang kutemui di Berry-Tasty. Tapi dia punya problem dengan kejiwaan. Misi utamanya ingin bunuh diri. Jadi, pendapat ida enggak valid.

“Gue sih sukanya turquoise.” Nah, kalau ini Adam yang ngomong. Enggak nyambung sama topik yang sedang kubahas, tapi pendapatnya perlu kumasukan. Karena, dia banyak banget bantu aku selama menjadi jurnalis di majalah anak SMA se-Bandung, Periwinkle. Keduanya penting. They both are sooo kind and helpful and cute and ... aku suka dua-duanya. Serius.

The problem is ... ini lebih parah dibandingkan aku melihat warna merah di depan mukaku. Chris adalah cowok tajir, berprestasi, perhatian, tapi bersikeras untuk mati. Sementara Adam banyak fans, botak, lucu, tapi punya banyak utang. Aku harus pilih mana? Yang umurnya pendek atau yang jatuh miskin?

---

Well, alasan kenapa aku mau baca buku ini adalah premisnya yang menarik. Dan memang novel ini terasa sangat remaja banget.

Novel ini bercerita tentang Raelia yang menjadi seorang jurnalis di organisasi majalah. Anggotanya semua murid SMA di Bandung. Di sana, ada salah satu fotografer namanya Adam. Ketika redaksi menyuruhnya pergi ke tempat-tempat untuk urusan artikel travel, Raelia harus pergi bersama Adam, berdua. Hanya saja ketika mereka pergi ke Bali, Chris yang tidak sengaja dikenalnya di kafe ingin ikut ke sana untuk membantu Raelia.

Konfliknya memang sangat ringan karena diambil dari sudut pandang Raelia, dia berteman dengan Chris yang tampan, kaya, atlet tapi ingin bunuh diri serta Adam yang lucu, gundul, tapi punya banyak utang.

Mereka berdua mengisi hati Raelia dengan caranya masing-masing. Perjalanan Raelia ke tempat-tempat yang diusulkan redaksi membentuk momen-momen tersendiri antara Raelia-Adam maupun Raelia-Chris.

Narasi yang dipakai pun nggak baku, remaja banget, gampang dicerna dan bikin enjoy. Novel ini cukup tipis dan ringan, nggak bikin bosen deh pokoknya. Gaya berceritanya juga asik dan humor seringkali terselip, terutama bagian Adam.

“Kenapa kamu enggak pernah bener nyebut nama aku? RAELIA. Kenapa harus diganti sama apa pun yang belakangnya ‘ia’?” – Raelia ke Adam (hlm 235)


Salah satu ciri khas Adam yang paling aku suka adalah karena dia suka manggil Raelia dengan nama-nama lain. Mongolia, Dalia, Malia, Dahlia, Lidya, Sesilia, dan lain-lain XD dan kalian harus tau bahwa jawaban Adam sangat-sangat bikin baper XD

Menurutku, novel ini bener-bener unik dan beda dari kebanyakan novel romance remaja. Tentang jurnalistik dan jalan-jalan, nggak melulu setting di sekolah. Ini salah satu kelebihan yang aku suka. Kelebihan lainnya adalah karena dua tokohnya, Chris dan Adam yang mempunyai latar belakang yang cukup ekstrem.

Tokoh yang aku suka adalah Chris dan Adam pastinya. Adam karena dia tipe cowok yang humoris dan penyemangat di novel ini, selalu seru tiap dia muncul, meskipun karakternya udah mainstream, tapi Adam ini memang lovable.

“Foto itu persoalan momen, kenangan. Bukan betapa cantik hasil akhirnya.” – Adam (hlm 55)


Sementara itu Chris juga punya bagian tersendiri di hatiku. Entah kenapa aku suka dia, sisi menarik Chris selain dia ganteng dan kaya dan bla bla, Chris menarik karena kerapuhannya. Belum lagi karena Raelia sering bikin Chris kecewa, aku jadi jatuh simpati terhadapnya.

“Kamu mau makan di sini, jadi yang dibaca nama makanannya bukan harganya.” – Chris (sambil mengedipkan mata) ((hlm 155))


Raelia sendiri nggak cukup bikin dia spesial buatku, bagiku dia biasa-biasa saja, :D
Salah satu sisi menarik lainnya, setiap awal bab diawali dengan warna. Cukup unik dan bikin pengen terus lanjut baca buku ini :D

Nah, keliatannya memang simpel kan, tapi setelah baca seluruh bukunya, ketika Raelia menyimpulkan semua kisahnya bersama Adam maupun Chris, aku dibuat tertohok dengan kalimat Raelia. Meskipun aku nggak bisa menuliskan qoute Raelia di sini karena takut spoiler XD
Intinya, Raelia sekarang udah nggak benci warna merah lagi. Adam dan Chris punya alasan-alasan kenapa dia nggak harus benci warna merah.

Overall, aku suka banget sama cerita ini. Simpel dan manis. Unik dan asik. Walaupun agak-agak nggak rela dengan endingnya tapi aku puas, tapi endingnya memang sudah yang terbaik. Mau nangis terharu rasanya. Novel Raelia bikin aku jatuh cinta sekaligus patah hati secara bersamaan.

Jumat, 31 Agustus 2018

[RESENSI] The Rose Society by Marie Lu (The Young Elites #2)

IG: @arthms12



Judul: The Rose Society
Penulis: Marie Lu
Penerjemah: Prisca Primasari
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Emi Kusmiati
Desain Sampul: Windu Tampan
Penerbit: Mizan Fantasi (Oktober 2016)
ISBN: 978-979-433-993-0
Jumlah halaman: 480 hlm.

Blurb:
Suatu ketika, seorang gadis memiliki
Ayah, pangeran, dan sekelompok teman.
Mereka mengkhianatinya,
Jadi dia hancurkan mereka semua.

Setelah terusir dari Perkumpulan Belati, Adelina Amouteru membuat tandingannya, yakni Perkumpulan Mawar. Di antara para Elite Muda yang berhasil dia rekrut adalah Magiano Sang Pencuri dan Sergio Sang Penenun Hujan. Dengan bantuan para Mawar, Adelina bermaksud membalas dendam pada Teren dan Aksis Inkuisisi, serta merebut takhta Kerajaan Kenettra. Ini bukan hal mudah, karena Perkumpulan Belati bekerja sama dengan Maeve, Ratu Beldain yang juga mengincar takhta Kenettra.

Ketika pertempuran besar semakin dekat, Adelina tidak hanya harus menghadapi musuh-musuh dari luar, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Terkadang dia tidak dapat mengendalikan kekuatan, dan ilusi-ilusi yang dia ciptakan berbalik menyerangnya. Bisakah Adelina menuntaskan aksi balas dendamnya sebelum kegelapan menghancurkan dirinya?

---

Sedikit panduan ala-ala: 1) Jika sedang membaca The Young Elites, jangan baca blurb belakang buku The Rose Society XD 2) Jika sedang membaca buku The Rose Society, jangan baca blurb belakang buku The Midnight Star :D

Karena aku ini paling males kalau udah tau endingnya bakal gimana, dan menurutku blurb TRS dan TMS itu spoiler ending buku sebelumnya banget. Tapi bagi kalian yang nggak keberatan sih gapapa XD

Dan satu lagi, yang belum baca/lagi baca TYE sebaiknya jangan baca review-ku karena ditakutkan ada spoiler terselubung ;)

---

The Rose Society seperti halnya The Young Elites, dibuka dengan bab-bab permulaan yang adem ayem. Makin ke tengah, makin seru karena klimaks dan inti cerita ngumpul semua di belakang. Sepertinya aku mulai paham dengan pola ini. Nggak bisa dibilang bosen sih, emang agak flat tapi entah kenapa suasananya mencekam banget dan seringkali aku dibuat merinding.

Setelah terusir dari Dagger Society, Adelina dan Violetta bikin perkumpulan baru namanya Rose Society. Mereka pergi ke pulau Merroutas buat nyari Magiano sang Pencuri. Sebelum gabung, Magiano punya syarat buat Adelina dan jujur itu keren banget >_<  Adelina di sini tambah keren sekaligus menakutkan.

Alur yang dibuat nggak lambat atau pun nggak cepet menurutku, cuma ada beberapa yang kurang nendang. Kayak..ternyata itu tuh gitu doang? Kirain bakal bla bla. Tapi nggak merusak ekspektasi sih, tetep keren.

Konfliknya tentu saja lebih keren dan menantang daripada The Young Elites, karena di sini musuh Adelina ada Teren dan Aksis Inkuisisi serta Perkumpulan Belati. Belum lagi karena bakal ada satu kejutan di sini, berkaitan dengan Maeve dan kekuatan Elite-nya. Dijamin kalian yang baca bakal baper berkepanjangan. XD

Aku punya banyak opini dan perasaan yang campur aduk soal kejutan ini, tapi aku nggak bisa cerita panjang:( pokoknya di bagian ini entah kenapa bikin aku sedih banget. Padahal aku seharusnya seneng, tapi Marie Lu malah bikin seolah-olah kejutan itu adalah sebuah kesalahan yang nggak boleh disenangi. Makanya perasaanku jadi campur aduk:(

Untuk perangnya, sejujurnya aku merasa agak kesulitan membayangkannya. Apa mungkin karena terlalu banyak tokoh? Entahlah. Saat POV 1 Adelina menceritakan tokoh yang lain lagi perang sama yang ini bla bla, aku malah jadi mikir. Jadi situ ngapain aja selagi nyeritain orang lain Del? XD

Narasinya kelam. Inilah kekuatan dan poin utama dari novel The Rose Society. Karena setiap tokohnya kelam, Adelina selaku pemeran utamanya pun adalah seorang antagonis, dari awal sampai akhir novel ini bener-bener hitam dan bikin stres sendiri pas baca XD aku nggak bisa berenti mikir yang buruk-buruk setiap kali membuka halamannya. Aura buku ini suram banget pokoknya. Sampai sekarang aja aku masih belum sanggup baca The Midnight Star soalnya parno XD

Para tokoh, karena di sini Adelina makin jahat, aku nggak yakin apakah aku masih dukung dia atau nggak. Soalnya dia juga pemeran utama dan POV 1 pula, yang bikin aku merasa menyatu dengan pikirannya. Sedangkan Para Belati, aku juga nggak begitu suka mereka. Teren dan aksis Inkuisisi, sudah jelas aku nggak dukung mereka. Jadi kesimpulannya, aku bener-bener nggak punya tokoh peganganku di series ini. Mereka terlalu menakutkan buatku HAHA.

Etapi di sini ada tokoh baru, Magiano namanya. Kekuatan Elite-nya adalah kemampuan untuk meniru kekuatan Elite lain. Setelah kemampuan Violetta, aku merasa kemampuan Magiano lah yang terkeren.

Sayangnya aku merasa kurang srek sama Magiano ini. Entah perasaanku aja atau Marie Lu kurang bisa membuat kemistri antara tokoh-tokohnya. Aku gak bisa merasakan ikatan antara Magiano dan Adelina. Padahal Magiano ini tipe karakter yang menghibur, sayang sekali dia harus tertutup kesuraman novel ini.

Tapi kalau soal kedepresi-an Adelina, aku acungkan dua jempol untuk kemampuan Marie Lu.
Overall, aku nggak tau apakah aku suka atau nggak sama series ini. Lalu, selalu ada kejutan di endingnya. Dan kejutan ini nggak kalah mengerikan dibanding segala sesuatu yang udah terjadi di seluruh isi bukunya. Aku rasa selain jago membuat konflik dan narasi yang suram, penulis juga seneng banget bikin tokoh-tokohnya menderita. Aah, aku nggak tahan baca buku ini sebenernya tapi penasaran :’)

Meskipun perasaanku bimbang suka/nggak, aku pasti nyelesain series ini. Pasti. Walaupun setelahnya bakal galau nggak keruan dan parno berkepanjangan, aku tetep sayang sama series ini.
Mungkin cerita fantasi yang cocok buatku memang cuma middle grade dan bukannya YA kelam macam ini;’)

“Ilusi-ilusiku membuat mereka takut, tapi ketakutan mereka membuatku kuat.” – Adelina (hlm 30)
“Keputusasaan akan memancing kegelapan dari diri semua orang.” – halaman 44
“Apa sih hebatnya menjadi baik hati?” – Adelina (hlmn 129)
Dan qoute terakhir yang palingggg aku suka adalah:
“Tetapi, para pemimpin sejati bukan dilahirkan. Kami diciptakan.” – Adelina (hlm 451)

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)