Kamis, 30 Juni 2022

The Star and I, A 55% Heartwarming Story karya Ilana Tan (resensi)

 



source: google

 

Judul: The Star and I

Penulis: Ilana Tan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2021)

Jumlah halaman: 344 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Siapa sih yang nggak kenal Ilana Tan? Penulis lokal yang paling populer deh ini. Tetralogi musimnya yang sukses dan sosok misterius yang kita nggak tau siapa, bikin nama Ilana Tan dikenal di mana-mana.

Jujur, Ilana Tan juga adalah penulis lokal pertama yang aku kepoin, dan bisa dibilang awal mula aku suka baca novel-novel romance. Judul pertama yang aku baca waktu itu adalah Sunshine Becomes You yang sukses besar bikin aku nangis sampai sakit hati hahaha.

Book-hangover yang aku rasain setelah baca SBY tuh ada kali sampai seminggu. Bengong dikit kepikiran Mia Clark, dasar lemah.

Disusul In A Blue Moon, tapi aku nggak terlalu suka buku itu. Lanjut bertahun-tahun kemudian aku mulai baca Tetralogi Musim, yang mana baru aja aku selesain bulan kemarin. Terakhir baca adalah ini, The Star and I, karya terbaru dari Ilana Tan.

Bisa dibilang, aku udah khatam semua karyanya Ilana Tan kecuali Season to Remember sama collabnya.

Dan setelah mabok baca karya Ilana Tan, diakhiri dengan TSaI, sepertinya ini saatnya untukku pensiun baca novel beliau...

Wait..why?

Jadi gini ceritanya.

Setelah marathon Tetralogi Musim (yang populer pada masanya), baca novel-novel itu sekarang buatku udah terlalu biasa. Dari mulai ide cerita dan plot. Semuanya biasa aja. Karakter? Apalagi. Cuma sekumpulan cewek baik dan cowok baik yang dipermainkan takdir.

Lalu aku pikir, oke sekali lagi baca novel Ilana Tan, yang terbaru, sekalian mumpung lagi mood baca novel kontemporer ringan dari penulis yang sama pula.

The Star and I bercerita tentang Olivia, seorang aktris teater asal Skotlandia yang merantau ke Amerika dengan tujuan mencari orangtua kandungnya. Ya, Olivia diadopsi di Amerika lalu dibesarkan di Skotlandia. Di Skotlandia, dia punya temen dari kecil yang bernama Rex, seorang penulis lagu dan pemusik, Di Amerika, Rex membantu Ollie untuk mencari ortu kandungnya sekaligus kangen-kangenan karena mereka udah sembilan tahun nggak ketemu karena suatu kesalahpahaman.

Setelah namatin novel ini, yang rasanya kering dan serak butuh minum itulah akhirnya aku berpikir kayaknya aku harus udahan baca novel Ilana Tan. Soalnya, menurutku nggak ada perubahan sama sekali dari semua novel yang beliau tulis. Semua novelnya terasa warm tapi flat banget.

Melanjutkan series sebelumnya mengambil latar belakang di luar negeri, The Star and I cuma nyeritain kisah cinta biasa. Keseharian Ollie si gadis manis baik hati di Amerika sebagai aktris teater, dateng ke pesta, jalan-jalan, jatuh cinta..dan Rex si ganteng kalem yang cuma bisa senyum sama Ollie doang alias kaku sama cewek lain.

Disisipi oleh kisah dari pov sang detektif, Robert, yang nyeritain beberapa tokoh lain selama pencarian orangtua kandung Ollie. Dan itu juga biasa aja, cuma selewat doang.

Part yang mulai bikin aku bersemangat adalah ketika akhirnya ada hilal buat nemuin ibu kandung Ollie. But what did i expect? Ilana Tan bukan penulis yang gemar bikin ‘drama makjang’ kalaupun ada drama, ya masih normal aja gitu. Like it will definitely happen in the real world, 100% make sense.

Plotnya datar, konfliknya datar, karakterisasinya juga datar. Mungkin novel ini consists of 55% heartwarming lah ya, karena karakter-karakternya yang seperti balls of sunshine, serta gaya bahasanya yang adem dan ngalir. Terlebih, aku lumayan suka sama gimana Olivia menghadapi masalahnya dengan ibu kandungnya. Nggak lebay, tapi nggak sok kuat juga.

Well, it isn’t enough for me, tho.

Dari sinilah aku mulai sadar..

Ini novel Ilana Tan semua ternyata gini-gini aja ya. No something new, no something fresh. Baca tetralogi musim sama baca The Star and I (yang beda bertahun-tahun) malah jadi nggak ada bedanya buatku. Kayak ditulis di satu timeline yang sama.

Jangan-jangan kalau aku baca SBY sekarang pun rasanya udah biasa kali ya..yang bedainnya mungkin Alex Hirano tuh cowok ngeselin awalnya, jadi ada characters development lah walau sedikit. Ditambah aku suka trope enemies-to-lovers juga sih.

Overall, nggak banyak yang bisa aku ceritain dari The Star and I. Buat yang kangen novel-novel ala Ilana Tan, ya monggo dibaca, tapi ya kamu mungkin nggak akan nemu hal baru. Buatku sendiri, novel ini terlalu datar dan nggak ada yang menarik. Dunia seni peran juga cuma ada beberapa poin aja yang dijelasin tapi nggak terlalu ngaruh sama keseluruhan cerita.

Eksekusinya entah kenapa bikin lega haha. Nggak bisa jelasin, tapi ending-nya adalah hal terbaik nomor satu dari novel ini menurutku.

That’s all. Thank you for reading and see you on another review! Jangan lupa koleksi novel Ilana Tan yang ini tambahin ke rakmu dong, klik di sini!

Dont forget to click the follow button/submit your email for new updates!

 


Kamis, 12 Mei 2022

Toxic Masculinity dalam The Name of The Game karya Adelina Ayu (resensi)

 



source: google
 

Judul: The Name of The Game

Penulis: Adelina Ayu

Penerbit: Bhuana Sastra (2019)

Jumlah halaman: 331 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Sebenernya agak takut nulis ini karena gue liat-liat rating dan resensi novel TNoTG tuh tinggi dan bagus-bagus semua! Nggak, bukannya gue bakal nulis yang jelek cuma karna gue ngasih bintang tiga kok.

Tapi ini murni masalah selera. So, dont get me wrong. Gue cuma berasa berada di zona lain dari orang-orang normal haha.

Oke jadi The Name of The Game ini bertema Young Adult dengan Toxic Masculinity sebagai temanya. Isinya sendiri bercerita tentang tiga remaja kuliahan yang saling terpikat gitu deh.

Ada Flo, maba sastra Perancis UI yang naksir kakak tingkat jurusan mesin bernama Daryll (cowo yang maskulin) dan dia juga deket sama Zio (cowo yang feminin) kakak tingkatnya di jurusan arsitektur. Sementara itu, Daryll dan Zio ini punya love-hate-friendship sejak SMP.

Yang Flo nggak sadar adalah, Zio juga ternyata naksir dia. Yah, semacam cinta segitiga gitu deh.

Novel ini, bisa dibilang adalah buku tentang toxic masculinity versi fiksinya. Kalau kamu pengen baca dan memahami apa itu toxic masculinity dengan mudah, novel ini bakal kasih kamu jawaban selengkap buku paket sekolah. Plus, disuguhin cerita cinta juga. Paket komplit gak tuh?

And that is where it started. Saking mendidiknya, gue jadi nggak menemukan keseruan alurnya. Kayaknya nyaris semua paragraf, semua bab, bener-bener ngungkapin opini yang bagus tentang social issue yang emang anget banget khususnya di Indonesia.

Gue diajak membaca tentang perasaan Zio, cowok feminin yang meskipun feminin tapi dia tetep aja laki-laki. Dan nilainya sebagai laki-laki nggak berkurang. Gue diajak kenalan sama Daryll, yang bener-bener menghargai orang lain sesuai apa adanya, dan maskulinitas dirinya sendiri bukan karena dia dituntut untuk menjadi seperti itu.

Jangan tanya soal Flo, karena menurut gue dia terlalu fiksi. I mean...Flo satu-satunya cewek yang bisa nerima Zio dan nggak ilfeel, nggak ngatain bla bla. Hhe. I dont have any problem about her character tho. Ada sih satu scene di mana Flo bilang “warna pink kan buat cewek –cowok itu warna biru”, tapi cuma segitu aja, selebihnya dia sangat open minded lah ya.

Di sini gue sangattt amattt suka sama penulisan karakternya yang kuat. Khususnya buat Zio dan Daryll. Gue suka gimana cara penulis bikin posisi, ngeluapin perasaan, dan pikiran mereka lewat kata-kata. Semuanya pas dan terasa deep. Zio dan Daryll ini tokoh-tokoh yang konsisten ditulis.

Gue paling suka dengan identitas Zio yang suka banget vanilla, sementara Daryll yang suka milo, buku cerita anak, dan punya banyak hewan peliharaan. I’m so soft for them:”)

Just like what i said before, buku ini adalah buku yang mendidik dengan cara yang menyenangkan. Siapapun yang baca buku ini, gue yakin bakal ningkatin lagi kadar empati kalian terutama saat ngadepin sosok kayak Zio.

Wait, gue sebenernya agak sedikit bingung sama Zio. Dia nggak mau dikatain banci/bencong dan berpura-pura bisa nerima tapi kenapa ya dia malah sering pake bahasa banci? Apa itu choping mechanism-nya karena diejek terus? Idk. It just doesnt sit right with me.

Menurut gue cukup Zio jadi karakter yang kenal skincare, cara ngerawat diri, dan punya kesukaan yang beda sama apa-yang-orang-bilang-maskulin, tanpa perlu dia pake bahasa banci.

Satu hal yang bikin gue gak ‘match’ sama novel ini adalah dari segi alur dan konfliknya. Sejujurnya, gue kurang suka konflik yang nggak ‘bulet’. Dari awal sampe ngelewatin setengah buku, gue cuma diajak jalan-jalan mengenali karakter Zio dan Daryll lewat Flo dan belajar soal toxic masculinity itu sendiri.

Gue bahkan sampe lupa kalo cerita ini ada cinta segitiganya haha. Maka dari itu gue baca novel ini nyaris sepuluh harian lah. Karena gue nggak punya alasan untuk terus kepo sama apa yang terjadi selanjutnya. Sorry for saying this. Konfliknya nggak page-turner buat gue.

Belum lagi, menurut gue di novel ini terlalu banyak telling daripada showing-nya seolah-olah novel ini emang dibuat buat pure mengedukasi/menekankan banget pelajaran daripada menghibur (yang diselipi edukasi). Hal ini juga bikin gue sedikit turn-off karena berasa lagi didikte.

Tapi harus gue akui, cukup banyak quotes yang menampol. Kalau aja nggak terlalu gamblang, novel ini bakal deket banget ke perasaan gue kayak The Midnight Library-nya Matt Haig.

Bicara soal toxic masculinity-nya, gue juga menyaksikan langsung kejadian ini waktu gue kuliah. Nggak mau bilang gue si paling open minded, tapi gue bisa paham dan ngerti sama isu ini.

So, bukan hal baru bagi gue pas baca tema kayak gini. Tapi, gue tetep ngerasa seneng baca buku yang ngangkat isu sensitif ini dan berharap makin banyak yang baca novelnya!

Overall, menurut gue sebagai pembaca (terutama genre fav gue nomer satu itu fantasi) gue sangatt amat menilai sebuah novel dari segi alur dan konflik yang disajikannya duluan. Gue bahkan baca apa pun genre atau temanya asal alurnya seru buat diikutin.

Konflik soal Zio yang mempertanyakan ulang tentang dirinya sendiri (krisis identitas?) karena sosok maskulin Daryll yang disukai oleh cewek yang dia suka buat gue belum cukup untuk bikin gue menyukai alurnya. Sisanya, novel ini sangat amat layak dan high recommended buat dibaca.

The story was good but it was just not for me. So, i only gave 3 for The Name of The Game!

 Tertarik buat baca dan beli novel The Name of The Game? Psst hati-hati novel bajakan! Beli yang ori di sini!

p.s gue masih penasaran sama Daryll. Di awal dia keliatan jadi salah satu tokoh utama, tapi makin kebelakang justru dia kayak cuma figuran bagi kisah Flo dan Zio. Menurut gue, dia cuma kayak jadi pecutan untuk character development-nya Zio. Huhu. Sad.

Gue pengen baca kisah Daryll, tapi yang ada cuma cerita Andra dan Shaien. Not sure if i will read that book or not.

Dont forget to click follow button or submit your email below! See you on another review!

 

 

 

 

 

 


Progresnya Berapa Persen? by Soraya Nasution (resensi)




source: google



Judul: Progresnya Berapa Persen?

Penulis: Soraya Nasution

Penerbit: Elexmedia Komputindo (2019)

Jumlah halaman: 359 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Lagi, penasaran sama novel ini karena keracunan base di twitter haha. Seberapa kece sih si tokoh utama laki-laki di Progresnya Berapa Persen? sampe orang-orang banyak yang bucin?

Well, PBP? bertema office romance. Agak jarang sih baca tema ini, yang aku inget tuh pertama dan terakhir kali baca tema ini cuma Resign dan Ganjil-Genap punyanya Almira Bastari. Sekarang nyoba lagi dari penulis lain.

Ini pertama kalinya baca punya Soraya Nasution, kesan pertamanya, weh buseh, nyaris mirip sama Resign dari segi premisnya. Bos yang diem-diem naksir pegawainya. Si bos lempeng aja berasa lagi pdkt watados sementara si pegawai kebingungan sama tingkah si bos.

Meski premisnya mirip, tapi alur ceritanya tetep beda kok. Gue masih tetep penasaran sama sosok Dewangga si tokoh utama ini.

Secara garis besar, office romance ini termasuk yang slowburn dari sisi romance-nya. Di awal, yang banyak diceritain adalah keseharian para pegawai kantor di perusahaan. Meskipun gaya penulisannya enak buat diikutin, somehow gue ngerasa lagi masuk ke tongkrongan orang lain.

Banyak banget dialog sehari-hari, becanda, ngobrol biasa, yang kadang bikin gue mikir ini penting gak sih dimasukin ke novel. Karena gue mikirnya beberapa ada yang nggak perlu dan nggak ngaruh sama konfliknya sendiri.

Tapi karena konfliknya juga nggak terlalu keliatan, novel ini jadi kayak snack ringan yang bisa dibaca kalau lagi nggak ada kerjaan aja. Jadi gue mewajarkan aja deh banyak percakapan nggak penting.

Yang bikin gue suka sama novel ini adalah banyaknya kegiatan kantor yang dimasukin, detail soal pekerjaan konsultan bidang konstruksi. Meskipun gue nggak ngerti padahal udah ada catatan kaki tentang istilah-istilah teknik, tapi gue tetep aja suka baca novel yang membahas hal-hal baru buat gue. Anak teksip akan menyukai novel ini mungkin ya haha.

Lanjut soal karakter, di sini orangnya banyak, rame bener deh. Ada Pak Dewangga, April, Sheila, Kenzo, Naufal, Clinton, Adrinta, sama Ryan. Maap kalo ada yang kelewat. Untungnya, novel ini punya pov orang pertama April, jadi nggak terlalu pusing sama karakter-karakter lain.

Kalo mereka bilang mereka adalah circle yang paling bikin betah dan nyaman selama di kantor, gue sebagai pembaca yang ngintip obrolan dan keseharian mereka di kantor, mohon maaf untuk tidak setuju HAHA. Apa ya, menurut gue nggak ada yang menarik dari pertemanan mereka. biasa aja. Humornya juga gak banyak yang nyampe ke gue.

April sebagai tokoh utama pun menurut gue biasa aja. Nothing special. Lalu buat Pak Dewangga alias Pakde, menurut gue sama aja haha. Kalo bandingin sama Tigran sih, emang lebih creepy Tigran. Tapi entah kenapa gue nggak terlalu suka sama tipe-tipe kayak mereka, yang seolah-olah nggak mikirin posisi/perasaan partnernya dan tetep ngelancarin serangan pdkt.

Konfik baru dimulai saat Pakde mau deketin April, dan sekali lagi menurut gue alur konflik sampai ke penyelesaian nggak begitu menarik. Apalagi dengan ending yang udah kentara banget, makin bikin gue mikir nothing special with their relationship. No baper baper kayak yang orang lain bilang. Atau gue yang aneh aja kali y?

Overall, novel ini cocok dibaca bagi penggemar office romance yang asik, ringan, ngalir, dan nggak banyak drama. Nilai plus gue buat novel ini cuma terletak di kegiatan kantornya aja yang bikin gue punya insight baru. Sisanya, so-so lah. Not exciting alias biasa aja haha.

Gue baca ini cuma karna penasaran sama Pakde, turns out he’s flat. Tigran memang creepy, tapi karena tokoh ceweknya yang rempong dan abur-aburan, jadi Resign menurut gue lebih gereget. Nah PBP ini versi kalemnya lah.

Jadi, gue cuma ngasih 2.5 aja buat Progressnya Berapa Persen? Mungkin bakal baca karya Soraya Nasution yang lain kalau mungkin premisnya lebih menantang. Hehe. 

Mau koleksi novel ini? Jangan lupa beli yang ori! Klik link di sini!

Dont forget to click the follow button or submit your email below! See you on another review!

'Macet-macetan' di Ganjil-Genap karya Almira Bastari (resensi)

 

source: goodreads



Judul: Ganjil Genap

Penulis: Almira Bastari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 344 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Setelah sukaaa banget sama Resign! aku pengen banget baca lagi karyanya Almira Bastari. Tapi waktu itu lagi nggak mau baca wedding marathon, jadi pas Ganjil Genap terbit, tertarik dong, dan baru bisa baca sekarang.

Awal-awal baca ini auranya udah mirip Resign deh, kayaknya menyenangkan dan ngalir. Semangat banget bacanya walaupun nggak tau tokoh utamanya siapa.

Ganjil-Genap bercerita tentang Gala yang baru aja diputusin sama pacar 13 tahunnya yang bernama Bara. Katanya sih, Gala terlalu baik dan Bara sekarang mikir kalau Gala bukan orangnya, alias bukan orang yang tepat buat dinikahin Bara. Bah.

Sialnya, ternyata adik Gala yang bernama Gisha mau nikah juga. Masa ngeduluin kakaknya sih? Mana Gala juga tahun depan udah umur 30. Sasaran empuk banget buat jadi bulan-bulanan keluarga ga sih?

Makanya Gala mutusin untuk cari cowok baru yang kalau bisa bakal ditarik ke pelaminan sebelum keduluan Gisha. Seluruh isi novel inilah yang menceritakan perjuangan Gala buat nemuin pasangan baru.

Di awal, aku sempet gereget karena nggak tau siapa male lead di novel ini. Pas Gala ketemu satu cowok, eh gagal. Ketemu yang lain, gagal lagi. Gemes banget! Padahal kan aku pengen mulai nge-ship gitu haha.

Trus akhirnya ada satu cowok yang muncul terus-terusan, nah, kalau aku sebutin namanya, spoiler nggak ya? Pokoknya bilang aja si A. Dari setiap tragedi di hidup Gala, si A ini muncul terus. Sayangnya, aku kurang suka sama karakter si A.

A ini menurutku adalah red flag berjalan. Karakternya creepy, bikin ngeri-ngeri sedap lah. Touchy, gombal basi, posesif, arghh i caaant.

Trus karakter Gala sendiri, entah kenapa aku juga nggak begitu suka dia. Menurutku, dia flat, nggak ada uniknya meskipun kata Gala sih dia beda dari cewek-cewek lain. Ga tau deh di mana bedanya. Perasaan dia biasa aja.

Yang paling bikin aku nggak terlalu menikmati novel ini adalah konfliknya sendiri. Agak nggak terlalu masuk akal menurutku. Gatau ya kalau kalian ada yang pernah ngalamin ini. Aku sih, cant relate haha.

Gala ini nggak punya sedikitpun masalah selain jodoh. Hidupnya sempurna. Di poin ini, aku merasa ada yang nggak beres deh. Masa sih, nggak ada faktor lain gitu? Jadi bener-bener fokus cuma di cari jodoh aja.

Dia diputusin Bara setelah pacaran selama 13 tahun tapi nggak terlalu kerasa galaunya. Malah langsung cari cowok baru? Are you kidding me.. emang sih pas beberapa kali dikatakan kalau Gala keinget Bara mulu dan nangis pas ketemuan. But those were not enough for me.

Yang paling mengherankan, tiap Gala inget kelakuan Bara selama mereka pacaran tuh nggak ada bagus-bagusnya dah si Bara?? Cenderung sama-sama red flags kayak si A. Kok bisa mau pacaran sampe 13 tahun?

Menurutku, konfliknya agak gimana gitu. Emang sih banyak yang diomongin kalau nikah terlalu tua bagi cewek cuma aku tetep ngerasa aneh aja. Konteksnya kan Gala baru diputusin, harusnya bisa lebih perhatian lah, masa iya sampe segitunya nyari cowok demi nggak diduluin adik.

Pokoknyaaa, aku nggak sreg sama konfliknya. Kalaupun memang beneran ada yang kayak gini, paling aku cuma bisa heran aja deh, why are people so sick?

Terus, ternyata meskipun gaya bahasanya yang tetep asik kayak Resign, aku nggak seterhibur pas baca Resign sih. Humornya nggak sampe ke aku. Kisah pertemanan Gala juga biasa aja. Duh.

Dari awal sampe akhir ini novel biasa aja. Flat jadinya. Ditambah karakter A yang ew banget. Aku tadinya mutusin buat ngasih 2 bintang aja ke GG T_T

TAPI, thank God, eksekusinya bikin aku lega hahaha pokoknya baca aja deeeeh. Ending yang nggak aku sangka bakal dipake, udah tegang, udah mau ngasih 2 bintang, ehhh jadi naik ke 3.

Overall, aku tetep nggak terlalu suka GG sih. 2 bintang juga cuma karna ‘it was ok’. Boleh lah dibaca buat kalian yang mau tips cara mengatasi kejombloan, aku sih belum perlu. Nambah satu bintang lagi karena endingnya bagus. Dah segitu aja.

Dont forget to click follow button/submit your email! See you on the next review!

Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)