Tampilkan postingan dengan label review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label review. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Maret 2022

The Perfect World of Miwako Sumida (resensi)

 

source: goodreads



Judul: The Perfect World of Miwako Sumida

Penulis: Clarissa Goenawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 368 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Pertama kali baca novelnya Clarissa Goenawan. Akhirnya kesampean juga. Waktu pertama Rainbirds terbit, aku juga tertarik liat kover dan judulnya tapi tiap ada kesempatan baca di ipusnas rasanya males buat memulai. Mungkin karena blurbnya yang terkesan gloomy dan berat.

Tapi beda waktu pertama kali baca blurb TPWoMS ini, aku langsung tertarik dan langsung masukin ke daftar to-read di Goodreads haha.

TPWoMS bercerita tentang Miwako Sumida, well, not really actually, novel ini bercerita tentang tiga orang anak manusia yang kebetulan sama-sama kenal dan berhubungan dengan Miwako. Karena konflik dimulai dan cerita didasari karena Miwako yang bunuh diri, jadi ketiga orang tersebut nyeritain tentang Miwako deh.

Suicide case? Mystery? Lil bit thriller? At least those were what I thought I would find in this book. Reality? Not really haha.

Novel ini mengajak aku buat lebih mengenal sosok Miwako lewat tiga narator, sekaligus menikmati kisah tiga naratornya juga. Yang pertama ada Ryusei, cowok ganteng yang ketemu dan jatuh cinta sama sosok Miwako. Yang kedua ada Chie, sahabat Miwako. Dan yang ketiga ada Fumi-nee, kakak Ryusei sekaligus orang yang mempekerjakan Miwako di studionya.

Dari halaman pertama baca novel ini, aku udah mulai betah bacanya. Gaya penulisannya enak dibaca, thank the translator ya soalnya aku jadi nggak bosen meskipun ceritanya ngalir-ngalir adem gitu cocok buat bobo siang.

Alur cerita yang ditata dengan rapi pun bikin aku menikmati ceritanya. Dari mulai Ryusei yang jatuh cinta, selain bisa ngeliat gimana karakter dan kehidupan Ryusei, tentu sang tokoh utama Miwako juga digambarin dengan jelas di bagian satu ini. Sebenarnya aku sedikit kesulitan ngebayangin gaya penulisan yang mendayu-dayu ini dituturkan oleh pov kesatu laki-laki. Entah kenapa nuansanya lebih cocok pov perempuan, imo.

Di bagian kedua ada bagiannya Chie. Ada yang sedikit berbeda di bagian ini karena pov berganti jadi pov orang ketiga meskipun dari sudut pandang Chie. Alurnya juga jadi maju mundur, nyeritain gimana awal hubungan Chie dan Miwako.

Di bagian ini juga, daripada lebih mengenal sosok Miwako, aku justru lebih disuguhi karakter dan konflik batin Chie sendiri. Bisa dibilang, Miwako di sini hanya tempelan, karakter pendukung hidup Chie. Bagian ini nunjukin kalau Chie bener-bener kehilangan Miwako tapi dia berusaha untuk menerima kenyataan. Persahabatan Chie dan Miwako juga cukup seru dan hearwarming pas dibaca.

Di bagian ketiga ini adalah bagian yang paling seru. Awalnya aku mikir, Fumi nggak terlalu deket sama Miwako seperti Ryusei dan Chie, tapi kenapa dia dimasukin jadi salah satu narator? Dan yap, dari ketiga bagian, bagian Fumi adalah favoritku!!

Masih dengan pov ketiga sudut pandang Fumi, awalnya aku diajak untuk sedikit-sedikit flashback ke masal lalu Fumi sampe mikir, ini novel kok makin lama makin ngilang aja si Miwako? Kok jadi bahas Fumi? Tapi ternyata ya spekulasi hanyalah spekulasi, karena di akhir, benang merah pasti muncul haha.

Nggak bisa terlalu ceritain bagian Fumi karena akan major spoiler, darimulai identitas Fumi, plot-twist yang membagongkan, a lil bit thriller dan horor yang bikin aku –yang tadinya santai aja baca pas mau tidur lampu udah pada mati jadi merinding sendiri nengok kanan kiri haha.

Di bagian ini pula, rasa penasaranku soal sesempurna apa sih hidup Miwako sampai dijadiin judul akhirnya terbongkar. Dan kesimpulanku, sepertinya nggak ada satupun yang menganggap hidup Miwako itu sempurna kecuali dirinya sendiri AHAHAH.

“Mestinya aku tidak membohongi diri sendiri, atau orang lain.” Suawa Miwako memecah keheningan. “Mestinya aku tidak berpura-pura segalanya sempurna.” – hlm 352

Sepanjang cerita, aku nggak pernah mikir hidup Miwako sempurna, dan aku pun nggak menemukan Ryu, Chie, ataupun Fumi menganggap hidup Miwako sempurna. Cmiiw. Siapa tau kelewat.

Bagian milik Fumi bercerita tentang masa lalu Miwako. Yang menurutku udah banyak(?) ada di kehidupan nyata, mengerikan, sekaligus biasa, gitu deh, campur aduk, kayaknya diceritain secara biasa dan reaksi Fumi juga biasa makanya terasa agak flat tapi ngeri juga haha.

Yang bikin aku kurang puas dengan eksekusi cerita ini adalah, nggak begitu jelas alasan kenapa Miwako akhirnya bunuh diri. Oke, sebenernya cukup dijelasin, hanya saja bagi aku kurang ngena.

Selama ini kedua narator sebelumnya memang menceritakan Miwako di dalam hidup mereka, tapi bukan hidup, isi hati, dan isi pikiran Miwako sepenuhnya. Jadi buatku agak kurang ngena, karena cuma satu-dua paragraf aja nggak cukup, meskipun aku tau pasti berat juga jadi Miwako.

Overall, aku cukup menikmati cerita ini. Tulisannya bagus dan ceritanya menarik untuk dibaca. Sayangnya, aku jadi merasa buku ini kehilangan tujuan. Aku pikir akan lebih menemukan diri Miwako yang sesungguhnya dari novel ini. Makna yang sesungguhnya dipegang dari suicide case-nya Miwako. Tapi ternyata nggak.

Kesimpulannya? Aku juga nggak tau haha. Lebih ke cerita tentang cowok yang ditinggal pujaan hatinya, sahabat yang kehilangan sahabat terbaiknya, dan seseorang yang punya banyak rahasia akhirnya kebongkar rahasianya apa. Udah. Gitu aja.

Jadi, cuma bisa ngasih 3.5 buat The Perfect World of Miwako Sumida.

And anyway, tadinya mau baca Rainbirds juga, tapi ternyata pas baca ulang blurbnya, mirip-mirip sama TPWoMS ini, bedanya di Rainbirds tokoh yang jadi topiknya dibunuh, bukan bunuh diri. Jadi kayaknya aku nggak akan baca Rainbirds deh hehe, nuansanya sama (death case/mystery) jadi takut bosen.

Sekian.

Dont forget to tap follow button/submit your email below! See you in the next review and have a nice day!

 

 

 

Sabtu, 12 Maret 2022

Satu Hal Terbaik dari Say Hi! Karya Inggrid Sonya (a review)

 

source: google


 

Judul: Say Hi!

Penulis: Inggrid Sonya

Penerbit: Elex Media Komputindo (2021-digital)

Jumlah halaman: 528 hlm

Baca via: Gramedia Digital

 

Seperti biasa, pembukaan dulu. Pertama kali gue baca karya Inggrid Sonya adalah Revered Back di Wattpad. Dulu, bener-bener sukaaaa banget sama ceritanya meskipun kalau dipikir-pikir lagi ceritanya drama abis tapi intense-nya yang bikin gue betah baca.

Lalu gue kenalan sama Nagra dan Aru, collab-nya Inggrid bareng penulis lain, dan sekarang gue udah lupa banget ceritanya tentang apa, maap gue pikun.

Setelah sekian lama, waktu lagi berselancar di Wattpad, gue nemu Say Hi! terus mikir, wih judulnya lucu. Pas baca blubrnya i was like: wow..this is definitely my type! Semenarik itu di mata gue. Waktu itu udah ada pengumuman mau terbit, gue yakinin diri sendiri mau baca fisiknya titik.

Setelah terbit, gue agak syok liat jumlah halamannya. Gue mulai ragu. Tapi ini tulisan Inggrid loh, yang Revered Back-nya bisa bikin gue kelemer-kelemer sendiri pas baca di sekolah! Oke, gue tetep mutusin buat jadiin ini wishlist gue.

Kebetulan sekarang gue lagi punya GD, akhirnya gue mutusin buat baca aja, beli fisiknya kalau gue bener-bener jatuh cinta aja deh sama bukunya. And you know what? I think I am grateful that i didn’t buy the book lol.

Bukan, bukan, bukan karena ceritanya nggak bagus. Ceritanya bagus banget, tapi ada beberapa hal yang bikin gue berenti tertarik ke novel ini.

Cerita ini berkisah tentang Ribby si itik buruk rupa yang sahabatan sama dua cowok ganteng idola sekolah bernama Pandu dan Ervan. Di tengah serangan ejekan dari seluruh murid di sekolah, Ribby udah lama ngerasa insecure karena penampilannya. Lalu, nggak sengaja dia nge-install aplikasi Say Hi! di mana kita bisa pacaran virtual secara anonim. Di sana, Ribby kenalan sama Robbi, stranger yang bisa diajak ngobrol apa pun termasuk ngehibur dan ngemotivasi Ribby untuk berubah.

Lalu ternyata, Robbi ini adalah cowok yang selama ini ada di dekat Ribby. Salah satu sahabatnya.

Gue suka banget sama gaya bercerita Inggrid. Tulisannya luwes dan enak dibaca. Apalagi nampilin sosok karakter utama yang nggak mainstream kayak tokoh-tokoh protagonist lain. Jujur suka banget sama penggambaran fisik Ribby.

Di awal-awal, gue masih excited banget buat baca novel ini. Meskipun menurut gue humornya agak garing hehe, jarang banget gue ketawa sepanjang buku. Gue degdegan pengen tau siapa Robbi, gue degdegan pengen tau gimana Ribby ngatasin insecurity-nya, ngatasin rasa mindernya, dan jadi lebih berani untuk merjuangin sabuk hitamnya di lomba, pokoknya cerita ini menarik banget!

Apalagi pas Ribby mulai merubah penampilannya karena mau lebih self-love, reaksi Pandu dan Ervan bener-bener keterlaluan dan itu sakitnya kerasa sampe ke sini:) Tapi untungnya ada Robbi yang siap ngehibur Ribby, walaupun tetep aja lelucon Robbi juga garing sih. Perasaan selera humor gue rendah dan receh abis tapi kenapa gue gabisa ketawa di sini aaaaa.

Jujur gue agak bingung untuk gimana nge-review buku ini. Yang jelas, gue mulai turn off setelah konflik pertama selesai. Ya, konflik pertama, alias ada yang kedua!! Dan yang gue suka dari buku ini tentu aja konflik antara ketiga sahabat itu dan identitas asli Robbi. Sialnya, gue gabisa ngomong banyak karena pasti spoiler, yang jelas ini PLOT TWIST ABISSSS gue si tukang nebak plot twist aja sampe kegocek trus kegocek lagi.

Udah tegang nih, tinggal antiklimaks, gue lagi suka dan semangat banget buat baca apa yang akan terjadi. Tapi guys, itu baru di halaman 300an, dan gue mikir... hah..200 halaman lagi nyeritain apa kalau sekarang identitas Robbi dan klimaks udah muncul? [menelan ludah]

Di situlah rasa ketertarikan gue mulai turun. Gue diajak masuk ke konflik kedua. Di konflik kedua ini, gue ngerasa ceritanya ganti jalur. Masih kereta keren yang sama, cuma pindah jalur. Bukan lagi berfokus ke Ribby maupun kedua temen cowoknya, melainkan ke Ipank, salah satu tokoh penting di Say Hi! Apalagi si Pandu, kayak cuma tempelan aja.

Di cerita konflik yang kedua ini, gue disuguhin tentang perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan dan solidaritas. Gue nggak tau apakah gue boleh nyeritain konflik kedua ini tanpa bikin spoiler konflik pertama, yang jelas gue tau rasanya putus asa kayak Ipank dan pengen ngehindarin semua orang.

Anyway, Ipank adalah temen Pandu dan Ervan, temen Ribby juga di klub taekwondo. Ipank dan Ribby sama-sama berjuang untuk lomba.

I am not saying this second conflict was bad, i just didn’t sign up for this, honestly. I am sorry. Gue di sini, mutusin baca ini, untuk tau kisah Ribby dan dua sahabat cowoknya, bukan cerita ini. Jadi sebagus apa pun konflik kedua ini, gue nggak terlalu menikmatinya.

Gaya bahasa Inggrid yang tadinya ramah di otak gue, perlahan mulai berubah membosankan. Terlalu banyak narasi, terlalu banyak dialog nggak penting, humor yang masih gitu-gitu aja, ditambah lagi terlalu banyak kata-kata kasar. Gue bahkan sampe males baca scene di mana dikit-dikit ada rokok dan bahkan ada alkohol juga. I am actually fine with these kind of life style, but it irked me somehow. I didn’t know why.

Gue tadinya ngarepin konflik yang unyu dari sahabat yang diem-diem naksir sahabatnya. Tapi meskipun ekspektasi gue agak melenceng, gue tetep suka sama konflik 1.

Di konflik dua ini, gue juga sadar kalau gue nggak terlalu suka sama tokoh-tokohnya kecuali Ribby. Di awal Ervan sama Pandu yang meledak-ledak nggak jelas. Emosian banget ni anak dua. Ipank justru penyelamat yang bikin gue adem, makanya gue tim Ipank.

Tapi di konflik kedua inilah gue akhirnya lost interest juga sama Ipank, dia lebih meledak lagi ternyata. Trus gue mikir, yaelah ini anak-anak hobinya teriak-teriak ngegas mulu apa tdk lelah dik.. gue yang bacanya aja capek.

Besides konfliknya yang bikin gue lelah, satu hal yang perlu banget untuk dicatet dari novel ini, SAY HI! HAS GREAT CHARACTER DEVELOPMENTS! Sorry gue caplocks haha. Ribby, Ervan, dan Ipank adalah tiga karakter kuat yang nunjukin perubahan paling signifikan. Tapi gue paling suka bagiannya Ribby dan Ervan sih. Terutama Ervan yang bikin gemes hehe. Penasaran? Baca aja.

Sebenernya, konfliknya biasa, ringan, dan bagus buat nunjukin perkembangan karakter, tapi ya gitu, kepanjangan buset. Untuk konflik biasa dan mainstream gue kira nggak usah lah dibawain sepanjang ini, karena pada akhirnya ya udah tau endingnya bakal gimana.

Overall, takut kepanjangan dan udah ngga tau lagi harus ngetik apa karena takut spoiler, kadar cinta gue kebagi dua di buku ini. Gue suka banget 300 hlm awal yang menarik dan fresh menurut gue, tapi 200 halaman akhirnya draining energy banget. Gue suka karena ada antagonist yang nggak bisa dibenci dan plot twistnya yang bangke.

300 pages were such a masterpiece, 200 pages left wasn’t my cup of tea. Banyak banget hal yang bisa diambil dari novel ini di bagian characters development-nya. I wish I could give more than 4 stars at first but I should give it only 3.5 stars. It would be nice if the pages weren’t this long.

Apakah gue bakal berenti baca novel-novel Inggrid? Oh tentu tidak. Sayangnya gue agak gak tertarik untuk baca Wedding Converse apalagi Tujuh Hari Untuk Keshia yang katanya bombay itu. Definitely looking forward to another Inggrid’s masterpiece.

 

Dont forget to click follow button/submit your email below and see you!

 

 

Senin, 07 Maret 2022

“Tetap Hidup,” kata The Midnight Library karya Matt Haig (a review)

source: goodreads


 


Judul: The Midnight Library (Perpustakaan Tengah Malam)

Penulis: Matt Haig

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 368 hlm.

Baca via: Gramedia Digital

 

Gue clueless banget waktu mutusin untuk unduh novel ini di GD. Cuma karena gue nggak asing sama judulnya yang sering seliweran di base twitter. Fortunately, I ended up loving this book so much. So much.

Novel ini bercerita tentang Nora Seed, wanita berusia 35 tahun yang berpikir kalau dia udah gagal menjalani hidup. Semua pilihan dan keputusannya di masa lalu malah ngebawa dia ke malapetaka lainnya. Hingga ke titik terendahnya, Nora berencana untuk bunuh diri.

Yup, buku ini mungkin agak depressing bagi kalian yang punya sejuta positive vibes di dalam diri kalian. Tapi gue yakin sedikit banyak, kehidupan Nora ini bakal kerasa relate ke kehidupan kita sendiri. Jujur, baru beberapa bab awal aja gue udah dibuat nangis sama narasi Matt Haig yang ngena dan nusuk banget ke jantung.

Penulis dan penerjemahnya (ofc) bisa banget bikin hati gue yang lemah ini makin menderita aja pas baca narasinya haha. Gue jadi gabisa berenti untuk baca novel ini.

Lalu, setelah keputusan bunuh diri itulah, Nora tiba-tiba aja ada di sebuah perpustakaan bernama The Midnight Library. Di sana, ada jutaan buku yang merupakan hidupan Nora di dunia paralel, dunia di mana apa yang mungkin Nora jalani kalau dia nggak milih keputusan-keputusannya di dunia yang ini.

Katanya, perpustakaan itu adalah batas ambang kehidupan akar dan kematian. Sebelum benar-benar mati, Nora boleh milih kehidupan yang ingin dia jalani dan kalau dia mau, dia bisa hidup selamanya di kehidupan itu.

Sepanjang kisah gue dibawa bolak-balik ke kehidupan Nora dan perpustakaan. Semua hal yang dia sesali di kehidupan akarnya, satu persatu dia coba menjalani kehidupan yang berbeda. Beberapa kehidupan pertama yang Nora jalani, ternyata nggak sebagus yang dia kira, akhirnya dia tetep kecewa dan balik perpustakaan tengah malam.

Nyaris semua hal gue suka di novel ini, mulai dari ide cerita, gaya bahasa yang enak dibaca, kalimat-kalimat menohok, dan pelajaran yang bisa diambil.

Untuk tokohnya sendiri, Nora, bisa dibilang dia adalah orang yang pesimis banget saking putus asanya. Hidup dia nggak berjalan dengan lancar, semua orang ninggalin dia, sampai ke tahap pengen bunuh diri, tentu aja bagi yang nggak bisa relate dengan karakter Nora, pasti bakal ngelus dada sambil bilang ‘aduh kok segininya Nora’.

Kenapa gue mikir gitu? Soalnya latar belakang Nora nyaris sempurna. Dia berbakat, pintar, menarik, dan punya banyak peluang untuk bisa bangkit. Tapi nyatanya dia tetep depresi.

Kesampingkan karakter Nora yang mungkin bisa pengaruhin banget ke penilaian keseluruhan ceritanya deh. Mana kadang gue baca kehidupan yang didatangi Nora udah cukup bagus, eh dia malah tetep mutusin untuk kecewa dan akhirnya pulang ke perpus.

Di sini gue cuma mau nekenin soal apa yang bisa gue ambil dari novel ini. Untuk elemen-elemen yang lain, no comment, gue ngerasa semuanya udah sempurna. Secinta itu sama novel ini. Filsafat dan fantasi yang nyatu jadi elemen terindah yang pernah gue baca.

Satu hal yang bisa gue ambil dari novel ini adalah, no life can satisfy us. Nggak ada yang bisa muasin keinginan kita, nggak ada hidup sempurna yang kita inginkan, hidup pasti selalu punya celah untuk bikin sesuatunya terasa salah. Itu yang bikin Nora terus-terusan bolak-balik ke perpus, milih lagi buku, dan kecewa lagi pada akhirnya.

Di sini gue bisa ngerasain betapa dia sedih dan putus asa, itu yang bikin gue ikut terhanyut sama ceritanya. Dan ketika akhirnya Nora memilih buku yang tepat, kehidupan yang terasa tepat buat dirinya, gue ikutan ketar-ketir dan bahkan berdoa supaya Nora bisa tinggal di buku yang itu aja. Saking gue pengen banget Nora bahagia haha.

Oh ya tentu saja ending dari buku itu bikin gue jerat-jerit kayak orang gila. Berasa gue yang dikhianati. DAN SAYANGNYA gue gabisa ngulas bagian ini terlalu banyak karena nanti spoiler. Tapi sumpah deh, sumpah gue berasa nyatu banget sama ceritanya T_T

Overall, untuk kalian yang sekarang mungkin lagi butuh motivasi untuk ‘tetap hidup’ gue bener-bener nyaranin untuk baca The Midnight Library. Gue nggak tau gimana buku ini bisa ngubah hidup kalian yang merasa putus asa, karena toh kalian dan gue nggak akan pernah punya kesempatan untuk ngerasain ngejalanin hidup yang berbeda dari kehidupan kita yang sekarang.

Tapi gue yakin pasti ada sesuatu yang bisa diambil, bisa dipahami, bahkan tanpa perlu ada perpustakaan tengah malam versi kita. Gue juga nggak bisa bilang kalau kita bakal mulai ngehapus semua penyesalan di masa lalu karena belum tentu kalau penyesalan itu nggak ada, hidup kita bakal beda saat ini.

Apa yang bisa diambil dari buku ini jelas tergantung kepribadian dan sudut pandang diri kita sendiri. Buat gue pribadi, gue cuma berpikir untuk jalanin aja apa yang ada dan nggak perlu nyangkal segala penyesalan, gue juga jadi sadar kalau gue masih punya hal-hal yang ternyata pengen banget gue lakuin meskipun gue udah muak sama dunia ini. Just go, do it, i dont care if the world will drown me while i’m doing something i want. That’s it.

Despite all the mess the world gave to me or I created it myself, I realized that I still wanna do something. No matter how messed up my life is. Gue nggak mencoba untuk berpikir bahwa ‘dunia itu ternyata cukup baik, tinggal guenya aja yang bla bla’. Nggak. Tapi gue sadar ada hal yang berubah dari sudut pandang gue meskipun gue nggak terlalu yakin apa gue bisa nulisin itu di sini sejelas yang otak dan hati gue pahamin.

Gue kasih full stars alias 5 bintang buat The Midnight Library yang sukses bikin gue terombang-ambing di hidup orang lain. Highly recommended banget buat semua orang di dunia deh haha dan gue harap siapapun yang lagi struggling saat ini, bisa ambil sesuatu dari novel ini.

Soalnya, kita harus tetep hidup guys. Satu-satunya cara untuk belajar adalah tetap hidup. Kita nggak perlu ngerti soal kehidupan, kita cuma perlu hidup.

 

Cheers! See you on another review. Stay healthy and stay alive.

 

Quotes:

“Setiap langkah merupakan kesalahan, setiap keputusan menjadi bencana, setiap hari adalah satu langkah mundur dari sosok yang ia bayangkan bisa dicapainya.”

“Ia masuk ke Instagram dan melihat semua orang sudah berhasil menemukan cara untuk hidup, kecuali dirinya.”

“Dengan kesembronoan dan nasib sialku sendiri, dunia telah mundur dariku, jadi sekarang masuk akal kalau aku harus mundur dari dunia.”

“Ia sadar bahwa ia tidak berusaha mengakhiri hidupnya karena ia menderita, melainkan karena ia berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada jalan keluar dari penderitaannya.”

“Hidup dimulai dari sisi lain keputusasaan.” (Sartre).

 

Selasa, 22 Februari 2022

Cinta Segitiga + Friendzone di Nonversation (a review)

 

source: goodreads


 

Judul: Nonversation

Penulis: Valerie Patkar

Penerbit: Bhuana Sastra (2019)

Jumlah halaman: 348 hlm

Baca via: iPusnas

 

Bagai keluar dari kandang buaya, malah masuk ke kandang macan (ya ini ngarang aja g usah serius2). Ini adalah pikiran gue waktu selamat dari baca Claires, eh malah kejebak di Nonversation.

Sedikit pembukaan, dari dulu gue pengen baca novelnya Valerie. Claires yang judulnya menarik serta kover pink bikin gue penasaran. Tapi ternyata gue memutuskan kalau gue nggak sanggup baca cerita ini karena karakter Ares di 4 bab pertama, nggak ada bagus-bagusnya! Kasarnya, semua red flags ditunjukkin semua dah buset. Jadilah gue nggak tertarik untuk tau apa green flagsnya Ares sampe bisa dapetin Claire yang polos.

Tapi gue belum nyerah buat baca novelnya Valerie, minimal satu aja gitu, kenalan sama tulisannya. Lalu akhirnya Nonversation-lah yang tersedia di iPusnas.

Nothing was wrong when i read some first chapters of this book. Ceritanya tentang cinta segitiga dan friendzone sekaligus. Tetapi masalahnya, udah di-spoiler duluan di halaman awal sama penulisnya ke mana ceritanya akan berlabuh :D jadi buat apa gw baca gitu kan sebenernya tapi yodah.

Dua tokoh utama kita di Nonversation adalah Theala dan Dirga. Theala si anak baik yang naksir Trian dari SMA, tapi berakhir malah sahabatan sama Dirga sejak masuk kuliah di kampus yang sama. Dirga ini adalah playboy sekaligus temen Trian yang tobat dan hanya mencintai Theala sejak bertemu pertama kali entah karena apa gue juga ngga terlalu nangkep.

Dirga emang tobat dan sahabatan sama Theala, tapi dia tetep pura-pura brengsek aja biar Theala nggak nyadar perasaan Dirga, soalnya Dirga tau Theala sukanya sama Trian. Sembari tetep di samping Theala, panggil-panggil sayang, sampe skinship pun Theala nggak nyadar kalau Dirga naksir dia karena Dirga masih gonta-ganti cewek.

OK. Masuk ke gaya bahasanya, satu hal yang gue rasain pas baca ini adalah gue nggak bisa baca cepet. Ya, dari dulu gue termasuk orang yang bisa baca kalimat dengan cepet, tapi anehnya pas baca nonver gue jadi ngelag gitu loh, kayak hape yang kuotanya skarat. Harus bener-bener gue cerna dengan baik.

Gaya bahasanya agak-agak puitis, diksinya tuh kayak sengaja dibuat deep sehingga supaya pembaca baper. Gaya bahasa ditambah gaya hidup karakter-karakternya yang diceritain kadang bikin gue mikir ini kayak high society love story yang nggak mashok dibaca sama rakyat jelata kek gue. Kayak ketinggian aja gitu untuk bisa gue resapi T_T

Setiap bab awal ada puisi pendek. Setiap judul bab adalah gabungan dari dua kata bahasa inggris yang mana menurut gue idenya unik tapi beberapa ada gabungan yang i hope i didnt read it lmao.

POV di novel ini ada tiga orang; Dirga, Theala, dan Trian. Yang mana gue tegaskan sekali lagi, couple buku ini udah jelas siapa, mengapa harus ada pov Trian pun gue nggak tau juga.

Sedikit yang mengganggu gue di POV ini, gue kadang nggak tau siapa yang lagi bernarasi. Kadang narasi mereka tuh kayak curhat, kalo di sinetron tuh kayak suara pikiran tokoh yang kedengeran sama penonton.

Dan menurut gue semua narasi mereka nggak bisa gue bedain. Nuansa pikiran mereka sama semua, poetic semua, deep semua. Nggak ada ciri khas. Mana mereka ya seringnya kan ngobrol satu sama lain makanya kadang-kadang gue ilang fokus dan harus balik lagi ke atas buat mastiin ini pov siapa. Haha.

Masuk ke karakter, nggak ada satupun karakter yang gue suka di buku ini. Sorry to say. Theala cuma gadis baik biasa, loyal, punya trauma, lembut, yang diem aja dan sabar saat dilabrak mantan Dirga, ibu peri banget pokoknya.

Dirga si playboy yang doyan main cewek, hm apalagi ya, gatau mau deskripsiin dia apa? Bucin? Tulus? Pengertian? Gue nggak terlalu bisa menilai dia karena dia baiknya sama Theala doang dan teman-temannya. Both of them have daddy’s issues anyway.

Nah Trian nih gue bingung, dia bener-bener cuma tempelan doang di sini. Cuma kayak tokoh pembantu yang karakternya dibikin ngarang aja asal ada konflik dan kemajuan buat kedua tokoh utamanya. I felt bad for him. Sumpah di bagian karakterisasi Trian, gue beneran marah dan nggak terima sama penulisnya.

The plot: karena dari awal ke tengah gue bisa tahan baca novel ini, gue jadi nggak bisa buat DNF saat plot mulai nunjukin tanda-tanda trope yang paling gue benci. Tanggung. Sebenernya di plot inilah gue mulai turn off sama Nonversation.

I do like ‘love triangles’ trope or ‘friendzone’, in short, i like reading romance no matter what theme it has.

Tapi plot yang kayak gini? Big turn off and there was no way to go back. I had to finish what I started. Makanya gue bilang gue berasa selamat dari Claires tapi kejebak di Nonversation.

Penasaran plot seperti apa yang bikin gue turn off? Gih baca!

Yang jelas, gue bener-bener ngerasa Trian ternistakan banget haha. Poor Trian.

Memasuki puncak konflik ini pun, gue ngerasa ternyata Theala nggak sebaik yang gue pikirkan selama ini. Dia bersikap jahat dengan cara yang paling baik. Kalau Dirga nggak usah ditanya, a walking green flag just for Theala. Pokoknya cerita ini bener-bener nekenin kalau Dirga itu yang paling tepat dan paling benar dan paling sempurna untuk Theala!!

Tapi menurut gue, orang waras manapun pasti bakal liat duluan track record Dirga kayak gimana. Gue sendiri skeptis sama orang yang bisa tiba-tiba tobat karena jatuh cinta. Bisa jadi kalau udah bosen, ya liarnya kumat lagi. Yes, i didn’t trust Dirga. That is what i think, how ‘bout you?

So, dari tema cinta segitiga dan plotnya yang dikemas begini, cerita ini termasuk klasik dan mainstream menurut gue. Gue sangat amat berharap plotnya nggak akan nyeret-nyeret Trian sekejam ini sebenernya, he’s actually lovely, tapi yah..mau gimana.

Sebenernya masih banyak banget unek-unek gue soal Nonversation. Gue nulis ini H+3 setelah selesai baca, kalau gue nulisnya pas setelah selesai baca banget, dijamin ini bakal sampe 2000+ words dah haha.

Overall, hampir semua elemen di novel ini nggak gue suka. This book is definitely, 100%, not my cup of tea. Gue nggak cocok sama karakter-karakternya, ga cocok sama gaya hidup mereka, dan ga cocok sama plotnya. Kalau gaya bahasa masih bisa gue terima meskipun tetep merasa ada ketidakcocokan sama selera gue. Ceritanya terlalu biasa. Kehidupan sehari-hari yang membosankan. Endingnya ketebak dan not satisfying at all.

Hanya dua hal yang gue suka dari novel ini adalah kovernya dan judulnya yang menarik. Dah segitu aja. Anyway, gue tadinya berencana untuk menyudahi ‘pertemanan’ gue sama tulisan Valerie karena baru kenalan sama dua buku aja udah gini, tapi gue kayaknya agak berubah pikiran dan berharap bisa baca Luka Cita suatu saat nanti.

2 for Nonversation from me.

Cheers! Don’t forget to click follow/submit your email below! Have a nice day!

 

Minggu, 21 November 2021

Resensi – A Sky Full of Stars by Nara Lahmusi

 

source: goodreads


Judul: A Sky Full of Stars

Penulis: Nara Lahmusi

Penyunting: Irna Permanasari

Penyelaras aksara: Vania Adinda

Desain sampul: Bella Ansori

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2019)

Jumlah halaman: 240 hlm.

Baca via: Ipusnas

 

Hi! Udah lama yaa nggak nulis di blogku. Setahun ini aku sibuk banget jadi nggak terlalu banyak baca buku. Kalau baca pun nggak ada niat buat bikin resensi hehe.

Tapi kali ini aku mau banget nulis review buat novel teenlit terbitan GPU yang baru aja aku selesain beberapa waktu lalu. Karena menurut aku buku ini bagus banget isinya.

A Sky Full of Stars bercerita tentang Raya, seorang anak yatim yang cerdas dan pekerja keras. Demi nambah-nambah uang buat keluarganya, Raya yang udah kelas 3 SMA ini bela-belain ngelamar kerja jadi tutor private.

Dari situ, akhirnya dia ketemu sama Dika, cowok yang berusia setahun di bawahnya untuk jadi muridnya. Nggak cuma Dika, ternyata Raya juga harus berurusan sama Dirga, kakak Dika yang bandel dan terkenal di sekolahnya. Ditambah lagi, ternyata Raya dan Dirga satu sekolah.

Dikelilingi oleh dua kakak beradik yang diam-diam tertarik sama Raya, nggak bikin Raya balik tertarik sama mereka karena sebenarnya Raya sendiri udah punya cinta pertamanya. Cowok yang beliin dia buku waktu SMP.

Tapi, apa jadinya kalau cinta pertama Raya ternyata adalah salah satu dari kakak beradik itu?

Ini pertama kalinya aku baca novelnya Nara Lahmusi, dari novel-novel beliau, aku paling tertarik sama A Sky Full of Stars ini karena cover-nya cakeeep. Meskipun sebenarnya aku sangka novel ini bakal bertema agak kelam dan diakhiri dengan acceptance tokoh utamanya. Emang guenya aja yang pikirannya kemana-mana.

Ternyata novel ini hanya teenlit biasa dengan bumbu romance dan nilai moral yang baik. Aku berharap cover-nya bisa lebih unyu aja gitu haha.

Dari gaya penulisannya, aku suka karena nggak terlalu berat dan mengalir. Konfliknya ringan dan disampaikan dengan baik, nggak bertele-tele, nggak loncat-loncat, pokoknya padet. Ini salah satu hal yang bikin aku betah bacanya.

Selain konflik cinta Raya yang masih teka-teki, di sini pun ada konflik tentang bahaya merokok buat remaja, hubungan orangtua-anak, dan pentingnya belajar serta cita-cita. Aku bersyukur karena konfliknya nggak ditambah-tambahin ini itu lagi, jadi ceritanya bener-bener fokus. Alurnya juga dibuat maju dan sederhana dengan POV orang ketiga.

Penokohan yang paling penting di sini cuma ada 4. Yaitu Raya, Dika, Dirga, dan Rila (adik Raya). Sesekali bapaknya double D muncul, ibu Raya, trus sama ada side story dua guru di sekolah yang aku skip ceritanya karena nggak penting menurutku haha jangan ditiru.

Tokoh favorit aku hmm..siapa ya. Kayaknya nggak ada. Semua peran berbeda-beda dan unik, tapi nggak ada yang sampe bikin aku nge-crush. Pada akhirnya mereka semua cuma remaja biasa.

Menurut dan seinget aku, Raya ini terlalu dewasa. Bahkan bisa dibilang dia hampir nggak punya kesalahan di sini. Dia baik, cantik, pinter, tegas, penyayang, peduli sesama, bla bla. Tapi ada satu sih yang bikin aku nggak terlalu suka, dia ini tukang ikut campur urusan orang.

Alasan kenapa aku bilang dia hampir nggak punya kesalahan..? Karena sifat ikut campurnya ini punya output yang bagus bagi tokoh-tokoh di sekitarnya, dan bikin konfliknya mengarah ke arah yang lebih baik.

Tapi bagi aku pribadi, sorry to say, ngeselin banget kalau sampe segala macem dikomenin Raya. Kalau blurb aslinya bilang Raya terpaksa terlibat, errr I disagreed. Just mind your own business deh Rayyy!

Lalu ada Dirga, cowok yang paling keliatan character development-nya. Ofc. Not surprised lah ya. Dirga ini selain punya father-issue, dia juga punya karakter yang ngeselin-gemesin, tukang ngerokok dan bolos jam pelajaran. Tapi di balik itu semua dia orang baik sie.

Lain Dirga, lain juga adeknya, Dika. Dika ini cowok manis yang sakit-sakitan. Dia orangnya tulus dan baik. Ah prince charming deh ya. Minor character development. Lalu ada Rila, sifatnya jauh dari kakaknya si Raya. Rila ini tipe yang lebih aktif dan ceria. No character development.

Bisa dibilang, novel ini adalah paket lengkap teenlit deh buat remaja-remaja yang mau nyari bacaan ringan gemes sekaligus metik hal yang berharga.

Anyway, karena aku bukan anak sekolahan lagi yang butuh edukasi kayak gini *ea* bagian favorit aku di novel ini tentunya kisah cinta Raya. Cinta segitiga emang paling ngeselin tapi menantang.

Di antara dua kapal ini, jujur aku bingung pilih siapa. Sebagai orang yang sering kena sub-complex, aku sebenarnya cenderung ada di pihak calon sadboy HAHA.

Pas lagi baca bener-bener dukung Dika, tapi ternyata..aku nggak bisa kena sub-complex karena aku ngerasa di sini semuanya nggak ada yang berhak jadi sadboy aaaak. Bener-bener terombang-ambing deh dibikin sama novel ini T_T Apalagi menuju ending, dahlah nyerah aku main kapal-kapalan, mending nyebur aja ke laut hiks.

Overall, novelnya cukup memuaskan. Hanya satu yang kurang bikin aku sreg, yaitu endingnya. Aku udah siap gagal move-on tauk! Hmm. Nggak ada yang salah sebenarnya di endingnya cuma aku prefer nggak usah dibikin tiba-tiba berubah haluan aja gitu. Akan lebih baik kalau dipelanin kayak alur keseluruhan.

3 dari aku buat nambah-nambahin bintang di langit mereka.

 

 

 

Senin, 07 September 2020

Rekomendasi Teenlit (agak) Jadul Part 2!


 


Hi guys how are youuuu? I hope y’all are doing well! mulai bulan ini aku berencana buat rutin ngonten minimal seminggu sekali, maksimal dua hehe mudah-mudahan terlaksana:)

By the way, masih inget rekomendasi teenlit jadul yang pernah aku posting Februari lalu? Di sana ada lima judul buku teenlit karya penulis-penulis Indonesia berbakat loh. Kalau belum baca, klik dulu di sini biar afdol. Soalnya di part dua ada rekomendasi yang nggak kalah seru, malah jauh lebih seru, yang ini kalian beneran deh, wajib, kudu, harus, banget baca novel-novel di bawah ini kalau kalian pecinta teenlit lokal sejati. HEHE.

Sebelumnya aku mau tanya, siapa yang pernah bercita-cita jadi agen rahasia atau mata-mata? Sejujurnya aku sendiri nggak pernah kepikiran punya pekerjaan kayak gitu, aku dulunya mau jadi dokter! Apalah daya akhirnya cuma jadi penulis konten di blog pribadi.

Biasanya kalian bakal nemuin cerita tentang agen rahasia di novel atau film-film luar negeri, yang plotnya keren, tegang, banyak plot-twists, kekerasan bla bla, kayak si James Bond itu lah. Tapi sesungguhnya kalian nggak perlu jauh-jauh karena kita semua punya penulis lokal, asli Indonesia, yang bikin novel tentang agen rahasia dan bagaimana cara mereka beroperasi dengan segala macem detail tentang organisasinya loh!

Yup, siapa lagi kalau bukan Clio Freya dan series Fay’s Adventure-nya yang super duper keren. Jujur, aku kurang banyak nemu artikel tentang betapa kerennya series ini, apa karena udah agak jadul? Atau underrated? Padahal nih ya, coba deh cek goodreads dan liat rating series ini. Ketiga bukunya meraih rating di atas 4 bintang loh, masih ragu buat baca?

Dan terlebih lagi, novel ini adalah novel teenlit. IYA, TEENLIT, kalian nggak salah baca. Novel teenlit, tokoh-tokohnya remaja, main agen rahasia T_T segitu aja harusnya udah cukup buat kalian kepo sama ceritanya, iya nggak sih?

Tenang aja, jangan dulu mikir:

“Ah, bukan terjemahan pasti ceritanya mainstream.”

“Paling nanti agen rahasianya cuma disebut-sebut doang, nggak ada penjelasan.”

“Teenlit lokal bikin konflik agen rahasia? Paling versi simpelnya doang.”

“Wah temanya berat, jangan-jangan nanti nggak masuk akal, asal tempel.”

No, no, no, big NO. Kalian salah besar. Meskipun aku juga sebenernya bego dan nggak ngerti apa-apa sama tetek bengek agen rahasia, tapi aku jamin kalian bakal menemukan detail yang memuaskan, nggak asal tempel, dan pastinya riset yang oke. Aku juga mikir mungkin beberapa hal ada yang fiksi tapi setidaknya, penjelasannya masuk akal kok.

Kalau gitu, siap kenalan sama Fay? Lanjut baca biar makin kepo :p

Series Fay’s Adventure dengan buku pertamanya yang berjudul “Eiffel, Tolong!” terbit tahun 2009. Waktu itu aku pertama kali baca sekitar tahun 2014. Dilihat dari kovernya yang maaf, nggak eye-catching, dan judulnya yang kurang menarik, aku nggak berekspektasi apa-apa sama novel ini. Cuma dikasih pinjam temanku lalu aku baca aja kata dia seru. EALAH taunya, aku bucin sendiri, tergila-gila sama ceritanya T_T

Buku satu bercerita tentang Fay Regina Wiranata yang tadinya bakal menghabiskan liburan sekaligus kursus bahasa Perancis seminggu penuh di Paris, sendirian, soalnya ada misscom sama kerjaan orangtuanya. Siapa sih yang nggak seneng? Ide itu sendiri bikin aku seneng setengah mampus pas baca.

Tapi ternyata, baru satu hari di sana, Fay diculik! Penculiknya adalah om-om keren bernama Andrew McGallaghan aku ngetik namanya aja sambil senyam-senyum guys sumpah. Seorang direktur dari perusahaan bernama Llamar Corp. Tentunya, Direktur cuma posisi di luar, di dalem, dia adalah pemimpin agen rahasia sebuah organisasi bernama COU di bawah Llamar Corp juga. Untuk keterangan lebih lanjut silakan baca novelnya.

Next

Fay diancam dan dipaksa untuk melakukan tugas dari Andrew untuk berpura-pura menjadi gadis Malaysia bernama Senna dan menyusup ke rumah seorang milliader bernama Alfred. Sebelum melakukan tugasnya, tentu saja Fay harus dilatih dulu sedemikian rupa, literally sEdEmIkiAn rUPa yang dipenuhi kekerasan T_T

Pagi ikut kursus malem disiksa. Itulah yang akan Fay jalani selama di Paris. Tapi untungnya, ada Kent, pemuda tampan berambut pirang dan bermata biru yang nemenin Fay ngelewatin hari-harinya yang berat, dan ada Reno yang menemaninya di tempat kursus.

Ughhh. Masih belum penasaran juga sama ceritanya??

Oke masuk ke review, berhubung aku udah baca ulang bukunya tahun lalu, ini pendapat aku yang bukan remaja SMA lagi setelah bertahun-tahun baca buku satu: aku masih tetap cinta. Cerita ini nggak gagal bikin aku senyum, kangen, tegang, dan heboh sendiri pokoknya. Cuma satu yang menurutku kurang srek, yaitu eksekusinya yang agak drama gitu, tapi tetep aja keren woy. Nggak banyak yang bisa aku komentarin soalnya: SECINTA ITU aku sama novelnyaaaa. Ratingnya aku kasih 4,5 bintang.

Setahun kemudian, tahun 2015 yang pada saat itu aku masih SMA, aku baru baca lanjutannya di buku kedua yang berjudul “From Paris to Eternity” terbit setahun setelah buku pertama yaitu di tahun 2010. Buku kedua ini...makin gila. Sumpah. Nggak paham lagi. Penderitaan Fay makin kejer aja tapi aku suka banget HUEE.

Ceritanya, Fay kembali ke Indonesia horeee. Abis ujian kelas 3 pula, siap-siap mau kuliah, eh taunya ada telepon dari institute di Paris yang bilang Fay menang lomba essay waktu kursus di Paris setahun yang lalu. Hadiahnya, dia bisa liburan lagi ke Paris! Horeee!

Tapi tentu saja itu cuma khayalan. Soalnya, itu semua cuma kedok Andrew, pertanda bahwa Fay harus kembali ke Paris untuk ngejalanin misi lagi. Fay sih jadi lemes lutut dengernya, tapi aku tetep bersorak: HORE makin kenceng guys.

Di sana, dia kembali ngejalanin latihan berat. Tapi kali ini, yang melatih bukan Andrew, melaikan sosok kakek sihir (julukan dari Fay) yang bernama Philippe Klaan. Paman yang satu ini 100000x lipat lebih mengerikan dari Andrew, aku bener-bener dibuat takut sendiri sama sosok Philippe.

Aku udah baca ulang novel ini bulan ini. Kebencianku ke Philippe masih 100% segar tanpa berkurang sedikitpun. Aku juga agak lumayan lupa sama eksekusi novel ini, dan sempet aku pengen protes, mikir ini terlalu drama, mau ilfeel tadinya, tapi semua itu aku telan lagi bulat-bulat waktu baca endingnya.

Rasanya malu sendiri udah mau ngomel-ngomel sama konfliknya, kalau ada kak Clio di depanku, udah aku kubur diri sendiri dah saking malunya XD tentu saja di sini ada plot twist yang sudah disusun Andrew dengan sangat rapi.

Meskipun pada akhirnya aku tetap merasa hal-hal sebelumnya jadi terkesan buang-buang waktu dan misinya jadi berlebihan, tapi aku nggak bisa protes karena aku sangat menikmatinya. Belum lagi, romance di sini makin kental loh, siapa yang kalau baca buku harus ada romance-nya? Nah tuh puas-puasin di buku dua, romansanya bikin ngiri puol. Tentunya aku kasih 5 bintang buat novel kedua ini.

Aku bersyukur aku baru baca novel ketiga pertama kalinya (bukan reread) kemarin. Soalnya kalau aku ikutin on-going pada masanya, buku ketiga yang berjudul “Traces of Love” baru terbit empat tahun kemudian dari buku keduanya yaitu pada tahun 2014.

Aku lebih bersyukur lagi karena aku nggak harus nunggu selama enam tahun buat nunggu kabar buku ke-empatnya seri Fay ini. Meskipun sekarang statusku berubah jadi salah satu penunggu buku empat terbit, setidaknya aku nggak nunggu dari enam tahun yang lalu haha.

Traces of Love masih bercerita tentang Fay, aku mungkin nggak akan cerita banyak-banyak karena ending buku dua tuh GILA banget aku nggak mau ngasih clue apa pun yang bisa ngurangin kenikmatannya haha. Intinya, ya, Fay pasti di Paris lagi. Namun kali ini ada yang berbeda dari statusnya. Apa hayo?

Di sini, nuansa romance-nya makin kerasa, konfliknya makin keren, Andrew makin tampan sj di pikiranku. Ada banyak karakter-karakter baru yang muncul. Andrew dan Philippe bukan cuma dua orang paman gila, tapi mereka ada lima guys, LIMA.

Lalu, selain Kent dan Reno, kali ini Fay nambah satu satelit: cowok seksi dari Venezuela bernama Enrique. Stok cowok ganteng Fay nggak cuma empat paman (Philippe nggak diitung) dan tiga cowok perhatian, tapi masih ada lagi loh haha. Dan Fay ini akan jadi satu-satunya cewek di “dunianya.”

Review-ku buat novel ini, karena ini pertama kalinya aku baca buku ketiga, rasa penasaran dan senengku makin berlipat-lipat. Aku belum tau apa yang bakal terjadi, nggak tau bakal gimana. Awal-awal aku ngerasa novel ini cukup ‘tenang’ dan ‘menyenangkan’ lah ya, Fay masih disiksa tapi nggak kayak dulu.

Ketika akhirnya aku masuk ke konflik yang sebenarnya, aku nyaris pengen berenti baca karena takut sama apa yang bakal terjadi. Ini beneran, aku sempet tutup bukunya, gak mau tau apa yang terjadi, tapi tentu saja aku kalah sama rasa kepo. Meskipun nggak ada aksi yang cukup intens kayak di buku sebelumnya, konflik ketiga ini lebih nusuk di hati.

Satu hal yang aku sadari: aku ternyata nggak begitu suka karakter Fay karena dia kadang ngeselin banget pengen getok, pantes Andrew gemes. Tapi justru perasaan itulah yang bikin aku makin suka sama seriesnya, keliatan banget kalau Fay itu masih separuh manusia biasa yang bisa ngeselin, bukan heroin yang tanpa cela.

Di novel ini pula, aku makin suka sama Kent. Dan yang mengherankan, ternyata karakter favoritku nomor satu adalah Andrew McGallaghan T_T aku kasih 5 bintang! setelah baca ketiga buku ini, pilihan kalian cuma ada dua: gak suka bukunya atau bucin banget sama McGallaghan family!

Seriously, aku bisa ngabisin berlembar-lembar ms.word kalau aku nggak berenti fangirling sekarang! Padahal aku belom nulis quote guys gimana dong. Dah, udah stop, kalian nanti bosen dan capek bacanya.

Overall, yang masih mau diyakinkan buat baca series ini silakan komen di bawah. Tapi masa sih masih perlu diyakinkan?! Series ini adalah series lokal pertama, teenlit lokal pertama yang bisa bikin aku bucin level 999. Biasanya aku selalu jatuh cinta sama series western dan nggak nyangka aja aku ternyata bisa ditaklukan sama novel lokaaaal. Bener deh, you should give it a shot, dijamin nggak nyesel.

Terakhir, kabar bahagia buat kalian yang keracunin habis baca curhatan fangirl ini: ketiga buku Fay’s Adventure bisa kalian baca GRATIS di iPusnas! Hip hip horeee!

p.s: dari sebuah artikel aku baca katanya series ini bakal berakhir di buku 4 dan kalau nggak ya paling banyak sampe buku 5. Buku keempat tadinya bakal terbit Agustus tahun ini tapi lagi-lagi hilang kabar, katanya sih gegara pandemi :(

Mari berdoa supaya aku (dan kalian yang sekiranya baru mulai baca) nggak harus nunggu bertahun-tahun buat baca lanjutannya ya. Sekian.. happy reading, and see you in another post!

Senin, 31 Agustus 2020

[RESENSI] Shadow and Bone Trilogy by Leigh Bardugo: August Fav-read!!

 

source: personal document @arthms12


Mungkin lebih daripada resensi, postingan ini aku khususkan buat bahas hal-hal mengenai series fantasy karya penulis favoritku ini aja ya. Pertama-tama mari kita kenalan dulu sama series pertama di Grishaverse, cikal bakal series-series luar biasa lainnya dari Leigh Bardugo.

Shadow and Bone adalah buku pertama dari series pertama Grishaverse dalam trilogi “Shadow and Bone”. Buku ini sempat diterbitkan di bawah naungan mizan group dulu, cuma mungkin karena nggak laku, lalu lisensinya kedaluwarsa(?) akhirnya bertahun-tahun kemudian series ini kembali dihadirkan lewat penerbit yang berbeda, yaitu POP & Ice Cube (bukan merek minuman, katanya).

Awalnya sebelum series ini diterbitkan, penerbit POP malah lebih dulu menerbitkan series Grishaverse kedua setelah S&B yaitu Six of Crows Duology yang memang lebih ‘populer’ saat itu dibandingkan kakaknya si S&B.

Anyway!! Aku bakal bikin resensi-semi-curcol tentang Six of Crows duology juga kok nanti setelah aku reread bukunya! Tungguin ya!

Back to topic:

Shadow and Bone terbit di Indonesia tahun 2019 dengan judul bahasa Indonesia-nya “Bayang dan Belulang”. Diterjemahkan oleh penerjemah favoritku, Reni Indardini (yang juga nerjemahin Percy Jackson Series, Heroes of Olympus Series, Six of Crows duology yang semuanya adalah buku favoritku haha), dieditori oleh Anida Nurrahmi, dan dengan jumlah halaman 380 hlm.

Shadow and Bone series adalah series pembuka untuk Grishaverse aka Grisha Universe (Dunia Grisha). Latar tempatnya adalah dunia fantasi, di negara bernama Ravka yang terinspirasi dari negara Rusia. Selain manusia biasa yang ada di sini, ada juga jenis manusia yang mempunyai kekuatan sakti. Mereka lah yang disebut dengan Grisha.

Grisha mempunyai 3 ordo utama yaitu Corporalki, Etherialki, dan Materialki.

1.      Corporalki (ordo denyut dan maut) dibagi lagi menjadi dua kemampuan yaitu: Pengoyak jantung dan Penyembuh.

2.      Etherialki (ordo pemanggil) dibagi menjadi tiga yaitu: pemanggil air, api, dan angin.

3.      Materialki (ordo fabrikator) dibagi menjadi dua yaitu: durast (besi kaca dkk) dan alkemi (ramuan).

Di dunia ini, anak-anak yang terlahir sebagai Grisha dikucilkan, dianggap penyihir, dijauhi, segala macem lah. Hanya Ravka yang mau menerima para Grisha. Di Ravka, para Grisha bisa hidup nyaman meskipun yah, kadang rasis juga. Bukan cuma itu, bahkan Ravka menciptakan serdadu tentara yang dianggotai oleh para Grisha yang disebut Tentara Kedua. Tentara Pertamanya manusia biasa ya guys.

Shadow and Bone sendiri bercerita tentang Alina Starkov yang merupakan salah satu Grisha yang langka pada masanya. Dia adalah seorang Pemanggil Matahari. Pemimpin Tentara Kedua, The Darkling –terjemahannya sang Kelam, tapi aku lebih suka The Darkling, yang mengetahui Alina merupakan seorang pemanggil Matahari lalu merekrutnya ke dalam Tentara Kedua.

Di Ravka saat itu ada semacam selubung bayangan yang memecah antara Ravka barat dan timur, dan tempat itu berisikan makhluk kejam seram pemakan manusia yang disebut volcra. Hanya Alina dan kemampuannya yang bisa membuat siapa pun selamat menyebrangi selubung. Sejak saat itu, The Darkling sangat terobsesi kepada Alina.

Untuk menghindari spoiler besar-besaran, mari kita lanjut ke buku kedua trilogi “Shadow and Bone” ini yang berjudul Siege and Storm (Takhta dan Prahara). Buku ini lebih tebal dari buku sebelumnya yaitu 450an halaman.

Di buku ini, kita bakal dipisahkan dari si villain kharismatik, The Darkling. Tapi jangan khawatir, soalnya di buku ini Alina dan Mal (dua heroes kita di series ini) bakal ketemu sama pangeran Ravka bernama Nikolai Lantsov. Berani taruhan kalian bakal langsung suka sama karakter Nikolai. Kalau nggak jadi pengen peluk gemes ya pasti pengen mukul HAHA.

Siege and Storm nggak sama kayak buku pertama yang lumayan bikin tegang sama plot dan konfliknya, menurutku di sini..cukup hambar. Nggak ada kejadian menarik (kalau Nikolai dianggap menarik ya berarti ada satu). Padahal aku suka banget sama kovernya yang cantik, paling cantik di antara ketiga buku, tapi isinya ada di urutan terakhir buatku.

Siege and Storm lebih menunjukan sisi characters development dari Alina dan Mal, hubungan mereka, strategi perang, dan segala macem persiapan menuju pertempuran di buku tiga. Bisa di bilang, buku kedua ini jembatan doang. Anyway, Mal adalah sahabat Alina sejak kecil, dia merupakan (mantan) anggota Tentara Pertama yang bekerja sebagai Pelacak.

Di buku ini, aku menemukan banyak review tentang betapa Mal nyebelin banget, yang menurutku nggak juga kok, emang sih Alina kesusahan sama situasi ini dan Mal terkesan egois kekanak-kanakan, tapi aku ngerti gimana perasaannya dan pada akhirnya, Mal juga berkembang. Salah satu character development yang aku sukai adalah karakternya Mal, kedua baru Alina.

Lanjut ke buku terakhir dari series ini yaitu Ruin and Rising (Runtuh dan Tumbuh). Di sini, segala yang seru-seru muncul. Setelah agak kecewa sama plot Siege Storm yang biasa aja, aku menemukan obat penawarnya di buku ketiga ini. Bukan cuma eksekusi akhir yang tegang, dari awal sampe akhir buku ini punya banyak hal yang menarik.

Dari mulai karakter-karakter yang tadinya cuma kenalan di buku dua, sekarang mereka jadi tim yang solid meskipun saling waspada satu sama lain, pertarungan, PLOT TWIST, dan tentu saja masih ada Nikolai dan bacotannya: kalian harus baca bagian Baghra (ibu The Darkling) yang galak kalau lagi ketemu Nikolai, ini bagian favorit banget, berharap ada banyak scene kayak gini huhu.

Eksekusi yang memuaskan jelas ada di Ruin and Rising. Aku suka gimana plotnya diatur sedemikian rupa, dialog-dialognya yang bikin betah, plot twist kurang ajar tapi aku suka. Pokoknya buku terakhir ini memenuhi ekspektasiku. Meskipun kadang aku merasa narasinya kurang nendang, kejadian-kejadian seru justru berasa dipotong pendek: meskipun berkesan tapi tetap kayak nggak penuh, kopong. Tapi tetap aku suka banget sama endingnya yang bahkan nggak aku sangka, padahal aku udah baca Six of Crows duluan yang latar waktunya setelah S&B berakhir, aku tetep aja nggak nyangka haha.

Kalau kalian menyelami lebih dalam ke setiap detail ceritanya, konflik di Shadow and Bone ini cukup kompleks dari mulai karakter-karakter yang luar biasa dan tentunya politik, apalagi dibalut dengan fantasi yang mungkin bakal bikin kalian butuh tenaga ekstra buat bayanginnya haha. Tapi tenang, ada banyak fanart di luar sana, hati-hati aja jangan sampe kena spoiler.

Karakter favoritku tentu saja Nikolai Lantsov, lalu Mal-Alina satu paket, yang ketiga sekaligus nomor satu (dari sisi villain) adalah: The Darkling, disusul oleh Genya Safin, dan sampai saat ini aku belum terlalu suka sama Zoya meskipun karakternya badass tapi menurutku lebih ke nyebelin haha.

Sebelum tulisan ini makin panjang, lebih baik kita akhiri saja, dan sebelumnya aku mau bilang kalau memang masih terasa ada kekurangan personal, menurutku sendiri, dari keseluruhan trilogi Shadow and Bone. Dibandingkan Six of Crows yang aku cinta setengah mati, series pendahulu ini agak kurang buatku, nggak seseru dan nggak sekuat kesan yang ditinggalkan Six of Crows. Tapi, series ini tetap worth to read kok! Jangan ragu buat mulai terjun ke Grishaverse! ;)

---

Buat kalian yang mau kenalan sama karya penulis favorit keduaku, Leigh Bardugo, dan mau ikutan jadi penduduk di Grishaverse kalian bisa baca sesuai urutannya, kayak gini ya:

1.      Shadow and Bone Trilogy: Shadow and Bone, Siege and Storm, Ruin and Rising

2.      Six of Crows Duology: Six of Crows, Crooked Kingdom.

3.      Nikolai’s Duology: King of Scars, Rule of Wolves.

Catatan: kalian bisa baca Six of Crows tanpa baca Shadow and Bone trilogy (kata Leigh sendiri), tapi kayaknya lebih asik baca Nikolai di Shadow and Bone dulu kalau kalian mau lanjut ke Nikolai’s Duology. Series pertama dan ketiga latarnya di Ravka, dan kayaknya masih sama-sama tentang kekuasaan soalnya aku belom baca KoS. Sedangkan Six of Crows berlatar di negara yang terpisah sendiri bernama Kerch, karakter yang berbeda, dan konflik yang juga berbeda meski masih sama-sama bertema Grisha.

Catatan lagi: Nikolai’s Duology belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sampai konten ini terbitkan di blogku.

 

 

 

 

Sabtu, 11 Juli 2020

[RESENSI] My Heart and Other Black Holes by Jasmine Warga


sumber: google
                                                   

Judul: My Heart and Other Black Holes (Hati yang Hampa)

Penulis: Jasmine Warga

Alih bahasa: Rosemary Kesauly

Editor: Mery Riansyah

Desain sampul: Rovliene Kalunsinge

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)

ISBN: 978-602-03-8271-5

Jumlah halaman: 326 hlm

Baca via: iPusnas


Blurb ala-ala: Aysel, remaja berusia 16 tahun yang menyukai fisika dan terobsesi untuk bunuh diri. Tapi dia tidak berani untuk bunuh diri sendirian, melalui situs Suicide Partners, dia menemukan kawan bunuh diri, seorang pebasket bernama Roman. Ketika kesepakatan bunuh diri mereka makin konkret, Aysel mulai mempertanyakan apakah ia benar-benar ingin melakukannya. Ia harus memilih antara ingin mati atau berusaha meyakinkan Roman untuk tetap bertahan hidup. Hanya saja, Roman tidak akan mudah diyakinkan.

----

Sebenernya, blurb aslinya agaknya udah menggambarkan keseluruhan alur, tapi agak mislead sedikit dari cerita aslinya. Tapi kita bahas itu nanti.

Alasan aku pengen baca ini? Aku suka tema suicide dan depresi haha. Apalagi kalimat awal blurb tuh beuhh, menantang sekali buat dibaca. Dari kombinasi judul dan kover pun novel ini udah menarik banget.

Awal-awal aku baca ini sempet aku dnf dulu sebentar, alasannya, aku langsung disuguhi banyak deskripsi dan detail, jadi aku agak males bacanya. Tapi ternyata aku masih tetap tertarik nyelesain novel ini sampe akhir. Yang tadinya aku pikir gaya bahasa di sini cukup berat, tapi ternyata nggak alias ringan banget.

Aku makin semangat baca dan enjoy banget buku ini waktu Aysel udah ketemu Roman, dari situ, kerasa banget kalau novel ini adalah novel remaja biasa. Ringan, asik (bagiku asik ya, mungkin bagi sebagian dari kalian ini cukup gloomy HAHA), yang jelas ini kayak kisah cinta remaja biasa kok, yang bikin beda mereka mau bunuh diri tanggal 7 April haha.

Pembahasan tentang depresi di sini juga menurutku nggak terlalu mendalam. Novel ini menggunakan pov 1 Aysel, di mana dia selalu ‘pasrah’ sama hal-hal yang terjadi di hidupnya, toh dia bakal mati juga bentar lagi. Butuh sampai nyaris bab-bab terakhir untuk tahu kenapa Aysel ingin bunuh diri. (dan yang akhirnya tidak berhasil memuaskanku, karena alasannya kurang kuat, tapi dia bener-bener menunjukan pikiran-pikiran dan sikap orang depresi asli, i liked it tho).

Yang sedikit mislead antara isi dan blurbnya adalah, dikatakan kalau ibunya malu atas sang anak, bab awal yang isinya ngenalin tokoh-tokoh keluarga Aysel pun begitu, kesannya ibu dan Georgia, adik tirinya tidak mengharapkan Aysel, padahal di bab-bab selanjutnya mereka berdua berusaha untuk dekat dengan Aysel. Aku gak tau ini mislead atau karena ini pov Aysel dan dia memang menganggap semua orang membencinya.

Lalu tentang Roman, alasan dia depresi dan ingin bunuh diri lebih masuk akal daripada Aysel. Ibu Roman yang mengkhawatirkan anaknya pun kerasa emosinya dibanding kisah Aysel sendiri.

Konflik keseluruhan novel ini pun ringan, hanya membahas hal-hal yang mereka berdua lakukan bersama sebelum 7 April, dan jujur aku suka banget, terutama karena aku membayangkan mereka akan mati bersama di akhir cerita, kan? Bener-bener bikin aku semangat, haha.

Overall, cerita ini memang membuatku agak ke-triggered. Aku bisa merasakan apa yang Aysel rasakan. Setelah aku selesai baca ini, aku suka banget, sepuluh menit kemudian, aku nangis haha. Kenapa? Soalnya aku kepikiran juga, nggak semua orang ‘seberuntung’ Aysel bisa ketemu kawan bunuh diri kayak ‘Roman’, sebagian orang sendirian sampe akhir kan? Kepo nggak? Baca sendiri aja yaa haha.

Recommended buat kalian yang suka isu mental illness, kisah cinta remaja, atau sekalipun kalian yang lagi nyari alasan untuk tetap hidup.. dan untuk menemukan harapan? Aku kasih 3.7ó

“Aku tidak sabar menantikan saat aku tidak ada lagi dalam hidup mereka.” – hlm 27

“Saat aku menyenandungkan requiem Mozart, aku bertanya-tanya seperti apa rasanya saat semua cahaya padam dan segala sesuatu hening selamanya. Aku tidak tahu apakah mati akan terasa menyakitkan dan apakah aku akan takut pada saat-saat terakhir. Aku hanya bisa berharap semua akan berlalu dengan cepat. Dan damai. Dan tetap begitu selamanya.” – hlm 34

“Aku tidak bisa menjamin hal itu tidak akan terjadi, apalagi karena aku yakin ada yang salah denganku. Ada yang rusak. Orang-orang tidak pernah paham bahwa depresi tidak berhubungan dengan hal-hal di luar diri seseorang; tapi dengan hal-hal yang ada di dalam. Ada yang salah dalam diriku.” – hlm 50.

“Kalaupun aku punya pacar, namanya Maut.” – hlm 115

“Mungkin setiap orang hanya butuh dilihat dan diperhatikan orang lain.” – hlm 253

“...aku jadi teringat saat aku masih kecil, saat perasaan berat dan hampa dalam diriku belum menguasai seluruh hidupku dan terasa tidak tertahankan. Mungkin seperti itulah cara kegelapan menguasai kita, dengan meyakinkan kita untuk menyimpannya di dalam dan bukan mengeluarkannya. Aku tidak ingin kegelapan itu menang.” – hlm  285







Series Horror-Fantasy yang Wajib Dibaca: “Lockwood & Co.”- June Fav-read.



source: google
                                    

Siapa pecinta horor? Apalagi yang latarnya fantasi?? Kombinasi hebat memang cuma ada di series Lockwood & Co.!!

Ok guys, ini bukan resensi, soalnya pasti capek kalau aku harus nulis lima resensi sekaligus, jadi aku jadiin satu aja di sini; intinya, series Lockwood & Co., adalah series favorit aku di bulan Juni kemarin. Percaya nggak, saking ketagihan keseruan berburu hantu, aku sampe marathon series ini, tiga buku terakhir aku selesain 6 hari aja dan rata-rata tebelnya hampir 500.

Nah sekarang kenalan dulu ya, Lockwood & Co., ditulis oleh Jonathan Stroud. Buku pertamanya diterbitkan tahun 2013, setahun kemudian, Gramedia Pustaka Utama membeli hak cipta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Lockwood & Co., buku 1: Undakan Menjerit versi Indonesia terbit pada tahun 2014. Diterjemahkan oleh Poppy D. Chusfani, dieditori oleh Barokah Ruziati dan sampulnya didesain oleh Martin Dima. Buku selanjutnya? Aku nggak catat, tapi sepertinya masih pake penerjemah yang sama^^

Lockwood & Co., terdiri atas 5 buku dan satu cerpen. Buat kalian yang kepo, perhatikan dan catat kalau perlu urutannya ya haha

1.      Lockwood & Co. – The Screaming Staircase (Undakan Menjerit)

1.5.Lockwood & Co. – The Dagger in The Desk (Short-story, tidak diterjemahkan, bisa baca gratis di kindle)

2.      Lockwood & Co. – The Whispering Skull (Tengkorak Berbisik)

3.      Lockwood & Co. – The Hollow Boy (Pemuda Berongga)

4.      Lockwood & Co. – The Creeping Shadow (Bayangan Mengendap)

5.      Lockwood & Co. – The Empty Grave (Makam Tanpa Penghuni)

Next, lanjut ke ceritanya. Suatu hari, Inggris kedatangan Masalah, terjadi wabah hantu berkeliaran di seluruh Inggris. Waktu itu, hanya ada dua orang yang mampu mengatasi Masalah, mereka adalah Marissa Fittes dan Tom Rotwell. Dan di masa kini, terbentuklah agensi-agensi yang biasa menangangi kasus supranatural. Tentunya diprakarsai dua agensi besar; agensi Fittes dan Rotwell.

Bagian uniknya, agensi-agensi yang menangani hantu ini adalah anak kecil, mulai dari usia 8 (cmiiw) sampe akhir usia 19. Inilah yang membuat aku terkesan dengan ceritanya, bisa dibilang novel ini bisa juga termasuk middle-grade karena memakai tokoh anak/remaja yang ikut andil dalam melakukan suatu kejadian yang butuh tanggungjawab.

Di buku ini diceritakan kalau hanya anak-anak dan remajalah yang mempunyai kemampuan khusus untuk mendeteksi keberadaan hantu. Ada beberapa kemampuan khusus yang dimiliki mereka, yaitu: daya dengar, daya sentuh, dan daya lihat. Ketika mereka dewasa, kemampuan tersebut melemah bahkan hilang sama sekali. Dan, tidak semua anak punya bakat khusus ini.

Semua buku ini memiliki pov atau sudut pandang orang pertama yaitu, Lucy Carlyle. Sejak kecil, Lucy mempunyai daya dengar yang bagus. Hingga suatu saat dia merantau dari desa kecilnya ke London dan melamar pekerjaan ke Lockwood & Co., yang saat itu baru memiliki dua anggota, Anthony Lockwood dan George Cubbins. Segera saja Lucy menjadi anggota ketiga mereka,


source: google


Daya dengar Lucy, daya lihat Lockwood, dan daya riset yang nggak termasuk ke dalam bakat George membuat tim mereka menjadi tim yang hebat. Satu persatu kasus diselesaikan dengan baik, mereka menjadi terkenal, tapi kasus-kasus besar yang mengerikan pun tak luput ambil bagian dari petualangan mereka.

Jangan matikan lampu saat membacanya... Stroud memang genius,” kata Uncle Rick Riordan yang merupakan penulis favoritku di buku pertama Lockwood & Co.

DAN memang bener, kalian jangan pernaaaah baca series ini malam-malam, saranku. Karena meskipun hanya tulisan, novel ini jelas bisa bikin aku parno dan kebayang yang aneh-aneh seharian. Tapi kalau kalian suka tantangan, kalian bisa ngikutin jejakku baca buku ini malem-malem, merindingnya lebih kerasa.

Petualangan mereka dalam menyelesaikan kasus sebenarnya cukup menarik, aku suka meski nggak terlalu menggilai. Petualangannya jelas seru, tegang, dan bikin merinding. Yang membuatku nggak terlalu dive-into ke series ini seperti aku menggilai karya RR dan LB, karena aku kurang suka detail deskripsinya, menurutku gak cukup baca sekali, tapi aku terlalu malas buat baca ulang haha. Kadang aku ngantuk kalau Lucy lagi bermonolog ahahahsksksk.

Yang paling penting dan tidak boleh terlewat adalah karakter-karakternya. Lucy Carlyle adalah cewek berani, baik hati, tangguh dan kadang slengekan. Anthony Lockwood jenis cowok cool, berani sekaligus gegabah, dan pemimpin yang super karismatik. George Cubbins, sebagaimana roda ketiga lainnya di seluruh cerita adalah tipe yang kocak dan kikuk, tapi dia kutubuku jenius.

Dan yang paling penting nomor wahid adalah kehadiran Skull si hantu dalam toples, bener-bener jadi satu-satunya alasan kuat kenapa aku rela marathon series ini. Skull adalah tokoh favoritku, kalau dia bisa dibilang tokoh. Karakternya yang sinis dan nyablak bikin aku betaaaah banget baca cerita ini dan bodo amat sama deskripsinya yang entah kenapa selalu bikin aku ter-distract.

Setiap baca novel ini, aku selalu nunggu bagian Skull bicara. Aku selalu seger tiap baca bagian dia. Sekejap ngantuk ilang pokoknya XD setiap Skull bicara, yang keluar cuma sarkas dan ngatain orang HAHA.

Nah, daripada jadi curhat Skull-lovers, mending aku udahan sampai di sini aja, takutnya juga malah jadi kepanjangan dan spoiler. Yang jelas, series ini highly recommended!! Aku gak suka-suka banget novel horor, tapi aku suka fantasi. Dan series ini bener-bener memenuhi ekspektasiku. Tapi jujur aku....ada satu hal yang membuatku kecewa berat dan berakhir hangover seminggu, tapi aku gak bisa jelasin haha pokoknya kalian baca aja dan dijamin nggak akan nyesel deh ;))))

Tambahan, series ini bisa kalian baca gratis di iPusnas loh, tapi...buku kedua yang Whispering Skull nggak ada. Bahkan di Gramedia Digital yang berbayar pun nggak ada. Jadi, usahakan kalian nyari dulu buku keduanya ya, minjem perpus atau pinjem temen asal jangan nyolong aja. Habis itu kalian bisa nikmatin Lockwood & Co., gratis di iPusnas^^ lebih bagus lagi kalau kalian mulai koleksi aja fisiknya, rencananya aku pun mau koleksi fisiknya karena kadang-kadang aku kangen Skull :(

Well, bagi kalian yang tertarik dan berencana mau marathon Lockwood & Co., kayak aku....HAPPY READING and byeeee!!



Diberdayakan oleh Blogger.

Fav-Qoutes

"Kekuatan ada pada diri orang-orang yang tetap bangun dan menjalani setiap hari meski hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah hidup. Kekuatan datang dari senyum mereka yang bersedih, dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya namun tetap bertahan." (Some Kind of Wonderful by Winna Efendi

"Billie tidak bisa berhenti bertanya-tanya dengan naif mengapa beberapa wanita mendapatkan banyak hal sejak mereka dilahirkan -kecantikan, pendidikan, kekayaan, bakat- sementara yang lain harus memulai hidup dengan begitu sedikit anugerah." (The Girl On Paper by Guillaume Musso)

“Dia akan pergi lagi. Dia akan pergi lagi dan lagi sampai umurnya cukup dewasa dan tidak ada lagi yang bisa mengirimnya pulang.” – hlm 363 (Little Fires Everywhere by Celeste Ng)