Judul: Happiness
Penulis: Fakhrisina Amalia
Penyunting: Rina Fatiha
Perancang Sampul: Teguh Tri Erdyan
Penerbit: Ice Cube/YARN – young adult realistic
novel (2015)
Blurb:
“Berarti
nggak masalah, dong, kalau Ceria masuk MIPA tapi ambil Biologi?”
“Bisa
aja, sih. Tapi kalau kamu tanya Mama, tang banyak hitung-hitungannya itu lebih
spesial. Nggak sembarang orang bisa, kan?”
Bagi
Mama yang seorang dosen Matematika, hitung-hitungan itu spesial. Mama selalu
membanding-bandingkan nilai rapor Ceria dengan Reina –anak tetangga sebelah
yang pandai Matematika– tanpa melihat nilai Bahasa Inggris Ceria yang sempurna.
Karena itu, sepanjang hidupnya Ceria memaksakan diri untuk menjadi seperti
Reina. Agar Mama dan Papa bangga. Agar ia tak perlu lagi dibayang-bayangi
kesuksesan Reina. Agar hidupnya bahagia. Ceria bahkan memilih berkuliah di
jurusan Matematika tanpa menyadari ia telah melepaskan sesuatu yang benar-benar
ia inginkan. Sesuatu yang membuat dirinya benar-benar bahagia.
Lima detik, izinkan aku menghembuskan napas
panjang sebelum memulai resensi ini. Sejujurnya, aku udah nggak mau bahas novel
ini, bukan! Bukan karena novel ini jelek, tapi karena aku terserang paranoid
setelah bacanya HAHA.
Oke. Jadi, novel ini bercerita tentang Ceria yang
tidak seceria namanya. Ceria nggak punya temen di sekolah, duduk di bangku
belakang sendirian, dan Ceria paling nggak bisa yang namanya ngitung-ngitungan.
Paling nggak bisa ilmu eksakta. Tapi dia sekarang ada di kelas Alam alias,
kelas IPA.
Semuanya disebabkan oleh lingkup keluarganya.
Mamanya seorang dosen Matematika, ayahnya yang meskipun dulu masuk jurusan IPS,
tapi kuliahnya jadi akuntan serta abangnya yang masuk jurusan arsitektur. Kedua
orangtuanya menuntut Ceria agar sama seperti mereka semua, terutama dengan cara
terus membanding-bandingkan Ceria dengan teman satu kelasnya yang juga tetangga
sebelah rumah bernama Reina yang sangat jago di bidang eksak.
Setiap hari, Ceria selalu dibantu belajar oleh
abangnya, Farhan. Farhan adalah satu-satunya orang yang mengerti bahwa minat
dan bakat Ceria tidak ada di bidang eksak, melainkan bahasa. Tapi Ceria
bersikeras ingin membuktikan bahwa dirinya bisa, bahkan melampaui Reina, hingga
Farhan tidak bisa menetang keputusan bulat adiknya dan hanya bisa membantunya.
Semua berubah ketika Farhan melakukan sesuatu
yang dibenci oleh Ceria. Gadis itu menjauhi abangnya, dan mencoba belajar
matematika sendirian. Tapi dia tidak bisa melakukannya bahkan setelah berusaha
keras. Otaknya benar-benar tumpul ketika menghadapi rumus. Saat itu, munculah
Doni, teman sekelasnya yang diam-diam perhatian kepada Ceria dan menawarkan
bantuan.
Beberapa minggu menuju UN, Ceria rutin belajar
bersama Doni pagi hari di kelas dan malamnya di rumah Ceria. Perjuangan Ceria
yang bahkan sampai membuat Doni kewalahan karena lelah menunjukan hasil yang
baik; Ceria mendapatkan nilai sempurna dalam UN-nya. Mengalahkan Reina. Orangtuanya sangat bangga padanya dan Ceria
merasa ia sudah berhasil.
Namun, konflik lain muncul ketika ia kembali dipaksa
untuk masuk jurusan Matematika saat kuliah. Ceria tidak mau, tapi dia masih
terbayang euforia orangtuanya yang bahagia dengan hasil UN-nya dan memutuskan
untuk mengambil jurusan Matematika. Farhan yang statusnya masih dimusuhi Ceria
langsung menentang habis-habisan karena ia tahu, Ceria tidak akan mampu masuk
jurusan Matematika.
Bahkan Doni sudah memperingatkannya: Matematika
di kuliah beda sama Matematika di SMA. Tapi sayangnya Ceria tidak peduli, dia
berpikir dia bisa jika mau lebih keras belajar. Orangtuanya mendukung seratus
persen keputusan Ceria.
Hingga akhirnya setelah kembali privat bersama
Doni, Ceria lolos di jurusan Matematika. Orangtuanya kembali bangga padanya,
meski dia agak kecewa karena tidak bisa melihat hasil ujiannya, apalagi dengan
Reina yang masuk universitas itu melalui jalur beasiswa tanpa tes.
Kehidupan Ceria saat mulai berkuliah jauh lebih
parah dari sebelumnya. Masalahnya, dia sama sekali tidak mengerti apa yang
dosennya bicarakan. Dia mual tiap kali melihat rumus-rumus di layar proyektor.
Untuk mengerjakan tugas pun, Ceria masih memerlukan bantuan, sayangnya Farhan
sibuk dengan tugasnya dan Doni juga, yang sekarang berkuliah di jurusan Teknik
Informatika.
Kovernya menunjukan gambar seorang gadis yang
terjatuh bebas, dan di situlah aku bisa merasakan bagaimana hancurnya Ceria
ketika dia memutuskan untuk masuk di jurusan Matematika dan melupakan mimpinya
di bidang Pariwisata serta Bahasa Inggris.
---
Matematika adalah hal yang Ceria benci,
begitupula aku. Bahasa Inggris adalah hal yang Ceria sukai, tapi tidak denganku
XD
Sejujurnya, novel ini adalah novel yang penuh
dengan emosi dari awal sampai akhir. Aku bahkan sampai sudah membayangkan
sepanjang apa resensiku nantinya, yang sedikit banyak menyelipkan curhatanku
sepertinya hahaha.
Jadi, aku benar-benar benci orangtua tipe seperti
ini, yang meskipun dalam dunia nyata, belum pernah kutemukan sama sekali .__.
Tapi aku percaya mereka ada hahaha.
Selanjutnya, karena terlalu banyak unek-unek yang
berhasil dimunculkan penulis di dalam otakku karena novel ini, aku memutuskan
bikin poin-poin aja, takutnya kecampur aduk sama perasaanku yang gegana ini,
jadinya malah berantakan XD
1)
Kover, Blurb dan Premis
Aku suka kovernyaaaaa! Sangat
suka. Kontras sama judulnya, Happiness, dan bikin aku penasaran. Blurb, aku
nggak tertarik sama sekali, karena premisnya jujur memang klise, tapi novel ini
rekomen dari temenku, jadi aku baca. Mungkin untukku, dan terutama ini udah dua
tahun kemudian, blurb seperti ini tidak menarik.
2)
Plot. Astaga. Suka. Banget. Memang
premis yang sederhana bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa kalau penulisnya
pintar membuat plot. Aku terhanyut dalam setiap alurnya, ikut merasa kesal,
sedih, kecewa, marah, campur aduk deh pokoknya.
Ada 3 bagian yang paling
membuatku mengeluarkan emosi: ketika Farhan ternyata (...), ketika Ceria
mengaku kepada orangtuanya dan endingnya.
(Aku juga ingin memprotes satu
bagian, maaf kalau kesannya agak pribadi hahaha, memangnya, gak ada universitas
negeri yang bagus di Palangka Raya sampai-sampai Ceria harus masuk univ swasta?
Padahal kan, tahun 2015 udah ada SNMPTN? Kalau perlu keluar Kalimantan kan
bisa? Demi gak usah tes lagi? Atau sekalian aja, kalau Ceria emang segenius itu
di bahasa sampai bisa studi banding, dia harusnya udah ditawarin beasiswa kayak
Reina, dan dia bisa ambil itu tanpa perlu mikirin orangtuanya toh dia nggak
dibayarin uang kuliah?)
3)
Jadi itulah yang aku kesalkan dari
karakter Ceria (padahal, terserah penulisnya lah mau bikin karakter dia jadi
kayak apa kan? Hahaha) aku benci Ceria nurut sama orangtuanya, aku benci
keputusannya untuk membuat orangtuanya bangga dengan mengalahkan Reina dan
masuk jurusan mtk bla bla.
Farhan: so far, dia adalah abang terbaik yang pernah ada. Dia yang paling
mengerti dan mendukung Ceria setelah Doni. Farhan bahkan menurutku, adalah arti
sesungguhnya dari judul yang dipilih oleh penulis. Karena memang banyak
flashback dan pelajaran hidup ngena yang diambil ketika Farhan dan Ceria
berbincang. Ada satu hal yang jelas bikin aku benci banget Farhan (yang katanya
peduli banget sama Ceria) tapi malah melakukan sesuatu yang sangat amat dibenci
Ceria, yang bahkan aku sendiri nggak terima dia bisa-bisanya lakuin itu. (fyi,
aku baca adegan ini di dalem bus kota dan hampir teriak saking keselnya, untung
bisa tahan hahahaha)
Orangtua: you know lah.
Doni: i love him. Dia satu-satunya karakter yang menurutku tanpa cela.
Sabar banget ngadepin Ceria dan ngajarin dia. Idaman lah.
Reina: gak ada yang salah sama
dia. Tapi karena Ceria selalu menggambarkan Reina sebagai sosok antagonis dalam
hidupnya, aku juga jadi ikut kesel. Karena tentu aja aku ada di pihak pemeran
utama, bagaimanapun juga. Dan ketika kita dibandingkan sama orang lain itu
rasanya nyebelin setengah mati. Betul? Otomatis kita bakal jadi benci sama orang
itu meski dia gak salah apa-apa.
4)
Penulisan. Nah, nah, di bagian ini
agak disayangkan. Bukan berarti jelek, tapi aku merasa kurang variasi dalam
pembentukan kalimat. Novel ini menggunakan penulisan yang simpel dan sangat
mudah dicerna. Aku bahkan bisa sambil dengerin musik DAN NYANYI ketika baca
novel ini tanpa sedikitpun kehilangan konsentrasi esensi ceritanya.
Alasan ini pula yang bisa
membuatku tahan untuk tidak menangis sesedih apa pun aku ikut merasakan alurnya
yang brilian.
Kecuali di bagian Ceria mengaku
kepada orangtuanya, kalimat muntah, sesederhana itu tapi bisa bikin aku nangis
kejer hahaha.
Ah ya, dan aku juga gak
menyelipkan qoutes ya di resensi ini karena alasan yang sama. Memang ada
beberapa yang secara umum masuk sebagai qoutes dan bermakna dalam juga, tapi
menurutku pribadi terlalu biasa hehe.
So far, buku ini juga rapi dan
bebas dari typo. Cuma nemu satu kata yang kelebihan huruf T, but its okay, aku
gak ambil pusing dengan cara mengabaikannya dan nggak nyatet kalimat apa
halaman berapa.
5)
Terakhir, bebas mau diskip apa mo
dibaca. Curhatan doang sih hahaha. Yang jelas setelah membaca novel ini aku
berharap nggak ada lagi kejadian orangtua yang suka otoriter sama anaknya,
biarkan setiap anak menuju impiannya masing-masing tanpa terbebani.
Dan juga bagi para anak, emang
ngelawan orangtua itu dosa ya dan durhaka, tapi kalau sampai kayak gini, kita
gak bisa diem aja. Ayo bergerak sendiri, Tuhan pasti bantu kita, yakin itu.
Jika orangtua gak ngerestuin, serahkan aja sama Tuhan. Kalau kita nantinya
sukses, justru nanti orangtua kita bakal sadar dengan sendirinya. Jangan kayak
Ceria yang demi bikin orangtuanya bangga dan berenti bandingin dia sama Reina,
dia nyiksa dirinya sendiri. Juga karena kemungkinan aku ini termasuk jiwa
pemberontak, makanya kesel aja Ceria bersikap kek gitu :)
Lalu, aku cukup paranoid ketika
selesai membaca buku ini, terutama ketika Ceria harus menghadapi UTS dan UAS.
Sejujurnya, aku salah satu yang merasa salah masuk jurusan hahaha. Aku kuliah
jurusan Sastra Inggris, hal yang diinginkan Ceria (tambah ironi kan? hiks) dan
kenyataan bahwa aku gak bisa berenti dari jurusan ini karena aku gak mungkin
ngelepasin beasiswa.....hahaha. (inilah alasan kenapa aku gak mau bahas novel
ini dan pengen cepet lupain Happiness, maaf kak Fakhrisina, bukannya nggak
suka, tapi aku takut kebayang terus dan malah berdampak buruk buat kuliahkuL)
6)
Overall!! Wuuuhu! Aku SUKA BANGET
ceritanya, feelnya, alurnya, kovernya, dan kukasih 4 bintang buat Happiness.
Kenapa gak lima? Aku belum bahas ending kan? Nah, endingnya adalah bagian
paling aku benci hahahaha. Aku gak rela. Aku gak terima. Aku gak suka. Jadi aku
mau simpen satu bintangnya buatku sendiri, karena harus memikirkan endingnya
untuk diriku sendiri. Sejujurnya, aku tuh gak bisa diginiin!! Tapi apa mau
dikata hahahaha.
Panjang ya? Hehehe. Untuk novel yang bikin aku
gereget sih, segini belum apa-apa. Tapi jariku juga butuh istirahat. Paling
terakhir, ada funfact tentang aku dan
penulis novel ini:
Kami sama-sama bersaing di lomba menulis Ellunar
Publisher tahun 2015 tema Amnesia. Dulu aku belum tau Fakhrisina tuh siapa
karena emang gak pernah denger novelnya. Ternyata setelah hasil pengumuman
juara keluar, Kak Fakhrisina ini menang juara pertama dengan cerpennya yang
berjudul Dear Lalita. Sementara aku keluar sebagai juara kedua dengan judul
Nocturne Op.9 HEHE. Mulai dari situ, kepoin Kak Fakhrisina dan ternyata memang
doi udah jadi penulis beneran! Baru kesampaian sekarang baca novel beliau.
Sukses selalu untuk Kak Fakhrisina, salam kenal dari aku :)