Senin, 17 September 2018

[RESENSI] Raelia by Moemoe Rizal

IG: @arthms12





Judul: Raelia
Penulis: Moemoe Rizal
Ilustrasi sampul: Haikal
Ilustrasi isi: TOR Studio
Penyunting naskah: Diha dam Irawati Subrata
Penyunting Ilustrasi: Kulniya Sally
Proofreader: Hetty Dimayanti
Penerbit: Pastel Books (Februari 2017)
Jumlah halaman: 236 hlm
ISBN: 978-602-0851-75-4

Blurb:

Merah itu warna darah, warna nilai rapor yang di bawah KKM, warna api yang membakar, warna yang nyuruh berhenti di setopan jalan, warna yang ngelarang orang-orang melakukan ini itu, dan bikin sakit mata kalau dilihat terus-terusan.

Bottomline, I hate red. Coba sebutkan satu alasan kenapa kita enggak harus benci warna merah?
“Merah itu warna yang berani. Warna yang ... romantis.” Itu yang dibilang Chris, cowok yang kutemui di Berry-Tasty. Tapi dia punya problem dengan kejiwaan. Misi utamanya ingin bunuh diri. Jadi, pendapat ida enggak valid.

“Gue sih sukanya turquoise.” Nah, kalau ini Adam yang ngomong. Enggak nyambung sama topik yang sedang kubahas, tapi pendapatnya perlu kumasukan. Karena, dia banyak banget bantu aku selama menjadi jurnalis di majalah anak SMA se-Bandung, Periwinkle. Keduanya penting. They both are sooo kind and helpful and cute and ... aku suka dua-duanya. Serius.

The problem is ... ini lebih parah dibandingkan aku melihat warna merah di depan mukaku. Chris adalah cowok tajir, berprestasi, perhatian, tapi bersikeras untuk mati. Sementara Adam banyak fans, botak, lucu, tapi punya banyak utang. Aku harus pilih mana? Yang umurnya pendek atau yang jatuh miskin?

---

Well, alasan kenapa aku mau baca buku ini adalah premisnya yang menarik. Dan memang novel ini terasa sangat remaja banget.

Novel ini bercerita tentang Raelia yang menjadi seorang jurnalis di organisasi majalah. Anggotanya semua murid SMA di Bandung. Di sana, ada salah satu fotografer namanya Adam. Ketika redaksi menyuruhnya pergi ke tempat-tempat untuk urusan artikel travel, Raelia harus pergi bersama Adam, berdua. Hanya saja ketika mereka pergi ke Bali, Chris yang tidak sengaja dikenalnya di kafe ingin ikut ke sana untuk membantu Raelia.

Konfliknya memang sangat ringan karena diambil dari sudut pandang Raelia, dia berteman dengan Chris yang tampan, kaya, atlet tapi ingin bunuh diri serta Adam yang lucu, gundul, tapi punya banyak utang.

Mereka berdua mengisi hati Raelia dengan caranya masing-masing. Perjalanan Raelia ke tempat-tempat yang diusulkan redaksi membentuk momen-momen tersendiri antara Raelia-Adam maupun Raelia-Chris.

Narasi yang dipakai pun nggak baku, remaja banget, gampang dicerna dan bikin enjoy. Novel ini cukup tipis dan ringan, nggak bikin bosen deh pokoknya. Gaya berceritanya juga asik dan humor seringkali terselip, terutama bagian Adam.

“Kenapa kamu enggak pernah bener nyebut nama aku? RAELIA. Kenapa harus diganti sama apa pun yang belakangnya ‘ia’?” – Raelia ke Adam (hlm 235)


Salah satu ciri khas Adam yang paling aku suka adalah karena dia suka manggil Raelia dengan nama-nama lain. Mongolia, Dalia, Malia, Dahlia, Lidya, Sesilia, dan lain-lain XD dan kalian harus tau bahwa jawaban Adam sangat-sangat bikin baper XD

Menurutku, novel ini bener-bener unik dan beda dari kebanyakan novel romance remaja. Tentang jurnalistik dan jalan-jalan, nggak melulu setting di sekolah. Ini salah satu kelebihan yang aku suka. Kelebihan lainnya adalah karena dua tokohnya, Chris dan Adam yang mempunyai latar belakang yang cukup ekstrem.

Tokoh yang aku suka adalah Chris dan Adam pastinya. Adam karena dia tipe cowok yang humoris dan penyemangat di novel ini, selalu seru tiap dia muncul, meskipun karakternya udah mainstream, tapi Adam ini memang lovable.

“Foto itu persoalan momen, kenangan. Bukan betapa cantik hasil akhirnya.” – Adam (hlm 55)


Sementara itu Chris juga punya bagian tersendiri di hatiku. Entah kenapa aku suka dia, sisi menarik Chris selain dia ganteng dan kaya dan bla bla, Chris menarik karena kerapuhannya. Belum lagi karena Raelia sering bikin Chris kecewa, aku jadi jatuh simpati terhadapnya.

“Kamu mau makan di sini, jadi yang dibaca nama makanannya bukan harganya.” – Chris (sambil mengedipkan mata) ((hlm 155))


Raelia sendiri nggak cukup bikin dia spesial buatku, bagiku dia biasa-biasa saja, :D
Salah satu sisi menarik lainnya, setiap awal bab diawali dengan warna. Cukup unik dan bikin pengen terus lanjut baca buku ini :D

Nah, keliatannya memang simpel kan, tapi setelah baca seluruh bukunya, ketika Raelia menyimpulkan semua kisahnya bersama Adam maupun Chris, aku dibuat tertohok dengan kalimat Raelia. Meskipun aku nggak bisa menuliskan qoute Raelia di sini karena takut spoiler XD
Intinya, Raelia sekarang udah nggak benci warna merah lagi. Adam dan Chris punya alasan-alasan kenapa dia nggak harus benci warna merah.

Overall, aku suka banget sama cerita ini. Simpel dan manis. Unik dan asik. Walaupun agak-agak nggak rela dengan endingnya tapi aku puas, tapi endingnya memang sudah yang terbaik. Mau nangis terharu rasanya. Novel Raelia bikin aku jatuh cinta sekaligus patah hati secara bersamaan.

Jumat, 31 Agustus 2018

[RESENSI] The Rose Society by Marie Lu (The Young Elites #2)

IG: @arthms12



Judul: The Rose Society
Penulis: Marie Lu
Penerjemah: Prisca Primasari
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Emi Kusmiati
Desain Sampul: Windu Tampan
Penerbit: Mizan Fantasi (Oktober 2016)
ISBN: 978-979-433-993-0
Jumlah halaman: 480 hlm.

Blurb:
Suatu ketika, seorang gadis memiliki
Ayah, pangeran, dan sekelompok teman.
Mereka mengkhianatinya,
Jadi dia hancurkan mereka semua.

Setelah terusir dari Perkumpulan Belati, Adelina Amouteru membuat tandingannya, yakni Perkumpulan Mawar. Di antara para Elite Muda yang berhasil dia rekrut adalah Magiano Sang Pencuri dan Sergio Sang Penenun Hujan. Dengan bantuan para Mawar, Adelina bermaksud membalas dendam pada Teren dan Aksis Inkuisisi, serta merebut takhta Kerajaan Kenettra. Ini bukan hal mudah, karena Perkumpulan Belati bekerja sama dengan Maeve, Ratu Beldain yang juga mengincar takhta Kenettra.

Ketika pertempuran besar semakin dekat, Adelina tidak hanya harus menghadapi musuh-musuh dari luar, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Terkadang dia tidak dapat mengendalikan kekuatan, dan ilusi-ilusi yang dia ciptakan berbalik menyerangnya. Bisakah Adelina menuntaskan aksi balas dendamnya sebelum kegelapan menghancurkan dirinya?

---

Sedikit panduan ala-ala: 1) Jika sedang membaca The Young Elites, jangan baca blurb belakang buku The Rose Society XD 2) Jika sedang membaca buku The Rose Society, jangan baca blurb belakang buku The Midnight Star :D

Karena aku ini paling males kalau udah tau endingnya bakal gimana, dan menurutku blurb TRS dan TMS itu spoiler ending buku sebelumnya banget. Tapi bagi kalian yang nggak keberatan sih gapapa XD

Dan satu lagi, yang belum baca/lagi baca TYE sebaiknya jangan baca review-ku karena ditakutkan ada spoiler terselubung ;)

---

The Rose Society seperti halnya The Young Elites, dibuka dengan bab-bab permulaan yang adem ayem. Makin ke tengah, makin seru karena klimaks dan inti cerita ngumpul semua di belakang. Sepertinya aku mulai paham dengan pola ini. Nggak bisa dibilang bosen sih, emang agak flat tapi entah kenapa suasananya mencekam banget dan seringkali aku dibuat merinding.

Setelah terusir dari Dagger Society, Adelina dan Violetta bikin perkumpulan baru namanya Rose Society. Mereka pergi ke pulau Merroutas buat nyari Magiano sang Pencuri. Sebelum gabung, Magiano punya syarat buat Adelina dan jujur itu keren banget >_<  Adelina di sini tambah keren sekaligus menakutkan.

Alur yang dibuat nggak lambat atau pun nggak cepet menurutku, cuma ada beberapa yang kurang nendang. Kayak..ternyata itu tuh gitu doang? Kirain bakal bla bla. Tapi nggak merusak ekspektasi sih, tetep keren.

Konfliknya tentu saja lebih keren dan menantang daripada The Young Elites, karena di sini musuh Adelina ada Teren dan Aksis Inkuisisi serta Perkumpulan Belati. Belum lagi karena bakal ada satu kejutan di sini, berkaitan dengan Maeve dan kekuatan Elite-nya. Dijamin kalian yang baca bakal baper berkepanjangan. XD

Aku punya banyak opini dan perasaan yang campur aduk soal kejutan ini, tapi aku nggak bisa cerita panjang:( pokoknya di bagian ini entah kenapa bikin aku sedih banget. Padahal aku seharusnya seneng, tapi Marie Lu malah bikin seolah-olah kejutan itu adalah sebuah kesalahan yang nggak boleh disenangi. Makanya perasaanku jadi campur aduk:(

Untuk perangnya, sejujurnya aku merasa agak kesulitan membayangkannya. Apa mungkin karena terlalu banyak tokoh? Entahlah. Saat POV 1 Adelina menceritakan tokoh yang lain lagi perang sama yang ini bla bla, aku malah jadi mikir. Jadi situ ngapain aja selagi nyeritain orang lain Del? XD

Narasinya kelam. Inilah kekuatan dan poin utama dari novel The Rose Society. Karena setiap tokohnya kelam, Adelina selaku pemeran utamanya pun adalah seorang antagonis, dari awal sampai akhir novel ini bener-bener hitam dan bikin stres sendiri pas baca XD aku nggak bisa berenti mikir yang buruk-buruk setiap kali membuka halamannya. Aura buku ini suram banget pokoknya. Sampai sekarang aja aku masih belum sanggup baca The Midnight Star soalnya parno XD

Para tokoh, karena di sini Adelina makin jahat, aku nggak yakin apakah aku masih dukung dia atau nggak. Soalnya dia juga pemeran utama dan POV 1 pula, yang bikin aku merasa menyatu dengan pikirannya. Sedangkan Para Belati, aku juga nggak begitu suka mereka. Teren dan aksis Inkuisisi, sudah jelas aku nggak dukung mereka. Jadi kesimpulannya, aku bener-bener nggak punya tokoh peganganku di series ini. Mereka terlalu menakutkan buatku HAHA.

Etapi di sini ada tokoh baru, Magiano namanya. Kekuatan Elite-nya adalah kemampuan untuk meniru kekuatan Elite lain. Setelah kemampuan Violetta, aku merasa kemampuan Magiano lah yang terkeren.

Sayangnya aku merasa kurang srek sama Magiano ini. Entah perasaanku aja atau Marie Lu kurang bisa membuat kemistri antara tokoh-tokohnya. Aku gak bisa merasakan ikatan antara Magiano dan Adelina. Padahal Magiano ini tipe karakter yang menghibur, sayang sekali dia harus tertutup kesuraman novel ini.

Tapi kalau soal kedepresi-an Adelina, aku acungkan dua jempol untuk kemampuan Marie Lu.
Overall, aku nggak tau apakah aku suka atau nggak sama series ini. Lalu, selalu ada kejutan di endingnya. Dan kejutan ini nggak kalah mengerikan dibanding segala sesuatu yang udah terjadi di seluruh isi bukunya. Aku rasa selain jago membuat konflik dan narasi yang suram, penulis juga seneng banget bikin tokoh-tokohnya menderita. Aah, aku nggak tahan baca buku ini sebenernya tapi penasaran :’)

Meskipun perasaanku bimbang suka/nggak, aku pasti nyelesain series ini. Pasti. Walaupun setelahnya bakal galau nggak keruan dan parno berkepanjangan, aku tetep sayang sama series ini.
Mungkin cerita fantasi yang cocok buatku memang cuma middle grade dan bukannya YA kelam macam ini;’)

“Ilusi-ilusiku membuat mereka takut, tapi ketakutan mereka membuatku kuat.” – Adelina (hlm 30)
“Keputusasaan akan memancing kegelapan dari diri semua orang.” – halaman 44
“Apa sih hebatnya menjadi baik hati?” – Adelina (hlmn 129)
Dan qoute terakhir yang palingggg aku suka adalah:
“Tetapi, para pemimpin sejati bukan dilahirkan. Kami diciptakan.” – Adelina (hlm 451)

Senin, 27 Agustus 2018

[RESENSI] The Young Elites by Marie Lu (The Young Elites #1)

IG: @arthms12


Judul: The Young Elites
Penulis: Marie Lu
Penerjemah: Prisca Primasari
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Emi Kusmiati
Desain Sampul: Windu Tampan
Penerbit: Mizan Fantasi (November 2015)
Jumlah Halaman: 425 hlm
ISBN: 978-979-433-909-1

Blurb:

Semua orang ketakutan. Malfetto adalah jelmaan iblis.

Wabah berdarah yang nyaris memusnahkan penduduk negeri, memunculkan kengerian. Segelintir orang yang selamat menjadi malfetto, orang-orang terkutuk. Apalagi orang-orang terkutuk itu memiliki kekuatan supernatural dan dapat membunuh sesuka hati. Kerajaan membentuk pasukan inkuisisi untuk memburu mereka karena dianggap berbahaya.

Kehidupan Adelina Amouteru berubah ketika dia kehilangan mata kirinya dan rambutya berubah sewarna perak. Dia malfetto. Sang ayah berusaha menjualnya. Adelina berusaha kabur. Malangnya, dia tertangkap oleh pasukan inkuisisi dan hendak dijatuhi hukuman mati. Pemuda misterius bernama Enzo menyelamatkan Adelina. Ternyata Enzo adalah pemimpin Dagger Society, sekelompok Elite Muda yang berencana menggulingkan pemerintahan. Karena tidak punya pilihan lain, Adelina bergabung. Namun ketika tiba waktunya melakukan kudeta, Adelina dihadapkan pada pilihan sulit: mengkhianati Dagger Society atau mengkhianati adik perempuannya sendiri. Apa pun yang dipilihnya, kematian mungkin menunggunya.

---

Pertama kalinya baca karya Marie Lu, dan setelah ini kayaknya nggak jadi untuk kepengen baca Legend series, aku trauma XD

Sejujurnya aku nggak begitu tertarik dengan blurbnya.. karena kesanku, ide ceritanya biasa aja. Waktu baca, bener sih cerita ini agak biasa bagiku. Malah aku tiba-tiba inget Elantris-nya Brandon Sanderson, karena ada pangeran yang terbuang oleh sebab wabah XD

Adelina adalah salah seoran Elite, sebutan untuk malfetto yang punya kekuatan. Awalnya memang aku nggak begitu terkesan tau tentang perkumpulan Belati (Dagger Society) yang anggotanya punya masing-masing kemampuan. Entah kenapa di ending setelah tau tentang adiknya Adelina, aku baru merasa kalau ide ini keren banget XD mungin ide tentang kekuatan-kekuatan inilah yang membuatku suka sama novel The Young Elites ini.

Karena secara alur, novel ini sedikit lambat ya..atau mungkin memang karena baru novel pertama, makanya dibuat seperti ini..perjalanan Adelina menguasai kekuatannya, misi-misi kecil Perkumpulan Belati, kedekatan Enzo dan Adelina..

Konfliknya juga masih bisa dibilang biasa aja tentang para Elite yang mau menggulingkan pemerintahan, tapi narasinya oke. Aku ikut merasakan ketegangan yang luar biasa ketika membacanya. Hanya satu hal, aku kurang bisa mendapat chemistry antara Enzo dan Adelina. Meskipun aku senyam-senyum sendiri ketika membacanya, tapi tetep aja setelah berganti bab, perasaan itu hilang.

Ada satu scene yang bikin aku jungkir balik baper sama Enzo.

“Jangan menangis,” katanya, suaranya tegas. “Kau lebih kuat daripada ini.” – hlm 224

World building mungkin salah satu hal yang sering aku lupakan setiap kali membaca novel fantasi karena aku terlalu sibuk menikmati ceritanya, setelah aku berhasil menenangkan diri selesai membaca novel ini, aku sekarang kepikiran bahwa world building TYE belum terlalu terasa. Aku belum bisa merasakan cirinya, di awal buku memang ada peta negerinya dan itu salah satu hal yang aku sukai, tetapi Kenettra ini belum terlalu terbayang. (apa karena masih di buku satu? Entahlah kita liat nanti).

Karakternya, agak syok ketika mengetahui kalau karakter utama di sini tidaklah sempurna. Aku memang kebanyakan baca karakter yang sempurna XD Adelina berambut perak, mata kirinya dicungkil saat sakit karena wabah, bekas lukanya ada di sebelah kiri wajahnya. Begitupula Enzo yang tangan hanya berupa...ya gitulah ugh:’(

Tapi justru setelah menikmati ceritanya aku senang karena tokoh-tokohnya seperti ini, penuh dengan kekurangan namun kelebihan yang luar biasa pula. Khususnya Adelina, dia tokoh utama yang istimewa menurutku. Dia kelam dan rapuh. Beberapa narasi menyebutkan bahwa Adelina bisa mendapat kekuatan dari rasa takut yang terpancar dari orang-orang (cmiiw), dan ini sangat..sangatttt menarik buatku :D aku suka sisi-sisi gelap ;)

Meskipun aku terkadang merasa gereget sama sikap Adelina yang cukup plin plan dan terus berprasangka, tapi aku bisa mengerti karena masa lalu Adelina yang cukup menyedihkan.

“Tak seorang pun menginginkanmu menjadi dirimu sendiri. Mereka ingin kau menjadi versi orang yang mereka sukai.” – Adelina Amouteru (hlm 118)

Novel ini memakai sudut pandang pertama dan ketiga, POV pertama Adelina dan paling mendominasi sementara POV ketiga dipakai tokoh lain, Teren Santoro si Kepala Inkuisisi dan musuh Perkumpulan Belati, lalu ada juga POV ketiga Raffaele, salah satu anggota Perkumpulan Belati.

Overall, aku suka ceritanya kelam-kelam gitu dan aku nggak sabar membaca semua triloginya meskipun sebenarnya aku agak trauma dan panik, takut dengan ending-nya hehe. Karena aku ini tipe yang susah move-on dari novel fantasi, apalagi kalau ending-nya bikin aku sedih.

Satu-satunya yang paling aku benci dari novel ini adalah endingnya HAHA. Setelah disakiti oleh ending buku ketiga beyonders series, inilah buku kedua yang bisa bikin aku sakit hati banget. Satu syarat kalau kalian mau mulai baca series ini dan setipe denganku; jangan menyesal :’)

Maka karena itulah aku agak sangsi dengan buku-buku Marie Lu (padahal baru baca satu T_T) aku gak mau disakiti lagi HAHA. Tapi aku punya Warcross dan akan baca buku itu, semoga kisahnya lebih cerah daripada TYE series!! Belum bisa memastikan apakah Marie Lu bisa jadi penulis favoritku atau nggak. Hm.

“Pembunuhan adalah sebuah cara untuk mengakhiri sesuatu. Bukan untuk mendapat kepuasan.” – Raffaele (hlm 401)

Selasa, 21 Agustus 2018

[RESENSI] Kana di Negeri Kiwi by Rosemary Kesauly

IG: arthms12



Judul: Kana di Negeri Kiwi
Penulis: Rosemary Kesauly
Ilustrasi sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (cetakan keenam: Juli 2018)
Jumlah halaman: 200 hlm.
ISBN: 9786020380315

Blurb:
Tak pernah terlintas di benak Kana bahwa dia harus pindah ke Negeri Kiwi. Itu berarti dia harus meninggalkan Yogyakarta, kota asalnya, dan Rudy, cowok yang dicintainya. Tapi apa boleh buat, mau tak mau Kana harus menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya: ayah yang dikenalnya setelah usianya lima belas tahun, teman-teman baru, sekolah baru, kebiasaan baru, dan yang lebih penting pengalaman baru.

Untung ada Jyotika. Cewek imigran India yang cantik itu langsung menjadi teman baik Kana. Namun pada tahun kedua di Negeri Kiwi, Kana mulai merasakan berbagai perubahan. Banyak masalah yang membuatnya pusing. Berat badan yang naik, tugas-tugas yang menumpuk, obsesinya pada Rudy yang tak pernah berakhir, dan lebih parah lagi Jyotika, yang selalu diandalkan sebagai tempat curhat, tiba-tiba menjauh. Jyotika menjadi cepat tersinggung dan selalu menghindar. Apa yang terjadi? Bosankah dia menjadi temannya? Ataukah karena akhir-akhir ini Kana sering jalan bareng Tsunehisa, cowok Jepang kece di sekolahnya, yang juga cowok favorit Joy?

----

Kana di Negeri Kiwi bercerita tentang Kana yang dipaksa ibunya untuk tinggal dengan ayahnya di New Zealand karena ibunya mau menikah lagi. Di sana, dia memiliki sahabat bernama Jyotika atau Joy. Konflik utama dibuka dengan Joy yang tiba-tiba berubah sikapnya kepada Kana.

Padahal, biasanya Joy tidak pernah marah dan selalu ada waktu untuk meladeni keluhan-keluhan kecil dari Kana seperti berat badan dan Rudy, mantan pacarnya di Jogja yang masih dicintai Kana.
Seperti pada blurb, konflik utama ini lebih berfokus kepada masalah yang dialami Joy, aku nggak bakal ceritain clue-nya masalah itu karena bisa spoiler dan nggak kejutan :p

Yang jelas, konflik yang diambil menurutku sangat berani. Saranku, jangan baca about author di halaman belakang novel ini jika kalian suka iseng baca halaman belakang buku, apalagi pas belum masuk konflik XD

Alasan kenapa aku lebih menyukai Kana di Negeri Kiwi (KDNK) daripada Mamimoma adalah gaya bahasa di KDNK lebih asik, mungkin karena sudut pandang orang pertama juga latar di New Zealand otomatis membuat buku ini memakai gaya bahasa yang baku tapi asik. Mirip novel-novel terjemahan deh pokoknya, aku sukak! Meski novel ini menurutku didominasi oleh narasi ketimbang dialog.

Seperti yang aku bilang, konfliknya memang cukup berani dan kadang aku pun dibuat merinding sendiri ketika membacanya. Tapi ide Kana setelah ‘badai’ itu berakhir justru lebih menarik perhatianku. Idenya membuat hm..semacam komunitas(?) bernama R.A.S.A, yang nggak akan kukasih tau singkatannya XD Ide ini nggak hanya menarik tapi mungkin memang patut ditiru oleh kebanyakan sekolah.

Selain konflik utama, novel ini juga ada bumbu romance-nya loh. Tentu saja cowok itu adalah Tsunehisa. Memang aku nggak terlalu mendapatkan chemistry antara mereka karena jatahnya udah banyak diambil sama konflik ‘badai’ itu.

Menjelang ending, entah kenapa aku jadi baru merasa bahwa novel ini adalah novel remaja. Sisi keremajaannya seakan-akan baru benar-benar muncul ketika menjelang akhir. Aku suka bagian cuplikan buku tahunan Kana yang diisi oleh teman-temannya.

Meskipun novel ini berjudul Kana di Negeri Kiwi, tapi aku nggak merasa cerita ini berfokus kepada Kana. Fokusnya lebih kepada Joy dan Kana yang mendapat pelajaran berharga atas segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Aku bahkan masih merasa cerita ini menggantung karena nggak ada kelanjutan hubungan Kana dan ibunya, atau Rudy atau tentang tujuannya setelah lulus SMA.

Karakter Kana ini bisa dibilang cewek yang bawel, narasi-narasinya juga penuh dengan humor ala Kana yang ringan dan nggak bikin bosan. Dan yang membuatku terkesan adalah, aku harus membayangkan banyak rupa di novel ini karena teman-teman Kana berasal dari negara yang berbeda-beda. Itu salah satu kelebihannya menurutku, novel ini jadi begitu berwarna :D

Overall, setelah bertahun-tahun baca novel ini dan kembali membacanya lagi, aku masih suka! Konfliknya yang telah lama aku lupakan sekarang membuatku kaget lagi serta tentang masa-masa SMA Kana yang membuatku senyam-senyum lagi.

Aku merekomendasikan kalian para remaja (atau bukan) yang mau membaca novel ringan namun dengan konflik berani, di novel ini juga banyak sekali self-reminder yang akan kita dapatkan.

Never trouble about trouble until trouble troubles you.” – Jyotika (hlm 39)
“Kadang hidup memang tidak berjalan sesuai yang kauinginkan. Dalam perjalanan hidupmu akan ada banyak orang yang meninggalkanmu dan menyakiti perasaanmu, tapi bersamaan dengan itu juga akan ada banyak orang yang memasuki hidupmu. Semuanya terus berputar.” – Dad (hlm 106)
Love actually is everywhere.” – hlm 127
Dan qoute terakhir yang paling menggambarkan novel ini adalah:
“Jangan ragu, tak usah malu, semua yang terjadi bukan salahmu.” – hlm 155


Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)